Zulkifli Lubis, Bapak Intelijen Indonesia. (Dok. Keluarga Zulkifli Lubis/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEBELUM berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi di AMS-B, Zulkifli Lubis mendapat pesan dari orang tuanya. Ibunya menekankan pentingnya mencari nasihat, bukan memberi nasihat.
“Yan,” kata ibunya memanggil Lubis, panggilan kecil untuk orang Belanda, “harus datangi, kenalkan diri, dan minta nasihat kepada orang yang tertua umurnya (pengalamannya), alim ulama, guru, dan orang kaya yang dermawan.”
SEBELUM berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi di AMS-B, Zulkifli Lubis mendapat pesan dari orang tuanya. Ibunya menekankan pentingnya mencari nasihat, bukan memberi nasihat.
“Yan,” kata ibunya memanggil Lubis, panggilan kecil untuk orang Belanda, “harus datangi, kenalkan diri, dan minta nasihat kepada orang yang tertua umurnya (pengalamannya), alim ulama, guru, dan orang kaya yang dermawan.”
Sedangkan ayahnya, seorang pamong praja, berpesan : “Met de hoed in de hand, komt je in de gang in de wereld”, “dengan menghargai orang lain, dunia akan menerimamu”.
Bagi Lubis, ajaran ayah dan ibunya sama dengan ajaran intelijen. Agar dapat “menerima nasihat”, seseorang harus bersikap demokratis dan rendah hati. Begitu pula dengan cara intelijen. “Harus ramah, baru bisa mencari nasihat (baca: informasi). Kalau kita sombong, tidak bisa mencari nasihat. Satu segi dari nilai demokrasi itu adalah mampu mengendalikan diri menjadi mencari nasihat,” kata Lubis dalam memoarnya di majalah Tempo, 29 Juli 1989. “Itu yang saya praktikkan.”
Zulkifli Lubis dianggap sebagai peletak dasar lembaga intelijen Indonesia, sehingga dinobatkan sebagai Bapak Intelijen Indonesia.
Pelajaran Intelijen
Lubis hanya sampai kelas dua AMS-B karena Jepang datang. Teman sekolahnya, Pawoko, mengajaknya masuk Seinen Kurenso (tempat latihan pemuda) yang pesertanya banyak dari AMS dan MULO.
Menurut Joyce C. Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang, rekrutmen dilakukan di setiap provinsi di Jawa dan Sumatra, diarahkan pada calon yang memiliki kesadaran nasional tinggi. Militer Jepang menghindari calon-calon yang telah mendapat pendidikan militer Belanda di KNIL atau mereka yang mendapat pendidikan ala Barat. Karena itulah Jepang tak membentuk tempat latihan pemuda di Indonesia timur, Sulawesi Utara, dan Ambon.
Di pusat-pusat pelatihan pemuda, tulis Joyce, ratusan pemuda mendapat latihan semimiliter dan indoktrinasi agar mereka dapat membantu pertahanan sipil. Masa pendidikan permulaan selama enam bulan –tapi Lubis ingat menjalani pelatihan selama dua bulan. Setelah itu beberapa pemuda dipilih untuk dikirim ke Seinen Dojo (tempat penggemblengan pemuda) di Tangerang, setelah melalui ujian saringan berupa ujian kesehatan badan dan sejumlah pertanyaan mengenai kolonialisme Belanda.
“Dari pusat pendidikan pemuda di Yogyakarta, misalnya, dipilihlah beberapa orang yang menonjol untuk dikirim ke Tangerang. Di antaranya Zulkifli Lubis dan Kemal Idris,” tulis Joyce.
Seinen Dojo dibuka Januari 1943 dengan penanggung jawab Letnan Yanagawa dan Letnan Marusaki, perwira Beppan (Dinas Intelijen Khusus Tentara ke-16 Angkatan Darat). Sebanyak 50 pemuda berusia 16–20 tahun, yang dipilih dari semua pusat pendidikan pemuda di seluruh Jawa, mendapatkan pendidikan militer dari perwira-perwira Beppan.
“Dengan rahasia para pemuda dibawa ke Tangerang, sehingga dalam banyak hal orang tua mereka tidak mengetahui tujuan perjalanan mereka,” tulis Joyce.
“Boleh dibilang, sebetulnya itu sekolah akademi intelijen cuma istilahnya disebut Seinen Dojo. Karena itu, kami di bawah Markas Besar Intelijen Jepang. Itulah pertama kali saya belajar intelijen, sekitar awal 1943. Saya masih berumur 19 tahun,” kata Lubis.
Lulusan Terbaik
Selama di Seinen Dojo, Lubis bersama Kemal Idris dan Suprajana Jonosewojo ditempatkan di Nihan, yaitu kamar terbaik, baik dalam ilmu, latihan militer, maupun sumo. Sedangkan Daan Mogot di Ichihan. Meski perawakan Lubis paling kecil, tapi dia unggul dalam latihan militer sehingga menjadi nomor satu di Nihan. Dalam ilmu pengetahuan, dia menjadi teladan. Dia tak pernah digampar oleh Jepang karena tak pernah melakukan kesalahan.
“Selain mendapat tempaan fisik yang keras setiap hari sebagai seorang prajurit, tempaan berupa materi pelajaran di kelas pun tak ketinggalan. Dapat dibayangkan bagaimana hasil cetakan pendidikan seperti ini,” ujar Nur Hadi, sejarawan Universitas Negeri Malang.
Selama enam bulan Lubis dan teman-temannya melakukan latihan dengan disiplin: pendidikan dimulai pukul 06.00, mencakup teknik-teknik dasar militer, latihan fisik seperti senam, renang, sumo dan kendo; ilmu pengetahuan seperti bahasa Jepang, sejarah kolonialisme Belanda, dan peristiwa-peristiwa dunia; serta intelijen terdiri dari taktik, spionase, kontraintelijen, propaganda, konspirasi, pengintaian, penghubung, dan kamuflase. Meski disiplinnya begitu keras, tetapi angkatan pertama mengakhiri pendidikannya dengan baik. “Di antaranya Lubis, Idris, Daan Mogot, dan Suprajana Jonosewojo,” tulis Joyce.
Seingat Lubis, setelah para calon lulus pendidikan pertama, mereka mendapatkan latihan praktis selama satu bulan, dan kemudian masuk kembali ke pusat pendidikan sebagai senior. Mereka tinggal di sana sampai Oktober atau November 1943. “Program itu begitu berhasil sehingga Tentara ke-16 dan Beppan memutuskan untuk melatih kelas kedua dengan jumlah calon sebanyak 35 orang,” kata Lubis dalam wawancara dengan Joyce pada 20 Januari 1971.
Keberhasilan Seinen Dojo mendorong Panglima Tentara ke-16 Jenderal Harada membentuk tentara sukarela. Ketika keputusan untuk membentuk tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta) diumumkan pada 3 Oktober 1943, Seinen Dojo ditutup, dan para pelatihnya dipindahkan ke Bogor untuk membuka pusat pelatihan perwira (Renseitai). Dengan menempati bekas asrama tentara KNIL Batalyon 19, pendidikan Renseitai dimulai pada 18 Oktober 1943. Siswa-siswa utama Renseitai adalah jebolan Seinen Dojo, yang dilatih untuk tiga jabatan: komandan batalyon (daidancho), komandan kompi (chudancho), dan komandan peleton (shodancho).
Setelah lulus dari Seinen Dojo, tulis Joyce, Lubis berada di antara mereka yang dipilih kembali untuk mendapat pendidikan lebih tinggi, sementara kebanyakan mereka yang lulus menyebar ke daerahnya dan kembali ke rumahnya.
“Karena prestasinya,” Nur Hadi menambahkan, “Lubis dikirim ke pusat pelatihan Peta di Bogor dan menjadi asisten pelatih program pendidikan shodancho pada kompi Soeharto, yang kelak menjadi presiden.”
Pendidikan angkatan pertama calon perwira Peta dilantik pada 8 Desember 1943 dalam upacara yang khidmat di Lapangan Gambir. Pada Februari 1944, Lubis bersama Kemal Idris dan Daan Mogot diajak Letnan Tsuchiya untuk melatih sekira 1.500 orang untuk tiga daidan (batalyon) di Bali, sampai Juni 1944.
Setelah itu, sebagai pembantu satu-satunya orang Indonesia, Lubis dibawa Rokugawa, mantan komandan Seinen Dojo, ke Malaysia dan Singapura. Di Negeri Singa, untuk kali pertama Lubis diperkenalkan dengan Fujiwara Kikan (Badan Rahasia Jepang untuk Asia Tenggara). Dia juga bersua dengan perwira Jepang, Mayor Ogi, bahkan sekamar dengannya. Berkat aktivitas intelijen Mayor Ogi, tentara Prancis menyerah dan Jepang menguasai Vietnam tanpa perang. Dari Mayor Ogi, Lubis mendapat pelajaran bagaimana memengaruhi komandan musuh di negara asing, sampai bisa menyerah, tanpa melalui pertempuran. Rokugawa juga mengajari Lubis teori maupun praktik intelijen.
Bongkar Pasang
Pasca proklamasi kemerdekaan, Lubis berpikir bahwa dalam setiap gerakan apapun, keberadaan intelijen dibutuhkan. Karena itu, dia mendirikan Badan Istimewa (BI) pada Agustus 1945 –versi lain September 1945– di bawah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Melalui BKR, dia merekrut sekira 40 orang bekas perwira gyugun (tantara sukarela) dari seluruh Jawa. Selama seminggu, dia melatih mereka praktik intelijen, terutama untuk informasi, sabotase, dan psywar.
“BI dibentuk secara sederhana menurut desain yang diperoleh Zulkifli Lubis ketika mendapat pendidikan intelijen dari tentara Jepang. Kondisi geografis yang sangat luas menyebabkan daerah operasi BI hanya berada di Pulau Jawa. Situasi di beberapa wilayah Indonesia sangat sulit bagi anggota BI untuk melancarkan operasi intelijen,” tulis Hariyadi Wirawan, “Evolusi Intelijen Indonesia,” termuat dalam Reformasi Intelijen Negara.
Cabang-cabang BI di seluruh Jawa dipimpin oleh mereka yang ikut latihan pertama. Mereka harus berhubungan baik dengan BKR dan organisasi perjuangan setempat. Mereka diarahkan untuk mengumpulkan informasi dari pihak musuh dan dari luar serta mengadakan psywar. Meski hanya di Pulau Jawa, Lubis mengirim ekspedisi ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara pada akhir 1945 untuk melawan Belanda. Salah satu operasinya menyelundupkan senjata dari Singapura untuk membantu perjuangan di Kalimantan di bawah pimpinan Mulyono dan Tjilik Riwut. “Jadi, boleh dikatakan, organ intelijenlah yang pertama mengembangkan secara riil beroperasi ke seluruh Indonesia,” kata Lubis.
Lubis juga membentuk Penyelidik Militer Chusus (PMC) pada akhir 1945 yang berada di bawah BI. Menurut Robert Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries, Lubis membentuk PMC karena telah terlibat dalam rencana Jepang untuk membangun kelompok-kelompok bawah tanah di sejumlah wilayah di Jawa sebagai kekuatan gerilya untuk melawan Sekutu jika mereka mendarat. Lubis aktif di Cibarusa. Dia juga dilaporkan merekrut penjahat dari penjara Nusakambangan.
Lubis sering mengunjungi bekas tentara Jepang, teman-temannya, yang memihak Republik. Terutama Ichiki Tatsuo yang dia kenal ketika menjalani pendidikan Peta. Lubis meminta mereka membuat buku pedoman pengajaran strategi perang gerilya dalam bahasa Indonesia. “Buku tentang taktik perang gerilya itu, kami kerjakan di Sarangan. Kami menulis dua buku, satu tugas dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta, yang kedua tentang taktik khusus perang gerilya permintaan Zulkifli Lubis. Semua yang menulis bahasa Indonesia Ichiki sensei. Bukunya langsung diserahkan kepada Zulkifli Lubis. Selanjutnya kami sama sekali tidak tahu,” kata Rahmat Shigeru Ono, bekas tentara Jepang yang memihak Republik, dalam memoarnya, Mereka yang Terlupakan karya Eiichi Hayashi.
Sepak terjang Lubis tak disukai oleh para pemuda kiri. “Dia tidak dipercaya oleh API di Jakarta dan ditangkap oleh mereka namun kemudian dibebaskan,” tulis Cribb. Angkatan Pemuda Indonesia (API) dibentuk pada September 1945 oleh pemuda-pemuda kiri di Menteng 31, yang dipimpin Wikana, Chairul Saleh, dan DN Aidit.
Sejumlah perwira militer juga tak senang dengan gerakan Lubis dan PMC-nya yang dianggap tak terkendali. AH Nasution, komandan Divisi III Tentara Keamanan Rakyat (TKR) –perubahan dari BKR– di Priangan, menyebut salah satu sumber kesulitan di Jawa Barat adalah persoalan PMC, yang secara vertikal melakukan kegiatan penyelidikan, persiapan perlawanan rakyat, dan lain-lain.
“Kepala stasiun kereta api di Padalarang ditembak mati oleh seorang anggota PMC, yang bermarkas di Yogya, langsung dibawahi Pak Dirman (Jenderal Sudirman). Maka terpaksalah instansi-instansi PMC ditindak. Semua badan penyelidik yang beroperasi langsung di bawah komando Markas Besar atau Kementerian Pertahanan di Yogya, berangsur-angsur kena penertiban oleh divisi saya,” kata Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda.
Karena ruang geraknya telalu sempit, PMC dibubarkan pada April 1946.
Jejaring Intelijen
Untuk membicarakan masalah intelijen, dr. Moestopo, penasihat agung militer pemerintah Republik Indonesia, mengambil prakarsa menemui Presiden Sukarno. Lubis menyusul kemudian menghadap Sukarno, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin, dan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Keluarlah restu untuk membentuk Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) pada 7 Mei 1946, sebagai payung satuan-satuan intelijen yang bergerak di bawah para komandan lapangan di seluruh Jawa. Sebagai bagian dari Brani, dibentuk Field Preperation (FP) di daerah-daerah. Brani dan FP langsung berada di bawah Presiden Sukarno.
“Masih tetap di bawah kendali Kolonel Lubis,” tulis Hariyadi, “Brani mencoba melakukan konsolidasi operasi guna menghadapi kemungkinan penguatan kembali militer Belanda.”
Lubis merekrut alumni Seinen Dojo dan Yugekki (Pasukan Gerilya Khusus) yang berbasis di Salatiga, seperti Bambang Supeno, Kusno Wibowo, Dirgo, Sakri, Suprapto, dan Tjokropranolo, untuk dilatih menjadi intel Brani dan FP. Mereka direkrut tanpa klasifikasi, hanya dilihat sekolahnya. Lubis berhasil membentuk jejaring intelijennya di seluruh Jawa.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk badan intelijen sendiri, yaitu Badan Pertahanan B, yang dikepalai bekas komisaris polisi, Sukardiman. Lembaga ini membuat laporan dan analisis mengenai keadaan untuk keberhasilan operasi intelijen. Pada 4 April 1946, Amir memerintahkan dr. Roebiono Kertopati di Badan Pertahanan B, untuk membentuk badan pemberitaaan rahasia, disebut Dinas Code –kelak menjadi Lembaga Sandi Negara.
Demi konsolidasi politik, ketika menjabat perdana menteri, Amir Sjarifuddin membubarkan Badan Pertahanan B dan Brani serta membentuk badan baru, yaitu Bagian V (KP V), pada 30 April 1947 sebagai koordinator operasi intelijen, langsung di bawah menteri pertahanan. Lubis menuding pembubaran Brani karena Amir sebagai seorang komunis tak senang kepadanya dan ingin menyerahkan kendali intelijen kepada orang komunis. Hal ini terbukti, ketika Amir menunjuk orang kepercayaannya, Kolonel Abdurahman, seorang komunis, dan Lubis sebagai wakilnya dibantu Fatkur, juga seorang komunis. Kelak baik Amir maupun Abdurahman adalah pelaku aktif peristiwa Madiun tahun 1948.
“Jadi, saya mengalami beberapa kali pembubaran. Ada yang karena kebutuhan organisasi, tapi ada juga karena politis, karena orang tidak bisa menguasai saya,” kata Lubis.
Akibat Perundingan Renville, kabinet Amir Sjarifuddin jatuh pada Januari 1948. KP V dibubarkan, kemudian dibentuk Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Bagian I SUAD menjadi organisasi intelijen. Lubis kembali menjadi pemimpinnya merangkap kepala Markas Besar Komando Djawa (MBKD-I).
Setelah penyerahan kedaulatan, organisasi intel kembali berubah. Namanya menjadi Intelijen Kementerian Pertahanan (IKP) dengan Lubis tetap sebagai kepalanya. Lubis kemudian membentuk Bisap (Biro Informasi Angkatan Perang) pada 1952, yang bertugas menyiapkan info strategis untuk menteri pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Perang Mayjen TNI TB Simatupang. Dia juga memprakarsai pendidikan lanjutan, bertempat di Kaliurang, Yogyakarta, bagi tenaga-tenaga yang sudah berpengalaman.
“Pendidikan itu tidak memakai tenaga dari luar negeri. Saya memperdalam intelijen sendiri. Dengan adanya badan pendidikan itu, saya punya kesempatan mempelajari bermacam-macam buku. Malah saya mempersiapkan intelijen itu sebagai ilmu tersendiri,” kata Lubis.
Akibat peristiwa 17 Oktober 1952, Bisap dan pendidikan intelijen dibubarkan. Permintaan Lubis kepada Simatupang agar tak membubarkannya, tak digubris. Sejak itu, Lubis tak aktif lagi di intelijen.
Dalam perjalanan sejarahnya, dari 1945 sampai sekarang, badan intelijen mengalami beberapa kali pergantian nama. Sampai akhirnya, pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid mengubah nama Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) menjadi BIN (Badan Intelijen Negara).*