Menteri Agama Mukti Ali bersama Gubernur Jawa Timur Mohammad Noer dan pejabat lain turut serta dalam pemakaman syuhada haji, korban kecelakaan pesawat di Colombo, Srilanka tahun 1974. (flickr.com).
Aa
Aa
Aa
Aa
KAWASAN Makam Sunan Ampel di Surabaya penuh sesak. Para peziarah berduyun-duyun memasuki area makam. Maklum, masih suasana Idulfitri. Di kompleks ini terdapat makam Sunan Ampel, yang menjadi satu dengan Masjid Ampel yang punya nilai sejarah.
Di kompleks ini pula terdapat sebuah makam para “syuhada” haji, korban kecelakaan pesawat di Kolombo, Srilanka, tahun 1974. Batu nisannya terbuat dari pualam dan berukirkan nama 182 korban yang berasal dari berbagai daerah. Meski tertulis 182 nama, yang dikuburkan di dalamnya hanyalah delapan bagian anggota tubuh yang berhasil ditemukan dan tak dikenali identitasnya, sebagai simbol seluruh korban. Sebagian besar jenazah dimakamkan secara massal di Maskeliya, Srilanka, termasuk tujuh awak asal Belanda.
KAWASAN Makam Sunan Ampel di Surabaya penuh sesak. Para peziarah berduyun-duyun memasuki area makam. Maklum, masih suasana Idulfitri. Di kompleks ini terdapat makam Sunan Ampel, yang menjadi satu dengan Masjid Ampel yang punya nilai sejarah.
Di kompleks ini pula terdapat sebuah makam para “syuhada” haji, korban kecelakaan pesawat di Kolombo, Srilanka, tahun 1974. Batu nisannya terbuat dari pualam dan berukirkan nama 182 korban yang berasal dari berbagai daerah. Meski tertulis 182 nama, yang dikuburkan di dalamnya hanyalah delapan bagian anggota tubuh yang berhasil ditemukan dan tak dikenali identitasnya, sebagai simbol seluruh korban. Sebagian besar jenazah dimakamkan secara massal di Maskeliya, Srilanka, termasuk tujuh awak asal Belanda.
“Anak-cucu korban kecelakaan pesawat pengangkut calon haji yang meninggal syahid hingga kini masih rutin menziarahi makam tersebut,” kata Baidlhowi, juru kunci makam.
Pada 4 Desember 1974, pesawat DC-8 55F milik maskapai Belanda Martin Air, yang dicarter maskapai Garuda Indonesia, membawa rombongan haji dari embarkasi Surabaya menuju Jeddah, Arab Saudi. Pesawat dikemudikan kapten penerbang Hendrik Lamme, yang pernah jadi pilot Royal Netherlands Navy Airforce selama perang dan ditempatkan di Indonesia hingga 1948.
Hari sudah gelap ketika pesawat mendekati Bandaranaike International Airport, Colombo, untuk singgah dan mengisi bahan bakar. Terjadi beberapa kali kontak dengan Approach Control, yang mengatur ruang udara di sekitar bandara, sebelum akhirnya pesawat menabrak tebing, yang oleh orang Srilanka disebut “Anjimalai” atau “Perawan Tujuh”. Pesawat hancur berkeping-keping. Semua penumpang dan awak tewas.
Pemerintah Srilanka segera membentuk tim investigasi, yang melibatkan Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia. Hasil investigasi, yang dirilis 16 Juni 1975, menyimpulkan: pilot maupun kopilot tak pernah melewati rute ini, pesawat terbang terlalu rendah, dan ada kerusakan perangkat navigasi.
Atas permintaan pemerintah Indonesia, delapan bagian tubuh korban dimasukkan dalam satu peti dan dikirim ke Indonesia dengan pesawat DC-8 milik Seaboard World Airlines, maskapai Amerika Serikat yang memiliki pesawat DC-8 55F sebelum dibeli Martin Air. Sesampai di bandara TNI-AL Juanda, setelah upacara penyambutan, jenazah dibawa ke Masjid Ampel guna dimakamkan. Indonesia berkabung.
Khawatir kecelakaan itu menyurutkan niat jemaah haji lain yang masih berada di tempat-tempat karantina, Menteri Agama Mukti Ali menyampaikan pesan-pesan menenangkan yang disiarkan berulang-ulang di televisi maupun radio. Maut adalah rahasia Ilahi, dan itulah yang membuat para jemaah haji tetap menjalankan ibadah ke Tanah Suci.
Beberapa minggu setelah kecelakaan pesawat ini, pemerintah Indonesia membangun monumen, sekitar 400 meter dari tebing tempat kecelakaan terjadi.*