Berburu Keris Bukan Mistis

Keris bukan sekadar senjata atau aksesoris yang diselipkan di belakang pinggang. Ia mengandung falsafah hidup, religiusitas, status sosial, hingga supranatural.

OLEH:
Darma Ismayanto
.
Berburu Keris Bukan MistisBerburu Keris Bukan Mistis
cover caption
Fadli Zon, politisi yang mengoleksi ratusan keris.

PRABU Brawijaya murka. Pengaruh Sunan Giri, salah satu dari sembilan wali, dianggap sudah mengancam eksistensi Kerajaan Majapahit. Gresik tumbuh menjadi pusat politik dan perdagangan yang penting di Jawa. Brawijaya pun mengirim Patih Gajah Mada dan pasukannya untuk menyerang Giri. Penduduk Giri panik dan berhamburan ke dalam keraton.

Sunan Giri, yang sedang menulis, terkejut dan terlemparlah penanya (kalam). Dia lalu berdoa dan berubahlah pena itu menjadi keris berputar-putar, Keris itu mengamuk dan menewaskan banyak tentara Majapahit. Keris itu lalu kembali ke keraton dan tergeletak di hadapan Sunan dengan berlumuran darah. Sunan lalu berdoa meminta ampunan. Sekejap keris itu pun bersih kembali.

PRABU Brawijaya murka. Pengaruh Sunan Giri, salah satu dari sembilan wali, dianggap sudah mengancam eksistensi Kerajaan Majapahit. Gresik tumbuh menjadi pusat politik dan perdagangan yang penting di Jawa. Brawijaya pun mengirim Patih Gajah Mada dan pasukannya untuk menyerang Giri. Penduduk Giri panik dan berhamburan ke dalam keraton.

Sunan Giri, yang sedang menulis, terkejut dan terlemparlah penanya (kalam). Dia lalu berdoa dan berubahlah pena itu menjadi keris berputar-putar, Keris itu mengamuk dan menewaskan banyak tentara Majapahit. Keris itu lalu kembali ke keraton dan tergeletak di hadapan Sunan dengan berlumuran darah. Sunan lalu berdoa meminta ampunan. Sekejap keris itu pun bersih kembali.

Kisah dalam Babad Tanah Jawa itu begitu populer di kalangan penggemar keris. Konon, setelah itu, Sunan mengatakan kepada rakyat Giri bahwa dia menamakan kerisnya Kalam Munyeng.

Ada banyak kisah tentang keris di babad maupun yang menyebar turun-temurun. Umumnya berkaitan dengan kekuatan magis sebuah keris. “Mistis, mistis, dan mistis. Orang selalu mengaitkan keris dengan mistis. Ini membuat keris sulit untuk kembali memasyarakat, karena pemiliknya dianggap musyrik,” kata Fadli Zon, seorang politisi.

Toh Fadli Zon menyadari unsur mistis itu tak bisa dihindari karena menyertakan mantra atau doa dalam proses pembuatannya. Keris dianggap sebagai hasil dari proses cipta, rasa, karsa, dan karya yang di dalamnya terkandung unsur falsafah hidup, religiusitas, status sosial, hingga supranatural.

Di masa lalu, keris menjadi atribut raja dan bangsawan, bahkan simbol kekuasaan. Di Kesultanan Yogyakarta, misalnya, berlaku tradisi bahwa sultan yang baru naik takhta mendapat keris pusaka bernama Kanjeng Kiai Jaka Piturun. Keris juga menjadi penanda status sosial.

“Keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik, senjata dalam artian spiritual. Untuk sipat kandel, kata orang Jawa,” ujar Fadli Zon, merujuk pada fungsi keris memberi motivasi dan kepercayaan diri bagi pemiliknya. “Saya mendekati keris bukan dari sisi mistis tapi dari sisi seni sebagai satu material culture.”

Benda Budaya

Sejak 1990, Fadli Zon gemar mengoleksi keris dari berbagai daerah: Jawa, Sumatra, Bali, Sulawesi, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Timur. Koleksinya mencapai 800 bilah. Harganya bervariasi, dari jutaan hingga ratusan juta. Dia menyimpan rapi di Fadli Zon Library di bilangan Benhil, Jakarta Pusat.

Koleksi pertamanya adalah keris Bali pemberian seorang teman. Namun keseriusannya mengoleksi keris baru dimulai pada 1990. Saat itu dia mencari ahli keris untuk menjamas keris miliknya di daerah Ancol. Matanya terantuk pada sebilah senjata tajam yang mempesona: keris tangguh Majapahitan. Keris itu milik seorang ahli keris bernama Pak Karno, yang sudah dipesan orang dari Malaysia.

“Keris itu tetap saya beli, karena keris itu kan bagian dari cultural heritage bangsa ini, masak jadi milik orang Malaysia,” ujarnya.

Asal muasal keris masih jadi perdebatan. Namun, dalam Keris Jawa: Antara Mistik dan Nalar, Haryono Haryoguritno, mantan ajudan Presiden Sukarno yang juga ahli keris, menyebut beberapa peninggalan kuno, seperti Prasasti Karang Tengah dan Prasasti Poh di Jawa, sudah menuliskan kata “kres’ atau keris. Ini menunjukkan kalau masyarakat Jawa telah mengenal keris saat prasasti itu dibuat, sekitar abad ke-9. Pada Candi Prambanan, yang dibangun sekira tahun 910 M, juga ditemukan patung Rara Jonggrang dengan salah satu dari delapan tangannya menggenggam keris, yang disebut kadga.

Begitu mendapatkan keris pertamanya, setiap berkunjung ke pelosok daerah, Fadli Zon menyempatkan diri untuk berburu keris. Selain itu, “Saya sering mengunjungi lelang. Terkadang ada juga yang datang menawarkan. Kalau memang bagus, ya saya beli.”

Keris tertua yang dia miliki berasal dari zaman Singasari. Namanya keris Kyai Nogo Siluman. Ia dianggap tertua di Nusantara karena, menurut Fadli Zon, diperkirakan dibuat pada awal budaya keris berkembang di Jawa, sekira abad ke-9. Keris ini dipercaya mampu memberi aura kewibawaan, keberanian, serta kepemimpinan pada pemiliknya.

Pangeran Diponegoro pun memiliki keris ber-dapur nogo siluman. Saat pelukis Raden Saleh diminta memaknai tulisan Sentot Alibasjah, salah satu panglima Diponegoro, tentang keris Kyai Nogo Siluman milik Diponegoro yang dikirim ke Ratu Willem I di Belanda, Saleh menulis catatan kecil pada 17 Januari 1831. Isinya, sebagaimana dikutip Werner Kraus dalam Raden Saleh, Interpretation of the Arrest of Diponegoro, dimuat di jurnal Archipel tahun 2005: “Nama keris Kyai Nogo Siloeman mempunyai arti, apabila memang memungkinkan untuk diterjemahkan mengingat betapa luar biasanya pengaruh keris ini, ‘Raja Naga berkekuatan magis’.”

Fadli Zon juga mengoleksi keris-keris dari abad ke-13 dan 15. Antara lain keris Lurus Jalak Nyucup Madu dan Luk 9 Nogo Kikik dari zaman Mataram; Lurus Kebo Lajer dan Luk 7 Jadoreh dari zaman Majapahit; Luk 9 tangguh Riau Lingga; Luk 3 tangguh Palembang dari abad ke-18; serta Kebo Lejer tangguh Majapahit.

“Saya mengoleksi karena keris merupakan benda budaya yang adiluhung dan merupakan perpaduan dari berbagai macam seni; seni tempa, seni desain, sampai metalurgi,: kata Fadli Zon.

KP Hardi Danuwijoyo bersama Fadli Zon mendirikan Lingkaran Keris Indonesia.

Tak Sekadar Seremonial

Fadli Zon memang lahir di Jakarta, tapi darah Minangkabau mengalir kental dari kedua orang tuanya, Zon Harjo dan Hj. Ellyda Yati, yang asli dari Payakumbuh, Sumatra Barat. Wajar jika dia memberi perhatian pada keris Minangkabau.

“Ini keris Minangkabau. Tak kalah hebat, bukan,” katanya seraya menunjukkan salah satu keris dari sebuah lemari. Dia mengulang kata-kata itu setiap kali menunjukkan koleksi keris Minangkabaunya. Matanya berbinar.

Dia memperkirakan keris Minangkabau tumbuh seiring dengan masa Kerajaan Mataram dan Majapahit di Jawa. Keris Minangkabau merupakan perpaduan dari keris Jawa, Palembang, dan Bugis. Jika para ahli sejarah menyatakan pembuatan keris Palembang punah awal abad ke-20, Fadli Zon memperkirakan pembuatan keris Minang punah pada akhir abad ke-19. Sayangnya, hingga kini tak terlacak di daerah mana ia pernah dibuat.

“Saya sampai mengadakan seminar tapi belum menemui keberadaannya sampai saat ini. Tapi keris Minangkabau selalu hadir dalam buku-buku keris dan senjata nasional seperti dalam Traditional Weapons of the Indonesia Archipelago oleh Albert G. van Zonneveld,” ujarnya.

Sebagai bentuk kecintaannya pada keris Minangkabau, pada 2009 Fadli Zon mendirikan Rumah Budaya Fadli Zon di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatra Barat. Di sana tersimpan sekitar 150 koleksi keris Minangkabau miliknya.

Sementara di Jakarta, pada tahun yang sama, Fadli Zon bersama pelukis Hardi Danuwijoyo mendirikan Lingkaran Keris Indonesia. Kegiatannya adalah diskusi, pameran, menerbitkan buku, dan menciptakan keris-keris baru. Pameran “Keris for the World 2010” di Galeri Nasional Jakarta pada Juni 2010, menjadi salah satu bukti eksistensinya.

Untuk keris baru, Hardi memberi penyegaran estetis pada dunia keris lewat desain pamor dan dhapur. Dia bikin desain dan menyerahkannya ke empu pandai besi di Madura. Dari kreasinya lahir keris Kyai Kanjeng Yudhoyono, Kyai Kanjeng Budhiono, Obama Pinandito, dan lain-lain.

“Banyak juga yang tidak suka karena dianggap menabrak pakem. Tapi tidak apa-apa, butuh kreativitas dan inovasi agar citra keris kembali terangkat,” kata Hardi.

Menurut Fadli Zon, penetapan keris sebagai salah satu benda warisan dunia oleh UNESCO, badan PBB yang menangani pendidikan dan kebudayaan, membantu mengangkat pamor keris, meski tak serta-merta membuat orang Indonesia kembali mengakrabinya.

“Kalau menurut saya yang harus dikembangkan itu seperti anjuran Haryono Haryoguritno, keris harus menuju pada krisologi atau scientific sehingga bisa dikaji secara ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Di sini kajian itu belum sampai. Kebanyakan masih bersifat seremonial.”*

Foto-foto oleh Micha Rainer Pali/Historia.ID

Majalah Historia No. 6 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
646db3db933b939f7e55e8d1