Berdakwah Sampai Jauh

Hamka sempat dicemooh orang banyak karena tak bisa bahasa Arab. Belajar dakwah sampai ke Makkah.

OLEH:
Rahadian Rundjan
.
Berdakwah Sampai JauhBerdakwah Sampai Jauh
cover caption
Buya Hamka sebagai mubalig tengah berceramah, 1950-an. (Koleksi Keluarga Buya Hamka).

ABDURRAHMAN Wahid (Gus Dur) pernah berkomentar tentang Hamka yang disebutnya sebagai ulama tingkat nasional dengan orientasi pesan toleran kepada penganut agama lain.

“Namun, kebenaran orientasi tablignya itu sayang sekali jarang didukung kejelasan tentang kerangka operasional yang berlingkup kolektif guna menjaga kelestarian toleransi yang diinginkannya itu,” kata Gus Dur dalam Hamka di Mata Hati Umat yang disunting oleh Nasir Tamara. 

Padahal, kata Gus Dur, meminjam istilah Karl Marx, tanpa kejelasan kerangka operasional itu, pesan yang disampaikan Hamka itu dikuatirkan hanya akan jadi “opium bagi rakyat jelata”. 

Hamka memang tidak pernah mengenyam pendidikan formal yang menjejalinya dengan berbagai macam teori. Namun, sejak muda dia sudah antusias mendalami Islam. Untuk ukuran remaja, buku bacaannya saat itu sudah termasuk berat: mulai dari pemikiran-pemikiran Djamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh dari Timur Tengah sampai dengan buku Islam dan Sosialisme karya H.O.S. Tjokroaminoto.

ABDURRAHMAN Wahid (Gus Dur) pernah berkomentar tentang Hamka yang disebutnya sebagai ulama tingkat nasional dengan orientasi pesan toleran kepada penganut agama lain.

“Namun, kebenaran orientasi tablignya itu sayang sekali jarang didukung kejelasan tentang kerangka operasional yang berlingkup kolektif guna menjaga kelestarian toleransi yang diinginkannya itu,” kata Gus Dur dalam Hamka di Mata Hati Umat yang disunting oleh Nasir Tamara. 

Padahal, kata Gus Dur, meminjam istilah Karl Marx, tanpa kejelasan kerangka operasional itu, pesan yang disampaikan Hamka itu dikuatirkan hanya akan jadi “opium bagi rakyat jelata”. 

Hamka memang tidak pernah mengenyam pendidikan formal yang menjejalinya dengan berbagai macam teori. Namun, sejak muda dia sudah antusias mendalami Islam. Untuk ukuran remaja, buku bacaannya saat itu sudah termasuk berat: mulai dari pemikiran-pemikiran Djamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh dari Timur Tengah sampai dengan buku Islam dan Sosialisme karya H.O.S. Tjokroaminoto. 

Haus akan ilmu membawa Hamka merantau ke Jawa pada 1924. Dia memperdalam pengetahuan keislamannya dari berbagai sudut pandang keilmuan. Hamka nyantrik kepada H.O.S. Tjokroaminoto (sosialisme), Haji Fachruddin (agama), R.M. Soerjopranoto (sosiologi), dan Ki Bagus Hadikusumo (logika). 

Hamka kemudian hijrah ke Pekalongan dan belajar pada iparnya, Sutan Mansyur Ahmad Rashid, ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Darinya banyak didapatkan intisari sejarah dan perjuangan dunia Islam kala itu. 

“Beliau suka menguraikan kebangkitan Islam gerakan baru Abdulkarim Riff, kebangkitan Kemal Attaturk, Sultan Pasya Atrasy di Suriah, Saad Zaglul Pasya Mesir, Ibnu Saud, dan lain-lain,” tutur Hamka dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid II mengenang abang iparnya. 

Berbekal pengetahuan dari Jawa, Hamka pulang ke kampung. Saat itu usianya 17 tahun dan mengawali debutnya sebagai mubalig. Tanpa dinyana, sambutan masyarakat di luar dugaannya. Mereka mencemooh, Hamka hanya jago pidato tapi belum mampu berbahasa Arab dan menguasai Al-Qur’an dengan baik. 

Ayahnya ikut menimpali kekurangan Hamka itu, “pidato-pidato, lezing-lezing saja percuma. Isi dada dahulu dengan pengetahuan, baru ada artinya pidato itu.” Hamka tersinggung. Kian gundah karena cemoohan itu, Hamka pun bertolak ke Makkah pada 1927 untuk memperdalam ilmunya sekaligus menunaikan haji. 

Tahun itu musim haji sedang ramai. 64.000 jamaah tercatat datang dari Hindia Belanda. Mulai dari orang-orang Muhammadiyah, Sarekat Islam, sampai orang-orang komunis. Gerombolan yang terakhir ini kerap mengganggu Hamka dan kawan-kawannya ketika mereka mendirikan Persatuan Hindia Timur, sebuah badan untuk menolong jamaah haji asal tanah air yang kesulitan selama berada di Makkah. 

“Namun atas kesigapan polisi setempat yang telah bekerja sama dengan konsul Belanda di Makkah, orang-orang komunis itu akhirnya ditangkapi dan dikirim pulang ke negerinya sebelum mengerjakan haji,” kata Hamka dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid I. Sayang, Hamka tak menyertakan bukti atas peristiwa penangkapan tersebut.

Masjidil Haram, Makkah, 1900-an. (Wikimedia Commons).

Khotbah di Masjidil Haram

Hamka terkesan pada Ibnu Saud, penakluk wilayah Hejaz dan pendiri Kerajaan Saudi Arabia yang kala itu menguasai Makkah. Dengan sedikit nekat, ia pun memutuskan untuk menghadap Amir Faisal, putra Ibnu Saud, yang juga wakil ayahnya untuk wilayah Hejaz. Amir Faisal berkenan. 

Delegasi Hamka disambut hangat oleh putra mahkota yang umurnya masih sepantaran dengannya itu. “Amir Faisal ketika itu masih amat muda, umurnya belum lebih agaknya dari 20 tahun,” tutur Hamka. 

Pembicaraan berlangsung hangat. Dalam satu kesempatan, Hamka menuturkan keinginannya untuk diizinkan memberi ceramah di dalam Masjidil Haram, sebagai sarana mengedukasi jamaah-jamaah asal tanah airnya. Amir Faisal mengiyakan, dan menyarankan Hamka untuk menemui Syekh Abu Samah, sang Imam Besar Masjidil Haram sendiri. 

Sang syekh mengizinkan, dan berpidatolah Hamka secara berkala di Masjidil Haram, di hadapan saudara-saudara setanah airnya. Ketika pendengarnya semakin banyak, rupanya membuat gerah sang syekh. Tanpa alasan yang jelas, Hamka lalu dilarang berceramah lagi. 

“Tentu saja pemuda kita tidak mau dicampuri urusannya. Sejak itu dia seakan bermusuhan dengan syekhnya itu,” ujar Hamka. 

Untuk mencari nafkah selama tinggal di Makkah, Hamka bekerja di percetakan milik Tuan Hamid, kerabat Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam Masjidil Haram pertama dari kalangan non-Arab, yang juga guru dari ayah Hamka. Di waktu senggangnya, Hamka berkesempatan membaca karya-karya Islam seperti ilmu tauhid, filsafat, tasawuf, sirah, dan banyak lainnya.

Jalan dakwah Islam kemudian menjadikan Ayah sebagai seorang ulama sekaligus sastrawan yang cukup dikenal di negeri ini.

Ketika di Makkah pula Hamka pernah bertemu Haji Agus Salim. Waktu itu sedang musim haji. Ia gunakan kesempatan itu untuk mendampingi Agus Salim selama di Makkah. Satu kesempatan, Hamka bertanya apakah sebaiknya ia tetap bermukim di Makkah untuk belajar atau pulang ke tanah air. Agus Salim menasihatinya untuk pulang. 

“Negeri ini adalah tempat beribadat. Bukan tempat menuntut ilmu. Lebih baik engkau kembangkan dirimu di tanah airmu sendiri,” petuah Agus Salim. 

Setelah tujuh bulan bermukim di Makkah, Hamka akhirnya memutuskan kembali ke tanah air. Bukan ke Padang Panjang, tapi menetap di Medan. Di sana Hamka mulai menyebarkan syiar Islam melalui tulisan-tulisannya di berbagai terbitan, seperti harian Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah di Yogyakarta. Buku-buku Islam karangan Hamka mulai diterbitkan pada 1929, antara lain Pembela Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, dan Kepentingan Melakukan Tabligh

“Semenjak saat itu, Ayah meneruskan cita-cita Syekh Abdul Karim –dan juga cita-citanya sendiri– yaitu menjadi seorang ulama dan sastrawan. Jalan dakwah Islam kemudian menjadikan Ayah sebagai seorang ulama sekaligus sastrawan yang cukup dikenal di negeri ini,” tulis Irfan Hamka, anak kelima Hamka, dalam Ayahku: Kisah Buya Hamka.

Keulamaan Hamka

Kapasitas keulamaan Hamka cenderung condong pada masalah-masalah fikih Islam (hukum) daripada tasawuf (sufistik), walau bukan fikih dalam arti yang ketat sekali. 

“Dia bukan ‘schriftgeleerde’ (pembaca teks) yang fanatik, tetapi seorang yang luwes dan berbeda lapang. Dia tidak mau terjebak dalam urusan khilafiyah yang diperdebatkan oleh sebagian ulama fiqh,” tulis Rosihan Anwar, yang pernah bekerja bersama Hamka sebagai jurnalis di majalah Gema Islam, dalam “Hamka, Gema Islam dan Kumandang Da’wah”, yang dimuat dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka.

Pendekatan ala kaum intelektual yang nonsyariah (tidak terikat pada hukum-hukum formal) ini mendorong Hamka menulis buku-buku yang menjawab persoalan agama dari segi itu, seperti buku-buku Tasawuf Modern (1939), Falsafah Hidup (1939), Lembaga Hidup (1940), Lembaga Budi (1940), dan lain-lain. Kumpulan pertanyaan dari masyarakat yang diajukan kepadanya saat ia masih bekerja di majalah Gema Islam dan Panji Masyarakat pun dibukukan ke dalam Hamka Membahas Soal-soal Islam (1983). 

Menurut Gus Dur, Hamka adalah ulama yang ingin menyelaraskan masalah keislaman yang ada di tengah masyarakat dengan cara-caranya sendiri: toleran, luwes welas asih, dan santun. 

“Letak kebesaran Buya Hamka, kalau ingin dirumuskan secara bersahaja, adalah terletak pada kemampuannya menjadikan diri berharga dan berarti bagi aneka ragam manusia melalui sikap yang sangat positif dan konstruktif: ia menghargai manusia lain secara tulus,” kata Gus Dur memuji Hamka.*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65d35a50dee058744939d249