Orang-orang Arab punya tradisi bisnis. Mereka berbisnis dalam berbagai bidang mulai dari hiburan, perdagangan, lahan-perumahan, tekstil, hingga dagang kuda.
TIGA bersaudara keturunan Arab dari Padang, Sumatra Barat, tiba di Batavia pada 1920-an. Semuanya pengusaha. Harta mereka berlimpah, hasil dari warisan orangtua dan keuntungan bisnis. Namun, misi utama mereka di Batavia bukan untuk berbisnis, melainkan memperkenalkan tradisi musik dan sandiwara khas mereka kepada warga Batavia.
“Selain berjiwa bisnis, mereka, Sayid Idrus, Sayid Syehan, dan Sayid Abubakar, juga berjiwa seni; senang hiburan,” kata Mudrik bin Shahab, 73 tahun, kepada Historia. Menurut Mudrik, mereka termasuk klan bin Shahab. “Masih ada hubungan darah dengan Ali Menteng.”
Di Batavia, mereka bisa tinggal bersama kerabat, bisa pula di luar kampung Arab. Pemerintah kolonial telah menghapus wijken dan passenstelsel pada 1919. Shahab Bersaudara memilih tinggal di Sawah Besar sembari menjalankan bisnis di Sumatra. Mereka juga membeli sebidang tanah untuk gedung pentas. Rombongan mereka tampil secara teratur dan permanen di gedung itu.
TIGA bersaudara keturunan Arab dari Padang, Sumatra Barat, tiba di Batavia pada 1920-an. Semuanya pengusaha. Harta mereka berlimpah, hasil dari warisan orangtua dan keuntungan bisnis. Namun, misi utama mereka di Batavia bukan untuk berbisnis, melainkan memperkenalkan tradisi musik dan sandiwara khas mereka kepada warga Batavia.
“Selain berjiwa bisnis, mereka, Sayid Idrus, Sayid Syehan, dan Sayid Abubakar, juga berjiwa seni; senang hiburan,” kata Mudrik bin Shahab, 73 tahun, kepada Historia. Menurut Mudrik, mereka termasuk klan bin Shahab. “Masih ada hubungan darah dengan Ali Menteng.”
Di Batavia, mereka bisa tinggal bersama kerabat, bisa pula di luar kampung Arab. Pemerintah kolonial telah menghapus wijken dan passenstelsel pada 1919. Shahab Bersaudara memilih tinggal di Sawah Besar sembari menjalankan bisnis di Sumatra. Mereka juga membeli sebidang tanah untuk gedung pentas. Rombongan mereka tampil secara teratur dan permanen di gedung itu.
Orang-orang menyukai penampilan mereka dan menyebutnya sebagai Komedi Bangsawan. “Karena kesenian ini awal mulanya muncul dari istana-istana bangsawan. Seperti Istana Deli di Medan dan Istana Siak di Riau,” tulis Alwi Shahab dalam Betawi Queen of The East.
Lama-lama sandiwara ini berkembang. Penontonnya selalu membludak. Shahab Bersaudara terpikir juga untuk mengembangkan bisnis di Batavia. Mereka membangun pertokoan di sepanjang jalan menuju teater. Bahkan, mereka membuka bioskop di gedung yang sama pada 1930-an. Ini bisnis baru bagi keturunan Arab di Batavia. Mereka mendobrak dominasi pengusaha Tionghoa.
“Bioskop itu namanya Alhambra. Bioskop itu memutar film-film dari Mesir. Berbeda dari bioskop lain yang sering memutar film Tiongkok atau Barat,” kata Mudrik.
Urusan impor film bukan masalah besar. Shahab Bersaudara punya jejaring sampai ke Mesir. Film-film itu ternyata memikat warga Betawi, yang datang berkelompok dari pelosok kota dengan menyewa oplet.
Mudrik beberapa kali menikmati suguhan Alhambra pada 1950-an. Dia bilang, “Bioskop ini kelas rakyat. Banderol tiketnya tak terlalu mahal: 3 rupiah untuk duduk di kelas satu; 1,5 rupiah untuk kelas dua; dan setengah rupiah untuk kelas tiga.” Biar begitu, Alhambra mengisi pundi-pundi Shahab Bersaudara.
Namun, Revolusi Mesir pada 1952 mengubah kisah manis itu. Suplai film untuk Alhambra terhenti. Alhambra terpaksa memutar film Barat, seperti bioskop lainnya. Tak ada keistimewaan lagi. Penontonnya pun berangsur surut. Akhirnya, bioskop ini tutup pada 1960-an. Gedungnya dijual.
“Penutupan itu tak berpengaruh besar pada Shahab Bersaudara. Bisnis hiburan ini cuma sampingan mereka,” kata Mudrik, terkekeh. Satu bangkrut, masih ada lainnya. Ini jamak terjadi pada keturunan Arab di Indonesia. Mereka punya usaha di pelbagai lini: rente, toko, lahan-perumahan, tekstil, sampai dagang kuda.
Berdagang di Negeri Jauh
Orang Arab punya peran penting di pusat perdagangan Nusantara pada abad ke-10. Mereka membentuk jejaring perdagangan jarak jauh lintas samudera, membentang dari Mesir, Tiongkok, India, hingga Jawa dan Sumatra. Sebagian hidup dari perdagangan rempah, sisanya menjajakan perhiasan dan barang mewah lainnya. Ini berlangsung hingga kedatangan orang Belanda pada abad ke-17.
Orang Belanda, melalui Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), cepat menguasai beberapa pusat perdagangan di pesisir Sumatra dan Jawa. VOC menerapkan praktik monopolistik dalam perdagangan jarak-jauh. Alhasil orang Arab terdesak. Lingkup dan wilayah usaha orang Arab berkurang. Namun, sebagian mereka masih bertahan.
“Pada abad ke-18 para sayid Arab dari Hadramaut punya pengaruh dalam perdagangan di Nusantara bagian barat terutama Siak, Palembang, Perlis, dan Pontianak,” tulis M.C. Ricklefs dkk. dalam Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer.
Mereka punya spesialisasi usaha dalam jasa pelayaran. Kapal mereka berlayar di perairan Jawa, Palembang, dan Malaka. “Berat kapal mereka rerata 50 ton, tapi sebagian lagi berbobot lebih dari itu,” tulis William Gervase Clarence-Smith, “Middle Eastern Entrepreneurs 1750–1950”, termuat dalam Diaspora Entrepreneurial Networks yang disunting Ina Baghdiantz McCabe dkk.
Kemampuan navigasi mereka menopang bisnis pelayaran. VOC tak melihat usaha pelayaran orang Arab sebagai ancaman sehingga usaha itu bertahan hingga memasuki abad ke-18.
Kemunduran VOC pada akhir abad ke-18 membawa perubahan dalam sistem ekonomi masyarakat Hindia. Saat bersamaan perdagangan maritim jarak-jauh menurun. Orang Belanda tak lagi memandang perdagangan maritim sebagai tumpuan penghasilan dan beralih ke sektor agraria.
Untuk menggali keuntungan dari sektor agraria, pemerintah kolonial menerapkan sistem tanam paksa pada 1830 yang diikuti pemberlakuan ekonomi uang. Sistem ini memaksa bumiputra berorientasi ke luar (keuntungan ekspor), membayar pajak, dan bertukaran barang dan jasa dengan uang dalam jumlah besar. Sistem ini menindih perekonomian tradisional bumiputra yang berorientasi ke dalam untuk pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten).
Dua sistem ekonomi pun muncul. J.H. Boeke dalam Prakapitalisme di Asia menyebutnya dualisme ekonomi. Ada celah menganga pada dua sistem ini. Bagaimana produk petani bisa sampai ke luar desa? Bersama orang Tionghoa, orang Arab melihat celah ini. Pemerintah kolonial tahu dua kelompok ini bisa muncul sebagai ancaman. Namun, pemerintah tak punya banyak pilihan. Mereka harus mengisi kas segera. Maka mereka menerima dua kelompok itu sebagai perantara sistem ekonomi ekspor dan subsisten; antara elite pemerintah dan bumiputra; antara dunia luar sana dan desa. Celah itu pun tertutup.
Sejak itu, orang Arab, kebanyakan Hadrami, tak lagi berdagang rempah dan barang-barang mewah. “Sejak abad ke-19, aktivitas ekonomi mereka bertumpu pada perdagangan hasil agraria (karet, kopi, gula, dan teh) yang ditanam bumiputra. Juga pemberian kredit di kota dan desa,” tulis J.M. van der Kroef dalam Indonesia in The Modern World I. Dalam karya lain, “The Indonesian Arabs” termuat di Civilisations Vol. 5 No. 1 1955, van der Kroef menyebut orang Arab berfungsi sebagai “perantara pemerintah kolonial dengan petani Indonesia dalam jejaring ekonomi uang, konsumsi modern, dan kebutuhan produksi.”
Diversifikasi Bisnis Orang Hadrami
Posisi perantara berbuah manis untuk orang Hadrami. Mereka jadi tempat bergantung para petani untuk menjual surplus panen. “Para petani tak punya cukup modal, rangsangan, dan kemampuan berintegrasi dengan ekonomi berorientasi pasar,” tulis van der Kroef. Artinya, para petani mesti berbagi keuntungan dengan orang Hadrami.
Berbeda dari orang Arab, posisi petani terjepit. Di Jawa, tingkat kesejahteraan mereka menurun pada pertengahan abad ke-19. Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian menyebutnya kemiskinan bersama. Untuk membeli kebutuhan sehari-hari, petani kembali menggantungkan hidup pada orang Hadrami. Caranya dengan meminjam uang meski berbunga tinggi. Inilah usaha sampingan orang Hadrami. Dari dua praktik bisnis itu, orang Hadrami mengukuhkan posisi ekonominya.
“Dalam tahun 1860 baik dalam bagian producten (hasil bumi) maupun dalam bagian impor, (pedagang Arab di itu waktu banyak menjadi perantaraan antara importir dan pedagang kecil) pedagang Arab memegang kedudukan yang tegap,” tulis Abadulkadir Alsegaf dalam “Balans Perdagangan Arab di Indonesia” termuat di Insaf, November 1937.
Orang Hadrami beroleh keuntungan besar. Mereka menyisihkannya sebagian untuk modal usaha lain, seperti toko kredit kebutuhan sehari-hari. Sisa keuntungan, bersama surat, mereka kirim ke kerabat di Hadramaut. Surat itu bercerita tentang sukses mereka di perantauan. Kelak ini jadi salah satu pendorong migrasi orang-orang Hadrami ke Hindia, selain pembukaan terusan Suez dan penemuan kapal uap.
Hindia jadi semacam tanah yang dijanjikan: memberi banyak keuntungan. Maka orang Hadrami tak ragu menanam modalnya dalam pelbagai lini bisnis. Antara lain lahan-perumahan, perdagangan kuda, dan industri tekstil. Padahal saat itu pemerintah kolonial menerapkan aturan diskriminatif terhadap orang Arab. Namun, bisnis orang Hadrami tak terbendung.
Sejumlah orang Hadrami di Hindia Belanda bereputasi sebagai multimilioner pada akhir 1930-an.
Melewati Resesi
Orang Hadrami cukup dominan dalam bisnis lahan-perumahan di Batavia dan Surabaya. Salah satu baronnya berasal dari keluarga Hadrami Singapura. Namanya al-Saqqaf. “Pada awal 1860, keluarga itu memiliki 12 rumah di Surabaya, tiga di Batavia, dan lahan kosong di kedua kota tersebut,” tulis Clarence-Smith. Mereka membeli atau membangun perumahan untuk kemudian dikontrakkan.
Bisnis ini berkembang pada 1885. Menurut Rajeswary Ampalavanar Brown dalam “The Decline of Arab Capitalism in Southeast Asia” termuat di The Hadhrami Diaspora in Southeast Asia yang disunting Ahmed Ibrahim dkk., orang Hadrami menguasai 20 persen nilai investasi bidang ini di Surabaya dan 15 persen di Batavia. Untuk seluruh wilayah Hindia, nilai investasi mereka mencapai 16 juta gulden.
Dominasi itu juga tampak dalam perdagangan kuda di Sumba dan Sumbawa. Tak ada catatan pasti kapan orang Hadrami memulai bisnis ini di sana. Tapi Zollinger, seorang pegawai Belanda, mencatat bahwa mereka mengendalikan bisnis ini selepas 1840-an. “Ini menunjukan mereka sudah aktif berdagang kuda di Sumbawa beberapa waktu sebelumnya. Sebaliknya, dominasi Hadrami dalam perdagangan kuda di Sumba dimulai pada 1840-an,” tulis Clarence-Smith dalam “Horse Trading: The Economic Role of Arabs in the Lesser Sunda Islands 1800–1940” termuat di Transcending Borders: Arabs, Politics, Trade and Islam in Southeast Asia.
Industri tekstil tak luput dari cengkeraman orang Hadrami. Namun, tak mudah menguasai bisnis ini. Orang Tionghoa bersaing dengan mereka. “Orang Arab kurang menonjol dari orang Tionghoa dalam mengolah bahan mentah untuk ekspor,” tulis Clarence-Smith. Maka, orang Hadrami memilih fokus pada pasar dalam negeri. Industri tekstil mereka berpusat di Pekalongan sejak 1860-an dan berkembang ke Surakarta pada 1930, saat resesi menerpa Hindia.
Resesi jadi tantangan baru orang Hadrami. Beberapa pengusaha Hadrami merugi. Usaha mereka tersapu resesi. Namun, tak sedikit pula yang mampu bertahan. Terutama mereka yang bukan hanya memutar uang pada satu bidang usaha, tetapi juga berbisnis tanpa bantuan pemerintah kolonial dan partner asing lainnya. “Strategi bisnis mereka sangat individualistik. Digerakkan dengan insting melihat celah pada sektor berprospek,” tulis Rajeswary.
Tak heran mereka tetap jadi orang kaya selama masa resesi. “Sejumlah orang Hadrami di Hindia Belanda bereputasi sebagai multimilioner pada akhir 1930-an,” tulis Clarence-Smith dalam “Hadhrami Arab Entrepreneurs in Indonesia and Malaysia” termuat di Weathering the Storm yang disunting Peter Boomgaard dan Ian Brown.
Pengusaha Hadrami baru malah bermunculan dalam masa resesi. Ada dua nama menonjol: Brahim Baswedan dan Bin Marta. Keduanya berasal dari Surabaya. Tentang Baswedan, harian Jawa Pos, 23 Januari 1985 menulis, “pada tahun 1930-an, sebelum para pengusaha Indonesia mengenal real estate, Baswedan yang berputra tujuh orang ini sudah mulai merintis proyek-proyek pembangunan perumahan di Surabaya.”
Bin Marta lain cerita. “Keluarga bin Marta muncul sebagai pengusaha grosir Hadrami tersukses dari Surabaya,” tulis Clarence-Smith. Mereka juga punya lini usaha tekstil di bawah bendera Firma Alsaid bin Awad Martak. “Pada akhir 1930-an, firma itu telah menjadi pusat tekstil non-Eropa terbesar di Jawa,” tulis Peter Post dalam “The Formation of Pribumi Elite Business by the Late Twenties”, termuat di KITLV Journal 152 No 4. (1996).
Pudarnya Tradisi Bisnis
Usai resesi, orang Hadrami masuk dalam situasi baru. Mereka menjadi orang Indonesia. Kongres Ekonomi Nasional Seluruh Indonesia pada 1956 mengakui mereka sebagai pengusaha pribumi. Berbeda dari masa kolonial, kini pemerintah menyokong mereka. Namun, dukungan ini tak berarti banyak untuk mempertahankan bisnis mereka.
Bisnis keluarga Baswedan, misalnya, berangsur merosot sejak 1960-an. Penyebabnya antara lain persaingan di pasaran yang terlalu ketat, mesin yang sudah tua, dan manajemen yang kurang profesional. Perusahaan itu akhirnya tutup total pada 1980. “Sebagian dari peralatannya juga telah dijual,” kata Farouk Baswedan, cucu Brahim Baswedan, kepada Jawa Pos.
Situasi serupa menimpa pengusaha keturunan Hadrami di Jakarta. Zeffry Alkatiri, peneliti masyarakat Arab di Jakarta, punya analisis kemunduran ekonomi keturunan Hadrami. Dalam laporan peneltiannya, “Ketersisihan Pedagang Arab oleh Pedagang Cina di Empat Wilayah Jakarta Tahun 1960–1990”, dia menyebut paling tidak ada lima penyebab: tidak adanya regenerasi, kurangnya pengelolaan yang baik, minimnya kesatuan modal, hilangnya jejaring yang rapi, dan tak peduli pada keinginan konsumen. Mereka kalah bersaing dengan orang Tionghoa.
Orang Tionghoa mengambil peran ekonomi mereka. Orde Baru jadi penopang kekuatan ekonomi orang Tionghoa. Kekuatan ekonomi keturunan Arab pun hilang. “Di bidang ekonomi dan perdagangan peranan mereka sudah tidak berarti lagi,” tulis Hamid Algadri dalam Snouck Hurgronje: Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab.
Mereka kini hanya berbisnis kecil-kecilan. Namun, mereka belum mau mati. Beberapa pengusaha keturunan Arab muncul, bahkan dekat dengan kekuasaan, sekalipun masih kalah kuat ketimbang pengusaha Tionghoa.*