Yayasan Jamiat Kheir di Jalan KH Mas Mansyur No. 17, Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEBUAH bangunan empat lantai berdiri kokoh di Jalan KH Mas Mansyur No. 17 Tanah Abang, Jakarta Pusat. Bercat kuning gading. Berkaca gelap. Ia diapit toko tekstil dan toko buku. Sebuah nama terpampang di dindingnya: Jamiat Kheir. Di tempat inilah orang-orang Hadrami memelopori gerakan pembaruan pendidikan Islam di Batavia.
“Gedung ini diresmikan tahun 1923,” ujar Syaugi Algadri (58), kepala lembaga non-akademik Jamiat Kheir. “Awalnya kan di Pekojan. Kemudian ada dermawan meminjamkan gedung yang lebih baik untuk kegiatan pendidikan di Tanah Abang. Karena itu pindah ke sini.”
Gedung ini menjadi kantor pusat Jamiat Kheir sekaligus Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Institut Pendidikan Islam.
Algadri, pria keturunan Arab, sudah lebih dari tujuh tahun mengelola Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah khusus untuk pelajar laki-laki. “Sekolah lainnya ada di Depok dan satu atau dua tahun lagi akan mendirikan pesantren di Sentul,” tuturnya.
SEBUAH bangunan empat lantai berdiri kokoh di Jalan KH Mas Mansyur No. 17 Tanah Abang, Jakarta Pusat. Bercat kuning gading. Berkaca gelap. Ia diapit toko tekstil dan toko buku. Sebuah nama terpampang di dindingnya: Jamiat Kheir. Di tempat inilah orang-orang Hadrami memelopori gerakan pembaruan pendidikan Islam di Batavia.
“Gedung ini diresmikan tahun 1923,” ujar Syaugi Algadri (58), kepala lembaga non-akademik Jamiat Kheir. “Awalnya kan di Pekojan. Kemudian ada dermawan meminjamkan gedung yang lebih baik untuk kegiatan pendidikan di Tanah Abang. Karena itu pindah ke sini.”
Gedung ini menjadi kantor pusat Jamiat Kheir sekaligus Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Institut Pendidikan Islam.
Algadri, pria keturunan Arab, sudah lebih dari tujuh tahun mengelola Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah khusus untuk pelajar laki-laki. “Sekolah lainnya ada di Depok dan satu atau dua tahun lagi akan mendirikan pesantren di Sentul,” tuturnya.
Meski usianya sudah tua, Jamiat Kheir tak membuka cabang di daerah sehingga menjadikannya lembaga pendidikan yang tergolong kecil. Namun, seperti ditulis Natalie Mobini-Kesheh dalam Hadrami Awakening, gerakan pendidikan yang dimulai Jamiat Kheir pada awal abad ke-20 “praktis memodernisasi elite Hadrami.”
Sebelumnya pendidikan Islam identik dengan gaya pendidikan di pesantren yang cenderung kuno. Di bawah kendali sekelompok elite Hadrami, Jamiat Kheir menawarkan sistem pendidikan yang jauh lebih modern dari segi infrastruktur sampai kurikulum.
Inspirasi Dua Majalah
Pada akhir abad ke-19, sebagaimana kelompok muslim berpendidikan di berbagai negeri, orang-orang Hadrami di Batavia tak luput dari pengaruh dua majalah berbahasa Arab terkemuka: Al Urwatul Wustqa dan Al Manar.
Al Urwatul Wustqa mulai terbit pada 12 Maret 1884 di Paris, Prancis. Pendirinya Jamaluddin Al Afghani, cendekiawan muslim kelahiran Iran yang diasingkan pemerintah Inggris karena doyan mengkritik semasa belajar di Mesir. Ketika Al Urwatul Wustqa berhenti terbit seiring meninggalnya Al Afghani, Muhammad Abduh menerbitkan Al Manar di Kairo, Mesir.
Kedua majalah itu begitu populer. Ide-ide pembebasan dan Pan Islamisme Al Afghani bersanding dengan semangat memurnikan ajaran Islam ala Abduh. Salah satu gagasan yang mendapat perhatian luas dari keduanya adalah pembaruan di bidang pendidikan. Umat Islam didorong mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum di samping pengetahuan agama.
Terinspirasi gagasan itu, orang-orang Hadrami di Batavia tergerak untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Berdirilah Jamiat Kheir secara diam-diam di Pekojan pada 1901. Mulanya bukan sebagai lembaga pendidikan, tetapi organisasi sosial karena pemerintah kolonial tak mengizinkan pendirian sekolah-sekolah swasta. Setelah mengajukan permohonan, pemerintah mengesahkan pendirian organisasi tersebut pada 17 Juni 1905.
Setahun setelah disahkan, pengurus Jamiat Kheir mengubah anggaran dasar dan mengajukannya kembali kepada pemerintah. Termaktub tambahan tujuan organisasi: “untuk membangun sekolah-sekolah hingga pelaksanaan pengajarannya.” Atas saran asisten residen Batavia yang melihat Jamiat Kheir tak memiliki tujuan politik dan maksud menghasut perlawanan, gubernur jenderal menyetujui perubahan itu.
Maka, sejak 24 Oktober 1906, Jamiat Kheir bergerak dalam bidang pendidikan. Namun, baru pada 1909 sekolah pertamanya dibuka di Pekojan.
Sekolah di Pekojan menampung banyak murid, yang datang dari Karawang, Bogor, Tangerang, Purwakarta, Banten, hingga Lampung. Mereka bersekolah tanpa dipungut biaya. Jamiat Kheir kemudian membuka sekolah dasar di Krukut, Bogor, dan Tanah Abang selama kurun 1911–1912.
Penambahan sekolah diikuti dengan upaya pengurus mendatangkan guru-guru dari luar negeri. Pada 28 April 1912, tibalah tiga orang guru baru: Mohamad Abdulhamid dari Makkah yang ditempatkan di Bogor, Mohamad Tayyib Al Maghrabi dari Maroko yang ditempatkan di Krukut, dan seorang ulama besar dari Sudan bernama Ahmad Surkati yang ditempatkan di Pekojan. Beberapa bulan kemudian datang lagi guru-guru dari Timur Tengah.
Guru-guru yang datang akrab dengan pemikiran pembaruan Islam di Timur Tengah. Tak heran jika dalam mengajar, mereka menekankan pengertian dan daya kritik, bukan lagi hafalan. Bukan hanya dalam pelajaran bahasa Arab sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam, tetapi juga mata pelajaran lain seperti ilmu bumi, berhitung, sejarah, bahasa Melayu, dan bahasa Inggris.
Pada 1913, Jamiat Kheir mendirikan perpustakaan di Tanah Abang. Di dalamnya terdapat koleksi majalah, suratkabar, dan buku-buku dari Timur Tengah. Perpustakaan itu dibuka untuk masyarakat umum. Di perpustakaan inilah, kata Aboebakar Atjeh dalam Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia, KH Ahmad Dahlan –kelak mendirikan Muhammadiyah– mulai mengenal bahan-bahan bacaan berupa buku dan majalah bernapaskan pembaruan Islam. Sayangnya, kini koleksi perpustakaan ini tak terjejaki.
Sebagai organisasi, perjalanan Jamiat Kheir ternyata tak memuaskan. Deliar Noer menulis dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942, enam tahun setelah berdiri, Jamiat Kheir tetap organisasi kecil dari segi jumlah anggota. “Dimulai kira-kira dengan 70 orang anggota, organisasi ini berkembang sangat lambat. Pada tahun 1915 tercatat kira-kira hanya 1.000 anggota,” tulis Deliar Noer.
Timbulnya Persaingan
Lima tahun setelah Jamiat Kheir membuka sekolah di Pekojan, Syekh Manggus, seorang kapten Arab, bersama sahabatnya mendirikan Madrasah Al Irsyad Al Islamiyah pada 1913, tetapi baru mendapat pengakuan pemerintah pada 11 Agustus 1914.
Sekolah ini, berlokasi di Jatibaru 124 Batavia, dibuka secara resmi pada 6 September 1914. Sebagai pengelola sekolah, didirikan organisasi Jamiat al-Islam wal Irsyad al-Arabia atau lebih dikenal dengan Al Irsyad pada 11 Agustus 1915. Sekolah ini kemudian dipimpin oleh Ahmad Surkati, yang dipecat dari Jamiat Kheir gara-gara memberikan fatwa yang mengabsahkan perkawinan antara seorang syarifah –putri dari golongan sayid– dengan pemuda muslim yang bukan sayid. Di bawah asuhan Surkati, Al Irsyad terus tumbuh dan berkembang.
Surkati memang fokus hanya mengembangkan pendidikan. “Pernah Raja Saudi meminta kesediaan Syekh Ahmad Surkati untuk menjadi perwakilan di Indonesia, tapi semua itu ditolak,” kata Zeyd Ammar (63), wakil sekretaris jenderal Al Irsyad. “Niat Syekh Ahmad Surkati hanya berkhidmat dalam bidang pendidikan dan dakwah.”
Surkati kerap berkunjung ke berbagai daerah untuk membujuk orang-orang, khususnya Arab, mendirikan cabang sekolah Al Irsyad. Dia juga mempromosikan anak didiknya untuk menjadi pengajar di cabang-cabang sekolah Al Irsyad. Bahkan, untuk menjaga kualitas pendidikan, Surkati membuat sendiri kurikulum yang dibagikannya kepada seluruh cabang Al Irsyad. Ini mendorong banyak orang, termasuk golongan sayid, rela memberikan bantuan dana untuk membiayai aktivitas Surkati dalam bidang pendidikan.
Dalam waktu singkat cabang-cabang sekolah Al Irsyad berdiri di berbagai kota, dari Tegal, Pekalongan, hingga Surabaya dan Lawang, Jawa Timur. Al Irsyad bahkan segera menyalip Jamiat Kheir.
Untuk menandingi Al Irsyad, orang-orang di Jamiat Kheir mendirikan Rabithah Alawiyah pada 16 Januari 1928. Tujuannya menjadi wadah berhimpun orang-orang golongan sayid. “Tapi pada perkembangan berikutnya, Rabhithah kemudian tampil sebagai organisasi massa,” ujar Syaugi Algadri. Kedudukan Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir kemudian diturunkan, berada di bawah kepengurusan Rabithah.
Rabithah melakukan banyak kegiatan sosial seperti memberi bantuan kepada fakir miskin. Darul Aytam, didirikan Rabithah pada 12 Agustus 1931, dan masih ada hingga kini, menjadi panti asuhan yang memberi bantuan kepada anak-anak yatim, khususnya dari golongan sayid. Tak pelak kegiatan pendidikan Jamiat Kheir tak berkembang.
Husain Haikal mengkritik orang-orang sayid atas kemandekan perkembangan pendidikan Jamiat Kheir. Tanpa banyak rintangan, Jamiat Kheir mestinya bisa mendirikan banyak cabang sekolah. “Sayangnya organisasi ini kemudian dimonopoli oleh golongan Sayid yang beku, dan berakibat kemunduran bila tidak kemandekannya,” kritik Haikal.
Syaugi Algadri punya alasan tersendiri. “Kebijakan pengurus Jamiat Kheir memang tidak membuka cabang di daerah-daerah lain,” ujar Algadri. “Tapi memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada alumni untuk membuka sekolah dengan memakai kurikulum khas Jamiat Kheir, tanpa menggunakan nama kita.”
Sejak awal, Jamiat Kheir memang menginspirasi lahirnya berbagai organisasi pendidikan serupa di berbagai kota. Sampai 1911, sekolah serupa Jamiat Kheir dibuka oleh Sama’il Huda di Pekalongan, Jam’iyyah Al Arabiyah Al Islamiyyah di Solo, Jam’iyyah Al Khairiyah Al Islamiyah di Surabaya. Kurikulum mereka meniru apa yang diterapkan di Jamiat Kheir. Maklum, orang-orang yang pernah belajar di Jamiat Kheir turut membantu pendirian organisasi-organisasi tersebut.
“Menjamurnya sekolah dan organisasi ini menunjukkan penyebaran seperti yang dicita-citakan oleh nahdah Hadrami,” tulis Natalie. Nahdah, berarti kebangkitan, adalah semboyan orang-orang Hadrami untuk menggapai kemajuan.
Tumbuhnya Sekolah Arab
Kehadiran sekolah-sekolah bagi orang-orang Arab sedikit memenuhi kebutuhan pendidikan orang-orang Arab. Namun, itu belum memadai, sementara pemerintah kurang memberikan perhatian.
Seiring penerapan kebijakan politik etis, pemerintah membangun sekolah-sekolah yang juga diperuntukkan bagi golongan Timur Asing, termasuk keturunan Arab. Namun, sentimen rasial kerap jadi batu penghalang.
Dalam Mengarungi Indonesia, Hamid Algadri berkisah bagaimana niat keluarga untuk memasukkannya ke sekolah Belanda bertepuk sebelah tangan, padahal dia berasal dari keluarga kapiten Arab nan terpandang di Pasuruan, Jawa Timur. Setelah kakeknya mengancam hendak mengembalikan tanda-tanda jasa pemberian pemerintah, barulah dia diterima di Eerste Europesche Lagere School (ELS) –setingkat sekolah dasar.
Di sisi lain, banyak orang Arab enggan mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah tersebut. Sentimen agama menjadi alasannya. “Sekolah yang didirikan pemerintah dianggap mengajarkan agama Kristen pada semua muridnya. Maka mereka umumnya yakin bahwa memasukkan anak-anaknya ke sekolah tersebut berarti sama saja dengan membiarkan anaknya masuk agama Kristen,” tulis Hoesein Alatas dalam “Sedikit Riwayat tentang Bangsa Arab dengan Westersch Onderwijs”, dimuat majalah Insaf, No. 2 tahun 1938.
Orang-orang Arab yang kaya akhirnya lebih memilih mengirimkan anak-anak lelakinya bersekolah ke Hadramaut yang mereka anggap sebagai tanah leluhur. Beberapa mengirimkan anaknya ke Turki yang dianggap sebagai pusat kekhalifahan Islam. “Meskipun demikian, sebagian besar anak Arab mendapat pendidikan di dalam keluarga,” tulis L.W.C. van den Berg dalam Orang Arab di Nusantara.
Kondisi itu mendorong Sayyid Ismail bin Abdullah Al Attas, seorang anggota Volksraad (Dewan Rakyat), getol mendesak pemerintah untuk mendirikan sekolah untuk orang-orang Arab pada 1918. Pemerintah akhirnya mengabulkan desakan itu. Sepuluh tahun kemudian, pemerintah mendirikan Hollandsch Arabische School (HAS) di Solo. Namun, HAS tak beroleh banyak peminat.
“Sampai 1940, hanya ada dua HAS milik pemerintah, berlokasi di Solo dan Surabaya, dengan jumlah siswa kurang dari tiga ratus anak Hadrami,” tulis Natalie. “Mayoritas anak Hadrami belajar di sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi pendidikan (sukarela) Hadrami.”
Di Surabaya, misalnya, ada sebuah sekolah Arab modern bernama Hadramaut School. Direkturnya Sayid Muhammad bin Hasyim, sastrawan sekaligus pemimpin Hadramaut Courant. “Sekolah ini dikatakan modern karena waktu itu murid-muridnya memakai celana dan diajarkan juga sastra Arab,” tulis Suratmin dalam Abdul Rahman Baswedan Karya dan Pengabdiannya. A.R. Baswedan, kelak menjadi tokoh politik Arab di Indonesia, pernah menimba ilmu sekaligus tinggal di asrama sekolah ini.
Gagasan mendirikan sekolah juga tumbuh di tempat lain. Di Palu, misalnya, Idrus bin Salim Al Djufrie, pria kelahiran Tarim, Hadramaut, mendirikan pesantren Al Khairaat pada 30 Juni 1930. Guru Tua, sapaan akrab Salim Al Djufrie, ikut mendirikan Rabithah Alawiyah di Solo pada 1928 sebelum pindah ke Sulawesi. Di bawah bimbingan Guru Tua, Al Khairaat menjadi sebuah lembaga pendidikan yang maju di kawasan Indonesia Timur. Bahkan, pada 1964 Al Khairaat mendirikan Universitas Islam di Palu.
Kini, Jamiat Kheir maupun Al Irsyad masih terus hidup meski perkembangan keduanya berbeda. Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir sekarang mengelola pendidikan setingkat Taman Kanak-Kanak sampai Aliyah di Jakarta Pusat, Depok, dan Sentul, meski jumlahnya tak seberapa.
Sementara Al Irsyad, yang memang lebih fokus soal pendidikan, memiliki banyak cabang dan terus melebarkan sayapnya. “Setidaknya ada 180 sekolah Al Irsyad di seluruh Indonesia. Dari Aceh sampai Keerom di Papua,” kata Zeyd Ammar. “Mereka mendapat kurikulum sesuai yang ditentukan Al Irsyad. Dulu bahkan kita bikin ijazah sendiri selain bikinan pemerintah.”
Sayangnya, hingga kini, Jamiat Kheir dan Al Irsyad hanya menyentuh pendidikan tingkat menengah. Jamiat Kheir memiliki Institut Pendidikan Tinggi meski jumlah peminatnya masih belum memuaskan. Sementara Pendidikan Tinggi yang pernah diupayakan Al Irsyad di Solo tak bertahan lama kemudian mati.
Keadaan ini dikritik Deliar Noer. “Kurangnya kemungkinan mengganti pemimpin dalam gerakan modern ini terutama disebabkan oleh ketidakmampuan mereka mendirikan suatu universitas”, katanya. “Universitas memang tidak menjamin adanya keberlanjutan kesuksesan lembaga pendidikan, namun lulusan universitas tentulah lebih dapat diharapkan daripada lulusan sekolah menengah.”*