Pemandangan Pulau Onrust di lepas pantai Batavia karya J.W. Heydt tahun 1739. (Koninklijke Bibliotheek/Wikimedia Commons).
Aa
Aa
Aa
Aa
KARENA kebutuhan lokasi untuk perbaikan kapal-kapalnya, Kongsi Dagang Belanda (VOC) menyewa sebuah pulau dari Pangeran Jayakarta. Masyarakat sekitar menyebutnya Pulau Kapal. Orang Belanda menamainya Onrust yang berarti “Tak Pernah Beristirahat”.
Onrust memang menjadi tempat yang sibuk. Bukan hanya untuk memperbaiki kapal, VOC sesekali membuat kapal-kapal kecil karena kekurangtersediaan bahan baku dan tenaga. Onrust juga jadi tempat transit bagi kapal-kapal VOC, yang kemudian membangun gudang-gudang penyimpanan.
KARENA kebutuhan lokasi untuk perbaikan kapal-kapalnya, Kongsi Dagang Belanda (VOC) menyewa sebuah pulau dari Pangeran Jayakarta. Masyarakat sekitar menyebutnya Pulau Kapal. Orang Belanda menamainya Onrust yang berarti “Tak Pernah Beristirahat”.
Onrust memang menjadi tempat yang sibuk. Bukan hanya untuk memperbaiki kapal, VOC sesekali membuat kapal-kapal kecil karena kekurangtersediaan bahan baku dan tenaga. Onrust juga jadi tempat transit bagi kapal-kapal VOC, yang kemudian membangun gudang-gudang penyimpanan.
“Sampai saat itu, sebelum pendirian Batavia pada 1619, kapal-kapal terlindungi di teluk Jayakarta dan Maluku, tapi Inggris menghancurkan fasilitas-fasilitas di teluk Jayakarta di pulau kecil Onrust. Fasilitas-fasilitas itu sebagian dibangun kembali, tapi pada 1629 infrastruktur ini lagi-lagi tak dapat digunakan karena serangan Jawa, dengan siapa VOC berperang waktu itu. Akhirnya Onrust akan berkembang menjadi pusat perawatan utama,” tulis Robert Parthesius dalam Dutch Ships in Torpical Waters.
Untuk mencegah serangan, VOC membangun benteng pertahanan yang cukup besar.
Pada 1740, J.W. Heydt yang jadi juru gambar untuk Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (menjabat 1737–1741) melukis situasi atau denah Pulau Onrust yang dikelilingi sebuah benteng yang cukup besar. Lebih dari dua abad kemudian, pada 1982, Adolf J. Heuken SJ, seorang paderi Katolik kelahiran Jerman, menampilkan karya Heydt dalam bukunya Historical Sites of Jakarta.
Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, yang sejak mula tertarik mengungkap sejarah Pulau Onrust, terdorong untuk melakukan penggalian arkeologis. Proyek penggalian pertama pada Mei 1983 bertujuan mencari pondasi atau tembok benteng. “Yang menarik dari lukisan tersebut ialah gambar (denah) benteng di pulau tersebut,” tulis Laporan Penggalian Arkeologis Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, yang diterbitkan 1985.
Penggalian dilakukan selama 12 hari, sebuah waktu yang singkat. Hasilnya, sebuah temuan salah satu pondasi/tembok benteng yang dalam denah lukisan Heydt diketahui sebagai gudang peluru dan pos keamanan. Karena waktu terbatas, tim melakukan penggalian lanjutan.
“Itulah kenapa karya-karya Heydt menjadi cukup penting,” kata Hauw Ming, seorang kolektor yang menyimpan karya-karya litografi J.W. Heydt.
Arsitek dan Pelukis
Johann Wolfgang (JW) Heydt adalah seorang opsir, arsitek, dan pelukis kelahiran Silesia, Jerman Timur. Pada 1733, ia mendaftarkan diri bekerja untuk VOC dan menghabiskan beberapa waktu di Ceylon (Sri Lanka). Sekira tiga tahun kemudian ia menuju Batavia dan di sana bekerja sebagai juru gambar untuk Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier.
Heydt bermukim di Batavia dari sekira 1737 hingga 1740. Selama menetap, Heydt bertugas melukiskan pembangunan di setiap sudut kota Batavia, terutama bangunan-bangunannya. Ia setidaknya menggarap 41 lukisan soal Batavia.
“Karyanya kemudian digunakan sebagai buku laporan kepada pemerintah Belanda di pusat. Mereka kan membangun di sebuah daerah yang jauh dan menghabiskan investasi yang sangat besar. Dari karya Heydt-lah diketahui perkembangan pembangunan. Juga dari situ timbul pertimbangan apakah pembangunan itu menguntungkan untuk dilanjutkan, atau harus dihentikan,” kata Hauw Ming.
Pada 1741, Heydt kembali ke Eropa dan melanjutkan pekerjaannya sebagai arsitek di Nurnberg. Tiga tahun kemudian, ia menerbitkan laporan perjalanannya dengan judul Allerneuster Geographics- Und Topographischer Schau-Platz von Africa und Ost Indien. Buku ini menjadi buku ilustrasi pertama tentang Batavia berdasarkan pandangan mata langsung sang pembuatnya. F. de Haan, penulis buku Oud Batavia, memuji ketepatan dan keandalan Heydt dalam menggambarkan kota Batavia tempo dulu.
“Dari lukisannya kita dapat mempelajari sejarah awal Batavia, apa yang terjadi dan bagaimana dulu kota itu dibangun dengan perencanaan yang sangat terstruktur. Heydt bukan hanya menggambarkan suasana atau kondisi yang telah terbangun, tapi juga yang masih berupa ide dasar,” kata Hauw Ming.
“Kalau melihat perencanaan awal kota Jakarta yang dihuni 100–200 ribu orang saat itu, lalu bagaimana mengatur tata kotanya, sebenarnya itu dapat dijadikan cermin bagi pemerintah kota Jakarta.”
Heydt dan Jakarta
Setelah perselisihan dengan Banten, VOC membangun sebuah kota Batavia. VOC meluruskan sungai Ciliwung untuk pembangunan kanal. Di atas tanah reklamasi, yang sekarang bernama Jalan Pintu Besar Utara, dibangun sebuah gereja yang kemudian dibongkar dan dibangun gereja baru dengan nama Nieuwe Hollandsche Kerk atau Gereja Kubah pada 1736.
Heydt membuat rancangan gereja itu yang sekarang tersimpan di Museum Fatahillah Jakarta. Ia juga melukis secara rinci gereja itu dari tampak depan dan denah lantai dasarnya.
Selain itu, ia melukiskan suasana Batavia yang begitu asri. Jalannya lebar dan lengang. Aliran sungai Ciliwung yang melintas di tengah kota lebar dan bersih. Suasana itu tercermin dalam karyanya berjudul “Gereja Portugal di Luar Kota” –kini Gereja Sion di Jalan Jayakarta.
Selain menggambar bangunan dan suasana kota Batavia, Heydt kerap memasukkan figur dalam gambarnya. Dengan gambar ini kita dapat mengetahui cara berpakaian orang-orang saat itu; Orang Tionghoa dan bumiputra dengan pakaian tradisional masing-masing, orang Belanda dengan gaya Eropanya.
Heydt juga memenuhi tugas untuk membuat peta kota Batavia yang dilakukannya tahun 1739. Karya-karya Heydt selalu menjadi acuan para sejarawan untuk mengetahui Batavia tempo dulu.
Dalam Ensiklopedi Jakarta tercatat, sejarah litografi dimulai saat VOC mulai membutuhkan pelukis untuk keperluan eksplorasi dan dokumentasi. Terlebih sesudah berhasil merebut Malaka, Makassar, Cirebon, dan Banten dalam paruh kedua abad ke-17. Dalam abad berikutnya, digiatkan kerja topografi dengan dokumentasi tentang pantai-pantai, benteng-benteng, dan rumah-rumah pedesaan. Untuk keperluan itu, pelajaran menggambar diberikan di Sekolah Angkatan Laut (didirikan di Batavia tahun 1743). Antara tahun kedua dan ketiga, para siswa harus berlayar menjelajahi Nusantara dan membawa pulang laporan, dilengkapi gambar pantai dan benteng yang mereka lihat.
“Litografi mempunyai nilai penting. Dari gambarnya kita dapat melihat kondisi suatu daerah atau bangunan tempo dulu untuk dijadikan acuan saat ini,” kata Hauw Ming.*
Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 8 Tahun I 2012.