Sumitro Djojohadikusumo berpidato pada rapat umum PSI di Lapangan Merdeka, 12 Juni 1955. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
JANUARI 1958, para pemimpin militer, Zulkifli Lubis, Maludin Simbolon, Barlian, Dahlan Djambek, dan Ventje Sumual mengadakan pertemuan dengan Sumitro Djojohadikusumo, Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Natsir, dan Burhanuddin Harahap, di Sungai Dareh, Sumatra Tengah. Pertemuan itu membicarakan bentuk pemerintahan yang bakal mereka dirikan untuk menyaingi pemerintah pusat di Jakarta.
Mereka tak puas. Ketidakpuasan berpangkal pada Sukarno yang melontarkan “konsepsi presiden” pada 21 Februari 1957 tentang demokrasi liberal. Dalam konsepsinya itu, dia mengkritik jalannya sistem parlementer, mengajukan gagasan pembentukan kabinet empat kaki yang terdiri dari PNI, Masyumi, NU, dan PKI serta membentuk parlemen yang terdiri dari unsur nasakom (nasionalis, agama, komunis) dan golongan fungsional, termasuk militer. Kaum oposan di Sumatra itu pun menuntut agar pemerintah pusat memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah untuk mengelola kekayaannya sendiri.
Dalam pertemuan tersebut, Lubis mengusulkan pembentukan pemerintahan militer, namun ditolak karena berpeluang menjadi diktator militer. Sebagai kompromi disepakati penggabungan semua dewan menjadi Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Ahmad Husein. Mereka menamakan diri sebagai Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Iktikadnya sebagai koreksi terhadap pemerintah pusat, namun pertikaian politik itu menjadi pertempuran terbuka kedua belah pihak.
JANUARI 1958, para pemimpin militer, Zulkifli Lubis, Maludin Simbolon, Barlian, Dahlan Djambek, dan Ventje Sumual mengadakan pertemuan dengan Sumitro Djojohadikusumo, Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Natsir, dan Burhanuddin Harahap, di Sungai Dareh, Sumatra Tengah. Pertemuan itu membicarakan bentuk pemerintahan yang bakal mereka dirikan untuk menyaingi pemerintah pusat di Jakarta.
Mereka tak puas. Ketidakpuasan berpangkal pada Sukarno yang melontarkan “konsepsi presiden” pada 21 Februari 1957 tentang demokrasi liberal. Dalam konsepsinya itu, dia mengkritik jalannya sistem parlementer, mengajukan gagasan pembentukan kabinet empat kaki yang terdiri dari PNI, Masyumi, NU, dan PKI serta membentuk parlemen yang terdiri dari unsur nasakom (nasionalis, agama, komunis) dan golongan fungsional, termasuk militer. Kaum oposan di Sumatra itu pun menuntut agar pemerintah pusat memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah untuk mengelola kekayaannya sendiri.
Dalam pertemuan tersebut, Lubis mengusulkan pembentukan pemerintahan militer, namun ditolak karena berpeluang menjadi diktator militer. Sebagai kompromi disepakati penggabungan semua dewan menjadi Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Ahmad Husein. Mereka menamakan diri sebagai Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Iktikadnya sebagai koreksi terhadap pemerintah pusat, namun pertikaian politik itu menjadi pertempuran terbuka kedua belah pihak.
Alkisah di Belakang Panggung
Jauh sebelum pertikaian pusat-daerah terjadi, arena politik nasional diwarnai berbagai skandal keuangan. Sumitro satu di antara pejabat publik yang didera persoalan itu. Sebelum memutuskan masuk hutan dan bergabung dengan PRRI, dalam bulan Mei 1957, sudah tiga kali Corps Polisi Militer Bandung memanggilnya untuk diperiksa.
Panggilan itu untuk meminta keterangan seputar perannya dalam aksi pengumpulan dana PSI jelang Pemilu 1955. Pemeriksaan yang sama juga bertujuan mengorek keterangan tentang pemberian kredit saat dia menjabat menteri keuangan Kabinet Burhanuddin Harahap.
“Diduga keras Sumitro menyalahgunakan kedudukannya di pemerintah dengan bertindak pada waktu yang sama sebagai ketua panitia PSI untuk pemilihan, dan menyelewengkan uang negara untuk partainya,” tulis rudolf Mrazek dalam biografi Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Menurut politisi Masyumi Jusuf Wibisono, Khouw Kim Eng, anggota PSI yang tinggal di Cirebon mengaku menyumbang uang ke PSI lewat Sumitro. “Pemeriksa menyita dua buah kuitansi sebagai tanda penerimaan beberapa juta rupiah yang diberikan Sumitro kepada Khouw Kim Eng. Tetapi tersangka waktu itu ternyata sudah ada di Sumatra Barat,” kata Jusuf Wibisono dalam biografinya, Karang di Tengah Gelombang karya Soebagijo IN. Jusuf juga sempat diperiksa dan ditahan atas tuduhan korupsi.
Khouw Kim Eng, direktur NV Libra, menjadi tahanan Kejaksaan Agung pada pengujung 1955. Dia dituduh melakukan kecurangan perdagangan barter dengan Hongkong yang merugikan negara puluhan juta rupiah. Namun, hakim Pengadilan Negeri Jakarta melepaskannya dan menjadi tahanan luar dengan jaminan uang jutaan rupiah, mobil, rumah, tanah, dan sawah, serta tokoh penting seperti Iwa Kusumasumantri.
Sumitro menerima panggilan ketiga pada 8 Mei 1957. Sumitro lagi-lagi mangkir. Menurut informasi dari sumber yang dipercayainya, kali itu dia bakal ditahan. Kepada Sutan Sjahrir, Sumitro pamit pergi meninggalkan Jakarta untuk bergabung dengan perjuangan daerah yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat.
Sjahrir tak keberatan, bahkan dia menyarankan, “Oke, Cum (panggilan akrab Sumitro). Tapi kok daerah terpencar-pencar seperti tersingkir sendiri. Ada Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda. Usahakan semua itu agar bersatu supaya kuat membendung kekuatan-kekuatan destruktif yang merusak Sukarno,” kata Sjahrir dalam biografi Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang karya Hendra Esmara dan Heru Cahyono.
Itulah terakhir kali Sumitro bertemu Sjahrir. Setelah itu, Sumitro pergi berpetualang dengan cap PSI yang terlanjur identik pada dirinya.
Melompat ke Seberang
Pada Mei 1957, Sumitro bergabung dengan para pemimpin militer di Sumatra dan Sulawesi yang menentang pemerintah pusat: Kolonel Zulkifli Lubis (mantan wakil KSAD), Letkol Ahmad Husein (panglima Sumatra Barat dan ketua Divisi Banteng), Letkol Barlian (panglima Sumatra Selatan dan ketua Dewan Garuda), Kolonel Maludin Simbolon (panglima Sumatra Utara dan ketua Dewan Gajah), Kolonel Dahlan Djambek (panglima Divisi III Sumatra Barat dan Riau), dan Letkol HN Ventje Sumual (panglima Indonesia Timur dan ketua Permesta/Piagam Perjuangan rakyat Semesta). Selain Sumitro, bergabung pula tiga politisi Masyumi: Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, dan Burhanuddin Harahap.
Alasan yang menyatukan Sumitro dengan para perwira itu adalah musuh bersama: KSAD Jenderal TNI AH Nasution. Menurut Audrey dan George McTurnan Kahin dalam Subversi Sebagai Politik Luar Negeri, Sumitro berselisih dengan Nasution diduga karena dia mendalangi tuduhan korupsi terhadap Sumitro.
Dalam keadaan darurat perang (SOB, Staat van Oorlog en Beleg) Maret 1957, Nasution sebagai Penguasa Perang Pusat memerintahkan pemeriksaan dan penahanan para pejabat yang diduga korupsi. Selain Sumitro, anggota PSI lain yang diperiksa dan ditahan sebagai terduga korupsi adalah Dr. Saroso, namun dilepaskan setelah cuti Lebaran awal Mei 1957.
Sedangkan bagi para perwira itu, terutama Lubis dan Simbolon, Nasution adalah pesaing berat dalam pemilihan KSAD. Menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945–1967, Simbolon yang “dianggap sebagai pendukung setia kebijaksanaan gaya PSI” menolak melepaskan posisinya di Sumatra utara.
Keterlibatan Sumitro dan beberapa kader lain dalam PRRI membuat Sjahrir dan pengurus PSI di Jakarta tak nyaman. Melihat perkembangan yang terjadi di Sumatra, Djoeir Moehamad dan Djohan Sjahroezah menemui Sjahrir pada 15 Januari 1958. Sjahrir lantas mengutus mereka untuk menemui Sumitro.
Menurut Sjahrir, Djoeir cocok dikirim ke Sumatra menyambangi kubu PRRI karena selama revolusi kemerdekaan dia cukup dikenal di Sumatra dan sebagai anggota DPRS pada 1954, dia juga dikenal sebagai pengusung mosi otonomi daerah. Lebih dari itu, “Bung juga cukup populer di kalangan tokoh-tokoh politik dan militer di sana,” kata Sjahrir kepada Djoeir dalam Memoar Seorang Sosialis.
Dari Sjahrir, Djoeir dan Djohan menemui Mohammad Hatta. Inti pesan Hatta dan Sjahrir sama: “Perjuangan daerah untuk mewujudkan otonomi yang luas hendaklah konstruktif. Namun dukungan partai disertai peringatan bahwa perjuangan daerah janganlah berkembang ke arah pembentukan pemerintahan tandingan sebab yang demikian destruktif dan menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia,” kata Djoeir mengutip Hatta.
Djoeir dan Djohan bergegas ke Sumatra membawa pesan tersebut. Setelah bertemu Barlian di Palembang yang bersedia mematuhi nasihat Sjahrir dan Hatta, Djoeir menemui Husein di Padang. Dia kemudian bergabung dengan Djohan dan Imam Bok Slamet yang lebih dulu sampai di Bukittinggi. “Prioritas pertama kami sebagai anggota pimpinan pusat PSI adalah menemui Bung Cum,” kata Djoeir.
Mereka berusaha menemui Sumitro di rumah anggota PSI, Egon Hakim di Tarandam Padang. Namun Sumitro sudah pergi ke Payakumbuh. Mereka menyusulnya, tapi kalah cepat. Sumitro sudah pergi ke Pekanbaru terus ke Bengkalis, lantas menyeberang ke Singapura. Subadio Sastrosatomo dan Djohan kemudian berhasil menemui Sumitro di Singapura, namun gagal mengubah sikap politiknya.
“Dia ternyata menempuh jalan sendiri dan diumumkan menjadi salah seorang menteri PRRI,” kata Djoeir.
Dalam kabinet PRRI yang diumumkan pada 15 Februari 1958, Sumitro menjabat menteri perdagangan dan perhubungan. Anggota PSI lainnya, Sutan Mohammad Rasjid sebagai perwakilan di Eropa dan duta besar keliling PRRI; anak angkat Sjahrir dari Banda, Des Alwi, menjadi juru bicara PRRI di Singapura, Manila, dan Hongkong; dan simpatisan PSI, Mr. Assaat sebagai menteri dalam negeri PRRI.
“Sumitro, Rasjid, dan Des Alwi adalah tiga tokoh yang berhubungan dengan PSI dan Sjahrir, yang secara langsung dan terang-terangan bergabung dengan pemberontakan,” tulis Mrazek.
Selain Sumitro, Tan Po Goan, anggota parlemen dari PSI, juga menyeberang ke Singapura tak lama setelah Sumitro pergi. Pengacara yang terkenal mengungkap skandal korupsi Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo itu juga disebut-sebut terlibat PRRI. “Kebetulan keduanya dari persemaian yang sama, yakni PSI sehingga kepergian mereka kerap dianggap sebagai keterlibatan PSI dalam PRRI,” tulis Hendra dan Heru.
Keterlibatan Tan Po Goan terungkap dalam dokumen berupa foto kopi surat yang dikirim dari Singapura kepada Daan Mogot. Dari surat itu, tulis Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme, dapat dibaca bahwa keuangan PRRI sedang sulit karena hanya dapat bantuan 30.000 dolar Malaysia per bulan.
Adanya sokongan dana, persenjataan, dan pelatihan dari Amerika Serikat mendorong kubu oposisi berani mendirikan PRRI. Sumitro jadi penghubungnya. Menurut Audrey dan George Kahin, penunjukan Sumitro sebagai pencari dana dan senjata memang tepat. Selama masa awal revolusi, dia orang penting dalam upaya Republik mendapatkan dana dari luar, terutama dari kalangan usaha di Amerika Serikat dan negara-negara lain.
Audrey dan George Kahin menulis, “Sumitro sering mengadakan hubungan dengan kantor CIA di Singapura yang dipimpin seorang teman yang dikenalnya di Jakarta, dan dengan para pejabat pemerintah Malaysia, Filipina, Thailand, Taiwan, serta para pengusaha Inggris, Belanda, dan Cina perantauan.”
Setelah empat bulan, mulai Februari sampai Mei 1958, pemerintah pusat berhasil memadamkan perlawanan PRRI. Para perwira pembangkang dan tiga politisi Masyumi menyerahkan diri setelah Sukarno berjanji memberikan amnesti sebelum 5 Oktober 1961. Sumitro lebih dulu meninggalkan rekan-rekannya. Dia lari ke Singapura dan dari sana meneruskan perlawanannya terhadap pemerintahan Sukarno.
Atas adanya tuduhan sebagai “agen CIA”, Sumitro di kemudian hari mengatakan kalau Audrey dan George Kahin “ngawur”. “Banyak orang CIA justru membenci saya sebab saya nggak mau terlalu tunduk. Mereka kan mau mandori alias mendikte. Saya menolak didikte. Kalau mau kerja sama oke-lah, tinggal tukar pikiran dan informasi,” ujar Sumitro dalam biografinya.
Sumitro dan Rasjid ikut dalam PRRI adalah di luar pengetahuan partai, apalagi dia tak pernah diberi kuasa bertindak di atas nama partai.
Sikap dan Pembubaran PSI
Untuk menyikapi PRRI, pada 14 Februari 1958 Fraksi PSI mengeluarkan pernyataan resmi. Mereka mendukung gerakan daerah asalkan konstruktif untuk mewujudkan otonomi yang luas dan demokratis sesuai UUD 1945 dengan cara konstitusional.
PSI juga mengeluarkan Siaran Penerangan pada September 1958 kepada seluruh anggota dan cabang di seluruh Indonesia bahwa “Sesuai dengan Garis Politik dan Perjuangan Partai, maka partai tak pernah menyatakan persetujuan terhadap apa yang disebut PRRI.”
Berdasarkan instruksi partai tersebut serta pesan Sjahrir dan Hatta yang dibawa Djoeir dan Djohan, cabang-cabang PSI menentang PRRI. “Di Sumatra Barat, Husein mendapat oposisi yang kuat menolak konfrontasi dengan pusat. Oposisi itu terutama datang dari kalangan PSI,” tulis Audrey dan George Kahin.
Husein, melalui utusannya Mayor Mawi, meminta Djoeir sebagai pimpinan pusat PSI, untuk menyatakan lewat radio bahwa PSI tidak keberatan pada PRRI. Djoeir menolak. Dia dengan sekira 400 tahanan politik, sebagian besar anggota PSI dan Murba, serta PNI dan pejabat nonkomunis yang menentang PRRI, dipenjara di Muara Labuh. Sedangkan tahanan PKI berada dipenjara di Situjuh dan Suliki.
Djoeir kemudian dibebaskan oleh Lubis dan Burhanuddin Harahap. Kepada Djoeir, Lubis mengaku salah tangkap karena “Bung Djoeir adalah eksponen perjuangan daerah dengan Mosi Djoeir Moehamad-nya. Setidaknya di parlemen sebelum pemilihan umum. Meskipun kita memiliki cara yang berbeda, namun Bung Djoeir bukan musuh kami (maksudnya PRRI)!”
Dalam Siaran Penerangan, PSI juga menyebutkan dua pentingginya yaitu “Sumitro dan Rasjid ikut dalam PRRI adalah di luar pengetahuan partai, apalagi dia tak pernah diberi kuasa bertindak di atas nama partai.”
PSI kemudian menjatuhkan sanksi sementara kepada Sumitro. Sebab, untuk memutuskan hukuman partai harus dilakukan melalui sidang partai, di mana dia dapat menjelaskan dan membela diri. Namun, upaya ini tidak menyelamatkan PSI.
Pada 31 Desember 1959, Sukarno menandatangani Penetapan Presiden No. 7/1959 yang mengatur penyederhanaan partai. Pasal 9 menyebutkan bahwa presiden, sesudah mendengar Mahkamah Agung, dapat melarang dan/atau membubarkan partai yang pemimpin-pemimpinnya ikut dalam pemberontakan atau memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak secara resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya.
Dengan dasar hukum tersebut, pada 17 Agustus 1960, Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 200/1960 yang membubarkan PSI dan Masyumi. Pada hari yang sama, dalam pidato kenegaraan, Sukarno menyampaikan soal pembubaran PSI dan Masyumi: “Jika satu bulan sesudah perintah ini diberikan, PSI dan Masyumi belum dibubarkan, maka PSI dan Masyumi adalah partai-partai yang terlarang.”
Untuk melaksanakan keputusan tersebut, PSI mengajukan surat izin kepada Peperti (Penguasa Perang Tertinggi) untuk mengadakan kongres luar biasa pembubaran partai pada 25–27 September 1960 di Jakarta. Namun, penjabat Kepala Staf Peperti, Kolonel Basoeki Rachmat, tidak mengizinkan: “Satu-satunya aktivitas yang dapat diakui dari partai yang telah dibubarkan hanyalah mengeluarkan penyataan oleh pimpinan partai dalam batas waktu tiga puluh hari terhitung tanggal mulai berlakunya. Dengan demikian kongres tidak dibenarkan.”
Menurut Djoeir, agar tidak menjadi partai terlarang, partai menginstruksikan cabang-cabangnya di seluruh Indonesia membubarkan diri. Sedangkan organisasi massa yang berafiliasi kepada PSI, seperti GPS, GMS, GWS, dan GTI, serta kegiatan koperasi tetap dapat berkegiatan. Anggota-anggota PSI juga tidak dilarang melakukan gerakan sosial-politik, tapi atas nama pribadi.
Sumitro baru kembali ke Indonesia setelah Sukarno jatuh dari kekuasaannya dan atas permintaan penguasa Orde Baru pada 1967. Sedangkan Rasjid kembali ke tanah air pada akhir tahun 1968. Sumitro menyatakan keluar dari PSI dan mengungkapkan kekecewaanya: “Orang-orang PSI memang begitu, kalau saya masuk kabinet dan gagal mereka bilang ‘itu bukan orang kita. Dia bukan orang partai, dia duduk sebagai perorangan. Itu salah dia!’ Namun, kalau berhasil maka bilang, ‘nah, itu orang kita’. Begitu pula ketika saya bergabung dengan gerakan daerah, mereka lantas bilang bahwa itu ulah Sumitro pribadi.”