BEBERAPA bulan setelah memimpin Indonesian Service Company (ISC), perusahaan perakitan mobil milik negara, Hasjim Ning mengundang Presiden Sukarno untuk menengok pabrik perakitan ISC di Tanjung Priok, Jakarta –sebelum pindah ke Jalan Lodan. Undangannya berbalas. Sukarno datang.
Hasjim Ning memperlihatkan cara kerja pabrik perakitan itu. Sukarno antusias memperhatikan pemasangan setiap komponen mobil yang sedang dirakit. Tak jarang ia mengajukan pertanyaan. Usai keliling pabrik, mereka makan siang sambil berbincang mengenai ISC. Hasjim Ning mengutarakan percakapan itu dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
“Katakan padaku, apa kesulitan jij (kamu, red.) dalam memimpin perusahaan ini. Nanti aku bantu mengatasinya,” kata Bung Karno.
Hasjim Ning mengatakan, kesulitan utama adalah tenaga terampil dari dalam negeri.
“Apa yang jij rencanakan untuk mengatasinya?”
“Mengirim staf untuk belajar ke luar negeri agar lebih terampil.”
“Itu bagus. Tapi yang harus mereka capai bukan hanya terampil dalam merakit mobil buatan Amerika ini, melainkan juga agar mereka mampu membuat mobil sendiri, yang bertipe nasional. Karena perusahaan ini milik nasional dan harus menjadi kebanggaan nasional.”
Hasjim Ning sadar, ia harus mewujudkan hasrat itu. Ia pun yakin bisa mewujudkannya. Tapi, dalam perjalanan waktu, kegamangan muncul; “harapan yang diletakkan kepadaku terlalu besar, bahkan aku rasakan sebagai khayalan orang-orang yang baru saja memperoleh kemerdekaan.”
BEBERAPA bulan setelah memimpin Indonesian Service Company (ISC), perusahaan perakitan mobil milik negara, Hasjim Ning mengundang Presiden Sukarno untuk menengok pabrik perakitan ISC di Tanjung Priok, Jakarta –sebelum pindah ke Jalan Lodan. Undangannya berbalas. Sukarno datang.
Hasjim Ning memperlihatkan cara kerja pabrik perakitan itu. Sukarno antusias memperhatikan pemasangan setiap komponen mobil yang sedang dirakit. Tak jarang ia mengajukan pertanyaan. Usai keliling pabrik, mereka makan siang sambil berbincang mengenai ISC. Hasjim Ning mengutarakan percakapan itu dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
“Katakan padaku, apa kesulitan jij (kamu, red.) dalam memimpin perusahaan ini. Nanti aku bantu mengatasinya,” kata Bung Karno.
Hasjim Ning mengatakan, kesulitan utama adalah tenaga terampil dari dalam negeri.
“Apa yang jij rencanakan untuk mengatasinya?”
“Mengirim staf untuk belajar ke luar negeri agar lebih terampil.”
“Itu bagus. Tapi yang harus mereka capai bukan hanya terampil dalam merakit mobil buatan Amerika ini, melainkan juga agar mereka mampu membuat mobil sendiri, yang bertipe nasional. Karena perusahaan ini milik nasional dan harus menjadi kebanggaan nasional.”
Hasjim Ning sadar, ia harus mewujudkan hasrat itu. Ia pun yakin bisa mewujudkannya. Tapi, dalam perjalanan waktu, kegamangan muncul; “harapan yang diletakkan kepadaku terlalu besar, bahkan aku rasakan sebagai khayalan orang-orang yang baru saja memperoleh kemerdekaan.”
Industri Otomotif Diritul
ISC, didirikan tahun 1950, merupakan usaha patungan NV Putera dan Zorro Corporation. NV Putera adalah anak perusahaan dari Bank Negara Indonesia (BNI) yang bergerak di bidang ekspor-impor. Sementara Zorro didirikan Matthew Fox, taipan film Hollywood yang membantu Indonesia selama masa revolusi, memegang monopoli impor dan perakitan kendaraan Amerika macam Dodge, Willys, Jeep, Ford, hingga Zephyr.
ISC dianggap sebagai simbol nasionalisme Indonesia di bidang ekonomi yang, dalam bahasa Hasjim Ning, “ingin menjadi tuan di tanah airnya sendiri”.
ISC bukan satu-satunya. Ada Gaja Motors (sebelumnya General Motors, kini milik Astra), perusahaan negara yang ditunjuk sebagai agen tunggal merangkap perakit produk-produk General Motors. Gaja Motors juga diarahkan untuk “berdiri di atas kaki sendiri” (berdikari) dengan membuat mobil sendiri.
Di luar itu, ada beberapa perusahaan perakitan dan keagenan impor mobil swasta, yang umumnya hidup dengan mengandalkan koneksi politik. Akibatnya jumlah merek mobil naik berlipat ganda. Persaingan pun meningkat. Sebuah perkembangan yang tidak sehat bagi industri otomotif nasional.
Setelah upaya rasionalisasi yang gagal, pemerintah “meritul” atau mengambil alih sektor otomotif dari tangan swasta pada 1959. Pemerintah kemudian membentuk komite khusus di dalam Biro Industrialisasi di Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Deperdatam). Salah satu proyek ambisiusnya: memproduksi kendaraan buatan Indonesia di bawah bimbingan negara.
Dalam Konglomerasi: Negara dan Modal dalam Industri Otomotif Indonesia, Ian Chalmers, pengajar pada University of Western Australia, menyebut proyek ambisius itu lebih banyak dikendalikan oleh pertimbangan politik daripada perhitungan ekonomi. Kemajuan industri otomotif diharapkan meningkatkan integrasi, kedaulatan, dan kemandirian nasional. Proyek itu juga diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional dan mencegah para pengusaha nasional lebih mengutamakan mitra asing mereka.
Namun kendala mengadang. Pendekatan Deperdatam dengan Volkswagen dan sejumlah perusahaan Amerika Serikat gagal. Para pengusaha nasional enggan terlibat. Proyek mobil nasional pun tertunda.
Kendali negara menguat ketika situasi politik memanas karena sengketa Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Jasa perkapalan kacau. Impor mobil terhambat. Pembelian mobil kian diatur melalui negosiasi antarpemerintah. Melalui usaha Menteri Deperdatam Chaerul Saleh, berseliweran mobil-mobil dari Eropa Timur dan Jepang.
Mau tidak mau, perusahaan otomotif nasional terbujuk atau terpaksa terlibat dalam proyek mobil nasional. Bisuk Siahaan, yang lama berkarier di Departemen Perindustrian, mencatatnya dalam Industrialisasi di Indonesia: Sejak Rehabilitasi sampai Awal Reformasi.
<div class="quotes-center font-g">“Itu bagus. Tapi yang harus mereka capai bukan hanya terampil dalam merakit mobil buatan Amerika ini, melainkan juga agar mereka mampu membuat mobil sendiri, yang bertipe nasional. Karena perusahaan ini milik nasional dan harus menjadi kebanggaan nasional.”<br>~Sukarno</div>
Pada Agustus 1962, Deperdatam membentuk sebuah badan penasihat dengan nama Badan Pembina Industri Mobil (BPIM). Anggotanya wakil dari beberapa instansi pemerintah dan pengusaha mobil swasta. Tugasnya menyusun kebijakan industri kendaraan bermotor.
Hasil kerja BPIM disampaikan kepada Deperdatam pada Desember 1962. BPIM menyarankan pemerintah mendirikan perusahaan mobil nasional dengan nama PT Industri Mobil Indonesia (Imindo), usaha patungan antara pemerintah (60 persen) dan swasta (40 persen).
Pemerintah diwakili ISC dan Gaja Motor, masing-masing memiliki saham 30 persen. Sedangkan pihak swasta diwakili 16 perusahaan perakitan yang diakui pemerintah –sebelas di antaranya berlokasi di Jakarta. Mereka adalah PT Ali Indonesian Motor Co. (Allimco), NV Indonesian Republic Motor Co. (IRMC), NV Indonesian Industrial Commercial Corp. (IICC), PT Masayu, PT Daswa Motor, PT Piola, PT Fuchs & Rens (Permorin), NV Java Motor, PT National Motor Co., PT Daha Motor, NV Tjahaya Sakti Motor, NV Horas, PT Imer Motors, PT Udatin, PT Pamos, dan PT Busimo.
Rencananya, dilansir Far Eastern Economic Review (FEER), 9 Mei 1963, Imindo membangun pabrik induk untuk memproduksi kendaraan. Bodi dan sasis dibikin ISC dan Gaja Motor. Sementara komponen lainnya diproduksi sejumlah pabrik suku cadang di seluruh negeri.
Pabrik direncanakan dibangun di Cipinang, Jakarta. Prioritas utama membuat bus dan truk, yang dibutuhkan waktu itu untuk pengangkutan penumpang dan barang, dengan target produksi 15.000 kendaraan.
Perusahaan patungan itu terdaftar tahun 1964. Karena nama Imindo sudah dipakai perusahaan lain, diganti menjadi PT Imindo Uneswa atau PT Industri Mobil Indonesia Usaha Negara dan Swasta.
Bantuan Yugoslavia
Mewujudkan proyek mobil nasional butuh dana besar. Sementara Imindo Uneswa hanya mengumpulkan modal bersama sebesar 18 miliar rupiah. Untuk menutupi kekurangannya, pemerintah mendekati perusahaan-perusahaan Yugoslavia.
Pada Agustus 1964, perjanjian kerja sama jangka panjang ditandatangani pemerintah dengan Crvena Zastava (“Bendera Merah”) dan Tovarna Avtomobilov Maribor (TAM). Kerja sama meliputi desain, pengaturan produksi, dan lain-lain. Sementara Imindo dan Yugoimport menyepakati pengiriman 1.200 kendaraan dalam bentuk terurai (CKD) untuk dirakit di Indonesia dengan bantuan ahli-ahli dari Yugoslavia selama 1964 dan 1965.
Menurut Bisuk, kontrak induk (basic agreement) pembangunan pabrik mobil itu senilai 28 juta dolar. Rinciannya, 20 juta dolar disediakan untuk membeli truk diesel merek TAM dan kendaraan Crvena Zastava, termasuk suku cadang dan peralatan yang dibutuhkan. Sisanya dialokasikan untuk membeli mesin dan peralatan pabrik induk. Pemerintah berharap Imindo Uneswa menjadi wahana proses alih teknologi.
Sebagai bentuk keseriusannya, Zastava memutuskan membuka agen di Jakarta. Selain menjual mobil, agen itu akan menjalankan kesepakatan kerja sama dalam produksi mobil di Indonesia.
Proyek mulai diluncurkan setelah Hasjim Ning, yang punya julukan Raja Mobil dan “Henry Ford dari Indonesia”, bisa dibujuk untuk terlibat.
Pada 18 Maret 1965, Presiden Sukarno meneken Keputusan Presiden No. 54/1965, yang menetapkan PT Imindo Uneswa sebagai badan vital dan proyek mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Artinya di bawah pengawasan langsung Sukarno. Hasjim Ning ditunjuk sebagai presiden direktur.
<div class="quotes-center font-g">“Pemerintah telah menggariskan ‘berdiri di atas kaki sendiri’ dengan membuat mobil sendiri. Presiden Sukarno juga sudah menginstruksikan agar dalam tiga tahun sudah didirikan industri mobil nasional”.<br>–Sketsmasa</div>
Kerja sama dengan Yugoslavia berlanjut. Pada Januari 1966, Imindo Uneswa dan Yugoimport kembali menandatangani kontrak mengenai pengiriman kendaraan Yugoslavia ke Indonesia. Pada saat yang sama, Deperdatam menandatangani kontrak dengan Crvena Zastava dan TAM, yang memperpanjang pengiriman peralatan pabrik dan suku cadang kendaraan Yugoslavia ke Indonesia untuk satu tahun berikutnya.
“Kedua kontrak tersebut disimpulkan dalam kerangka kerja sama jangka panjang antara Yugoslavia dan Indonesia untuk pembangunan pabrik manufaktur di Indonesia,” tulis Antara, 31 Januari 1966.
Lalu, Februari 1966, sebagai kelanjutan dari kontrak induk dua tahun sebelumnya, dilangsungkan perundingan antara Indonesia dan Yugoslavia di Beograd guna membahas pembangunan pabrik mobil di Indonesia. Delegasi Indonesia dipimpin Kolonel Sukardi, asisten Menteri Deperdatam.
Menurut Bisuk, dalam pertemuan itu dibahas pula cakupan proyek. Hasilnya, PT Imindo Uneswa dimekarkan, mencakup pabrik pembuatan mesin dan penempaan besi dengan maksud agar menjadi suatu industri terpadu dan terintegrasi. Kedua belah pihak juga menyetujui meningkatkan kapasitas produksi dari 6.000 menjadi 15.000 kendaraan per tahun.
Proyek itu dijadwalkan mulai berproduksi dalam tiga tahun. Sebuah tim teknis dikirim ke Yugoslavia untuk merealisasikan rencana itu. Semua perkembangan dilaporkan kepada Presiden Sukarno.
Menurut laporan majalah Sketsmasa, pemerintah telah menggariskan “berdiri di atas kaki sendiri” dengan membuat mobil sendiri. Presiden Sukarno juga sudah menginstruksikan agar dalam tiga tahun sudah didirikan industri mobil nasional, yang namanya belum ditentukan, sesuai pembicaraan antara Sukarno, Chaerul Saleh, Jusuf Muda Dalam (Menteri Bank Sentral), dan pihak Yugoslavia. Terkait kerja sama dengan Yugoslavia, “… segala kredit yang diterima oleh industri mobil itu kelak diharapkan akan dapat ditutup kembali dengan hasil penjualan mobil.”
Tapi rencana itu terkatung-katung. Peristiwa 1965, yang memperburuk situasi politik dan ekonomi, memaksa Sukarno turun dari kekuasaannya dan digantikan Soeharto.
Dibubarkan Soeharto
Setelah Soeharto berkuasa, semua proyek masa Orde Lama dikaji ulang. Salah satunya proyek mobil nasional.
Pada 6 April 1967, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen TNI M. Jusuf mendiskusikan pembangunan pabrik mobil di Indonesia dengan duta besar Yugoslavia beserta direktur Crvena Zastava dan TAM. Keesokan harinya, giliran Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan Sultan Hamengkubuwono IX mengundang mereka untuk membahas hal yang sama.
Dalam pembicaraan itu ada indikasi kerja sama dengan Crvena Zastava dan TAM akan dilanjutkan. Tapi, pemerintah Indonesia minta agar pembayaran untuk proyek itu ditunda dua tahun. Sementara itu Indonesia menawarkan kerja sama ekonomi dalam bentuk eksploitasi sumber daya alam.
Sebuah perundingan kemudian digelar pada 1968. Dalam perundingan, tulis Bisuk, Yugoslavia mengusulkan agar proyek mobil nasional, juga impor mobil dari Yugoslavia, tetap dijalankan. Mengenai utang Indonesia, mereka usul menggunakan devisa hasil ekspor Indonesia ke Yugoslavia.
<div class="quotes-center font-g">“Pemerintah lebih suka membeli mobil Jepang yang harganya lebih murah dan pembayarannya dapat dilakukan dengan kredit yang dijamin oleh negara kedua belah pihak.”<br>–Hasjim Ning</div>
Indonesia tak setuju, bahkan berencana mengkaji ulang proyek tersebut. Alasannya, biaya investasinya terlalu tinggi dan tak mungkin dibiayai pemerintah.
Pada akhirnya pemerintah memutuskan menghentikan proyek mobil nasional. Kendati demikian, pemerintah meneken perjanjian ekonomi jangka panjang dengan Yugoslavia, tanpa mengaitkan dengan proyek mobil nasional. Hal ini tercantum dalam Keputusan Presiden No. 262/1968.
Salah satu figur kuncinya adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo, yang mendorong investasi asing untuk merakit produk di dalam negeri. Di balik gagasan lokalisasi produksi mobil itu, tulis Ian Chalmers, Sumitro tak setuju gagasan industrialisasi. Misalnya, sebelum itu ia menentang pendekatan Menteri Perindustrian Abdul Azis Saleh dan mengatakan kepada salah seorang manajer PT Imindo Uneswa: “Seluruh rencana itu sama sekali gila. Tak bakal menguntungkan!”
Hasjim Ning merasakan betul tahun-tahun tak menentu setelah peralihan kekuasaan ke Orde Baru. Pemerintah, yang menjadi konsumen utama, tak lagi memesan mobil dari ISC. “Pemerintah lebih suka membeli mobil Jepang yang harganya lebih murah dan pembayarannya dapat dilakukan dengan kredit yang dijamin oleh negara kedua belah pihak.”
Tahun Berdikari berakhir, mobil-mobil Jepang wara-wiri.