Bedjo Jenderal Pujakesuma

Pemuda berdarah Jawa ini berjuang di Sumatra Utara pada masa revolusi. Pasukannya termasuk pasukan terkuat di sana.

OLEH:
Petrik Matanasi
.
Bedjo Jenderal PujakesumaBedjo Jenderal Pujakesuma
cover caption
Mayor Bedjo, pemimpin laskar Nasional Pelopor Indonesia (Napindo).

PURWOREJO sebagian wilayahnya bertanah kering dan tak bisa menjadi sawah. Di masa lalu, banyak pemuda dari sana kemudian merantau jadi kuli atau mendaftar jadi serdadu ke Kedung Kebo. Sattar yang berasal dari Gunung Jeruk termasuk pemuda Purworejo yang kemudian merantau sampai ke Medan.  

Kehidupan Sattar di Medan cukup baik. Dia memiliki lima anak. Salah satunya dinamai Bedjo. Dalam bahasa Jawa, Bedjo artinya untung atau mujur. Bedjo lahir di Tanjung Mulia, 10 Desember 1919 –sehingga menurut istilah beken orang Medan sekarang, dia seorang “Pujakesuma” (putra Jawa kelahiran Sumatra). Untuk ukuran pemuda Jawa zaman Hindia Belanda, Bedjo tergolong mujur.

PURWOREJO sebagian wilayahnya bertanah kering dan tak bisa menjadi sawah. Di masa lalu, banyak pemuda dari sana kemudian merantau jadi kuli atau mendaftar jadi serdadu ke Kedung Kebo. Sattar yang berasal dari Gunung Jeruk termasuk pemuda Purworejo yang kemudian merantau sampai ke Medan.  

Kehidupan Sattar di Medan cukup baik. Dia memiliki lima anak. Salah satunya dinamai Bedjo. Dalam bahasa Jawa, Bedjo artinya untung atau mujur. Bedjo lahir di Tanjung Mulia, 10 Desember 1919 –sehingga menurut istilah beken orang Medan sekarang, dia seorang “Pujakesuma” (putra Jawa kelahiran Sumatra). Untuk ukuran pemuda Jawa zaman Hindia Belanda, Bedjo tergolong mujur.

“Setelah tamat dari Sekolah Desa, Bedjo yang bercita-cita ingin menjadi ahli teknik melanjutkan sekolah ke Ambacht School di Medan dan sore harinya belajar di Perguruan Agama Islam Aljamiyatul Wasliyah Pulau Berayan,” catat Edisaputra dalam Bedjo, Harimau Sumatera dalam Perang Kemerdekaan

Cita-cita Bedjo tercapai. Sebagai ahli teknik dia dapat pekerjaan tukang besi di sebuah bengkel. Tak semua pemuda Indonesia bisa menjadi seperti dirinya. Sementara orang-orang Belanda membutuhkannya.

“Di zaman kolonial Belanda tahun 1942, saya berada di Medan dan bekerja di perusahaan mobil Cock & Co.,” aku Bedjo dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan II

Perang Dunia II membuat bengkel tempatnya bekerja membuat mobil lapis baja. Bedjo ikut membuatnya.

Ketika lapangan terbang Polonia diserang Jepang, tentara Belanda mundur sampai ke Kota Cane. Bengkel Cock & Co. juga mundur sampai ke Pematang Siantar. Bedjo yang menganggap dirinya Indonesia karena pengaruh kelompok politik pergerakan kemerdekaan, ogah-ogahan ikut Belanda. Waktu dibawa ke Lawe Sigala-Gala, Aceh, dia pernah membolos kerja. Dia akhirnya memisahkan diri dari tentara Belanda.

Modal Awal dari Kapten Kato

Bedjo lalu pulang ke rumah ibunya di Medan. Dia berharap bertemu Saniyem, istrinya yang baru dinikahi. Setelah tiba di dekat sebuah perkebunan, Bedjo bertemu rombongan tentara Jepang yang bersepeda. Bedjo mengamati postur mereka yang pendek.

“Tentara Belanda kah?” tanya seorang serdadu Jepang yang kurang lancar bahasa Melayunya. Mereka curiga melihat Bedjo pakai jam tangan merek Mido. 

Bedjo mengelak tuduhan itu. Dia meyakinkan mereka bahwa dirinya orang Indonesia.

“Indonesia wa Nippong sama-sama,” kata tentara Jepang itu. 

Namun, tentara Jepang itu masih meminta jam tangan Mido tersebut. Karena dipaksa, Bedjo berani bertengkar dengan serdadu Jepang itu. Lalu muncul seorang Jepang yang sebelumnya jadi mata-mata di Kisaran dan lancar bahasa Melayu pasar. Setelah Bedjo menjelaskan siapa dirinya, Bedjo diangkut dengan truk tentara ke Medan. 

Setelah semua bengkel di Medan disita tentara Jepang, Bedjo akhirnya dipekerjakan mengepalai sebuah bengkel. Tugasnya tak hanya memperbaiki dan merakit mobil, tetapi juga memperbaiki senjata rampasan dari Belanda. 

Sepanjang masa pendudukan Jepang di Medan, selain bergiat di bengkel, Bedjo juga ikut bersama Jacob Siregar dalam Gerakan Anti Fasis. Akibatnya, dia dipanggil Kapten Kato pada suatu hari di bulan Agustus 1945.

“Karena mengetahui Jepang sudah kalah, maka Kapten Kato memberikan senjata-senjata kepada saya, berupa beberapa senapan pendek kavaleri Jepang, beberapa peti granat, pistol Jepang (hirakasang), karaben dan 3 senapan mesin Jepang beserta peluru-pelurunya,” kenang Bedjo.

Setelah pemuda-pemuda itu saya asramakan, timbul pertanyaan, dari mana makanan untuk mereka?

Bedjo menerima saja senjata-senjata itu meski belum tahu hendak digunakan untuk apa. Lalu sampailah kabar proklamasi 17 Agustus 1945 ke telinganya, yang datang dua hari setelah proklamasi di Jakarta. Hari itu sebenarnya hari-hari bahagia Bedjo dengan Saniyem, karena anak pertama mereka lahir. 

Setelah proklamasi kemerdekaan, Bedjo mengumpulkan setidaknya 300 pemuda –kira-kira setara 3 kompi– di bengkel kereta api. Mereka mendukung Republik Indonesia di Jawa. Pasukan pun terbentuk. Mereka diasramakan di gedung kosong. Soal senjata, warisan Kapten Kato dijadikan modal untuk memperkuat pasukannya itu, sisanya bisa dicari dalam pertempuran, maksudnya merampas milik lawan. 

“Setelah pemuda-pemuda itu saya asramakan, timbul pertanyaan, dari mana makanan untuk mereka? Nah, saya teringat bahwa di stasiun Pulau Berayan ada terdapat gudang berisi bahan makanan persedian tentara Jepang,” aku Bedjo. Dengan segera Bedjo dan para pengikutnya pun menguasai gedung-gedung itu.

Pasukan Bedjo bernama Laskar Pemberontak Republik Indonesia dan menginduk pada Partai Nasional Indonesia (PNI). Laskarnya lalu menjadi Nasional Pelopor Indonesia (Napindo). Kebanyakan laskar waktu itu berisi pemuda-pemuda rakyat yang tidak pernah ikut tentara Jepang maupun tentara Hindia Belanda macam Koninklijk Nederlandsch Indisch Lager (KNIL). Namun, dalam pasukan Bedjo, ada bekas tentara Jepang, bahkan beberapa sersan mayor KNIL (dari etnis Ambon dan Minahasa) yang desersi.

“Kemudian datang lagi satu kompi tentara Sekutu dari Gurkha (India-Pakistan), lengkap membawa senjata-senjata LE dan mortir bergabung dengan pasukan saya (Napindo),” aku Bedjo. 

Bedjo tidak hanya tahu diri atas kemampuan militernya yang minim, tetapi juga tahu seseorang harus ditempatkan di mana. Dia menempatkan para bekas sersan KNIL dan bekas tentara Inggris-India sebagai pelatih-pelatih pasukan Napindo yang kebanyakan kurang berpengalaman dalam kemiliteran. 

Bedjo akhirnya punya pasukan yang jumlahnya lebih dari 2 batalion. Tak hanya jumlah pengikut Bedjo yang bertambah, tetapi juga jumlah senjatanya. Napindo yang dipimpin Bedjo pun menjadi salah satu pasukan Republik terkuat di Medan. 

Kiprah Bedjo itu mendatangkan perhatian dari pimpinan tentara. Panglima Komandemen Sumatra Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo bersama Kolonel Surjo Surarso dan Kolonel Rahmat Kartakusumah mendatangi markas Bedjo, hendak mengajak Bedjo dan pasukannya masuk tentara Republik Indonesia yang resmi. Namun, Bedjo kala itu masih tidak mau.

Mayor Liberty Malau (kiri) dan Gubernur Militer Dr. F.L. Tobing di Tarutung, Desember 1949.

Bung Hatta Turun Tangan

Mengurus bekas tawanan perang adalah salah satu tujuan Sekutu memasuki Indonesia, yang usai Perjanjian Potsdam menjadi bagian yang diurus Inggris. Pada 9 Oktober 1945, tentara Inggris hadir di Medan dalam rangka Recovery of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI). Dalam komando Sekutu, tentara Belanda akan membonceng.  

Apa yang dilakukan tentara Belanda di Medan tak lain mengumpulkan bekas KNIL yang di antaranya diasramakan di Jalan Bali. Suatu kali, sekelompok tentara Belanda memaksa seorang pemuda Republiken yang memakai lencana merah putih agar menginjak-injak dan menelan lencana merah putih yang dipakainya. 

“Tentu saja kemarahan kita bukan kepalang,” ujar Ahmad Tahir dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan

Karenanya, pada 13 Oktober 1945 pertempuran antara tentara Belanda dengan para pemuda Indonesia pun meletus. Sebanyak 99 serdadu KNIL dilumpuhkan dan luka-luka. 

Dua hari berikutnya, 15 Oktober 1945, seperti disebut dalam buku Republik Indonesia: Sumatera Utara, seorang pemuda berdarah Ambon pro-Belanda menembaki sekolah Timbang Galung tempat barisan pemuda Indonesia berada. Si penembak dikejar hingga ke Siantar Hotel. Di sana, lima orang Belanda dan 10 orang Ambon tewas. 

Setelah peristiwa itu, pemuda Indonesia dilarang memiliki senjata oleh otoritas Inggris di Medan. Sudah barang tentu para pemuda menentangnya. Mulai dari Oktober 1945 suasana Medan pun tegang. Pada 1 Desember 1945, tentara Inggris menentukan garis batas di sudut-sudut pinggiran kota Medan dengan memasang papan bertuliskan: Fixed Boundaries Medan Area. Ketegangan yang sudah terjadi sebelumnya pun meningkat hingga April 1946. Pasukan Bedjo tidak ketinggalan dalam pertempuran Medan Area itu. 

“Ketika itu laskar-laskar pemuda sebenarnya telah siap-siap untuk menyerbu membabat habis pasukan Belanda di Belawan, akan tetapi dihalangi sendiri oleh pemerintah kita,” aku Bedjo. 

Setelah perundingan terjadi, otoritas Republik Indonesia mengizinkan tentara Sekutu menjemput para bekas tawanan perang Jepang. Pasukan Bedjo lalu mundur dari Medan, bergerak ke pedalaman Sumatra Utara. Markas pasukan Bedjo berada di Sintis.  

Pasukan Napindo-Bedjo terlibat pertempuran di sektiar Lubuk Pakam. Jelang diadakannya perundingan Renville, laskar-laskar dihilangkan. Semua laskar harus masuk tentara. Maka Napindo pun masuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai Brigade A.

Gubernur Teuku Hasan di Bukittinggi yang meminta saya datang untuk menyelesaikan perselisihan antara Mayor Malau dan Mayor Bedjo yang berseteru.

Brigade yang dipimpin Mayor Bedjo pernah berseteru dengan brigade yang dipimpin Mayor Liberty Malau. Tak hanya adu mulut tetapi juga adu tembak. Perseteruan keduanya memusingkan Gubernur Sumatra Teuku Mohammad Hasan. Bahkan Panglima Komandemen Sumatra, Jenderal Mayor Soehardjo Hardjowardojo, tak mampu mengatasinya. Alhasil, Wakil Presiden Mohammad Hatta terpaksa turun tangan mengatasinya.

“Gubernur Teuku Hasan di Bukittinggi yang meminta saya datang untuk menyelesaikan perselisihan antara Mayor Malau dan Mayor Bedjo yang berseteru,” ujar Hatta dalam Mohammad Hatta: Indonesian Patriot

Bung Hatta sedang safari politik ke Sumatra kala itu. Selain untuk menyapa rakyat secara formal, safari itu bertujuan menerangkan kepada rakyat tujuan bernegara dan kondisi yang sedang dihadapi negara. 

Dalam mengupayakan penyelesaian konflik Brigade Bedjo dan Brigade Malau, Bung Hatta didampingi Kolonel Hidajat. Menurut Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal-bakal Tentara Nasional di Sumatera, kedua komandan lokal yang berseteru itu tidak ingin ditengahi oleh Letnan Kolonel Alex Kawilarang selaku panglima Sub-Komandemen Sumatra Utara. Kepada Alex yang lebih junior dari Hidajat, Hidajat pun bertanya cara menyelesaikan masalah itu. 

“Menurut saya, tidak sulit. Bubarkan brigade-brigade dan bentuklah sektor-sektor,” jawab Kawilarang dalam biografinya, A.E. Kawilarang: Untuk Sang Merah-Putih

Usul Alex pun diterima. Maka, tak ada lagi brigade yang menguasai sebuah wilayah. Semua pasukan hanya beroperasi di sektor masing-masing. Wilayah yang dikuasai Mayor Bedjo dianggap sebagai Sektor I dan daerah Mayor Malau sebagai Sektor II. 

“Dalam pada itu, Pak Hatta kelihatan masih sedikit kurang senang, karena Liberty Malau tidak datang. Tetapi Pak F.L. Tobing (Residen Tapanuli) dan saya yakin Mayor Liberty Malau akan menaati keputusan itu,” ujar Alex. 

Sementara itu, pasukan Bedjo diharuskan mundur dari Sibolga ke Angkola. Setelah perang melawan tentara Belanda mereda, KSAD Kolonel A.H. Nasution pernah meminta pengerahan batalion Bedjo dan Malau. Keduanya hendak dilibatkan dalam operasi penumpasan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat. 

Bedjo meneruskan kariernya di ketentaraan. Antara 1950 hingga 1952, dia berada di sekitar Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat dan sempat menjadi komandan Batalion 1417. Dia tidak selamanya memimpin pasukan yang dipimpinnya dari zaman revolusi itu. Indische Courant voor Nederland edisi 16 Februari 1952 memberitakan, waktu bertugas di Jawa Barat, Mayor Bedjo pernah ditahan otoritas militer terkait beberapa anak buahnya yang desersi. 

Edisaputra mencatat, Bedjo sempat diperbantukan pada Asisten 1 Markas Besar Angkatan Darat. Pada 1957, dengan pangkat Letnan Kolonel, dia ikut memimpin penumpasan PRRI di Pekanbaru. Bekas pekerja bengkel ini mencapai pangkat terakhir Brigadir Jenderal.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
649a92d2980a9de2635901a2