Patung Multatuli di Kanal Singel, Amsterdam, Belanda. (Bonnie Triyana/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
MATAHARI masih jadi barang mahal di Belanda pada bulan April 2013. Suhu naik turun namun pada intinya tetap: dingin. Sesekali matahari datang mengintip dari celah awan dan seketika pula orang-orang berteriak girang. Pegawai kafe sigap menyeret kursi ke luar, memasang meja dan mempersilakan pengunjung duduk di luar kafe.
Itulah yang saya dan kawan-kawan lakukan ketika cuaca sedikit menghangat. Saya, Aboeprijadi Santoso seorang wartawan yang pernah bekerja untuk Radio Nederland di Hilversum, Gogol Rinadi, dan Imam Nasima yang sedang menempuh pendidikan doktor hukum di Den Haag, memilih duduk di luar pada sebuah kafe di Singel, Amsterdam yang letaknya tak jauh dari patung Multatuli.
Tak seberapa jauh dari patung itu, lima menit jalan kaki menuju Jalan Korsjespoortsteeg nomor 20 terletak sebuah rumah di mana Douwes Dekker dilahirkan. Rumah itu kini berfungsi sebagai museum Multatuli yang buka pada hari Selasa, Sabtu, dan Minggu. Sebuah poster Multatuli terpampang di jendela museum itu. Deretan buku tertata rapi pada sebuah rak yang berhimpitan dengan tembok. Sayang, itu hari Senin. Museum tutup. Saya hanya bisa mengintip dari depan.
MATAHARI masih jadi barang mahal di Belanda pada bulan April 2013. Suhu naik turun namun pada intinya tetap: dingin. Sesekali matahari datang mengintip dari celah awan dan seketika pula orang-orang berteriak girang. Pegawai kafe sigap menyeret kursi ke luar, memasang meja dan mempersilakan pengunjung duduk di luar kafe.
Itulah yang saya dan kawan-kawan lakukan ketika cuaca sedikit menghangat. Saya, Aboeprijadi Santoso seorang wartawan yang pernah bekerja untuk Radio Nederland di Hilversum, Gogol Rinadi, dan Imam Nasima yang sedang menempuh pendidikan doktor hukum di Den Haag, memilih duduk di luar pada sebuah kafe di Singel, Amsterdam yang letaknya tak jauh dari patung Multatuli.
Tak seberapa jauh dari patung itu, lima menit jalan kaki menuju Jalan Korsjespoortsteeg nomor 20 terletak sebuah rumah di mana Douwes Dekker dilahirkan. Rumah itu kini berfungsi sebagai museum Multatuli yang buka pada hari Selasa, Sabtu, dan Minggu. Sebuah poster Multatuli terpampang di jendela museum itu. Deretan buku tertata rapi pada sebuah rak yang berhimpitan dengan tembok. Sayang, itu hari Senin. Museum tutup. Saya hanya bisa mengintip dari depan.
Douwes Dekker alias Multatuli bukan orang Belanda biasa. Dia terkenal karena menulis roman Max Havelaar: Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia. “Het is geen roman, ‘t is een aanklacht!” Ini bukan roman tapi gugatan, begitu kata orang-orang Belanda pada 2010 lalu saat merayakan 150 tahun terbitnya Max Havelaar. Roman yang menjadi tonggak penulisan sastra modern Belanda itu kemudian ditetapkan sebagai warisan kebudayaan dunia oleh Unesco.
Berbeda dengan warga Belanda yang merayakan Multatuli, di Indonesia sepi-sepi saja. Bahkan di Rangkasbitung, tempat di mana inspirasi menulis roman itu datang, rumah yang dipercaya pernah ditempati oleh Multatuli kini teronggok, mangkrak sebagai tumpukan puing-puing tak bermakna di belakang Rumah Sakit Umum Dr. Adjidarmo, Rangkasbitung, Banten.
Douwes Dekker datang ke Rangkasbitung pada 4 Januari 1856. Pemuda Belanda berusia 35 tahun itu mulai bertugas sebagai asisten residen Lebak sejak 22 Januari 1856 dan berhenti dua bulan setengah kemudian. Pokok persoalannya karena dia menentang rencana perhelatan besar sang adipati RT Kartanatanagara menyambut sanak familinya dari Cianjur. Bukan itu saja, Dekker curiga terhadap Raden Wirakusuma, menantu adipati, bertanggung jawab atas tewasnya CEP Carolus, asisten residen Lebak sebelum Dekker.
Dekker meradang. Mengajukan gugatan terhadap berbagai ketidakadilan: bagaimana bisa sang adipati menyelenggarakan hajat besar-besaran sementara penduduk hidup dalam kemiskinan. Dia protes namun dianggap sepi oleh atasanya. Pejabat Belanda tak menghiraukan suara Dekker. Alih-alih didengar, pangkat Dekker diturunkan dan dia dimutasi ke Ngawi, Jawa Timur. Dia menolaknya dan mengajukan berhenti pada 29 Maret 1856. Pada 1857 Dekker pulang kampung, lantas menulis roman Max Havelaar di sebuah kamar hotel di Brussel, Belgia dengan nama samaran Multatuli (bahasa Latin: Aku telah banyak menderita). Roman itu ditulisnya selama tiga minggu saja, mulai 17 September–3 November 1859.
Multatuli seperti jadi orang buangan di negerinya sendiri. Dia miskin dan terlunta-lunta, terasing dari bangsanya. Dianggap saraf, melawan arus dan frustrasi. Tak aneh bila datang tuduhan kepadanya kalau roman yang mendunia itu merupakan curhat kekecewaan seseorang yang kehilangan jabatan serta pekerjaannya. Namun, apapun tuduhan yang dialamatkan kepadanya, roman tersebut jadi inspirasi gerakan pembebasan di Hindia Belanda. Sukarno mengutip Max Havelaar dalam persidangannya di Landraad, Bandung, Desember 1930, sebagai bukti bahwa penjajahan Belanda mendatangkan kesusahan buat rakyat Indonesia.
Orang Klayaban
Bicara soal orang “buangan”, ternyata Belanda memang menyimpan banyak kisah soal orang-orang yang terasing dari negerinya. Bukan hanya Multatuli yang “terasing” di negerinya sendiri tapi juga orang-orang dari negeri jauh yang terpaksa hidup di Belanda sebagai pengasingan. Mereka adalah orang-orang yang kerap disebut eksil yang tak pulang ke Indonesia sejak peristiwa 1 Oktober 1965 terjadi di Jakarta.
Sebagian dari mereka adalah mahasiswa Indonesia yang pernah tugas belajar di Eropa timur, sebagian lagi korps diplomatik era Sukarno dan sebagian adalah delegasi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memenuhi undangan Partai Komunis Tiongkok pada hari raya nasional Tiongkok 1 Oktober 1965. Mereka yang termasuk kelompok terakhir, hengkang ke Belanda setelah tinggal selama lebih dari sepuluh tahun di Tiongkok. Mulai masuk Belanda sejak pengujung 1980-an sebagai suaka politik.
Setiap kali berkunjung ke Belanda, saya selalu berkesempatan menemui mereka, para “kaum klayaban,” demikian Gus Dur pernah memberi julukan. Kendati sudah jadi warga negara Belanda (tentu saja karena terpaksa), kecintaan mereka terhadap Indonesia tidak pernah luntur sedikit pun. Mintardjo misalnya. Pria yang akrab disapa Pak Min itu berusia 80 tahun lebih. Menetap di Belanda sejak 1990 dan dua tahun kemudian mendapatkan paspor Belanda. Sebelum jadi warga negara Negeri Kincir Angin itu, Pak Min tinggal di Rumania. Dia datang ke Rumania kali pertama pada 1962 sebagai wakil Indonesia dalam Festival Pemuda Internasional. Min tak sendiri. Ada 350 pemuda Indonesia yang ikut serta festival tersebut. Kepiawaiannya menggocek bola membawanya pergi ke Rumania.
Ketika festival usai Min tak segera pulang. Dia tak menampik tawaran Soekrisno, duta besar Indonesia untuk Rumania, untuk kuliah ekonomi di sana. Kuliah belum usai, rezim harus berganti. Sukarno diganti Soeharto. Pemuda Mintardjo disodori kertas, disuruh teken pernyataan: mendukung Jenderal Soeharto. Tak ada informasi yang jelas membuat Mintardjo tetap merasa Sukarno sebagai presidennya. Dia menolak tanda tangan. Apa boleh buat paspor lambang garuda dicopot secara sepihak.
Setelah Ilyana Gabriela, istrinya yang berdarah Rumania, meninggal, Min tingal sendiri di Oegstgeest tak jauh dari Leiden. Tapi dia tak pernah kesepian. Rumahnya jadi tempat singgah para mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Leiden. Dia pun mengelola sebuah yayasan, Stichting Sapulidi namanya. Selalu saja ada diskusi tentang Indonesia. Temanya merentang luas, mulai sejarah, antropologi sampai dengan filsafat. Pembicaranya pun para mahasiswa yang sedang studi atau intelektual yang kebetulan sedang singgah di negeri dinasti oranye itu. “Pintu rumah di sini selalu terbuka untuk siapa pun dari Indonesia yang mau belajar di sini,” kata Mintardjo.
Yang senasib dengan Mintardjo bukan hanya satu dua. Dharmawan Isaak, misalnya. Kakek berusia 83 tahun itu tak pernah menyangka garis nasib membawanya hidup di Belanda. Dia berangkat ke Tiongkok pada Oktober 1965 untuk menghadiri perayaan hari nasional Tiongkok ke-16. Dharmawan bukan orang sembarangan. Dia rektor Institut Gerakan Tani dan Ilmu Pertanian Egom. Institut itu berafiliasi dengan PKI. Tugas lain bagi Dharmawan dalam kunjungan singkat itu adalah belajar membiakkan ikan dengan jalan beda. “Karena cara itu bisa mempercepat produksi,” kata dia.
Belum sempat mempraktikkan apa yang didapatnya di Tiongkok, jalan pulang ke Indonesia terhalang. Badannya ada di Tiongkok tapi pikiran terbang sampai ke Indonesia. “Keadaan frustrasi, meninggalkan istri dan dua anak yang masih kecil,” katanya mengenang. Maka dia pun pergi ke Soviet, mencari peruntungan baru untuk kuliah kedokteran di Moskow. Tak lama kemudian dia dengar kabar, istrinya dikawin seorang tentara.
“Saya selalu emosional bila menceritakan anak-anak saya. Apa boleh buat, saya dengan dia sama-sama korban,” kata Dharmawan menitikkan air mata saat berkisah tentang anak yang sempat membencinya. “Tapi kini dia sadar, dan mengatakan seharusnya dia bangga pada bapaknya,” katanya menambahkan.
Setelah Soviet bangkrut awal 1990-an, Dharmawan dapat suaka di Belanda. Tinggal di Amersfoort bersama istrinya, seorang perempuan asal Lithuania. Dari pernikahannya yang kedua itu dia punya dua anak. Untuk mengisi kegiatan sehari-hari, Dharmawan kerap menulis. “Saya sedang menulis tentang kemiliteran, berdasarkan apa yang ada di ingatan saya.”
Lain Mintardjo dan Dharmawan, lain lagi kisah Sarmadji, pria asal Solo berusia 80 tahun. Dia suka guyon. Bahkan kerap menertawakan diri sendiri atas kisah apapun yang menimpa dirinya. “Dulu saya lahir waktu Indonesia masih Hindia Belanda. Tapi gara-gara itu saya bisa dengan mudah mendapatkan suaka paspor Belanda, jadi kawulo Ratu… aduh mati aku,” katanya sambil menepuk jidat.
Sarmadji tiba di Belanda lebih mula dari Mintardjo dan Dharmawan. Pada 1970-an dia sudah masuk ke Belanda, lewat Jerman. Diterima kerja di pabrik kaca. Lewat jasa baik seorang anggota parlemen dari Partai Komunis Belanda (Communistische Partij Nederland, CPN) Sarmadji mendapatkan kewarganegaraan Belanda karena dianggap lahir pada masa Indonesia masih jadi bagian Belanda.
Pada rumah pria yang memilih hidup melajang itu ribuan buku, terbitan berkala, arsip dan berbagai dokumen tentang sejarah Indonesia bertumpuk memenuhi rak sampai kamar tidur. Tak sedikit mahasiswa dan peneliti sejarah Indonesia yang memanfaatkan koleksi Sarmadji untuk bahan-bahan risetnya.
Di Belanda ini juga ikut “terdampar” seorang sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Kuslan Budiman namanya. Dia sohor sebagai penyair, salah satu pendiri sanggar Bumi Tarung. Lulus dari Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, dia pergi ke Tiongkok untuk belajar di Akademi Drama dan Opera Beijing lantas ke Uni Soviet memperdalam bahasa Rusia. Senasib dengan yang lain, lelaki yang lahir di lereng Gunung Sengunglung, Jawa Timur tahun 1935 itu kini jadi warga negara Belanda.
Raja Naik Takhta
Pada bulan April 2013 ini pula Belanda mengadakan perhelatan besar: penyerahan kekuasaan Kerajaan Belanda dari Ratu Beatrix kepada putra mahkota Pangeran Willem Alexander. Dia adalah anak tertua Ratu Beatrix, lahir di Utrech, 27 April 1967. Hari H perayaan itu dilangsungkan 30 April yang lalu di Nieuwe Kerk, Amsterdam. Ribuan warga Belanda berkumpul di Istana Dam, Amsterdam, menyambut sang raja baru.
Saya sendiri tak sempat menghadiri acara penobatan itu di Belanda. Sebagai gantinya, pada hari yang sama Kedutaan Besar Belanda menyelenggarakan resepsi penobatan raja baru di sebuah hotel di Jakarta. Namun, dua pekan sebelum acara dilangsungkan, saya melihat ada persiapan yang dilakukan pemerintah kota Amsterdam. Beberapa tempat di sekitar Dam diperbaiki dan dipercantik. Pada saat saya berada di Belanda pula, Ratu Beatrix meresmikan kembali Rijk Museum untuk umum setelah selama hampir sepuluh tahun direnovasi.
Ratu Beatrix berkuasa selama 33 tahun, setelah mewarisi takhta ibunya, Ratu Juliana. Selama tiga generasi, Belanda dipimpin oleh seorang ratu. Nenek Juliana, Ratu Wilhelmina, berkuasa selama 50 tahun lebih. Bertakhtanya Pangeran Willem ini menandai lagi kepemimpinan seorang raja setelah selama hampir dua abad Belanda dipimpin oleh perempuan.
Ketika Indonesia merdeka, Belanda di bawah kekuasaan Ratu Juliana. Dia juga yang menyerahkan kedaulatan sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 27 Desember 1949. Jangan aneh jika orang Belanda sampai sekarang tak pernah mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Buat mereka, Indonesia baru merdeka pada 1949. Belanda memang negeri kecil yang sempat bergantung kepada Indonesia sebagai jajahannya. Sampai-sampai ada istilah “Indie is de kurk waarop Nederland drijft”, kira-kira artinya dalam bahasa Indonesia: gabus di atas mana Belanda bisa mengapung. Tapi itu dulu. Kalau sekarang, siapa yang mengapung dan siapa yang tenggelam? Sering juga ada pertanyaan, bagaimana bangsa sekecil itu bisa menjajah Indonesia –walaupun banyak versi– selama ratusan tahun? Itulah yang tak pernah tuntas saya pikirkan ketika berjalan di gang-gang kecil tak jauh dari Zeedijk yang sangat terkenal itu.*