Bentrokan TNI dan Polisi

Bentrokan tentara dan polisi telah terjadi sejak awal Indonesia berdiri. Penyebabnya mulai dari perbedaan ideologi, kepentingan ekonomi, hingga ego antarangkatan.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Bentrokan TNI dan PolisiBentrokan TNI dan Polisi
cover caption
Pasukan Mobile Brigade (Mobrig) kemudian menjadi Brimob, 1946. (Repro Pasukan Polisi Istimewa).

TAK puas atas penanganan kasus pembunuhan rekan mereka yang ditangani Kepolisian Resor Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan, ratusan anggota Batalyon Artileri Medan 15 Tarik Martapura mendatangi Mapolres pada 7 Maret 2013. Dalihnya akan berdialog, tetapi mereka malah mengamuk.  

Beberapa polisi dan pegawai di Mapolres dihajar. Bangunan Mapolres dibakar. Beberapa kendaraan hangus terbakar. “Begitu datang, kejadian itu langsung terjadi,” ujar Komisaris Fajar Prihantoro, Inspektur Pengawasan Umum Markas Besar Kepolisian RI.

Tak berhenti di sini. Mereka menghampiri Polsek Martapura dan menghajar beberapa polisi di sana, termasuk Kapolsek Komisaris Ridwan. Mereka juga merusak beberapa pos polisi. Akibatnya, empat orang luka-luka dan seorang sipil tewas.

TAK puas atas penanganan kasus pembunuhan rekan mereka yang ditangani Kepolisian Resor Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan, ratusan anggota Batalyon Artileri Medan 15 Tarik Martapura mendatangi Mapolres pada 7 Maret 2013. Dalihnya akan berdialog, tetapi mereka malah mengamuk.  

Beberapa polisi dan pegawai di Mapolres dihajar. Bangunan Mapolres dibakar. Beberapa kendaraan hangus terbakar. “Begitu datang, kejadian itu langsung terjadi,” ujar Komisaris Fajar Prihantoro, Inspektur Pengawasan Umum Markas Besar Kepolisian RI.

Tak berhenti di sini. Mereka menghampiri Polsek Martapura dan menghajar beberapa polisi di sana, termasuk Kapolsek Komisaris Ridwan. Mereka juga merusak beberapa pos polisi. Akibatnya, empat orang luka-luka dan seorang sipil tewas.

Penyerangan itu merupakan buntut dari tewasnya Prajurit Satu (Pratu) Heru Oktavianus oleh Brigadir Bintara Wijaya pada 27 Januari 2013. Saat itu, Heru mencoba kabur setelah melakukan pelanggaran lalu lintas. Wijaya mengejar. Dalam pengejaran Heru ambruk tertembus peluru Wijaya.  

Penyerangan anggota Yon Armed 15 Tarik Martapura itu menambah panjang daftar insiden tentara-polisi yang terjadi di negeri ini.

Konflik Komunal

Dalam sejarah, bentrokan bukan hanya terjadi antara polisi dan militer. Bentrok sesama institusi tentara beberapa kali terjadi. Sejak hari-hari pertama proklamasi, konflik di tubuh militer menghiasi perjalanan sejarah Republik. Penyebabnya bermacam-macam: perbedaan ideologi, kepentingan ekonomi, hingga ego antarangkatan.  

Yang paling kentara adalah konflik Angkatan Udara-Angkatan Darat, yang terus berlangsung hingga berakhirnya era pemerintahan Sukarno. Pemicunya adalah prestise dari masing-masing petingginya, KSAU Laksamana Soerjadi Soeryadarma dan KSAD Jenderal TNI A.H. Nasution. Betapapun konflik itu tak meruncing ke bentrokan senjata, kecuali sewaktu terjadi upaya pendongkelan KSAU Sri Mulyono Herlambang oleh perwira AURI yang didukung pasukan Kostrad pada 1960-an. “Konflik itu nggak pernah terbuka, itu antarpimpinan misalnya,” ujar Saleh A. Djamhari, dosen sejarah Universitas Indonesia, kepada Historia.  

Di masa revolusi, konflik bersenjata kerap terjadi antara kesatuan tentara reguler dan laskar. Pada Juni 1948, misalnya, pasukan TNI reguler bentrok dengan anggota Hizbullah, pasukan paramiliter bentukan Masyumi, di daerah antara Kabupaten Nganjuk dan Jombang, Jawa Timur. Pada waktu hampir bersamaan, pertempuran pecah antara Divisi Narotama dan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) di Pabrik Gula Purwoasri, Kediri. Pada 13 September tahun yang sama, unit-unit Hizbullah menyapu bersih Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI), yang berafiliasi dengan Pesindo.

Ketegangan yang melibatkan kesatuan polisi terjadi menjelang dan sesudah Peristiwa Madiun tahun 1948. Mulanya, di Solo, pecah pertempuran antara Divisi Panembahan Senopati dan Divisi Siliwangi, yang hijrah dari Jawa Barat sebagai akibat Perjanjian Renville. Ekses dari peristiwa ini, kesatuan Brigade 29, yang anggotanya terutama terdiri dari anggota Pesindo dan mendukung PKI Musso, melucuti senjata Batalyon Siliwangi dan Mobile Brigade Polisi (Mobrig) –kini Brimob. Pertempuran pun tak terhindarkan. Ketika situasi berubah arah, Mobrig gantian melucuti pasukan Brigade 29 yang bermarkas di Hotel Lestari, Blitar, disusul dengan penangkapan-penangkapan.

Menurut David Charles Anderson dalam Peristiwa Madiun 1948: Kudeta atau Konflik Internal Tentara?, banyaknya konflik bersenjata antara kesatuan militer, laskar, atau polisi terjadi akibat konflik komunal yang sudah berlangsung lama yang diperparah dengan kekisruhan politik. Konflik diwarnai saling serang antarkekuatan, tingginya egosentrisme di antara para anggota kesatuan bersenjata, dan diperparah oleh kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra), perampingan struktur angkatan perang yang digulirkan pemerintah Mohammad Hatta.

Berita bentrokan RPKAD (kini Kopassus) dan Brimob.

Dari Politik hingga Kecemburuan

Menjelang dan tak lama setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, intensitas konflik meningkat. Yang terkenal adalah bentrokan pasukan KKO (kini Marinir) melawan pasukan RPKAD (kini Kopassus) di Jalan Kwini, Jakarta Pusat, pada Oktober 1963. Dipicu saling ejek di antara anggota dua pasukan elite itu sewaktu mereka sama-sama latihan di Lapangan Banteng, bentrokan tak terhindarkan. Beberapa prajurit luka-luka dan seorang perawat Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) tewas.  

Bagi Maulwi Saelan, bentrokan itu tidaklah aneh. “Karena memang ada ketegangan antara Tjakra dengan RPKAD,” kenang Maulwi Saelan, mantan wakil komandan Tjakrabirawa (pasukan pengaman presiden), yang unit KKO-nya terlibat bentrokan tersebut. Tjakrabirawa sendiri berisi pasukan-pasukan yang terlatih dengan baik dari keempat angkatan: KKO (AL), Pasukan Gerak Tjepat (AURI), Brimob (Kepolisian), dan Batalyon Raider (AD).

Perkelahian dahsyat juga terjadi antara RPKAD dengan Resimen Pelopor dari Brimob pada 1968. “Pada kasus ini Dading [Kalbuadi] diminta menyelesaikannya dengan Anton Soedjarwo [komandan Resimen Pelopor], karena mereka sahabat lama, sama-sama bekas Tentara Pelajar di masa perang kemerdekaan. Penyebab insiden umumnya dipicu soal-soal sepele,” tulis Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis.

Bara konflik juga sudah mengepul sebelumnya. Menurut Sarlito Wirawan, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dengan alasan bermacam-macam tetapi umumnya karena masalah perorangan, kejadian seperti itu terjadi berkali-kali, bahkan sejak Orde Lama.  

“Semasa saya aktif demo di tahun 1966, RPKAD, Divisi Siliwangi dan Kostrad (yang pro-Soeharto dan mahasiswa) konflik melawan Brimob, KKO, TNI AU, dan Tjakrabirawa (yang pro-Sukarno). Latar belakangnya: politik,” tulis Sarlito dalam artikelnya di Seputar Indonesia, 17 Maret 2013. “Tentu saja hari ini hampir tidak ada lagi pengaruh politik pada hubungan TNI-Polri. Kedua institusi sudah menyatakan diri bebas politik.”

Sekalipun bebas dari kepentingan politik, konflik ibarat api dalam sekam, bisa muncul kapan saja. Meredamnya tergantung koordinasi dan kelihaian para komandannya. Misalnya, ketika Hoegeng menjabat Reskrim di Medan, Sumatra Utara, dia kerap membongkar kasus penyelundupan dan perjudian yang dibekingi tentara atau polisi.  

“Kalau ada oknum tentara yang tertangkap, maka Hoegeng perlu melakukan koordinasi dengan komandan satuannya, untuk menentukan tindakan bagi oknum tersebut. Namun, biasanya oknum tentara yang bersalah akan diajukan ke mahkamah militer,” tulis Aris Santoso, dkk. dalam biografi Hoegeng.

Setelah masa reformasi, konflik Polri-TNI kerap muncul, sebagai dampak pemisahan kepolisian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia –nama yang dipakai sebelum Tentara Nasional Indonesia. Konflik antara pasukan Yon Kav Kodam VI/Tanjungpura melawan Brimob Polda Kalbar di Sungai Raya pada Oktober 1998 rasanya belum hilang dari ingatan. Atau bentrokan TNI AU dan polisi di Pekanbaru, Riau, pada November 2007.  

Meski berbagai sanksi, termasuk pemecatan, sudah dijatuhkan kepada pihak-pihak yang terlibat, konflik antarangkatan belum hilang sama sekali. Banyak kalangan menyebut konflik terjadi lantaran kecemburuan kalangan prajurit terhadap polisi yang kini jauh lebih sejahtera.*

Majalah Historia No. 12 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
661bf2c349411550c1a2ffcb
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID