Westerling hidup di persembunyian, terlilit utang dan serba kekurangan. Sempat menawarkan diri jadi tentara bayaran. Menulis memoar penuh pembenaran segala tindakannya di Indonesia.
Westerling dalam masa pelarian di Brussels, Belgia. (geheugenvannederland.nl).
Aa
Aa
Aa
Aa
SELASA, 23 Agustus 1950, Westerling mendarat di Brussels, dengan pesawat dari Singapura setelah lebih dulu transit di Kairo dan Inggris. London menolak membuka bandaranya, dan Westerling harus segera ikut penerbangan ke Brussel. Kebetulan dia masih memiliki visa masuk Belgia dan Spanyol.
Seperti dikutip harian Montreal Gazette terbitan Kanada, 25 Agutus 1950, otoritas Belgia langsung menangkap Westerling setibanya di Brussel. Polisi menyekapnya di sebuah ruang tahanan di bandara selama sembilan jam. Seterusnya dia dibawa dalam mobil polisi berpengawal khusus ke Luxemburg. Usaha pemerintah Belgia untuk bebas dari masalah dengan menggiringnya ke Luxemburg gagal, karena para pejabat perbatasan Luxemburg menolak memberi izin masuk bagi sang kapten.
Pemerintah Belgia pun sibuk. Perdana Menteri Joseph Pholien yang belum sebulan menjabat sejak 16 Agustus 1950, bergegas berkoordinasi dengan Menteri Kehakiman Ludovic Moyersoen. Dia terpaksa memberi izin tinggal bagi Westerling dengan syarat si “Turki” tidak boleh terlibat aktivitas politik, berkelakuan baik, dan tidak bikin masalah.
SELASA, 23 Agustus 1950, Westerling mendarat di Brussels, dengan pesawat dari Singapura setelah lebih dulu transit di Kairo dan Inggris. London menolak membuka bandaranya, dan Westerling harus segera ikut penerbangan ke Brussel. Kebetulan dia masih memiliki visa masuk Belgia dan Spanyol.
Seperti dikutip harian Montreal Gazette terbitan Kanada, 25 Agutus 1950, otoritas Belgia langsung menangkap Westerling setibanya di Brussel. Polisi menyekapnya di sebuah ruang tahanan di bandara selama sembilan jam. Seterusnya dia dibawa dalam mobil polisi berpengawal khusus ke Luxemburg. Usaha pemerintah Belgia untuk bebas dari masalah dengan menggiringnya ke Luxemburg gagal, karena para pejabat perbatasan Luxemburg menolak memberi izin masuk bagi sang kapten.
Pemerintah Belgia pun sibuk. Perdana Menteri Joseph Pholien yang belum sebulan menjabat sejak 16 Agustus 1950, bergegas berkoordinasi dengan Menteri Kehakiman Ludovic Moyersoen. Dia terpaksa memberi izin tinggal bagi Westerling dengan syarat si “Turki” tidak boleh terlibat aktivitas politik, berkelakuan baik, dan tidak bikin masalah.
Menteri Luar Negeri Paul van Zeeland keberatan dengan syarat itu. Menurutnya si kapten memiliki paspor Belanda yang sah dan karenanya harus tinggal secara bebas dan tak boleh dibatasi kegiatannya. Keberatan ini tak dihiraukan.
Kepada wartawan yang mencegatnya saat mendarat di Brussel, Westerling mengaku akan keliling Eropa dan sudah memesan karcis pesawat. Namun, dia berubah pikiran –dan akhirnya ditangkap aparat Belgia sebelum sempat jalan-jalan.
Pulang langsung ke Belanda agak susah karena pemerintah Belanda mengancam akan menangkapnya dan mempidanakannya dengan pasal “menghasut tentara Belanda untuk desersi”.
Namun, teman baiknya di Belanda, John Thyssen menyebut, bukan itu alasannya. Menurutnya Westerling tak mau langsung ke Belanda agar tak menimbulkan masalah bagi pemerintah Belanda karena masalah di Indonesia masih sangat sensitif. Thyssen malah menyebut Westerling sudah mengirim pesan kepada PBB dan Jenderal MacArthur dari Amerika Serikat. Isinya tawaran Westerling untuk membentuk “suatu brigade internasional untuk melindungi hak-hak manusia”.
Sebelumnya, 7 Agustus 1950, sebuah media memberitakan bahwa dari penjaranya di Singapura, lewat seorang teman dekatnya, Westerling mengirim kawat kepada Jenderal MacArthur yang sedang memimpin tentara Amerika Serikat dalam Perang Korea. Westerling menawarkan jasanya, untuk “membentuk suatu brigade prajurit internasional yang tangguh” untuk membantu Amerika Serikat dalam Perang Korea.
Di Belgia, Westerling tinggal di sebuah Guest House lima lantai di sebuah gedung tua bergaya klasik Eropa di Rue de la Concorde No. 59. Gedung di kawasan Louise, Ixelles itu, sejak beberapa tahun lalu sudah berubah menjadi hotel bintang empat.
Di hunian nyaman itu, Westerling menggunakan sebagian besar waktunya untuk menulis memoar. Sebuah harian Australia yang terbit di Brisbane, Courier Mail, memberitakannya dalam edisi 16 September 1950, dengan judul “Untuk Mengungkap Kebenaran”. Disebutkan dalam berita pendek itu, Westerling akan menyelesaikan memoarnya sebelum akhir tahun. Ambisius juga mengingat dia mendarat di Brusel pada 25 Agustus 1950. Jadi, dia berniat menyelesaikan memoarnya hanya dalam tempo dua bulan. Tak terlalu meleset, memoarnya Mijn Memoires, terbit tahun 1952.
Westerling beruntung mendapat kontrak penulisan memoar itu dari Opera Mundi, sebuah agen berita yang berpusat di Paris, Prancis.
Hidup Pas-pasan
Awal Februari 1951, mucul sedikit kehebohan: Westerling lenyap dari Guest Housenya. Berbagai sassus beredar. Antara lain dia sudah meninggalkan Belgia karena izin tinggalnya sudah habis, dan dia sudah mendarat di Tangier, Maroko. Ada pula teman Westerling yang menyebarkan kabar bahwa dia sudah berada di Spanyol.
Bagaimana dia meninggalkan Belgia? Bukankah dia sudah tak punya paspor yang sah. Pertengahan Januari 1951, sesudah pemerintah Belgia memerintahkannya segera hengkang, Westerling meminta perpanjangan paspor dari Kedutaan Belanda namun ditolak. Tanpa paspor yang masih berlaku, dia hanya bisa wara-wiri di wilayah Benelux.
Harian West Australia yang terbit di Perth, Australia, menurunkan tulisan khusus tentang raibnya Westerling dalam edisi 3 Maret 1951. Ditulis oleh G. Reckman dari Brussel, artikel tiga kolom itu berjudul “Lenyapnya Kapten Westerling,” dimuat di halaman 16, dilengkapi sebuah foto Westerling di tengah para wartawan saat ia mendarat di Brussel, 23 Agustus 1950.
Berita itu menyiratkan keyakinan, bahwa Westerling sebetulnya masih berada di Belgia. Karena dia tak punya dokumen untuk bisa melewati perbatasan atau imigrasi bandar udara dan pelabuhan.
Yang menarik, Reckman menulis, alasan lain adalah alasan “moral” yaitu dia tak mungkin meninggalkan utang-utangnya. Reckman menulis selama tinggal di Brussel, Westerling hidup tak terlalu sejahtera. Dari waktu ke waktu, dia mendapat kiriman uang dari Belanda tapi jumlahnya pas-pasan. Tak bisa menutupi pengelurannya yang tergolong besar. Karenanya dia meminjam uang ke sana-sini, khususnya para pengagumnya di Belgia. Juga berutang di restoran-restoran yang menganggapnya tamu istimewa. Utangnya makin bertumpuk tapi orang tetap mengutanginya, karena mereka menganggap Westerling adalah seorang kapten terhormat, manusia bermartabat yang tak mungkin meninggalkan kewajibannya.
Pertengahan Januari 1951, Westerling memperoleh uang muka dari Opera Mundi untuk memoarnya. Dia segera membayar tagihan Guest Housenya yang sudah menumpuk. Pada 31 Januari malam, dia pamit pada teman-teman dekat yang membantunya menyiapkan memoar dan hengkang dengan dua kopor.
Tak berapa lama, seorang wartawan Belanda yang jadi editor memoarnya, Schurmann, pindah ke kamar bekas Westerling. Sebelumnya, dia datang setiap dua pekan, untuk membantu penulisan memoar itu. Pada waktu itu, sebagian bab sudah berada di kantor Opera Mundi di Paris.
Melihat gelagat cara kerja Westerling, diyakini dia masih berada tak jauh dari flat lamanya, dan secara rutin bertemu diam-diam dengan editornya, untuk menyelesaikan memoarnya.
Memoar itu penuh dengan apologi dan pembenaran mengenai segala tindakannya di Indonesia. Tetapi rupanya masih dianggap sesuai dengan ketentuan “tak terlibat politik” dalam ketentuan izin tinggal yang diberikan pemerintah Belgia.
Di sisi lain, memenuhi ketentuan berkelakuan baik dan tidak terlibat politik, Westerling sempat diberitakan berniat membuka sebuah klub malam di Brussel. Kabar ini diberitakan kantor berita AAP, seperti dikutip harian Australia yang terbit di Perth, Daily News, 28 Oktober 1950. Dalam pemberitaannya disebutkan kalau Westerling mendapatkan dukungan keuangan dari seorang industrialis Belgia.
Tak ada cerita lanjutan, apakah klub malam itu pernah benar-benar terwujud. Satu-satunya kabar tentang Westerling dan klub malam di Belgia, muncul hampir enam tahun sesudah itu. Yakni tatkala dia ditangkap di sebuah klub malam di luar kota Brussel pada 24 Februari 1956. Diberitakan harian Argus terbitan Melbourne edisi 25 Februari 1956, polisi Belgia menangkap Westerling karena tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah. Dia segera dideportasi lagi ke Belanda.
Westerling sudah kembali tinggal di negerinya, Belanda, setidaknya sejak 17 April 1952. Pada hari itu, dia digerebek polisi di sebuah kastil menak Belanda di pinggiran Amsterdam, milik Graaf Adolf van Rechteren Limpurg. Dalam penggerebekan subuh itu, sang priayi pemilik kastil mengaku, tamunya sudah pergi. Namun, petugas polisi menemukan Westerling sembunyi di sebuah lubang di lantai yang ditutupi karpet.
Westerling tenang sekali, begitu dilaporkan Sidney Morning Herald, 18 April 1952, mengutip kantor berita AAP. Kepada polisi yang memergokinya, dia berkata, “Pesta sudah berakhir. Saya tahu suatu waktu memang kalian akan menemukan saya.”*