Menguasai bahasa dari negeri yang ditelitinya. Manusia lintas batas: lahir di Tiongkok, tumbuh besar di Irlandia dan Inggris, mengajar di Amerika dan wafat di Indonesia.
Ben Anderson dalam sebuah acara di National University, Irlandia pada 2012. (Aengus McMahon).
Aa
Aa
Aa
Aa
SUATU pagi bulan September yang dingin di Desa Freeville, di dekat kota Ithaca, New York bagian atas, saya berjumpa dengan Ben Anderson terakhir kali. Saya diundang oleh Cornell Southeast Asia Program (SEAP) untuk bicara soal pembantaian 1965. Pihak SEAP sebetulnya menyediakan hotel. Namun, saya memilih menghubungi Om Ben (begitu kami memanggilnya) dan meminta apakah saya boleh menumpang di rumahnya. Jawabannya sangat antusias,“Of course I will be delighted if you would like to stay at my old house. Ben Abel is very happy too, and probably we will talk and talk and talk.”
Ben Abel adalah kompanyon terdekat Ben Anderson. Dia adalah juga sahabat terdekat saya di Ithaca. Karena di sekitar Cornell itu banyak sekali nama Ben, orang kadang bingung untuk membedakannya. Benny anak angkatnya Ben Anderson juga dipanggil Ben. Ada Benny satu lagi yang mahasiswa. Kemudian ada Benny yang lain yang menjadi visiting scholar. Karena itu, keisengan pun muncul. Ben Anderson sering dipanggil Benson. Lalu Ben Abel dipanggil apa? Bensin. Tapi kemudian panggilan ini berubah. Ketika anak pertamanya lahir, dia kami panggil Benali –Ben bapaknya Ali.
Kunjungan singkat saya ke Ithaca itu ternyata tidak memberi kesempatan kepada saya untuk bicara banyak dengan Om Ben. Dia sibuk menyelesaikan manuskrip buku terbarunya. Saya sendiri sibuk dengan persiapan berbicara dan mengunjungi teman. Namun, pagi sebelum acara di SEAP saya sempat bicara agak lama di dapur rumahnya. Ini adalah tempat yang paling dikangeni oleh banyak orang yang mengenal Ben. Di sinilah pertukaran ide, informasi, lelucon, dan sekian banyak desas-desus itu berlangsung. Tentu sambil makan enak dan minum yang enak.
SUATU pagi bulan September yang dingin di Desa Freeville, di dekat kota Ithaca, New York bagian atas, saya berjumpa dengan Ben Anderson terakhir kali. Saya diundang oleh Cornell Southeast Asia Program (SEAP) untuk bicara soal pembantaian 1965. Pihak SEAP sebetulnya menyediakan hotel. Namun, saya memilih menghubungi Om Ben (begitu kami memanggilnya) dan meminta apakah saya boleh menumpang di rumahnya. Jawabannya sangat antusias,“Of course I will be delighted if you would like to stay at my old house. Ben Abel is very happy too, and probably we will talk and talk and talk.”
Ben Abel adalah kompanyon terdekat Ben Anderson. Dia adalah juga sahabat terdekat saya di Ithaca. Karena di sekitar Cornell itu banyak sekali nama Ben, orang kadang bingung untuk membedakannya. Benny anak angkatnya Ben Anderson juga dipanggil Ben. Ada Benny satu lagi yang mahasiswa. Kemudian ada Benny yang lain yang menjadi visiting scholar. Karena itu, keisengan pun muncul. Ben Anderson sering dipanggil Benson. Lalu Ben Abel dipanggil apa? Bensin. Tapi kemudian panggilan ini berubah. Ketika anak pertamanya lahir, dia kami panggil Benali –Ben bapaknya Ali.
Kunjungan singkat saya ke Ithaca itu ternyata tidak memberi kesempatan kepada saya untuk bicara banyak dengan Om Ben. Dia sibuk menyelesaikan manuskrip buku terbarunya. Saya sendiri sibuk dengan persiapan berbicara dan mengunjungi teman. Namun, pagi sebelum acara di SEAP saya sempat bicara agak lama di dapur rumahnya. Ini adalah tempat yang paling dikangeni oleh banyak orang yang mengenal Ben. Di sinilah pertukaran ide, informasi, lelucon, dan sekian banyak desas-desus itu berlangsung. Tentu sambil makan enak dan minum yang enak.
Pagi itu, saya menceritakan soal riset saya tentang Yogyakarta. Dia tampak tertarik dengan cerita bagaimana kota ini berubah. Namun itu tidak membikinnya heran. Hal yang selalu membikin dia tercengang adalah nama-nama “kebesaran” (baca: kedodoran) yang dipakai raja-raja Jawa yang berlawanan dengan kenyataan. Namun bahwa mereka selalu berantem dan melakukan intrik tingkat tinggi, itu bukanlah hal yang aneh. Di mana-mana monarki juga begitu. Tentu, seperti biasa, banyak hal yang kami jadikan bahan tertawaan. Ketika gantian dia yang bercerita, dia omong tentang pengarang muda favoritnya: Eka Kurniawan.
Butuh waktu agak lama buat saya untuk sadar bahwa agaknya ada sebuah “komunitas” yang berpusat pada Ben Anderson. Sebagian besar orang-orang ini saling kenal namun ada juga yang tidak. Sebagian adalah orang-orang yang belajar Asia Tenggara. Sebagian lagi adalah para aktivis, jurnalis, sastrawan. Sebagian lagi campuran keduanya. Pergaulan dan pengaruh Ben sedemikian luasnya. Karyanya dibaca oleh orang yang belajar ilmu politik, antropologi, sosiologi, kritik sastra, hingga ke studi kebudayaan.
Dari manakah keluasan pengetahuan itu datang? Ben Anderson lahir di Kunming, Tiongkok Selatan, pada 26 Agustus 1936. Ayahnya adalah petugas pabean maritim Tiongkok ketika itu, sebuah usaha pemungutan pajak kerja sama Kerajaan Inggris dan Tiongkok. Dia menghabiskan masa kecilnya berpindah-pindah. Dan dari sejak kecil, Ben dibesarkan sebagai seorang poliglot (orang yang bisa bicara banyak bahasa). Dia pernah bercerita bahwa kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah bahasa Vietnam. Itu karena pengasuhnya adalah seorang ibu dari Vietnam.
Masa kecilnya dihabiskan sebentar di California, kemudian di Irlandia, dan London. Dia bersekolah di Eton College, sebuah sekolah elite di Inggris. Kemudian dia belajar sastra klasik di Universitas Cambridge. Selepas dari Cambridge, Ben melakukan studi doktoralnya di Cornell University di bawah George McT. Kahin. Selepas belajar, Ben ditawari mengajar di Cornell dan itu dia lakukan sampai akhir hidupnya.
Karya-karya Ben Anderson pada masa-masa awal berpusat pada Indonesia. Dia menulis disertasi tentang pemuda pada masa revolusi. Dengan mengambil sisi pemuda ini, Ben sesungguhnya memperlihatkan sisi baru dalam sebuah revolusi. Umumnya di dunia ini, orang berbicara penggerak revolusi akan berpusat pada dua kekuatan: buruh atau petani. Namun, Ben mengambil jalan lain dengan memperlihatkan peranan pemuda, sebuah kategori yang diabaikan dalam pembahasan tentang revolusi.
Ketika baru saja menyelesaikan disertasinya, terjadilah percobaan kudeta oleh para perwira muda TNI AD di Jakarta. Ini membuat akses Ben dan banyak sarjana dari luar ke Indonesia terbatas kalau tidak tertutup. Namun itu tidak membuat Universitas Cornell sebagai sebuah pusat studi Asia Tenggara untuk tidak mengabaikan Indonesia. Bersama dua sarjana lainnya, Ruth McVey, dan Fred Bunnel, Ben membikin analisis pendahuluan tentang kudeta ini. Mereka memperhatikan perwira-perwira muda yang terlibat Gerakan 30 September. Ternyata, sebagian besar dari mereka adalah perwira-perwira Kodam Diponegoro dan bekas anak buah Soeharto.
Analisis pendahuluan ini sesungguhnya tidak untuk konsumsi umum. Namun, entah kenapa naskah ini beredar dari tangan ke tangan. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya naskah ini diterbitkan oleh Cornell Modern Indonesia Project pada awal tahun 1970-an. Namun malang bagi Ben. Penerbitan ini malah membuatnya dilarang untuk kembali ke Indonesia. Pada tahun 1972, ketika mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, seorang kolonel Angkatan Darat sudah menunggunya. Dia dikeluarkan dari Indonesia dengan pesawat pertama. Dia tidak bisa masuk ke Indonesia hingga Soeharto dan Orde Barunya jatuh.
Sulit untuk membayangkan seorang ilmuwan tidak boleh melakukan riset di tempat yang menjadi keahliannya. Keadaan itu memaksa Ben untuk melakukan riset pustaka. Hasilnya adalah sekumpulan esei yang disatukan dalam buku Language and Power atau Bahasa dan Kekuasaan. Hampir semua tulisan dalam kumpulan itu berasal dari hasil membaca berbagai terbitan yang terkumpul di Perpustakaan Cornell. Untunglah perpustakaan itu menjadi salah satu sumber terbaik di dunia untuk kajian Asia Tenggara.
Sepuluh tahun kemudian, pada 1983, Ben menyelesaikan penulisan buku yang membuatnya dikenal hingga sekarang. Itu adalah buku Imagined Communities yang berbicara tentang lahirnya nasionalisme. Di dalam buku itu, Ben berbicara tentang sebuah kualitas yang mengubah sama sekali kondisi mental kebudayaan masyarakat. Perubahan ini dibawa oleh kapitalisme media cetak. Perubahan mental itu adalah kemampuan untuk membayangkan diri sebagai sebuah “bangsa”. Buku ini merupakan kritik terhadap teori pembentukan bangsa yang umumnya menitikberatkan pada dimensi perang dan penaklukan. Ia juga memberikan teori dan pemahaman baru tentang nasionalisme dan identitas politik.
Buku Imagined Communities jelas memperlihatkan keluasan dan kedalaman pengetahuan Ben Anderson akan sejarah, filsafat, kebudayaan, serta teori-teori sosial. Dia melompat dari satu kasus ke kasus lain seraya menunjukkan hubungan-hubungannya dan memberinya konteks. Salah satu kekuatan Ben adalah memberikan konteks terhadap satu kejadian dan mendudukkannya secara relatif terhadap kejadian lain.
Setelah menyelesaikan buku ini, Ben beranjak menjelajahi teritori baru. Dia belajar membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Thailand. Ia pun menetap di Bangkok. Beberapa karangannya tentang Thailand pun bermunculan. Salah satunya, yang juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah kumpulan cerpen In The Mirror. Dia cukup menanamkan pengaruh dalam studi tentang Thai atau Siam. Dia fasih berbicara dan membaca dalam Thai.
Negara terakhir yang menjadi studinya adalah Filipina. Ben memang belajar Tagalog namun agaknya dia tidak berbicara semahir dia bicara dalam bahasa Indonesia atau Thai. Namun yang lebih penting dari itu adalah belajar bahasa Spanyol. Dia dengan cepat menemukan betapa teks terjemahan novel Noli Me Tangere karangan Jose Rizal, bapak bangsa Filipina, ternyata banyak yang diselewengkan. Hasil utama dari belajar Filipina adalah sebuah buku Under Three Flags: Anarchism and the AntiColonial Imagination, yang baru saja diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Di Bawah Tiga Bendera dan diluncurkan beberapa hari sebelum dia meninggal.
Di Indonesia, Ben Anderson dikenal sebagai seorang Indonesianis. Namun benarkah dia seorang Indonesianis? Mengapa Indonesianis itu selalu bule (istilah bule juga awalnya ikut dipopulerkan oleh Ben)? Melihat keluasan wilayah yang dikaji oleh Ben, sulit untuk mengatakan bahwa dia adalah hanya seorang Indonesianis atau ahli Indonesia semata. Lebih sulit lagi karena ternyata karya Ben tentang Indonesia secara teritorial hanya terfokus pada Jawa saja. Selebihnya Ben lebih menulis tentang tentara. Dia adalah salah satu perintis dan bekas editor dari The Current Data on The Indonesian Military Elites yang terbit secara berkala di jurnal Indonesia terbitan Cornell.
Saya tidak pernah bertanya secara pada Ben apakah dia merasa sebagai seorang Indonesianis atau tidak. Mungkin iya. Akan tetapi, saya selalu ingat akan nasihatnya –dan juga nasihat beberapa profesor lainnya– bahwa kita tidak boleh terkungkung pada satu pendekatan atau satu wilayah. Atau dalam bahasanya Ben, “Ambil dari sini dan sana, campur jadi satu, supaya jadi lezat!”
Yang jelas, Ben Anderson mengambil dari Indonesia dan dari banyak kawasan dan meramunya menjadi satu kajian ilmu sosial yang menyenangkan. Dia pertama-tama adalah seorang poliglot. Ini memungkinkan dia untuk berkomunikasi dan menyelam ke dalam banyak masyarakat. Yang kedua, dia adalah seorang comparativist yang sejati. Tidak saja dia pandai membikin perbandingan, mencari persamaan dan kontras antara satu kasus dengan kasus lainnya, dia juga mahir membandingkan antara dimensi waktu.
Dalam hal ini, Asia Tenggara memberikan dia peluang untuk menjadi comparativist sejati. Tidak ada wilayah di dunia ini yang selengkap Asia Tenggara. Di wilayah ini ada republik, ada monarki, ada pemerintahan demokratis, ada pemerintahan otoriter, ada pemerintahan militer, ada pemerintahan sipil, ada pemerintahan kapitalis, ada pemerintahan yang komunis, dan lain sebagainya. Demikian beragamnya sehingga menjadi sangat sedap untuk diramu dalam studi perbandingan.
Selebihnya, Ben Anderson adalah kawan yang menyenangkan. Dia akan menjadi tuan rumah yang sangat baik jika kita diundang berkunjung ke rumahnya. Dia akan memasak dan sambil memasak dia akan melayani kita dan banyak bertanya ini dan itu. Biasanya yang dia tanyakan adalah hal-hal yang hendak dia tulis. Dengan Ben, upacara sesungguhnya baru dimulai setelah makan. Dia akan duduk dan akan bicara panjang lebar tentang apa yang dia pikirkan. Tentu tangannya tidak akan pernah berhenti mengambil makanan dan menuang anggur.
Dia juga mengagumkan ketika membikin plesetan. Seperti misalnya salah satu semboyan yang selalu saya ingat, “Perut maju, pantat mundur”!
Penulis adalah peneliti dan mantan editor JoyoNews.