Batu Sandungan di Jerman

Belanda tak lapang dada menerima nasionalisasi. Di Jerman, dua perusahaannya memberi perlawanan.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Batu Sandungan di JermanBatu Sandungan di Jerman
cover caption
Buruh memanggul tembakau yang baru dipanen di perkebunan tembakau Deli Maatschappij. (KITLV).

MARET 1958, pengurus Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru menggelar rapat untuk mengatasi pemasaran tembakau ke pasar internasional. Musim panen akan segera tiba. Tapi mereka sadar tembakau-tembakau itu tak bisa lagi dilelang ke Amsterdam dan Rotterdam, Belanda, yang sebelumnya menjadi pusat pemasaran tembakau Indonesia. Maklum, sentimen Belanda terhadap Indonesia lagi tinggi-tingginya. Dan lagi panen tembakau itu diperoleh dari perkebunan-perkebunan Belanda yang dinasionalisasi.  

Rapat memutuskan membentuk sebuah tim kecil yang bertugas menjajaki tempat-tempat potensial Kantor NV Deli untuk dijadikan pusat pemasaran tembakau Indonesia, menggantikan Amsterdam dan Rotterdam. Tim berangkat ke Eropa pada November. Mereka mengunjungi Jerman Barat, Belgia, Italia, dan Denmark.  

“Di Bremen, mereka bernegosiasi dengan empat perusahaan tembakau terkemuka yang menjadi pemimpin dalam industri Jerman Barat selama beberapa dekade, yakni Hellmering Koehne & Co., Handelsgesellschaft Franz Kragh, Gebruder Kulenkampf, dan Hoofman & Leisewitz,” tulis Der Spiegel edisi 21 Mei 1959.

MARET 1958, pengurus Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru menggelar rapat untuk mengatasi pemasaran tembakau ke pasar internasional. Musim panen akan segera tiba. Tapi mereka sadar tembakau-tembakau itu tak bisa lagi dilelang ke Amsterdam dan Rotterdam, Belanda, yang sebelumnya menjadi pusat pemasaran tembakau Indonesia. Maklum, sentimen Belanda terhadap Indonesia lagi tinggi-tingginya. Dan lagi panen tembakau itu diperoleh dari perkebunan-perkebunan Belanda yang dinasionalisasi.  

Rapat memutuskan membentuk sebuah tim kecil yang bertugas menjajaki tempat-tempat potensial Kantor NV Deli untuk dijadikan pusat pemasaran tembakau Indonesia, menggantikan Amsterdam dan Rotterdam. Tim berangkat ke Eropa pada November. Mereka mengunjungi Jerman Barat, Belgia, Italia, dan Denmark.  

“Di Bremen, mereka bernegosiasi dengan empat perusahaan tembakau terkemuka yang menjadi pemimpin dalam industri Jerman Barat selama beberapa dekade, yakni Hellmering Koehne & Co., Handelsgesellschaft Franz Kragh, Gebruder Kulenkampf, dan Hoofman & Leisewitz,” tulis Der Spiegel edisi 21 Mei 1959.  

Selain memberi tawaran kemudahan, para pengusaha Bremen mengajak tim dari Indonesia berkeliling mencari pembeli tembakau mereka .

Keempat perusahaan tembakau Jerman itu kemudian membentuk konsorsium bernama Bremer Gruppe.  

Setelah menimbang, Indonesia tertarik dengan tawaran dari para pengusaha Jerman. Menteri Pertanian Sadjarwo akhirnya memutuskan menjadikan Bremen sebagai tempat pemasaran internasional tembakau Indonesia. Keputusan itu diambil bukan tanpa alasan. Bremen sudah lama dikenal sebagai salah satu pusat distribusi tembakau di Eropa. Tembakau Deli juga bukan barang asing di sana –terlebih siapa bisa menolak tembakau cerutu Deli yang termahsyur.  

Tiga bulan kemudian, PPN-Baru dan Bremer Gruppe sepakat mendirikan Deutsch-Indonesische Tabak-Handelsgesellschaft mbH (DITH), sebuah perusahaan patungan yang akan mengelola dan menangani lelang tembakau Indonesia. Pembentukan DITH didukung pemerintah Indonesia dan Jerman Barat.  

Maka, begitu panen 1958 tiba, sekira 6.000 bal tembakau langsung dikapalkan dan dikirim ke Bremen. Komoditas berbobot total 191 ton senilai 10,8 juta Deutsch Mark itu tiba di Hamburg, pelabuhan utama Jerman, pada April 1959. Tembakau-tembakau itu siap dibawa ke Bremen untuk dilelang.

Kantor NV Deli. (Tropenmuseum).

Perkara Internasional

Kabar rencana lelang tembakau di Bremen sampai ke telinga pemilik NV Verenigde Deli-Maatschappijen dan NV Senembah Maatschappij. Mereka protes dan mengklaim kepemilikan 1.559 bal tembakau yang akan dilelang itu karena berasal dari kebun-kebun mereka di Sumatra Timur.  

Kedua perkebunan itu diambilalih para petani menyusul pengambilalihan kantor KPM pada awal Desember 1957. Mereka menguasai perkebunan-perkebunan itu selama beberapa hari sebelum akhirnya Panglima TT I Kolonel Djamin Gintings mengumumkan penguasaan atas perusahaan-perusahaan itu di bawah kendali militer. Bersama perusahaan-perusahaan Belanda lainnya, mereka dinasionalisasi berdasarkan UU No. 8/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 4/1959 yang merinci 38 perkebunan tembakau di Indonesia yang terkena nasionalisasi. Perkebunan-perkebunan ini kemudian berada di bawah naungan PPN-Baru.  

Pada 13 April, NV Deli dan Senembah mengajukan gugatan ke Pengadilan Rendah Bremen. Selain menuntut kepemilikan 1.559 bal tembakau itu, mereka juga memohon pengadilan menilai validitas UU Nasionalisasi yang menurut mereka bertentangan dengan hukum internasional.  

Pengadilan Rendah Bremen menolak gugatan itu pada 21 April. Keputusannya menyatakan, 1.559 bal tembakau yang dituntut merupakan milik sah DITH dan DITH berhak secara bebas menjual kepada siapapun. Selain itu, tulis Sin Po, 22 Agustus 1959, “2 perusahaan perkebunan Belanda tadi di Indonesia hanya mempunyai hak usaha dan bukan mempunyai hak tanah.”  

Sementara mengenai tuntutan lainnya, pengadilan menyatakan, tulis Der Spiegel, “bukan tugas pengadilan Jerman untuk menilai validitas UU Nasionalisasi Indonesia berdasarkan hukum internasional.”  

Kedua perusahaan Belanda itu mencoba melayangkan gugatan kedua pada Juni tapi juga gagal. Maka, mereka mengajukan banding (appeal) ke Pengadilan Tinggi Regional Bremen.  

Dalam mengajukan banding, Deli dan Senembah menggunakan lima pengacara andal. Mereka juga diperkuat dengan dukungan 11 guru besar, antara lain Logemann, Lemaire, dan Kollewijn dari Universitas Leiden. Ketiganya pernah menjabat guru besar di Rechtshogeschool, yang kemudian menjelma jadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).  

Pemerintah Belanda coba mempolitisasi kasus ini. Selain memasang iklan di koran-koran lokal Bremen, mereka menggunakan “pernyataan-pernyataan dan interpretasi ahli-ahli hukum Eropa mengenai nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia: pada pokoknya mereka menyatakan bahwa tindakan Indonesia adalah bertentangan dengan hukum antar-negara,” tulis Sin Po.  

Menariknya, importir tembakau seolah tak terpengaruh kasus ini. Demi tak kehilangan seluruh perdagangan tradisionalnya (komoditas perkebunan dan pertanian), empat importir besar tembakau asal Amsterdam, BW de Jonge & Co, JA Kluytenaar, WA van Hees, dan Herman Oldenkoot & Sons membuka perwakilan di Bremen sejak kasus sengketa mengemuka.

Pemerintah Indonesia menghadapi perkara ini dengan serius. Mr. Soekanto dan Mr. Sudargo Gautama, dua profesor dari UI, ditunjuk untuk memperkuat tim perunding yang sudah diisi tiga guru besar dari Universitas Hamburg, Jerman: Dolle, Zweigert, dan Ipsen.  

“Gautama muda adalah murid Prof. Lemaire di UI. Maka terjadilah ‘pertarungan’ antara guru lawan murid,” tulis Yu Un Oppusunggu, dosen Hukum Antar Tata Hukum Fakultas Hukum UI, dalam “In Memoriam Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama”, dimuat Jurnal Hukum dan Pembangunan, Oktober 2008.  

Pemerintah Indonesia juga mengirim tim kecil. Dalam tim ini, Mr. Sudjarwo Tjondronegoro, kepala Direktorat Eropa Kementerian Luar Negeri, bertugas mengikuti persidangan dan memberi masukan-masukan. Dubes RI di Bonn Mr. Zairin Zain juga intensif memperhatikan perkembangan kasus ini.  

Buruh perkebunan tembakau. (KITLV).

Dalam persidangan, pihak Belanda mengatakan bahwa perbuatan Indonesia, terutama UU Nasionalisasi, bertentangan dengan aturan hukum investasi internasional. Terlebih, Indonesia melakukan penyerobotan terlebih dulu baru membuat legislasinya. Lebih jauh, pengambilalihan oleh Indonesia itu tak disertai kompensasi.  

Indonesia menangkis serangan ini. Gautama berpendapat, selain nasionalisasi memenuhi azas teritorial, pemerintah Indonesia juga memberi kompensasi. Hanya saja, kompensasi itu baru akan dibayar setelah masalah Irian Barat selesai. “Pemberian ganti rugi itulah yang membedakan dengan konsep pencabutan-pencabutan bentuk lain, seperti ‘konfiskasi’ dan ‘pencabutan hak’,” ujarnya, dikutip Wasino dkk. dalam Sejarah Nasionalisasi Aset-Aset BUMN.

Setelah memeriksa berkas-berkas sengketa sejak Juli, Pengadilan Tinggi Bremen mengumumkan keputusannya pada 21 Agustus. Pengadilan menolak gugatan dua maskapai Belanda berupa permohonan untuk meninjau kembali putusan Pengadilan Rendah Bremen. Salah satu alasannya, nasionalisasi oleh pemerintah Indonesia akan digunakan untuk kepentingan rakyat. “Nasionalisasi adalah hak negara yang berdaulat,” kata pengadilan.  

Selain itu, pengadilan mengakui hak DITH untuk menjual 1.559 bal tembakau Deli yang diperkarakan.

Kasus ini menarik perhatian ahli-ahli hukum internasional. Terlebih, ada perkara yang mirip diadili di pengadilan Belanda, dengan hasil yang berlawanan. Yakni antara NV Senembah Maatschappij melawan Bank Indonesia dan NV De Twentsche Bank, yang putusan bandingnya dikeluarkan pada 4 Juni 1959. Andreas F. Lowenfeld, ahli hukum internasional terkemuka dari New York University School of Law, membandingkan pandangan pengadilan Bremen dengan pengadilan Amsterdam itu. Dalam bukunya International Economic Law, dia menyebut masing masing pengadilan tak bisa lepas dari kepentingan negerinya. “Jerman untuk mempromosikan pasar baru, Belanda untuk menegakkan hak sebagai mantan pemilik kolonial,” tulisnya.  

Meski silang pendapat para ahli hukum terhadap keputusan itu belum berakhir hingga awal 1970-an, Jerman Barat konsisten menerapkannya. Pada 1973, pengadilan Hamburg mengadopsi apa yang dilakukan Pengadilan Tinggi Bremen dalam kasus mirip yang melibatkan sebuah perusahaan tembaga asal AS dengan pemerintah Chile.

Lelang Dimulai

Keputusan Pengadilan Tinggi Bremen membuat pemerintah Indonesia lega. Direktur PPN-Baru Ir. Saksono Prawirohardjo mengatakan, dikutip Sin Po, bahwa keputusan Pengadilan Tinggi Bremen membuat Indonesia leluasa menjual dan melelang hasil bumi di pasaran luar negeri.

“Perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda tadi bukan bertujuan mau memiliki kembali tembakau-tembakau tadi, akan tetapi punya maksud lain berupa prinsip bahwa setiap barang-barang Indonesia yang sampai di pasar Eropa akan digugat semau-maunya. Tujuannya ialah merusak kepercayaan konsumen dan pasaran bahan mentah kita di negara-negara Eropa,” ujarnya.  

Dengan demikian, tembakau-tembakau Indonesia pun mulai dilelang di Bremen. Lelang pertama dilakukan di sebuah gudang pelabuhan Bremen dan berjalan sukses. Pada 1961, DITH membangun tempat pelelangan dan perkantoran Bremer Tabaksbore.  

Hingga kini, Bremen masih menjadi pusat pelelangan tembakau Indonesia di pasar internasional.*

Lelang Teh

Selain tembakau, PPN-Baru mencari pasar buat perdagangan teh hasil perkebunan-perkebunan mereka. Tim kecil yang pergi ke Eropa juga menjajaki tempat-tempat potensial untuk dijadikan pusat pemasaran teh Indonesia.

“Hamburg dan Antwerp amat ingin mengambil pusat teh, kopi, dan minyak sayur Indonesia di masa depan dari Amsterdam,” tulis Der Spiegel edisi 21 Mei 1959.

Selain keduanya, London (Inggris) dipertimbangkan untuk dipilih sebagai tempat pelelangan teh Indonesia pengganti Amsterdam. PPN-Baru akhirnya memilih Antwerp, Belgia.

Sama seperti kasus tembakau, perusahaan Belanda mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, pada akhir April 1959, Pengadilan Regional Antwerp menolak tuntutan Association of Tea Culture in Indonesia-nya Belanda yang hendak mencegah perdagangan teh Indonesia-Belgia.

Dengan jalinan kerjasama perusahaan Belgia Socomabel S.A. serta Panitia Hasil Bumi RI di London, pelelangan teh pertama dari hasil perkebunan negara eks-Belanda dilaksanakan pada 17 September 1959.

“Penyelenggaraan pemindahan pelelangan teh dari Amsterdam ke Antwerp (negara-negara mana kerja sama dalam satu kesatuan Benelux itu) tidak mendapat rintangan yang berarti dari pihak Belanda,” tulis James J. Spillane dalam Komoditi Teh: Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Benelux adalah singkatan dari Belgia-Nederland-Luxemburg.

Pelelangan di Antwerp bertahan hingga Desember 1971. Setahun kemudian Indonesia mendirikan pusat pelelangan teh di Jakarta, yang masih bertahan hingga kini.

Majalah Historia No. 30 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66e7b17479a921ee827a9a0b