Banteng Bersayap versus Garuda

Sebuah maskapai penerbangan swasta menantang monopoli Garuda Indonesia Airways.

OLEH:
Budi Setiyono
.
Banteng Bersayap versus GarudaBanteng Bersayap versus Garuda
cover caption
Ilustrasi: Betaria Sarulina

PESAWAT De Haviland Beaver mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta. Bercat warna putih, merah, dan hijau, dengan badan pesawat bertuliskan “Pioneer Aviation Corporation”. Dua penumpangnya turun dari pesawat.

Didampingi istrinya, R.A. Masturah, Adnan Kapau (A.K.) Gani terlihat sumringah. Di hadapan kerumunan orang, Gani yang berpakaian necis menyampaikan pidato singkat. Disusul pejabat dari Kementerian Perhubungan. Setelah itu acara ramah tamah.

“Tidak terlalu sulit. Tidak sulit untuk menambah jumlah pesawat dari tiga menjadi tigapuluh, atau dari tigapuluh menjadi seribu. Yang sulit adalah berkembang dari satu menjadi tiga, dan bahkan lebih sulit lagi dari tidak ada sama sekali menjadi satu,” ujar Gani.

Gani pantas senang. Setelah berjuang selama satu setengah tahun, Pioneer Aviation Corporation (PAC) mendapatkan izin beroperasi dari pemerintah. Pioneer menjadi maskapai penerbangan nasional kedua sekaligus maskapai swasta pertama di Indonesia. Dan Jumat siang itu, 27 Februari 1953, PAC diperkenalkan ke publik.

Beberapa wartawan kemudian menaiki Beaver, pesawat berkapasitas enam penumpang. Di kokpit, David Forman Fowler menggerakkan instrumen mesin. Lalu, pesawat pun lepas landas. Di udara, sesekali Fowler unjuk kebolehan yang membuat perut para penumpangnya mual-mual.

Pada malam harinya, sebuah resepsi digelar di Hotel des Indes Jakarta. Setelah sambutan R. Soegoto, kepala Jawatan Penerbangan Sipil Kementerian Perhubungan, Gani berpidato mengenai aspek pembangunan ekonomi di Indonesia dan perusahaan yang didirikannya. Dia mengatakan kesulitan terbesar yang dihadapi PAC adalah mendapatkan izin dari pemerintah. Kini, setelah kesulitan itu teratasi, dia yakin kemajuan akan dicapai.

“Kami minta bantuan dan dukungan dari masyarakat Indonesia dan luar negeri agar Pioneer Aviation Corporation dapat berfungsi dengan baik,” ujarnya.

“Kami percaya bahwa mulai sekarang Banteng Bersayap (yang lebih berat dari udara) akan terbang dengan kemuliaan di langit Indonesia.”

PESAWAT De Haviland Beaver mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta. Bercat warna putih, merah, dan hijau, dengan badan pesawat bertuliskan “Pioneer Aviation Corporation”. Dua penumpangnya turun dari pesawat.

Didampingi istrinya, R.A. Masturah, Adnan Kapau (A.K.) Gani terlihat sumringah. Di hadapan kerumunan orang, Gani yang berpakaian necis menyampaikan pidato singkat. Disusul pejabat dari Kementerian Perhubungan. Setelah itu acara ramah tamah.

“Tidak terlalu sulit. Tidak sulit untuk menambah jumlah pesawat dari tiga menjadi tigapuluh, atau dari tigapuluh menjadi seribu. Yang sulit adalah berkembang dari satu menjadi tiga, dan bahkan lebih sulit lagi dari tidak ada sama sekali menjadi satu,” ujar Gani.

Gani pantas senang. Setelah berjuang selama satu setengah tahun, Pioneer Aviation Corporation (PAC) mendapatkan izin beroperasi dari pemerintah. Pioneer menjadi maskapai penerbangan nasional kedua sekaligus maskapai swasta pertama di Indonesia. Dan Jumat siang itu, 27 Februari 1953, PAC diperkenalkan ke publik.

Beberapa wartawan kemudian menaiki Beaver, pesawat berkapasitas enam penumpang. Di kokpit, David Forman Fowler menggerakkan instrumen mesin. Lalu, pesawat pun lepas landas. Di udara, sesekali Fowler unjuk kebolehan yang membuat perut para penumpangnya mual-mual.

Pada malam harinya, sebuah resepsi digelar di Hotel des Indes Jakarta. Setelah sambutan R. Soegoto, kepala Jawatan Penerbangan Sipil Kementerian Perhubungan, Gani berpidato mengenai aspek pembangunan ekonomi di Indonesia dan perusahaan yang didirikannya. Dia mengatakan kesulitan terbesar yang dihadapi PAC adalah mendapatkan izin dari pemerintah. Kini, setelah kesulitan itu teratasi, dia yakin kemajuan akan dicapai.

“Kami minta bantuan dan dukungan dari masyarakat Indonesia dan luar negeri agar Pioneer Aviation Corporation dapat berfungsi dengan baik,” ujarnya.

“Kami percaya bahwa mulai sekarang Banteng Bersayap (yang lebih berat dari udara) akan terbang dengan kemuliaan di langit Indonesia.”

A.K. Gani bersama istri (Masturah) dan David F. Fowler di dalam pesawat Pioneer (Koleksi Museum Dr. A.K. Gani)

Di Balik Pioneer

A.K. Gani punya catatan cemerlang dalam beragam urusan; sebagai dokter, aktivis pergerakan, politisi, aktor film, tokoh militer, hingga pengusaha. Dia pernah menduduki jabatan mentereng seperti wakil perdana menteri, menteri kemakmuran, hingga gubernur militer Sumatra Selatan. 

Gani juga terbiasa menangani perkara sulit. Pada masa revolusi, dia menyelundupkan candu dan senjata untuk kepentingan perjuangan sehingga dijuluki “Raja Penyelundup” dan “The Great Smuggler of South East Asia”. Jaringan penyelundupannya membentang dari kota pelabuhan dan pantai di Sumatra dan Jawa hingga Singapura, Penang, Bangkok, Manila, dan Hongkong. Ketika terbang ke Manila, dia bertemu dengan David Fowler, pilot kelahiran Texas, Amerika Serikat. 

Fowler punya karier panjang di dunia penerbangan. Setelah berlatih sebagai teknisi pesawat dan mengambil lisensi pilot, dia terbang ke Pasifik, Australia, dan Asia Tenggara selama Perang Dunia II. Setelah itu, selagi bekerja sebagai pilot Pacific Overseas Airways Siam Limited (POAS) yang bermarkas di Bangkok, dia menjalankan misi-misi berbahaya dengan menembus blokade Belanda untuk membantu perjuangan Indonesia. Fowler kemudian menjadi penasehat pemerintah Indonesia mengenai penerbangan.

Gani dan Fowler punya kesamaan pandangan: wilayah Indonesia yang luas membutuhkan sarana penghubung yang efisien. Mereka sepakat mendirikan perusahaan penerbangan.

Menurut G.I. Priyanti Gani (58 tahun) atau biasa disapa Yanti, keponakan yang diangkat anak oleh A.K. Gani dan kini menjabat kepala Museum Dr. A.K. Gani di Palembang, ada tujuan lain yang hendak dicapai. Gani ingin Sumatra punya pesawat untuk mengangkut hasil bumi. Dan yang terpenting lagi, “pertama menyaingi KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij), kedua kepengin jangan ada monopoli Garuda.”

Untuk merealisasikannya, Gani mengajak rekannya semasa revolusi. Dia adalah Abundjani, bekas komandan militer di Jambi yang beralih jadi pengusaha. Abundjani adalah direktur NV Handel Maatschappij Masurai, sebuah perusahaan ekspor-impor dengan kantor pusat di Jalan Batanghari Jambi dan kantor cabang utama di Jalan Kongsi Tiga Jakarta. 

Selain itu, Gani menggandeng saudagar-saudagar kaya asal Sumatra. Mereka adalah August Musin Dasaad, konglomerat asal Lampung kelahiran Sulu Filipina dan direktur Dasaad Musin Concern di Jakarta serta sekelompok pengusaha yang tergabung dalam Perseroan Persatuan Dagang Indonesia (Persdi) di Padang. 

Jalinan bisnis dengan mereka sudah terjalin lama. Pada 1946, Gani terlibat dalam Bangking and Trading Company (BTC), perusahaan yang didirikan pemerintah. Gani dan Dasaad pernah bekerjasama dalam BTC.

Pada tahun yang sama, Gani mendirikan Nusantara Malaya-Singapore Company (Namsoco), yang ganti nama jadi Sumatra Banking and Trading Corporation (SBTC). SBTC menjalin hubungan dengan Persdi, yang di dalamnya juga tergabung Dasaad Moesin Concern. 

“Jadi orang-orang kaya dari beberapa daerah itu dikumpulkan untuk membikin suatu usaha (maskapai penerbangan),” ujar Yanti.

Dengan modal Rp4 juta, mereka mendirikan maskapai penerbangan pada 2 Agustus 1951. Pencatatan dilakukan di Kantor Notaris Mr. Nicolaas Auguts Mispelblom (N.A.M.) van Altena di Jalan Nusantara 34 Jakarta. Gani tak bisa hadir sehingga diwakili Abundjani, yang juga bertindak atas nama Masurai. Sementara Persdi diwakili saudagar Nasroen Angkat Soetan.

Dalam anggaran dasarnya, Pioneer bermaksud mengusahakan penerbangan di seluruh Indonesia dan luar negeri; pelayanan, pemeliharaan dan pemeriksaan pesawat; pengembangan sekolah dan perkumpulan penerbangan; penerbangan kontrak atau charter; hingga menyewa dan membikin mesin terbang.

Pada 10 Agustus 1951, A.F. Schut dari Kantor Notaris selaku kuasa Pioneer mengajukan permohonan izin kepada pemerintah. 

Namun permohonan izin itu ditolak dengan alasan akta pendirian tak memuat pengangkatan pengurus. Sejatinya, susunan pengurus sudah ada tapi dihilangkan dalam akta pendirian karena belum ada kesepakatan di antara para pendiri. 

Maka, pada 29 Oktober 1951, Gani dan para pendiri Pioneer mendatangi Kantor Notaris. Mereka bersepakat menunjuk Abundjani dan Fowler sebagai direktur; A.K. Gani, Dasaad, dan Harmon sebagai komisaris; serta A.K. Gani sebagai presiden komisaris. Setelah itu berita acara pun dibuat.

Tak diketahui siapa Harmon. Dalam akta pendirian hanya disebutkan, Fowler terpilih sebagai representasi pemegang saham B (hanya boleh dimiliki orang asing), sementara yang lain mewakili pemegang saham A (hanya boleh dimiliki orang Indonesia). Semua yang ditunjuk, kecuali Harmon yang tak hadir dalam rapat, menerima pengangkatan masing-masing.

Kendati akta pendirian sudah direvisi, Pioneer masih harus melewati awan tebal. Permohonan izin ditolak pemerintah. Para pendiri Pioneer pun menggelar pertemuan di kantor Dasaad. 

“Apa yang harus kita lakukan,” tanya Dasaad kepada Gani.

“Kita harus terus berjuang.”

A.K. Gani bersama istri, David Fowler, dan Abundjani di depan pesawat Pioneer. (Koleksi Museum Dr. A.K. Gani)

Monopoli GIA

KAMIS malam, 15 November 1951. Dalam sebuah konferensi pers, David Fowler selaku technical managing director Pioneer mengungkapkan penolakan pemerintah atas permohonan izin Pioneer yang disampaikan sehari sebelumnya oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta kepada A.K. Gani. 

Penolakan ini, menurut Fowler, didasarkan atas kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan KLM, perusahaan penerbangan Kerajaan Belanda, mengenai pembentukan Garuda Indonesia Airways (GIA) –lebih dikenal dengan sebutan kontrak GIA.

Fowler melontarkan kekecewaannya. Menurutnya, pemerintah punya hak untuk memberikan konsesi serupa, atau bahkan dengan syarat yang lebih menguntungkan, kepada pihak ketiga. 

“Kami telah memenuhi persyaratan tersebut,” kata Fowler, dikutip Java Bode 16 November 1951, “tetapi keragu-raguan dalam masalah ini terlihat jelas dari tanggapan atas permintaan izin kami yang berulang kali, yang kemudian secara resmi ditolak karena ‘alasan politik’.”

Fowler juga menyebut Belanda berusaha mempertahankan monopoli, yang mengancam kedaulatan dan keamanan Indonesia. “Di dunia ini adalah unik bahwa perusahaan asing mewakili penerbangan sipil di sebuah negara yang berdaulat.” 

GIA didirikan oleh pemerintah Indonesia (waktu itu Republik Indonesia Serikat) dan KLM pada 31 Maret 1950. Menurut John Orval Sutter dalam Indonesianisasi: Politics in a Changing Economy, 1940-1955, di bawah Perjanjian Keuangan dan Ekonomi yang dicapai di Den Haag Belanda, konsesi sebelum perang tetap diakui. Namun, sebagai ganti konsesi lama, disepakati pemberian konsesi selama 30 tahun dan hak monopoli kepada GIA. 

Kedua pihak juga sepakat berbagi saham, namun pemerintah Indonesia punya hak untuk mengakuisisi saham mayoritas setelah 10 tahun. Untuk mempersiapkan personel Indonesia, KLM menjalankan operasional sekaligus memberikan pelatihan intensif. Sebagai direktur utama GIA ditunjuk Emile van Konijnenburg. 

Penolakan izin Pioneer memang berdasar. Dalam kontrak GIA terdapat klausul mengenai konsesi. Disebutkan, pemerintah tak akan memberikan konsesi untuk layanan transportasi udara sipil terjadwal kepada pihak ketiga kecuali setelah berkonsultasi dan mencapai kesepakatan dengan GIA.

Kendati demikian, Menteri Perhubungan Djuanda Kartawidjaja, yang ikut menandatangani kontrak GIA, membantah pernyataan Fowler. “Penolakan pemberian konsesi penerbangan kepada Pioneer Civil Aviation Company Ltd. sama sekali bukan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan KLM, melainkan pada kebijakan yang diikuti oleh Kementerian Perhubungan,” kata Djuanda dalam jumpa pers, dikutip Het Nieuwsblad voor Sumatra 19 November 1951. 

Di sisi lain penolakan itu didasari pertimbangan bahwa persaingan bisa merugikan GIA. Namun Djuanda menepis anggapan adanya monopoli GIA. Pemerintah, kata Djuanda, dapat memberikan konsesi kepada maskapai lain asalkan kondisinya lebih baik dan KLM tak mampu mempertahankan GIA pada kondisi tersebut. Djuanda juga menyampaikan rencana pemerintah untuk mempersingkat masa kontrak dengan KLM. 

Hampir setahun berlalu, izin Pioneer menggantung. Namun Gani dan sejawatnya belum menyerah. Mereka mencoba alternatif lain: maskapai penerbangan tak terjadwal.

Opsi penerbangan tak terjadwal memang memungkinkan. Kendati demikian, monopoli GIA tetap jadi penghalang. 

Dalam kontrak GIA terdapat klausul yang menyebut bahwa pemerintah tak akan memberikan konsesi untuk layanan angkutan udara sipil tak terjadwal kepada pihak ketiga sebelum GIA diberi kesempatan untuk mengajukan syarat-syarat. Jika persyaratan ini tak dapat diterima, menteri memberi tahu GIA mengenai persyaratan yang dapat diterima pemerintah. Jika GIA tak dapat menerima persyaratan ini, konsesi tak akan diberikan kepada pihak ketiga dengan persyaratan yang lebih menguntungkan daripada yang diajukan GIA.

Para pendiri Pioneer membawa masalah ini ke Seksi Perhubungan Parlemen. Dalam argumen mereka, kontrak yang memberikan monopoli kepada GIA itu inkonstitusional. Sebab, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dengan tegas menolak monopoli, tulis De Volksrant 6 November 1952.

Pemerintah akhirnya mengubah pendirian mengenai Pioneer dan bersiap untuk memberikan izin penerbangan tak terjadwal. 

Atas perubahan sikap pemerintah, pada 15 November 1952, Abundjani selaku managing director Pioneer mengirimkan surat kepada Djuanda dan mendapatkan balasan surat No. 813/418 tertanggal 10 Desember 1952. Isinya: “pemerintah Republik Indonesia memang bersedia akan memberikan izin kepada perseroan terbatas Pioneer Aviation Corporation tersebut, sesudahnya perseroan ini telah memperoleh pengesahan dari pejabat yang berwajib untuk menjalankan pengangkutan udara atas dasar non-scheduled.”

“Dasar non-scheduled itu berarti bahwa tiap-tiap pengangkutan hanya diizinkan menurut dinas yang tidak tertentu, selanjutnya bahwa dalam memberikan itu pemerintah harus memperhatikan beberapa syarat-syarat yang ada karena suatu perjanjian antara pemerintah dan KLM.”

Para pendiri Pioneer pun merevisi anggaran dasarnya di Kantor Notaris pada 5 Januari 1953. Maksud pendirian Pioneer diubah, antara lain dengan penekanan pada “mengusahakan, memperkembang dan menyelenggarakan pengangkutan penerbangan sipil menurut dinas yang tidak tertentu (non-scheduled).” 

Perubahan juga dilakukan terhadap komposisi kepemilikan saham. Termasuk klausul mengenai kemungkinan pemerintah Indonesia memiliki sebagian saham Pioneer. 

Akhirnya, setelah revisi anggaran dasar disetujui Kementerian Perhubungan, Pioneer memperoleh Penetapan Menteri Kehakiman tertanggal 19 Januari 1953 No. J.A. 5/8/23. 

<div class="my-slider1"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62bd9ac7b572c948d225af96_1.jpg"><div class="caption-slider">Dr. Adnan Kapau Gani membacakan sambutan pada acara resepsi peresmian Pioneer Aviation Corporation di Hotel Des Indes, Jakarta, 27 Februari 1953. (ANRI)</div></div><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62bd9ac7ec3f0e06a1d66dc1_2.jpg"><div class="caption-slider">Dr. Adnan Kapau Gani menerima tamu pada acara resepsi peresmian Pioneer Aviation Corporation di Hotel Des Indes, Jakarta, 27 Februari 1953. (ANRI)</div></div><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62bd9ac7ecff6a12ea029e72_3.jpg"><div class="caption-slider">A.K. Gani berpidato dalam acara resepsi peresmian Pioneer Aviation Corporation di Hotel Des Indes, Jakarta, 27 Februari 1953. (Java-Bode, 28 Februari 1953)</div></div></div>

Mengangkut Bahan Mentah

SEGERA setelah mendapatkan izin, manajemen Pioneer menggelar konferensi pers. Dilansir De Locomotief 2 Februari 1953, A.K. Gani mengatakan perusahaannya mulai beroperasi paling lambat Maret dengan pesawat Beachcraf dan Beaver. Mereka melayani penerbangan ke Jakarta, Serang, Tanjung Karang (Lampung), Bengkulu, dan Padang.

Kendati mulai dari kecil-kecilan, kata Gani, kita akan buktikan bahwa orang Indonesia mampu mengelola maskapai penerbangan. Pioneer awalnya melayani penerbangan lokal tapi ke depan diperluas antarpulau dan kemudian penerbangan internasional.

Sementara Fowler mengatakan, sebagian besar pekerjaan dilakukan personel Indonesia. Hanya kapten yang orang asing, sedangkan sisanya orang Indonesia. Jumlah pesawat juga ditambah di masa depan.

Pada akhir Februari 1953 Pioneer memperkenalkan diri ke publik, melakukan “penerbangan wisata” untuk wartawan, dan mengadakan resepsi di Hotel des Indes, Jakarta. Maskapai berlambang banteng bersayap ini pun siap beroperasi.

Kenapa banteng bersayap? 

Ada yang mengira Pioneer punya kaitan dengan Pioneer Air Lines, sebuah maskapai penerbangan di Amerika. Setidaknya menurut pandangan Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka dalam catatan perjalanannya Empat Bulan di Amerika (1954). 

Pada 1952, Hamka menerima undangan dari pemerintah Amerika. Ketika dari New Mexico menuju Dallas, negara bagian Texas, dia naik pesawat Pioneer Air Lines. “Ketika Dr. A. K. Gani mendirikan maskapai penerbangan Pioneer di sini, dan saya lihat memakai simbol banteng, teringatlah saya akan kongsi Pioneer di Amerika yang juga memakai simbol banteng dari sapi zaman kuno (bison) yang terdapat dalam ukiran-ukiran zaman purbakala yang ada di Amerika. Persamaan nama dan persamaan lambang ini tentu akan menimbulkan syak wasangka orang pula, kalau kongsi ‘nasional merdeka’ ini dibelanjai oleh kongsi Amerika!” tulis Hamka.

Tampaknya ini sebuah kebetulan semata. Pioneer Air Lines didirikan tahun 1939 dengan nama Essair. Ia berubah nama jadi Pioneer Air Lines pada 1946 dan kemudian diakuisisi oleh dan bergabung dengan Continental Airlines pada 1955. 

Ada pula yang mengaitkannya dengan afiliasi politik A.K. Gani, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berlambang banteng. Saat menjabat gubernur militer Sumatra Selatan, Gani juga membuat uang ringgit perak yang dinamakan “uang stabilisasi” dengan desain gambar banteng.

Apapun itu, Gani tahu jalan banteng bersayap takkan mudah. Butuh keberanian, ketangguhan, dan sikap pantang menyerah laksana banteng.

Untuk beroperasi, Pioneer harus menerima persyaratan-persyaratan yang tak ringan. Soegoto, kepala Jawatan Penerbangan Sipil, mengatakan Pioneer diberi izin penyelenggaraan angkutan udara dengan syarat tak bersaing dengan GIA. Pioneer juga hanya boleh melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak atau belum dilakukan oleh GIA. Dengan kata lain, Pioneer melakukan “kegiatan tambahan”. Syarat tersebut telah diterima oleh Pioneer, ujar Soegoto dikutip Java-Bode, 4 April 1953.

Selain itu, untuk setiap penerbangan, Pioneer harus minta izin kepada Jawatan Penerbangan Sipil. Aturan ini, kata Soegoto, bukan hanya berlaku untuk Pioneer tapi juga Caltex dan Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), misalnya, yang memiliki pesawat sendiri. Untuk alasan keselamatan, peralatan dan pilot Pioneer pun harus terlebih dahulu disetujui oleh Jawatan Penerbangan Sipil.

Dengan kantor pusat di Jalan Kongsi Tiga 14, Jakarta, manajemen Pioneer mulai bekerja. Penambahan modal dilakukan dengan melepas sisa saham. Untuk saham A diambil Indonesian Malayan Trading Coy, Soetan Sjamsam Co., Suharto Jososudarmo, Soetopo, dan Kasman Singodimedjo. Saham B, yang sebagian sudah diambil Fowler, masih belum terjual. Sementara daftar pemegang saham C lebih panjang lagi.

Kegiatan penerbangan pun dilakukan. Pada Maret 1953, pesawat Beaver dicarter oleh Dasaad Moesin Concern untuk mengangkut tekstil dari Kantjil Mas di Bangil, Jawa Timur, ke Jakarta demi memenuhi order pemerintah. Pada April, Pioneer mengadakan penerbangan wisata di atas kota Medan. Lalu, pada September, selain ikut memeriahkan Pekan Raya Indonesia, Pioneer membuka penerbangan Solo-Jakarta pulang-pergi untuk memudahkan pengunjung datang ke Pekan Raya.

Kendati kondisi Aceh lagi tak aman, Pioneer melakukan penerbangan dari Medan ke Kutaraja untuk keperluan pemerintah. Penerbangan nasional yang sesungguhnya, kata kepada Indonesia Raya 28 September 1953, harus merasa berkewajiban untuk memberikan bantuan sebesar-besarnya kepada pemerintahnya dalam masa darurat. 

Pada 1954, Pioneer membuka layanan dari Jakarta ke Lampung dan Palembang. Terutama melayani pengangkutan bahan-bahan mentah dari Sumatra untuk kepentingan ekspor.

Selain itu, pesawat-pesawat Pionner disewa untuk beragam kebutuhan. Dipakai NV Biro Karpi milik Herling Laoh, eks menteri pekerjaan umum RIS, untuk pengintaian udara di atas lahan rawa di Palembang yang akan dibangun sawah dan irigasi. Digunakan Paramount Films of Indonesia untuk menjatuhkan selebaran film Shane dan Universal-Internasional untuk film The Mississippi Gambler.

“Dari Tuan D. F. Fowler, yang berada di belakang kemudi, kami mengetahui bahwa PAC mengoperasikan penerbangan charter khusus untuk perusahaan film tapi juga untuk kepolisian dan berbagai kementerian. Manajemen Pioneer Aviation Corporation sedang melakukan pembicaraan dengan Kementerian Agama untuk melakukan pengangkutan haji ke Mekkah tahun ini,” tulis Nieuwsgier, 28 April 1954.

Pengangkutan haji, yang sebelumnya menggunakan kapal laut, merupakan peluang besar yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Pesawat Pioneer Aviation Corporation di Bandara Talang Betutu, Palembang, Sumatra Selatan, yang menarik perhatian otoritas militer dan sipil. (De Nieuwsgier, 14 April 1953)

Penerbangan Haji

SEJAK 23 Juni 1953, dengan persetujuan Kementerian Agama, Pioneer menawarkan kesempatan pergi ke Tanah Suci pulang-pergi dengan pesawat. Mereka memasang iklan di sejumlah suratkabar. Bagi yang berminat, cukup mendaftar sebelum 15 Juli 1953 di Kantor Kementerian Agama bagian Urusan Haji di Jakarta.

Kementerian Agama sendiri sudah menerbitkan Pengumuman No. 11 tahun 1953 tentang Pergi Hadji dengan Menumpang Kapal Terbang. Pengumuman ini dikeluarkan untuk menjawab permohonan banyak pihak dengan maksud mendapatkan izin (kuota) istimewa.

Kementerian Agama sudah menegaskan tak ada kuota istimewa dan pendaftaran haji sudah ditutup. Namun bagi mereka yang sudah mendaftar dan memenuhi syarat, “tengah diusahakan agar supaya keinginan mereka terlaksana dan menunggu kepastiannya.” 

Namun kendala menghadang. Upaya Pioneer membuka penerbangan haji tak beroleh restu dari Kementerian Perhubungan. 

Kementerian Agama kemudian menerbitkan Pengumuman No. 13 tahun 1953 tentang Pembatalan Naik Hadji dengan Kapal Terbang. Pengumuman itu menyebutkan, GIA tak dapat menyediakan pesawat untuk haji tahun ini. Maskapai ini justru kekurangan pesawat untuk kebutuhan di Indonesia. Pioneer menyatakan bersedia “akan tetapi minta pembayaran dengan dollar, yang tak dapat dipikul oleh pemerintah.” 

Kementerian Agama menyarankan calon jemaah haji untuk menggunakan kapal laut dan menghubungi Panitia Haji Indonesia (PHI) Pelabuhan. 

Upaya Pioneer seolah terkubur begitu saja. Tapi kenyataan berkata lain.

Indonesia Raya, 29 Juni 1953

Musim haji tahun 1953 diikuti 14.000 orang. Untuk pengangkutannya, pemerintah mempercayakan kepada Inaco, salah satu perusahaan pelayaran nasional terbesar kala itu. Inaco menyiapkan sejumlah kapal miliknya maupun sewaan seperti Bintang Samudera, East Way, Mayon, Suriento, Djakarta Raya, dan Seven Seas

Djakarta Raya dan Seven Seas merupakan kapal terakhir yang akan mengangkut calon jemaah haji dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Karena waktu yang mepet, kedua kapal tersebut tak bisa menjemput ke pelabuhan Surabaya dan Semarang. Pemerintah akhirnya mengangkut calon jemaah haji ke Jakarta dengan keretaapi.

Rombongan tiba di Jakarta sesuai rencana. Mereka langsung naik kapal yang sandar di Pelabuhan II Tanjung Priok.

Pada 27 Juli 1953, sekira pukul 18.15, kebakaran terjadi di ruang mesin kapal Seven Seas akibat korsleting listrik. Para penumpang panik. Mereka berebut turun dari kapal untuk menyelamatkan diri. Rukelah dari Jombang, Jawa Timur, melompat ke laut. Dia berhasil diselamatkan dan dilarikan ke rumah sakit karena pingsan dan luka-luka. 

Sekira pukul 19.30, api bisa dipadamkan. Seluruh penumpang, yang berasal dari Jawa Timur, selamat. Hanya beberapa menderita luka ringan. Untuk sementara mereka ditempatkan di gudang XII milik S.M. Nederland (loods 10) di Pelabuhan II Tanjung Priok dan kemudian dipindahkan ke asrama-asrama PHI di Jakarta.

Keberangkatan Seven Seas, kapal milik Carribean Land & Shipping Corp dari Swiss dengan registrasi Panama, pun ditunda. Lebih dari seribu calon jamaah haji terlantar.

Pemerintah mendekati komisaris tinggi Belanda untuk minta mediasi dengan perusahaan pelayaran Belanda. Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) akhirnya menyediakan kapal pengganti Camphuys dan penyelenggaraannya diserahkan kepada Kongsi Tiga. 

Camphuys mengangkut seribu orang, bertolak ke Jeddah pada 29 Juli 1953, dan tiba tepat waktu. Namun masih ada ratusan lainnya yang masih terlantar.

Pemerintah memikirkan alternatif lain. R.H. Soeriadilaga, kepala Bidang Haji Kementerian Agama, mendekati KLM. Namun KLM tak dapat mendukung prinsip pemerintah yang membolehkan perjalanan ke Jeddah dengan mata uang rupiah. Dia kemudian mendatangi kantor GIA. Jawaban yang diterima: tidak bisa, karena untuk dalam negeri saja GIA kekurangan pesawat. Pilihan terakhir adalah Pioneer.

Indonesia Raya, 10 Agustus 1953

Pada 30 Juli, pejabat dari Kementerian Agama dan Kementerian Perhubungan menanyakan kesanggupan Pioneer untuk mengangkut calon jemaah haji dan tiba di Jeddah sebelum tengah malam tanggal 15 Agustus. 

Manajemen Pioneer menjawab akan berusaha sekuat-kuatnya. Mereka kemudian menghubungi Civil Air Transport (CAT), sebuah maskapai penerbangan Tiongkok-Nasionalis di Taiwan –belakangan diketahui milik Badan Intelijen AS (CIA) dan pernah digunakan untuk mendukung PRRI/Permesta di Sumatra. Menurut Alfred T. Cox dalam “Clandestine Services History Civil Air Transport (CAT) A Proprietary Airline 1946-1955”, empat pesawat C-46 disediakan untuk perjalanan pulang-pergi Jakarta-Jeddah.

Setelah mendapat kepastian pesawat, manajemen Pioneer mengabarkan kepada Kementerian Agama mengenai kesanggupannya. Pertemuan pun digelar dengan pejabat dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Agama, dan PHI Pusat di kantor Kementerian Perhubungan pada 1 Agustus, pukul 10.00. 

Dilansir Indonesia Raya, 3 Agustus 1953, pertemuan berlangsung sekitar satu setengah jam. Disepakati bahwa Pioneer mengangkut 285 calon jemaah haji; terdiri dari 277 calon jemaah haji yang gagal naik Seven Seas dan enam orang yang telah mendaftar naik kapal terbang. Adapun dua kursi kosong diberikan kepada calon jemaah haji dari Jawa Tengah yang terlambat membayar ongkos haji dengan cara diundi. 

Pada 2 Agustus, hanya 72 jam setelah permintaan bantuan dari pemerintah kepada Pioneer, dua pesawat CAT tiba di Kemayoran. Dua hari kemudian calon jemaah haji diberangkatkan ke Jeddah. Pesawat pertama meninggalkan Kemayoran pukul 8.30 dan yang kedua pukul 10-00. Menteri Agama KH Masjkur melepas keberangkatan. Rombongan terakhir berangkat pada 11 Agustus. Di antara para penumpang terdapat Soeriadilaga dan Djuanda, mantan Menteri Perhubungan.

“Inilah untuk pertama kalinya secara besar-besaran jemaah haji diangkut dengan pesawat udara ke Tanah Suci,” tulis Indonesia Raya, 4 Agustus 1953.

Perjalanan haji berlangsung sukses. Jemaah haji kembali ke Tanah Air dengan selamat. Salah satu pesawat CAT tiba di Kemayoran pada akhir Agustus 1953 dengan membawa tokoh-tokoh terkemuka seperti Djuanda, Kepala Jawatan Reserse Pusat Sosrodanukusumo, dan Germania Soriadiradja dari Kementerian Perhubungan. Mereka membawa sebuah kotak besar berisi hadiah permadani dari Raja Ibnu Saud dari Arab Saudi untuk Presiden Sukarno. Bersama A.K. Gani, hadiah tersebut diserahkan kepada Sukarno.

Atas kesuksesan penerbangan haji ini, manajemen Pioneer memasang iklan ucapan terima kasih kepada sejumlah pihak. 

<div class="my-slider2"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62bea874d17b9159b16cf10a_10.jpg"><div class="caption-slider">Suasana pemberangkatan haji di Bandara Kemayoran Jakarta. (Mimbar Penerangan, Tahun IV No. 8, Agustus 1953)</div></div><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62bea87adf4e9351da7cb674_11.jpg"><div class="caption-slider">Menteri Agama KH Masjkur (mengangkat tangan) memberikan sambutan dihadapan jamaah haji dengan pesawat Pioneer Aviation Corporation di Kemayoran (ANRI)</div></div><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62bea87e470c338252514079_Group%203972_1.jpg"><div class="caption-slider">Suasana masa kini di gedung bekas bandara kemayoran jakarta pusat. (Fernando Randy/Historia.ID)</div></div></div>

 

Polemik Haji

PENERBANGAN haji oleh Pioneer rupanya meninggalkan masalah. Pemberangkatan rombongan pertama tidak berjalan mulus. Waktu persiapan yang hanya 1x24 jam membuat pemberangkatan sedikit terlambat. 

Pioneer mengalami kesulitan karena belum memiliki meja dan alat timbangan. Mereka berusaha meminjam dari KLM dan GIA tapi ditolak. Begitu pula permintaan untuk meminjam tangga naik pesawat, kuli angkut, dan bantuan agen-agen KLM di tempat-tempat transit. Beruntung, Jawatan Angkutan Udara AURI mengulurkan bantuan dengan meminjamkan tangga dan tujuh pekerja pengangkut barang.

Kesulitan yang dialami Pioneer mendapat sorotan media. Indonesia Raya 5 Agustus 1953 menurunkan tajuk rencana berjudul “Konijnenberg mau kemana?”. Mereka menyentil KLM dan GIA yang menghalangi penerbangan haji “dengan berbagai-bagai akal yang tidak masuk akal lagi.” Padahal pemberangkatan haji dengan Pioneer sepenuhnya atas persetujuan pemerintah, yang juga pemilik sebagian saham GIA.

“Dalam kebutaannya yang takut melihat konkurensi Pioneer terhadap kepentingan-kepentingan penerbangan Belanda (KLM) di negeri ini, Konijnenberg pada hemat kita telah melewati batas-batas yang patut!” tulis Indonesia Raya.

“Kedudukan Konijnenberg dan KLM dalam GIA telah bertambah-tambah mendesak untuk ditinjau dan dikoreksi kembali dengan secepat-cepatnya.”

Reaksi bermunculan. Menteri Perhubungan Abikusno Tjokrosujoso menyatakan kejadian itu tak perlu terjadi jika Pioneer terlebih dulu berhubungan dengan GIA. J. H. Crans, kepala perwakilan KLM di Indonesia, menyatakan tak ada permintaan dari Pioneer untuk memberikan bantuan di Kemayoran atau pelayanan penumpang (ground handling).

Manajemen GIA juga menyatakan tak pernah dimintai bantuan oleh siapa pun dari Pioneer. Namun Konijnenburg, direktur GIA, kemudian menyebut adanya permintaan dari Germania Soriadiradja dari Kementerian Perhubungan untuk memberikan bantuan di sepanjang rute yang dilalui pesawat Pioneer, yang tak mungkin bisa dilakukan karena waktunya mepet.

Abundjani angkat bicara. Dia mengatakan, ketika hari pertama pemberangkatan haji, pihaknya telah mendatangi wakil GIA di Kemayoran untuk meminta bantuan. Namun mendapat jawaban harus meminta izin dulu dari Konijnenburg. Kemudian ketika ditanya lagi, dijawab tak ada izin untuk memberikan bantuan kepada Pioneer. 

GIA menyerang balik Pioneer. Mereka mengatakan, dikutip Het Nieuwsblad voor Sumatra 13 Agustus 1953, “PAC telah gagal mengambil langkah-langkah persiapan paling dasar untuk pelaksanaan penerbangan haji.”

Sahetapy Engel, ketua Fraksi Demokrat di Parlemen yang juga komisaris pemerintah di GIA, ikut memanaskan suasana. Dia mengatakan pemerintah melanggar kontrak GIA karena mempercayakan transportasi haji kepada Pioneer tanpa menawarkan atau memberitahu terlebih dahulu kepada GIA –pernyataan yang kemudian dibantah pemerintah. Sahetapy bilang GIA sanggup mengangkut jemaah haji seperti halnya mengangkut eks kombatan Pakistan ke Karachi.

Sukiman, Djuanda, Sujudi, Sosrodanuksumo yang naik haji dengan pesawat Pioneer bersama A.K. Gani mengunjungi Presiden Sukarno untuk menyampaikan hadiah permadani dari Ibnu Saud. (Indonesia Raya, 15 September 1953).

Sahetapy juga mengatakan pemerintah telah melakukan “tindakan tidak bersahabat” terhadap negara sahabat, yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Sebab, pesawat yang disewa Pioneer bertanda Formosa (Taiwan), negara musuh RRT dan tak diakui oleh pemerintah Indonesia.

Selain itu Sahetapy mempertanyakan biaya tambahan sebesar £20 dari £70 untuk setiap jemaah haji. Soal ini, pemerintah menyatakan biaya tersebut dipakai untuk membantu pembayaran pengangkutan dengan pesawat terbang dari Pioneer. “Pengambilan itu diizinkan oleh pemerintah dengan persetujuan dari yang berkepentingan sendiri (jemaah),” ujar pemerintah dalam jawaban atas pemandangan umum Parlemen pada 2 September 1953.

£70 adalah ongkos hidup di Hijaz dan didasarkan atas perhitungan jemaah haji berada di Tanah Suci selama dua bulan jika berangkat dengan kapal laut. Jika dengan pesawat, mereka berada di Tanah Suci hanya sebulan. Maka, menurut perhitungan, £50 dapat mencukupi kebutuhan mereka.

Suratkabar Indonesia Raya menyentil Sahetapy, politisi Ambon yang pernah menjadi anggota Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) dan Parlemen RIS dari Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO).

“Sahetapy Engel yang dulu amat mengabdi pada Belanda itu, rupanya masih tetap tidak bisa meninggalkan kebiasaannya yang lama, dan mati-matian mau bela kepentingan KLM (Belanda) dalam GIA,” tulis Indonesia Raya 29 Agustus 1953 melalui kolom pojok “Mas Klujur”.

“Mas Klujur” juga menyoroti pengangkutan eks serdadu Pakistan. Saat itu Pioneer menawarkan 195.000 rupiah tapi baru bisa melakukannya setelah penerbangan haji. Karena waktu mendesak, GIA diminta memulangkan mereka, dan minta bayaran tidak kurang dari 600.000 rupiah. 

Mengenai pesawat CAT, kalau Sahetapy mau jalan-jalan di Tanjung Priok, dia bisa lihat kapal barang dari Formosa, berbendera Formosa. “Kenapa Engel tidak protes? Kenapa Engel tidak protes Indonesia beli beras dari Formosa? Karena dalam hal ini kepentingan KLM tidak tersinggung?” 

Kendati menimbulkan polemik, penerbangan haji mendapat apresiasi. Kepala Bidang Haji Kementerian Agama R.H. Soeriadilaga mengatakan pengangkutan haji dengan pesawat sangat praktis. Perjalanan pulang-pergi bisa dipersingkat. Kendati ada yang harus disempurnakan, katanya dikutip Indonesia Raya 2 September 1953, pelayanan dapat dikatakan memuaskan. 

Namun impian banyak orang untuk naik haji dengan pesawat harus terkubur kembali –terpenuhi tahun 1955 oleh GIA. Begitu pula harapan Pioneer maupun CAT meraih cuan. 

CAT melihat peluang penerbangan haji Indonesia. Namun, tulis Alfred T. Cox, karena sikap keras kepala dari beberapa pejabat Indonesia dan kesulitan valuta asing, CAT mengesampingkan gagasan itu. “Pembayaran untuk penerbangan haji tertunda lama.”

Hal yang sama dialami Pioneer. “Pemerintah mengapresiasi penerbangan ini yang sebagian biayanya Rp.660.000 masih harus dibayar,” ujar Abundjani, dikutip Het Nieuwsblad voor Sumatra 7 Juli 1955. 

Sukiman, Djuanda, Sujudi, Sosrodanuksumo yang naik haji dengan pesawat Pioneer bersama A.K. Gani mengunjungi Presiden Sukarno untuk menyampaikan hadiah permadani dari Ibnu Saud. (Sumber: Indonesia Raya, 15 September 1953)

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/maskapai-pionir/Maskapai-Pionir-Fix.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/maskapai-pionir/Maskapai-Pionir-Fix.mp4"></video></div>

Pioneer vs Garuda

POLEMIK haji merupakan momentum yang tepat bagi A.K. Gani untuk meraih perhatian lebih luas terkait kebijakan transportasi udara. Dia menulis sebuah artikel berjudul “GIA versus Pioneer, Perusahaan Kolonial Lawan Perusahaan Nasional” yang dimuat di suratkabar Merdeka, Indonesia Raya, dan Berita Indonesia pada 27 Agustus 1953.  

Gani menyebut pertikaian antara Pioneer dan GIA “sudah meningkat ke taraf perang.” Maka, satu-satunya jalan, perselisihan ini mesti dilihat dari sudut politik nasional, berdasarkan kepentingan Indonesia dan bukan kepentingan modal asing Belanda.

Dalam artikelnya, Gani menjabarkan delapan poin penting plus kesimpulan terkait GIA. Dari hal-ihwal perusahaan negara campuran, manajemen, asal-usul dan pembelian alat-alat, pelayanan, keuntungan untuk kas negara, aspek keamanan nasional, dan kewajiban Parlemen. 

Menurut Gani, monopoli transportasi udara oleh GIA melanggar kontrak GIA. Politik transportasi semestinya juga tidak ditentukan oleh perusahaan penerbangan setengah resmi seperti GIA. Tapi, yang mengherankan, pemerintah meminta nasehat dan izin dahulu dari direksi GIA tentang soal-soal penerbangan. 

“Apakah ini buktinya pemerintan Indonesia berdaulat merdeka dan berkuasa? Direksi Garuda (i.e. Mr. Konijnenburg) mendiktekan Kementerian Perhubungan apa yang mesti dikerjakan.”

Selain itu, Gani mengulik manajemen GIA yang dipegang oleh KLM. Akibatnya, GIA dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan politik Belanda dan KLM. Dari segi strategis militer, apalagi Indonesia tengah memperjuangkan Irian Barat, ini sangat berbahaya. 

“Sudah menjadi rahasia umum,” tulis Gani, “bahwa pada waktu sekarang adalah satu sarang terbesar di Indonesia dari kakitangan NICA dan kolonne kelima Belanda.”

Judul artikel yang ditulis oleh A.K Gani tentang perseteruannya dengan G.I.A di koran Indonesia Raya (Indonesia Raya)

Gani berharap pemerintah bertindak selaras dengan keinginan rakyat Indonesia. “Jangan seperti kebijaksanaan sekarang, memperlakukan sesuatu perusahaan nasional sebagai anak tiri dan sesuatu perusahaan koloniaal (de facto GIA satu perusahaan KLM Belanda) sebagai anak mas.”

Segera saja tulisan Gani yang bernada keras menuai polemik. Sahetapy Engel kembali unjuk suara. Dia menganggap Gani menghina pemerintah dan rakyat Belanda, yang mengabdi kepada Indonesia. Dia berharap pemerintah mengambil tindakan. 

Direksi GIA menanggapi dengan pernyataan, dilansir Indonesia Raya 31 Agustus 1953: “terdapatlah di dalamnya menurut pendapat kami sejumlah tuduhan dan insinuasi terhadap pemerintah Indonesia dan KLM.”

GIA membantah mendikte Kementerian Perhubungan. Menurut GIA, penentu kebijakan perusahaan adalah dewan komisaris, yang diketuai seorang wakil Indonesia. Dengan demikian kekuasaan GIA dipegang oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah juga memegang kekuasaan penuh atas penetapan rute, lapangan terbang, frekuensi penerbangan, serta tarif. 

Mengenai tudingan sebagai kakitangan NICA, GIA menjawab: “Tuduhan sekasar itu dengan sendirinya harus dipikul oleh Dr. Gani sendiri yang mungkin harus bertanggung jawab kepada hakim dalam sebuah negara hukum seperti Republik Indonesia.” 

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo juga membantah bahwa Kementerian Perhubungan didikte oleh direksi GIA. Pernyataan ini disampaikan dalam jawaban pemerintah atas pemandangan umum babak pertama mengenai soal perhubungan di hadapan Parlemen pada awal September 1953. Namun pemerintah tak mau ikut campur dalam perselisihan antara Pioneer dan GIA.

Kementerian Perhubungan mencoba mendudukkan persoalan dengan menyiarkan pengumuman kenapa GIA harus didahulukan. Dilansir Indonesia Raya 2 September 1953, ketika mendirikan GIA, pemerintah menyanggupi untuk memberi kesempatan terlebih dulu kepada GIA untuk mengadakan pengangkutan udara sebelum izin diberikan kepada perusahaan partikelir. Soal ini tercantum dalam konsesi yang diberikan kepada GIA. Dengan demikian, pemerintah (Kementerian Perhubungan) jelas pula dalam memberikan izin berusaha kepada Pioneer.

“Sebagai negara hukum yang menentang segala tindakan yang bertentangan dengan hukum, maka pemerintah tidak dapat menyimpang dari apa yang telah ditetapkan.”

A.K. Gani bereaksi dengan mengirim surat kepada kepala Jawatan Penerbangan Sipil tertanggal 22 September. Dia menyebut gambaran yang diberikan dalam pengumuman itu pincang, khususnya mengenai status Pioneer yang telah mendapat izin dari pemerintah. 

“Jika pemerintah menganggap sudah pada tempatnya untuk menyerahkan kekuasaannya kepada suatu perusahaan asing (KLM) untuk menentukan sesuatunya politiek-beleid penerbangan Indonesia, maka kami dari PAC mendesak kepada pemerintah menarik kembali izin yang telah diberikan kepada PAC,” tulis Gani, dikutip Indonesia Raya, 2 Oktober 1953.

Serikat Buruh Penerbangan (SBP) sependapat dengan Gani. Atas nama SBP, Mudakir Pradjasasmita menyebut kontrak RIS/KLM mengecewakan. Sebab, manajemen GIA 100% di tangan KLM (Belanda). SBP sudah berulangkali meminta agar kontrak tersebut ditinjau kembali dan nasionalisasi GIA dipercepat. 

“Soalnya GIA ini banyak berputar di pemerintah sendiri yang kurang atau mungkin tidak menaruh perhatian sepenuh-penuhnya,” ujar Mudakir dalam tulisan di Indonesia Raya, 8 September 1953.

Gani memang berhasil mengangkat isu GIA ke permukaan. Tapi penyelesaian yang diharapkannya tidaklah meraih hasil. Dia justru harus berhadapan dengan hukum dengan dakwaan pencemaran nama baik. 

Konijnenburg mengajukan gugatan ke Kejaksaan. Dia menganggap tulisan Gani sebagai tuduhan-tuduhan tidak benar, mencoreng kehormatan dan nama baik manajemen GIA. 

Jaksa Tinggi Sunarjo menunjuk Jaksa Notosusanto dari Kejaksaan Pengadilan Negeri Jakarta untuk membuat proses-verbal dan melakukan pemeriksaan atas perkara ini. 

Pada September 1953, Konijnenburg dan C.A. Mochtar, masing-masing sebagai direktur dan wakil direktur GIA, memenuhi panggilan Kejaksaan untuk dimintai keterangan. Setelah itu giliran Gani sebagai presiden direktur Pioneer. 

Namun kasus ini tampaknya menguap begitu saja. Bahkan Gani dan Konijnenburg kerap sama-sama hadir dalam acara penting. Misal pada acara pelepasan Arnold Mononutu sebagai dutabesar Indonesia untuk Tiongkok. Begitu pula saat menyambut kedatangan De Havilland Heron, satu dari 14 pesawat yang dibeli GIA, di Kemayoran.

Gani bukanlah politisi kemarin sore. Selain dekat dengan Sukarno, dia politisi senior PNI, partai yang mendominasi kabinet. Di sisi lain, Kabinet Ali Sastroamidjojo tengah bergerak menasionalisasi GIA.

Pada 12 Juli 1954, KLM melepaskan seluruh sahamnya kepada pemerintah Indonesia. Isu pergantian direktur GIA pun berhembus. Banyak kalangan menyebut Gani sebagai kandidat dari PNI yang berpeluang besar menggantikan Konijnenburg. Tapi akhirnya yang ditunjuk adalah Ir. Soetoto. Sementara untuk Gani, posisi yang lebih prestisius menanti.

Satu dari dua bus merek White yang dibeli tahun 1953 untuk memenuhi kebutuhan operasional Pioneer (Koleksi Museum Dr. A.K. Gani)

Sepah Dibuang

BAGI manajemen Pioneer, nasionalisasi GIA ibarat pintu gerbang kemerdekaan. Mereka berharap bisa bergerak lebih leluasa, tanpa batasan-batasan yang membelit operasi mereka. Syukur-syukur bisa mengoperasikan penerbangan terjadwal sesuai anggaran dasar pertama mereka. Perihal itulah yang disampaikan Abundjani kepada Menteri Perhubungan Roosseno Soerjohadikoesoemo dalam suratnya tertanggal 21 April 1954.

Sudah setahun lebih, tulis Abundjani, Pioneer terkatung-katung, karena pemerintah terpaksa menaati perjanjian dengan KLM. Tak sedikit biaya yang sudah dikeluarkan. 

“Kami yakin bahwa pemerintah sekali-sekali tidak akan melanjutkan politik monopoli seperti yang dijalankan oleh KLM selama mereka menguasai GIA guna menekan perusahaan nasional partikelir dari warga negaranya sendiri,” tulis Abundjani.

Abundjani berharap pemerintah memperkenankan Pioneer beroperasi sesuai anggaran dasarnya –dalam surat, entah sengaja atau tidak, Abundjani mengutip maksud pendirian Pioneer dalam anggaran dasar pertama. Selain itu memberi kemudahan bagi Pioneer mendapatkan devisa untuk pembelian pesawat, suku cadang, dan pembayaran gaji ahli-ahlinya. 

Secara tersirat, Abundjani juga mengajukan usulan. Dia menyebut tentang politik penerbangan nasional, di mana perhubungan primer diselenggarakan oleh GIA sedangkan perhubungan sekunder dan tambahan yakni rute pengumpan atau perintis (feeder-lines), sewa (charters), dan penerbangan khusus (special flights) diserahkan kepada usaha nasional partikelir.

Surat tersebut mendapat sambutan. Tiga hari kemudian, Abunjani bersama Gani diterima Roosseno dan Soegoto. Pembicaraan berlangsung dari pukul 08.15 sampai 08.45. Hasil pertemuan, sebagaimana tertulis dalam notulen rapat dan juga surat Pioneer kepada Parlemen, tidak menggembirakan.

Roosseno menyebut, dengan nasionalisasi GIA, perhubungan udara diselenggarakan oleh pemerintah. Dan pemerintah tak menghendaki persaingan. 

Roosseno menambahkan, Pioneer diakui pemerintah hanya untuk memberikan tekanan kepada KLM agar mengubah kontrak. Setelah tujuan itu tercapai, Pioneer tak dibutuhkan lagi. Bahkan Roosseno mengusulkan Pioneer ditutup. Bila tetap beroperasi, Pioneer tak boleh memperbesar pesawat terbangnya, baik dalam ukuran maupun jumlah. 

Pioneer juga tak boleh mengangkut kargo pada jalur-jalur yang dijalankan pemerintah karena menyaingi GIA. Kemudian Pioneer dilarang melakukan penerbangan Jakarta-Tanjung Karang yang akan diselenggarakan oleh GIA –baru terealisasi tahun 1956. 

Roosseno berjanji memberikan ketegasan secara tertulis setelah mengadakan pembicaraan dengan Seksi Perhubungan Parlemen.

Manajemen Pioneer kecewa. Dengan masih adanya pembatasan, tak mungkin bagi Pioneer untuk melakukan operasi komersial yang berhasil. Maka, mereka mengadu ke Parlemen. Dalam surat tanggal 19 Juli 1954, mereka menyesalkan sikap pemerintah yang, dikutip Merdeka 2 Agustus 1954, “seolah-olah bersikap ibarat kata ‘habis manis sepah dibuang’.” 

Manajemen Pioneer menambahkan, tidak pada tempatnya jika pemerintah mencontoh Belanda yang memberi monopoli kepada GIA. Sebab, ada cukup ruang di udara Indonesia untuk dua maskapai penerbangan yang berbeda, yakni GIA dan Pioneer. Mereka mengusulkan Pioneer beroperasi khusus untuk pengangkutan barang, sedangkan GIA untuk pengangkutan penumpang. 

Serah terima Kementerian Perhubungan dari Ali Sastroamidjojo kepada A.K. Gani, 19 November 1954. (Perpustakaan Nasional )

Mereka juga mengusulkan agar pemerintah menjual atau menyewakan Dakota lama (C-47) milik GIA kepada Pioneer. Menurut mereka, pesawat-pesawat itu masih dapat dipakai 5 atau 10 tahun. 

Mereka beralasan, GIA telah membeli 14 pesawat De Havilland Heron dan 16 Convairs yang tidak cocok untuk angkutan barang. Di sisi lain GIA berencana mengurangi pengangkutan barang sehingga menjual enam C-47 dan bermaksud menjual yang lainnya ((Pada Mei 1954, Indonesia Raya mempersoalkan kenapa GIA menjual enam Dakota lama ini ke Pacific Aircraft Corporation Los Angeles, dan bukan ke Pioneer). Selain itu, mulai 1 Juli 1954, Dinas Angkutan Udara Militer (DAUM) dari AURI telah mengurangi penerbangan sekira 75%. 

Manajemen Pioneer kemudian melakukan dengar pendapat dengan Seksi Perhubungan Parlemen pada 5 Agustus 1954. Gani kembali menyampaikan apa yang sudah diuraikan dalam surat kepada Parlemen. 

Dikutip Indische Courant voor Nederland 19 Agustus 1954, ketua Seksi Perhubungan Parlemen menyatakan belum bisa mengambil keputusan. Mereka ingin mendapatkan informasi lengkap mengenai seluruh operasi Pioneer, kesulitan yang dihadapi, dan jalan keluarnya. Setelah itu mereka akan mengadakan konferensi kerja dengan Menteri Perhubungan Roosseno.

Permintaan itu dipenuhi manajemen Pioneer. Melalui surat kepada Parlemen tertanggal 10 Agustus 1954, mereka membeberkan soal pembatasan operasi, kesulitan mendapatkan flight-clearance (izin terbang), devisa, hingga penerbangan pesawat-pesawat Pioneer. Bahkan Kapolri Soekanto Tjokrodiatmodjo harus minta izin GIA untuk terbang dengan Pioneer dalam penerbangan yang tak disanggupi oleh GIA. “Ini adalah merupakan suatu ancaman bagi keamanan Indonesia.”

Manajemen Pioneer menekankan bahwa mereka tak menentang pemerintah. Mereka menentang monopoli GIA. Indonesia seharusnya memiliki lebih dari satu perusahaan penerbangan. Untuk itu mereka mengajukan tiga usul kepada pemerintah.

Pertama, Pioneer menjadi perusahaan penerbangan tak terjadwal, sedangkan GIA menjadi perusahaan penerbangan terjadwal satu-satunya di Indonesia. 

Kedua, pemerintah membagi penerbangan penumpang dan barang. GIA melayani penumpang, sedangkan Pioneer untuk muatan dan barang. Untuk itu, Pioneer minta diizinkan membeli atau menyewa C-47. 

Ketiga, pemerintah membagi jalur penerbangan di Indonesia antara GIA dan Pioneer berdasarkan atas dinas penerbangan tertentu (terjadwal). Kedua perseroan juga diperbolehkan mengadakan penerbangan charter istimewa di sepanjang jalur penerbangan manapun di Indonesia maupun luar negeri.

Menurut Pioneer, usul mana pun yang dipilih pemerintah, mereka minta jaminan tertulis dari pemerintah untuk menjalankan operasi secara adil dan seimbang dengan GIA, memperoleh devisa, izin impor, visa dan izin bagi pegawai asing, serta izin perseroan asing untuk memasukkan modal.

Perjuangan Pioneer akhirnya meraih dukungan Parlemen. Pada 4 November 1954, Seksi Perhubungan Parlemen mengirimkan surat kepada Kementerian Perhubungan. Isinya meminta pemerintah mengambil keputusan tegas terkait posisi Pioneer dengan mengambil satu dari dua opsi. 

Pertama, tetap memberikan izin kepada Pioneer dan kesempatan untuk menyelenggarakan usaha angkutan udara dengan kelonggaran izin pengangkutan barang-barang tertentu dan lain-lain. Kedua, menarik kembali izin yang diberikan kepada Pioneer dan pemerintah mengganti kerugian, membeli pesawat-pesawatnya, saham-sahamnya, dan lain-lain.

Surat Parlemen tak langsung mendapat tanggapan dari pemerintah. Sebab, terjadi perubahan formasi di tubuh Kabinet Ali Sastroamidjojo. Roosseno meletakkan jabatan pada 23 Oktober 1954. Tugasnya sementara dipegang oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Tak lama A.K. Gani kemudian ditunjuk sebagai menteri perhubungan pada 19 November 1954.

Bagaimana A.K. Gani memutuskan nasib perusahaan penerbangannya sendiri?

A.K. Gani sebagai menteri perhubungan (Koleksi Museum Dr. A.K. Gani)

Pengakuan atas Pengakuan

SEHARI sebelum A.K. Gani dilantik sebagai menteri perhubungan, sebuah pertemuan digelar oleh dewan direksi Pioneer. Mereka membicarakan dan menerima pengunduran diri A.K. Gani sebagai presiden direktur Pioneer.

Dalam pertemuan dibahas pula masa depan Pioneer. Kementerian Perhubungan belum memberikan jawaban atas surat yang dikirimkan Parlemen. Namun dengan suara bulat mereka setuju tak akan menekan A.K. Gani sebagai menteri untuk memberikan jawaban langsung mengenai status Pioneer. 

Mereka memberikan waktu lima bulan bagi A.K. Gani untuk mengumpulkan fakta dan informasi yang cukup sebelum memberikan jawaban: “apakah ada ruang untuk lebih dari satu perusahaan penerbangan sipil di Indonesia? Jika ada, (yang selalu terbukti) akankah Pioneer diberi kesempatan yang adil untuk beroperasi?”

Setelah pertemuan itu, tak terbayangkan bahwa Pioneer masih harus menghadapi situasi sulit. Sementara menunggu keputusan pemerintah, Pioneer semakin hari semakin merugi. Pengeluaran berlanjut. Hutang meningkat. Hal ini terlihat dari hasil audit yang dilakukan Kantor Akuntan W. Postema yang beralamat di Jalan Tosari, Jakarta.

Abundjani dan Fowler telah meminta Kantor Akuntan W. Postema untuk memeriksa pembukuan Pioneer tahun 1953. Hasil audit, yang dilaporkan 22 Desember 1954, menunjukkan bahwa pada 1953 Pioneer mengalami kerugian sebesar Rp 1.709.885,74. Ini belum dihitung gaji anggota direksi, pilot, dan mekanik McCallum dan Inggals yang belum dibayar. Jika ditotal kerugian mencapai sekira Rp 2.050.000.

“Dari jumlah rugi sampai dengan 31 Desember 1953 sebagian besar digunakan untuk ‘ongkos pendirian’, ‘mendapatkan hak-hak dan pengakuan’, dan juga untuk propaganda. Kekayaan-kekayaan ini, yang tidak bersifat kebendaan, menurut kami mungkin menjadi kekayaan yang bernilai tinggi. Penghargaan ini ialah tidak bisa ditetapkan objektif dari sebab itu kekayaan-kekayaan ini tidak dimasukkan dalam neraca sementara.”

Kondisi itulah yang mendorong manajemen Pioneer kembali menemui Parlemen. Pada 6 Desember 1954, mereka menemui K.H. Tjikwan, tokoh Masyumi asal Palembang yang jadi ketua Seksi Perekonomian Parlemen, untuk mendapatkan informasi mengenai posisi Pioneer. Kepada kantor berita PIA, dikutip De Vrije Pers 7 Desember 1954, Tjikwan mengatakan pihaknya harus terlebih dulu mempertimbangkan posisi A.K. Gani sebagai menteri perhubungan sebelum mengambil keputusan.

Tak lama Asraroedin dari Partai Buruh yang juga ketua Seksi Perhubungan Parlemen menyoroti posisi Pioneer yang “dibekukan”. Dia minta ketegasan pemerintah. Dia berencana menggelar rapat kerja dengan A.K. Gani untuk membahas posisi dan niat pemerintah mengenai Pioneer.

A.K. Gani berada dalam posisi sulit. Karena ada konflik kepentingan, dia tak mau mengambil keputusan apapun terkait Pioneer. Ini antara lain ditunjukkan ketika dihubungi J. Sibarani, sekretaris Dewan Ekonomi dari Sumatra.

Sibarani mengeluhkan kekurangan ruang kapal KPM untuk ekspor hasil pertanian dan kehutanan dari Tapanuli dan Aceh. Sebagai jalan keluar, dia mengusulkan penambahan jumlah pesawat Pioneer. A.K. Gani hanya menjawab, dikutip Algemeen Indisch Dagblad: de Preangerbode, 10 Januari 1955, perkembangan Pioneer akan disesuaikan dengan kebijakan pemerintah.

A.K. Gani akhirnya menemukan jalan keluar. Dia mendorong terbentuknya Dewan Penerbangan, yang digodok Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pertahanan sejak 1952. Dewan Penerbangan, dibentuk melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 tahun 1955, bertugas mengkoordinasi soal-soal penerbangan sipil dan militer serta memberi nasehat kepada pemerintah tentang soal-soal penerbangan pada umumnya.

Namun, manajemen Pioneer tak bisa menunggu lebih lama lagi. Pada 6 April 1955, mereka mengirimkan memo dalam bahasa Inggris kepada A.K. Gani. Memo ditandangani Abundjani selaku managing director dan Fowler sebagai technical managing director dengan subjek: keputusan pemerintah atas Pioneer Aviation Corporation.

Isi memo penuh nostalgia. Mereka mengingatkan kepemimpinan A.K. Gani dalam memperjuangkan Pioneer, sejak terbentuk hingga diizinkan beroperasi, mengalami kesulitan dan diskriminasi. 

“Anda meminta agar Pioneer diberi kesempatan yang adil dan setara untuk beroperasi, dan tidak boleh ada diskriminasi lagi terhadap Pioneer. Anda meminta agar masalah ini diselesaikan selekas mungkin, karena semakin lama menunggu semakin sulit posisi Pioneer,” tulis memo tersebut.

“Pada tanggal 19 November 1954 (hanya lebih dari satu bulan setelah argumen kuat Anda atas nama Pioneer di Parlemen) Anda dilantik sebagai menteri perhubungan, sehingga memberi Anda kekuasaan untuk menjalankan kebijakan Anda sendiri di bidang transportasi dan perhubungan. Anda juga memikul tanggung jawab untuk memberikan jawaban (dalam waktu sesingkat-singkatnya) kepada Parlemen atas surat mereka – Keputusan No. 2/R/4/S.IV 54, kepada Menteri Perhubungan.”

Saya belum mendapatkan balasan surat dari A.K. Gani. Tapi tampaknya A.K. Gani tetap bergeming dan menyerahkan persoalan ini ke Dewan Penerbangan.

Kondisi Pioneer terkatung-katung. Manajemen Pioneer pun menggelar konferensi pers di Jakarta. Dikutip Het Nieuwsblad voor Sumatra 7 Juli 1955, Abundjani mengatakan Pioneer yang diakui pemerintah sebagai maskapai charter dan tak berjadwal nyatanya tidak diakui. Pengakuan resmi datang, tapi Pioneer kesulitan mendapaatkan valuta asing, hanya diperbolehkan terbang di tempat-tempat di mana GIA tak memiliki, dan penerbangan charter harus meminta izin 2x24 jam sebelumnya. Pioneer menginginkan keputusan pemerintah. Yang dibutuhkan hanyalah pengakuan atas pengakuan. 

Dalam sebuah surat pernyataan, yang naskah aslinya dimiliki Museum Dr. A.K. Gani, manajemen Pioneer mengingatkan bahwa Pioneer diberi izin beroperasi sebagai penerbangan tak terjadwal karena pemerintah harus mematuhi kontrak KLM/GIA. Karena kontrak GIA sudah diakhiri dengan nasionalisasi, secara teoritis tak ada lagi pembatasan terhadap Pioneer. “Pembatasan satu-satunya saat ini adalah Pioneer tidak bisa terbang atas dasar terjadwal.”

Dasar persetujuan pemerintah untuk Pioneer masih tetap sama. Namun, kebijakan individu-individu di dalam pemerintahan menyebabkan banyak kesulitan yang harus dihadapi Pioneer selama dua tahun lalu. Perintis maupun perusahaan mana pun tak bisa menjalankan operasi komersial yang berhasil. Itulah alasan kenapa Pioneer membawa persoalan ini ke Parlemen.

“Kami harus tahu apakah pemerintah akan mengizinkan Pioneer untuk beroperasi secara komersial yang adil atau apakah kami akan terus dihalang-halangi oleh individu-individu dan seluruh departemen di pemerintahan.”

“Lisensi untuk beroperasi tidak ada artinya jika pemerintah tidak mendukung lisensi itu dengan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk memungkinkan perusahaan tersebut beroperasi. Ini seperti memberi seseorang sebuah Cadilac kemudian mengatakan kepadanya bahwa dia ingin diizinkan mengemudikannya.”

Dalam pernyataan itu, Pioneer kembali membeberkan beberapa cara yang dilakukan individu-individu di pemerintahan untuk “membunuh Pioneer”. Di sisi lain, mereka juga menyebut ada banyak individu di dalam maupun di luar pemerintahan yang mau bekerjasama dan memberikan dukungan penuh.

“Karena dukungan ini dan keyakinan kami bahwa ada ruang untuk, dan kebutuhan untuk perusahaan penerbangan lain di Indonesia, kami bertanya kepada Parlemen… untuk memberikan kami sebuah jawaban, apakah Pioneer diinginkan dan dibutuhkan? Jika keputusannya adalah Ya, kami harus mendapatkan jaminan bahwa kami akan diizinkan untuk menjalankan operasi kami secara adil dan tanpa diskriminasi.”

Keluhan Pioneer mendapat tanggapan dari F.A.P Pitoi dari Persatuan Indonesia Raya (PIR) yang menjabat ketua Seksi Perhubungan Parlemen. Pitoi mengatakan pemerintah tak mengubah sikapnya mengenai Pioneer setelah nasionalisasi GIA. Padahal dulu pemerintah berpendapat penyelesaian definitif akan dilakukan setelah nasionalisasi GIA. Nyatanya menteri perhubungan lain punya pendapat lain, yang berakibat sama bagi Pioneer, yaitu pengakuan bahwa tak ada pengakuan.

Pitoi mengatakan Seksi Perhubungan Parlemen tak ingin mendukung Pioneer tapi mengakui pentingnya lebih banyak koneksi udara. Pemerintah harus membuat keputusan mengenai posisi Pioneer. Kata Pitoi, Menteri Perhubungan A.K. Gani mengatakan dia menunggu keputusan Dewan Penerbangan. Sementara Parlemen menunggu tanggapan pemerintah atas suratnya tahun lalu.

Saya belum menemukan informasi apakah A.K. Gani memberikan jawaban kepada Parlemen maupun Pioneer. Kabinet Ali Sastroamidjojo I sendiri jatuh pada 24 Juli 1955 dan digantikan Kabinet Burhanuddin Harahap. Maka, berakhir pula peran A.K. Gani sebagai menteri perhubungan.

Namun, tampaknya pemerintah memutuskan tetap memberikan kesempatan kepada Pioneer untuk mengoperasikan penerbangan tak terjadwal. Dalam beberapa kesempatan, Menteri Perhubungan Suchjar Tedjasukmana menekankan perluasan jaringan udara di Aceh dan wilayah timur yang berbatasan dengan Papua. Jika GIA tak bisa menyediakan, jalur ini akan dioperasikan oleh maskapai swasta. Dia minta Pioneer membuka layanan udara di Aceh.

AK Gani saat mengecek pesawat Pioneer di salah satu lapangan terbang Indonesia. (Koleksi Museum Dr. A.K. Gani)

Tenggelam di Balik Awan

SEBUAH rapat digelar Dewan Direksi Pioneer di rumah Dasaad pada 9 Maret 1956. Dibahas kebutuhan mendesak untuk mempekerjakan pilot berpengalaman sehingga bisa menangani operasi di Sumatra Utara dengan baik. 

Sebagai tindak lanjut, Fowler mengirim memo dalam bahasa Inggris tertanggal 23 April 1956. Isinya meminta persetujuan Dewan Direksi untuk menggunakan dana Rp50.000 demi memenuhi kebutuhan personel (mekanik dan pilot), peralatan, dan perlengkapan bengkel Pioneer di Kemayoran. 

“Ini sekarang menjadi kebutuhan absolut karena saya tak lagi mampu melakukan semua penerbangan dan perawatan atas operasi itu,” tulis Fowler.

Dalam lampirannya, Fowler menyertakan daftar perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan untuk bengkel Pioneer di Kemayoran. “Bengkel ini dan mekanik kita kemudian dapat menggunakan untuk servis dan perawatan pesawat milik Klub Penerbangan, swasta, polisi, Air Attaches (Atase Perhubungan Udara), dan Transient Operations (pesawat transit).”

Dalam memo, Fowler juga mengutarakan bahwa Kepolisian punya dua pesawat terbang, Cessna 100 dan Aero Commander 560A. Dia telah setuju membantu mereka untuk mendirikan Air Wing. “Ini adalah hasrat saya untuk membangun Air Wing dan Pioneer bersama-sama atas dasar kooperatif,” tulis Fowler. 

Fowler masih optimis dengan masa depan Pioneer. Dia masih antusias mengembangkan Pioneer. Sementara para pendiri Pioneer lainnya punya banyak kesibukan. 

Abundjani punya kesibukan tambahan sebagai direktur Perusahaan Motor Indonesia (Permorin), nasionalisasi dari NV Fuchs & Rens yang didirikan di Amsterdam pada 1835 dan membuka kantor di Jakarta pada 1903.

A.K. Gani sibuk sebagai anggota Konstituante, kemudian sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), mewakili Palembang.

Tapi perannya di Pioneer tetap dibutuhkan. Dia juga masih mendapat undangan rapat. Pada 23 Januari 1957, misalnya, A.K. Gani diundang rapat Pioneer di Jakarta. Sayangnya, belum ditemukan apa yang dibicarakan dalam rapat tersebut. 

Kendati lebih banyak beroperasi di Sumatra, Pioneer mencoba bertahan. Buku 20 Tahun Indonesia Merdeka Volume VI terbitan Departemen Penerangan tahun 1965 menyebut Pioneer menggunakan tenaga-tenaga penerbang bangsa asing dan pesawat jenis Heron, Beaver, dan Twin-Pioneer. “Kalau dilihat dari namanya, perusahaan tersebut benar-benar bertindak sebagai usaha pioneer (pemula) dari bangsa Indonesia di luar P.N. Garuda dalam dunia penerbangan Indonesia.”

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62bec441e454d782ed2ed881_Intersection%209.jpg" alt="img"></div><figcaption>Fowler (kacamata hitam) adalah salah satu rekan dekat A.K. Gani dan orang yang berjasa dalam pembangunan industri maskapai di Indonesia. (Koleksi Museum Dr. A.K. Gani)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62beb1a28f30586ab2172fc3_GI%20Priyanti%20Gani.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/maskapai-pionir/PODCAST-GI%20-Priyanti-Gani.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>GI Priyanti Gani.</b><br>Anak kelima Dr. A.K. Gani. (Budi Setiono/Historia.ID).</span></div></div></div>

Keberadaan penerbangan perintis diperlukan Indonesia. Parlemen kerap menyinggung Pioneer ketika bicara soal perlunya pemerintah membuka perhubungan antarpulau untuk meningkatkan perekonomian rakyat. “Mengingat GIA belum dapat mencukupi kebutuhan pengangkutan di udara, maka usaha maskapai penerbangan nasional (Pioneer Aviation Corporation) perlu diberi bantuan dan diperkuat,” tulis 4 x Parlementaria terbitan Departemen Penerangan tahun 1959.

Namun, alih-alih membantu Pioneer, pemerintah memilih mendirikan Merpati Nusantara melalui PP No. 19 tahun 1962. Merpati, anak perusahaan GIA, diarahkan untuk melayani penerbangan perintis yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia (Sejarah mencatat, selama puluhan tahun, Merpati mengalami masalah keuangan).

Menurut Yanti, sebagai anggota MPRS, A.K. Gani terus memperjuangkan maskapai penerbangannya. Namun, selain kesulitan dana, dukungan dari pemerintah tak bisa diraihnya. “Ada rasa sedih juga dia tidak bisa berjuang mempertahankan Pioneer. Almarhum cerita beliau sempat shock juga apa yang dia perjuangkan tidak berhasil.”

Dalam Lampiran Ketetapan: garis-garis besar pola pembangunan nasional-semesta-berentjana tahapan pertama 1961-1969, terbitan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1960, pemerintah menyoroti usaha memajukan penerbangan dan transportasi udara yang masih terbentur kekurangan fasilitas perawatan. “Perusahaan transpor udara Pioneer Aviation Corp dari Dr. A. K. Gani telah kandas karena kesulitan-kesulitan dalam soal perawatan.”

Di pengujung hidupnya, A.K. Gani kembali menekuni profesi sebagai dokter. Menurut Yanti, Gani sempat ditawari posisi gubernur Irian Barat dan dutabesar Indonesia untuk Amerika Serikat oleh Bung Karno. Gani menolak. “Akhirnya dia pulang ke Palembang dengan praktik (dokter) yang sangat manusiawi.”

Kendati demikian, asa Gani belum tenggelam sepenuhnya. Pada 1967, ketika Panglima Komando Wilayah Angkatan Udara (Kowilu) I Komodor Sudjatmiko berencana mendirikan Radjawali Airline, yang menghubungkan kota-kota kecil di Sumatra, Pioneer termasuk maskapai yang menyatakan kesanggupan untuk membantu.

A.K. Gani juga belum jera. Terlebih pemerintah Orde Baru mulai membuka diri. Maka, ketika Menteri Perhubungan Komodor Udara Sutopo menyatakan pemerintah membuka kesempatan kepada pengusaha swasta nasional yang berminat di bidang angkutan udara, A.K. Gani kembali bergerak. Menurut majalah Angkasa tahun 1968, ada tiga perusahaan mengajukan izin. Salah satunya Pioneer milik A.K. Gani.

Namun A.K. Gani tak bisa menikmati iklim liberalisasi dalam industri penerbangan nasional. Dia wafat pada 23 Desember 1968 di RS Charitas Palembang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ksatria Ksetra Siguntang Palembang.

Tanpa A.K. Gani, sejarah Pioneer pun berakhir. Tapi tidak bagi David Fowler, yang hidup-mati untuk dunia penerbangan. Dia mendirikan Zamrud Airlines, Safari Air, dan Airfast Indonesia.

Fowler memang pernah kecewa, tapi dia tak menyerah. Bahkan, dalam suratnya kepada A.K. Gani pada 1950-an, dia mengungkapkan alasannya. “Ini semuanya bukan untuk keuntungan komersial. Sebagian besar karena saya percaya pada apa yang diperjuangkan Indonesia dan berharap saya bisa berhasil mengambil bagian kecil dalam pembangunan bangsa baru yang besar ini,” tulis Fowler. 

Jejak Fowler kemudian menguap. Situs web Find a Grave mencatat, Fowler wafat di Travis County, Texas, Amerika Serikat, pada 20 Desember 1999 di usia 81 tahun. Makamnya tak diketahui. Namun situs tersebut melampirkan catatan perjalanan karier Fowler yang penuh warna. Termasuk sebuah potongan artikel koran bagaimana Fowler membangun maskapai penerbangan di Indonesia.

A.K. Gani dan Fowler adalah pioneer dalam dunia penerbangan di Indonesia. Kendati apa yang mereka perjuangkan seolah lenyap tanpa jejak. 

“Tapi almarhum pernah bilang pada suatu saat akan ada armada-armada lain yang akan menyaingi Garuda,” ujar Yanti.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
62bc012a6fcb811b5b468a06