Beraksi Mengatasi Epilepsi

Salah kaprah tentang epilepsi membuat orang dengan epilepsi mendapat stigma negatif. Epilepsi disebut penyakit kutukan dan menyerupai babi hutan.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Beraksi Mengatasi EpilepsiBeraksi Mengatasi Epilepsi
cover caption
Iklan layanan masyarakat tentang epilepsi di surat kabar.

HAMPIR pukul lima pagi. Ahmad Sururi, seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Farmasi, bangun dan bergegas wudu. Sajadah terhampar. Dia mulai salat. Ketika sujud, lalu bangkit masuk rakaat kedua, pandangannya melamur. Tubuhnya terasa ringan. Kesadarannya hilang. Dan... bluk! Ahmad terjatuh dan pingsan selama beberapa menit. Begitu tersadar, dia berdiri dan bersiap ke sekolah. Lupa bahwa tadi dia sedang salat. 

Di sekolah, Ahmad punya banyak kegiatan. Dia sering kelelahan. Pikirannya juga terkuras. Dia sempat pingsan beberapa kali. Keletihan biasa, pikir Ahmad. Tapi lama-lama kondisinya memburuk dan mengganggu aktivitasnya. Dia pergi ke rumah sakit. Dokter mengatakan dia terkena gejala epilepsi.

Mengetahui Ahmad kena epilepsi, keluarga bersikap protektif dengan melarangnya ikut kegiatan ini-itu. Teman-teman mulai jarang mengajaknya berkegiatan. Kesal menerima perlakuan berbeda, Ahmad bertekad membuktikan penyandang epilepsi bisa beraktivitas normal. 

HAMPIR pukul lima pagi. Ahmad Sururi, seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Farmasi, bangun dan bergegas wudu. Sajadah terhampar. Dia mulai salat. Ketika sujud, lalu bangkit masuk rakaat kedua, pandangannya melamur. Tubuhnya terasa ringan. Kesadarannya hilang. Dan... bluk! Ahmad terjatuh dan pingsan selama beberapa menit. Begitu tersadar, dia berdiri dan bersiap ke sekolah. Lupa bahwa tadi dia sedang salat. 

Di sekolah, Ahmad punya banyak kegiatan. Dia sering kelelahan. Pikirannya juga terkuras. Dia sempat pingsan beberapa kali. Keletihan biasa, pikir Ahmad. Tapi lama-lama kondisinya memburuk dan mengganggu aktivitasnya. Dia pergi ke rumah sakit. Dokter mengatakan dia terkena gejala epilepsi.

Mengetahui Ahmad kena epilepsi, keluarga bersikap protektif dengan melarangnya ikut kegiatan ini-itu. Teman-teman mulai jarang mengajaknya berkegiatan. Kesal menerima perlakuan berbeda, Ahmad bertekad membuktikan penyandang epilepsi bisa beraktivitas normal. 

Lulus SMK tahun 2006, Ahmad meraih beasiswa untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor. Dia selalu memperoleh Indeks Prestasi Kumulatif di atas 3,5 sehingga bisa mempersingkat masa kuliahnya. Tamat kuliah, dia bekerja di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah hingga sekarang. Untuk mencegah serangan epilepsi, dia tekun minum obat anti-epilepsi seperti asam folat dan carbamazepine

Kisah Ahmad Sururi terungkap dalam Out of Shadow, yang diterbitkan Yayasan Epilepsi Indonesia (YEI) tahun 2013. Buku ini berisi sejumput kisah Orang Dengan Epilepsi (ODE) menjalani hidup. Mereka berlatar belakang beragam. Ada pemegang gelar master, sarjana, hingga anak sekolah. 

“Tujuannya untuk memberi pemahaman kepada masyarakat tentang epilepsi dan harapan bagi ODE lain agar tetap optimistis,” kata Irawaty Hawari, dokter spesialis saraf sekaligus ketua YEI, kepada Historia

Menurut Irawaty, masyarakat masih sering salah kaprah mengenai epilepsi. “Kalau ditanya apa itu epilepsi, orang bakal menjawab, ‘o, yang kejang-kejang itu, ya? Yang kayak orang kerasukan?’ Padahal serangan epilepsi bukan cuma itu,” kata Irawaty. Dia juga pernah menemukan ODE masuk rumah sakit jiwa (RSJ). “Memasukkan ODE ke RSJ tindakan salah. Epilepsi bukan gangguan jiwa, melainkan gangguan pada sistem saraf otak.”

dr. Irawaty Hawari. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Menyerupai Babi Hutan

Salah kaprah tentang epilepsi berjejak cukup panjang. Keterangan dalam Prasasti Waharu, bertitimangsa abad ke-9, menyebut epilepsi sebagai salah satu penyakit kutukan untuk pelaku kejahatan. Ini artinya selaras dengan pandangan umum di belahan bumi Eropa. (baca: Belajar dari Dostoevsky). 

Para leluhur di Nusantara mewariskan cara pandang demikian selama ratusan tahun. Sebagai pengobatannya, mereka biasa membacakan mantra dan mengusap kepala penderita epilepsi lalu memohon Yang Kuasa agar mencabut kutukan. Cara lain dengan memasung. Mereka menilai polah penderita epilepsi berbahaya, “di mana si pasien menunjukkan kecenderungan keras suka melompat ke air di samping gejala tertentu yang menyerupai ‘gerakan babi hutan’,” tulis Snouck Hurgronje dalam Aceh di Mata Kolonialis

Snouck mempelajari rakyat dan adat istiadat Aceh selama 1891–1905. Salah satu bahasannya tentang penyakit-penyakit di Aceh, termasuk epilepsi. Menurut Snouck, lantaran penderita epilepsi kerap bertingkah seperti babi, orang Aceh menamakan penyakit itu gila babi

Di Aceh epilepsi juga punya nama lain saket droe. “Biasanya diperoleh orang pada waktu petang atau tengah malam. Orang ini jatuh pingsan, anggotanya tegang, kaku, dan mulutnya tertutup,” tulis Moehammad Hoesin dalam Adat Atjeh

Orang Aceh percaya penyakit ini berasal dari “hantu buru”, sejenis jin di rimba raya. Droe menyerang orang dewasa, anak-anak, dan bayi. Untuk mengusirnya, orang Aceh mengusap dahi dan dagu penderita dengan inggu (tumbuhan obat) sembari mengucap ayat-ayat Al-Qur’an. 

Di Pasundan, orang menyebut epilepsi dengan sawan. Anak-anak dan bayi rentan terserang penyakit ini. “Anak-anak yang kena penyakit sawan, terbelalak matanya dengan tak tentu sebabnya,” tulis A. Prawirasuganda dalam “Adat Orang Mengandung Bersalin dan Bersunat di Tanah Pasundan”, termuat di Tjidschrift voor Indische taal-, land-, en volkenlunde 1952–1957, Volume 85. 

Hindia Belanda terbilang tertinggal soal pengetahuan medis epilepsi. Ahli-ahli neurologi jarang mengulasnya. Terbitan berkala untuk ilmu kedokteran di Hindia Belanda, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlansch-Indie, baru memuat laporan khusus dokter C.L. Bense tentang epilepsi berjudul “Jacksonische Epilepsie een Gevolg van Secundaire Syphilis” pada 1893. Padahal majalah itu terbit sejak 1852. 

Snouck Hurgronje mencatat tentang penyakit epilepsi di Aceh. (Riyono Rusli/Historia.ID).

Studi Epilepsi di Indonesia 

Slamet Iman Santoso pernah menjadi korban ketidaktahuan orang tentang epilepsi. Saat bersekolah di bewaarschool, sekolah antara taman kanak-kanak dan sekolah dasar, di Magelang pada 1912, dia duduk bersebelahan dengan seorang kawan. Suatu hari kawannya tiba-tiba jatuh kelubukan saat guru mengajar. 

Tanpa tedeng aling-aling, sang guru menghukum Slamet. Dia mengira Slamet berbuat sesuatu pada kawannya. Kejadian itu berlangsung tiga kali. Slamet akhirnya bosan dan minta pindah tempat duduk. Kawannya duduk sendiri. Ternyata kawannya tetap jatuh kelubukan

Beranjak dewasa, Slamet belajar di Geneeskunde School of Arts (Sekolah Kedokteran) Batavia. Dia mempelajari neurologi. Mata kuliahnya mencakup epilepsi. “Sekarang saya tahu bahwa teman sebangku saya menderita sakit epilepsy (ayan),” kata Slamet dalam Warna-Warni Pengalaman Hidup.

Sadar masih banyak orang belum mengetahui epilepsi, Slamet tergugah. Dia membuka dan mengepalai Departemen Psikiatri dan Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada 1950. Dia juga mengirim anak muda ke Amerika Serikat dan Belanda agar mereka bisa mendalami neurologi. Harapannya, ada yang kecemplung belajar epilepsi secara medis. Ini terjadi pada Mahar Mardjono. 

Mahar mahasiswa baru FKUI tahun 1950. Minatnya semula pada anatomi. Tapi dia bertemu dengan Slamet. Kepada Mahar, Slamet bilang ingin mendirikan pusat epilepsi. Mahar tahu itu sulit. Ahli epilepsi jarang di Indonesia. Tapi Mahar tertantang. Dia setuju mempelajari epilepsi, bahkan sampai ke Amerika Serikat pada 1956. 

“Saya khusus memperdalam pengetahuan saya di bidang epilepsi baik mengenai aspek-aspek neurofisiologi dan patologi maupun klinik,” tulis Mahar dalam Kiprah Dokter dalam Era 50 Tahun Indonesia Merdeka

Pulang ke Indonesia pada 1958, Mahar langsung menerapkan ilmunya. Dia mendatangkan bantuan perlengkapan untuk studi dan terapi epilepsi di FKUI. Dia bertekad mewujudkan gagasan Slamet tentang pusat epilepsi. 

Slamet Iman Santoso. (Repro Warna-Warni Pengalaman Hidup).

Menghapus Stigma

Menurut Mahar, penderita epilepsi di Indonesia cukup banyak. Di Jakarta saja, pada 1958–1961, ada 412 penderita epilepsi berobat ke bagian Neurologi FKUI dan Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarta. Angkanya bisa membengkak.

“Pada umumnya dianggap bahwa para penderita epilepsi seumur hidup akan menderita bangkitan penyakit ini,” tulis Mahar dalam “Epilepsi: Beberapa Segi Klinik Masalah Epilepsi dengan Perhatian Chusus Terhadap Epilepsi Lobus Temporalis”, disertasi pada Universitas Indonesia tahun 1963. Anggapan itu bikin penderita epilepsi malas ke dokter. Padahal usaha penyebaran pengetahuan tentang epilepsi telah muncul sejak kepulangan Mahar. 

Dokter F.K.E. Kluge, Lie Han Giauw, dan The Sie Tiat menulis dalam Berita Departemen Kesehatan Republik Indonesia April–Desember 1963 bahwa epilepsi bukan penyakit seumur hidup. Mereka juga menjabarkan apa itu epilepsi dan bagaimana mengobatinya dengan obat luminal dan terapi psiko-sosial. Tapi tak semua orang baca terbitan itu. 

Maka Mahar kian memandang penting kehadiran pusat epilepsi. “Betapa perlunya, dipandang dari sudut kemanusiaan dan kepentingan nasional adanya sebuah pusat epilepsi. Dalam pusat demikian para penderita epilepsi dapat diperiksa dan diobati secara ilmiah,” tulis Mahar. 

Usaha Mahar berbuah pada 1964. “Pusat tersebut didirikan oleh Staf bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,” tulis Djaja, 6 November 1965. 

Pusat epilepsi antara lain menyediakan poliklinik khusus penderita epilepsi, melayani pemeriksaan elektroencephalografi, mempelajari temuan epilepsi unik, dan menggelar kuliah dari ahli epilepsi untuk badan-badan sosial, hakim, polisi, dokter, dan sarjana. 

Mahar Mardjono (tengah), 12 Desember 1975. (klikpdpi.com).

Mahar belum puas. Dia masih menerima laporan penderita epilepsi terkekang oleh keluarganya. Orang masih sering bilang anak dengan epilepsi sebagai anak bodoh dan menular. Laporan itu biasanya berasal dari daerah. Mahar berpikir perlu ada organisasi penyuluhan di daerah. Maka, bersama kawan-kawannya, dia mendirikan Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia (Perpei) pada 1982. 

“Kami berusaha menghapus stigma negatif pada penderita epilepsi di daerah. Stigma itu sangat berat dan memukul penderita,” kata Mieke Saleh Sastra, salah seorang pendiri Perpei. 

Berbeda dari pusat epilepsi, Perpei berdiri di tiap daerah dan berfokus pada pemberian informasi mengenai epilepsi. Salah satu usaha paling menonjol Perpei terlihat pada 1991. 

“Perpei pusat bersama Ciba Geiby, perusahaan farmasi obat epilepsi, merancang iklan layanan masyarakat tentang epilepsi secara nasional. Baik melalui televisi maupun media cetak,” kata Mieke. 

Di televisi, iklan itu menampilkan seorang anak lelaki dengan epilepsi, bernama Adi, sedang bermain bola. Teman-temannya memperlakukannya secara wajar. “Adi main bola lagi, yok!” kata seorang temannya. Pesan iklannya jelas dan lugas. Penderita epilepsi bisa hidup normal. Dan orang harus menerima mereka apa adanya. 

“Iklan itu cukup kuat. Melekat pada masyarakat,” kata Irawaty Hawari. Tapi Irawaty sadar stigma negatif epilepsi belum sepenuhnya terhapus. 

Sekarang informasi mengenai epilepsi melimpah, tapi tantangan mengatasi epilepsi justru bertambah. Obat epilepsi murah kerap hilang dari pasaran. Pemerintah jarang terlibat penanganan epilepsi. Sementara pusat epilepsi rintisan Mahar dan kawan-kawannya kian mengendur. Kerja mengatasi epilepsi belum selesai.*

Majalah Historia No. 20 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65e9104f3e9fb016b4754db4