Berenang Hingga ke Cikini

Seratus tahun Kolam Renang Cikini. Kolam renang tertua di Jakarta ini menjadi saksi banyak cerita, mulai zaman diskriminasi sampai mencetak prestasi.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Berenang Hingga ke CikiniBerenang Hingga ke Cikini
cover caption
Kolam Renang Cikini tahun 1925. (KITLV).

SEMENTARA menunggu anak-istrinya berganti pakaian, Aditya Perdana duduk santai di bawah payung-tenda di tepi kolam renang. Terik mentari sore sehabis hujan itu seakan menghalanginya untuk beranjak.

Kolam Renang Cikini tak asing baginya. Sedari umur tujuh tahun, dia sering menyambangi tempat ini. Kadang ikut rombongan sekolahnya. Tak jarang pula berangkat sendiri dari rumahnya di Cempaka Putih, Jakarta. “Waktu kecil saya sering berenang di sini. Saya juga belajar berenang di sini,” ujarnya dengan logat Betawi kental.

Aditya punya kesan tersendiri terhadap kolam renang tertua di Jakarta ini. Maka, setelah puluhan tahun berlalu, dia sering menyempatkan diri berkunjung untuk melepaskan penat. Dia juga tahu perubahan yang terjadi atas kolam ini. Kolam untuk anak-anak kini tak ada lagi. Di depan kolam, sebuah hotel berdiri megah. “Dulu hotel ini tanah kosong. Di situ banyak tukang ketoprak, tukang somay,” ujarnya.

Namun, ada yang belum berubah: kolam renang ini selalu bersih. “Dulu sih udah bersih, termasuk yang bersih di antara kolam-kolam lain,” kenangnya. “Bukan kolam yang mewah, cuma cukup bersih lah. Kolam yang cukup memasyarakat.”

SEMENTARA menunggu anak-istrinya berganti pakaian, Aditya Perdana duduk santai di bawah payung-tenda di tepi kolam renang. Terik mentari sore sehabis hujan itu seakan menghalanginya untuk beranjak.

Kolam Renang Cikini tak asing baginya. Sedari umur tujuh tahun, dia sering menyambangi tempat ini. Kadang ikut rombongan sekolahnya. Tak jarang pula berangkat sendiri dari rumahnya di Cempaka Putih, Jakarta. “Waktu kecil saya sering berenang di sini. Saya juga belajar berenang di sini,” ujarnya dengan logat Betawi kental.

Aditya punya kesan tersendiri terhadap kolam renang tertua di Jakarta ini. Maka, setelah puluhan tahun berlalu, dia sering menyempatkan diri berkunjung untuk melepaskan penat. Dia juga tahu perubahan yang terjadi atas kolam ini. Kolam untuk anak-anak kini tak ada lagi. Di depan kolam, sebuah hotel berdiri megah. “Dulu hotel ini tanah kosong. Di situ banyak tukang ketoprak, tukang somay,” ujarnya.

Namun, ada yang belum berubah: kolam renang ini selalu bersih. “Dulu sih udah bersih, termasuk yang bersih di antara kolam-kolam lain,” kenangnya. “Bukan kolam yang mewah, cuma cukup bersih lah. Kolam yang cukup memasyarakat.”

Kolam Renang Cikini. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Modernisasi dan Diskriminasi

Ketika Jan Huygen van Linschoten, penjelajah Belanda, tiba di beberapa kerajaan di Timur, termasuk di Nusantara, dia mendapati tradisi mandi amat umum dalam kehidupan sehari-hari orang Timur. Selain rempah-rempah, mandi masuk dalam catatan Linschoten yang dibukukan, Itinerario.

Di Nusantara, raja-raja umumnya memiliki kolam mandi yang megah. Selain untuk mandi dan berendam demi kebersihan, mereka biasanya menggunakannya untuk relaksasi dan bersosialisasi dengan orang-orang penting atau penghibur-penghiburnya.

Thomas Best, komandan armada kecil Kongsi Dagang Inggris (EIC) menuliskan kesaksiannya ketika mengunjungi Aceh pada 1631. Raja, katanya, mengundangnya dalam pesta air mewah di kolam mandinya. Pesta itu jauh lebih mewah dari yang pernah dibayangkannya. Selain menyuguhkan makanan dan minuman kelas atas, pesta itu dihadiri banyak pembesar.

Tradisi mandi ala Timur masih dianggap hal aneh bagi orang-orang Barat. Namun, perlahan orang-orang Belanda menyesuaikan diri. Mereka meniru orang Indonesia, mandi setiap hari. “Kamar mandi, dengan bak air ubin dan gayung, menjadi keniscayaan untuk rumah orang Belanda di Hindia jauh sebelum rumah orang Belanda di Belanda punya ruang terpisah yang dikhususkan untuk mandi pribadi,” demikian tertulis dalam Cleanliness and Culture: Indonesian Histories.  

Polo air di Kolam Renang Cikini pada masa kolonial. (KITLV).

Perkembangan kolam renang dan renang yang dimulai di Inggris, dengan mengambil banyak pengaruh dari koloninya di India, mendorong kalangan elite Belanda untuk mengikutinya.

Sejalan dengan modernisasi di kota-kota besar Hindia Belanda, yang meliputi penataan kota hingga pembangunan fasilitas-fasilitas publik, pemerintah kota Batavia tak mengabaikan kebutuhan warganya terhadap kolam renang. Untuk itu, pada 1924, pemerintah menugaskan arsitek F.J.L. Ghijsel, yang antara lain pernah merancang Stasiun Kota.

Ghijsel merancang fasilitas mandi publik itu terdiri dari dua kolam renang, satu untuk dewasa dan satu yang lebih kecil untuk anak-anak. Setahun kemudian, Zwembad Tjikini atau Kolam Renang Cikini beroperasi untuk “umum”. Segera ia beroleh sambutan. Warga Batavia berbondong-bondong datang untuk menghabiskan waktu luang dengan berenang atau sekadar bersosialisasi.

Kehadiran Kolam Renang Cikini mendorong munculnya beragam aktivitas olahraga. “Pada 1920-an dan 1930-an, ada peningkatan kegiatan olahraga di Jakarta yang meliputi kompetisi antarklub renang dan klub menyelam serta turnamen polo air di Kolam Renang Cikini,” tulis Scott Merrillees dalam Greetings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900–1950.

Namun, kendati berstatus umum, kolam renang hanya bisa dinikmati segelintir orang, yakni orang Belanda atau orang kulit putih lainnya. Warga bumiputra, misalnya, boleh merasakan dinginnya air kolam renang jika memiliki status sosial tinggi. Papan pengumuman bertuliskan “Anjing dan pribumi dilarang masuk” umum terpampang di depan kolam renang.

Felix Sutanto, mantan perenang dan pendiri Millenium Aquatic Swimming Club. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Bukan Hanya untuk Cuci Mata

Sempat terbengkalai di masa pendudukan Jepang, Kolam Renang Cikini yang sebelumnya milik Gementee Batavia kembali bergeliat. Merdeka, bagi warga Jakarta, juga berarti bisa menikmati aktivitas berenang. Tak ada lagi diskriminasi. Meski awal 1950-an masih banyak orang Belanda berenang di Kolam Renang Cikini, mereka tak lagi mendominasi.  

Warga Jakarta amat menyukai berenang di kolam renang yang diambil alih pemerintah kotapraja itu. Sejarawan Alwi Shahab, yang pada 1950-an tinggal di Kwitang, sering berenang di sana. “Pada 1950-an, mandi di zwembad merupakan ‘cuci mata’ karena banyaknya gadis yang memakai swempak,” ujarnya di blog pribadinya.

Nurdentin, anak pengusaha rokok yang tinggal di Pasar Baru, juga punya kesan tersendiri. Baginya, dengan berenang di Cikini dia bisa bermain air sekaligus bertemu banyak orang baru. “Dulu enak banget kayaknya. Habis renang, kita ke kebun binatang biasanya. Kan deket,” ujarnya merujuk Kebun Binatang Cikini sebelum pindah ke kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Dia biasa pergi ke sana bersama keluarga atau teman-teman sekolah. Kadang, sekolahnya menjadikan kolam renang ini sebagai tempat praktik olahraga renang murid-muridnya. “Habis mau ke mana lagi, dulu kan kolam renang belum banyak,” kenang Nurdentin.

Karena harga celana selangit, banyak yang berenang dengan celana buatan sendiri. Celana renang itu berbentuk segitiga dan berangkap dua. “Di salah satu ujung pinggirnya tidak disatukan tetapi dijahit beberapa tali kain (3 atau 4) untuk mengikat celana itu ke pinggul,” kenang Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja.  

Sempat berhenti beroperasi pada akhir 1950-an lantaran dipakai kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Provinsi Jakarta, Kolam Renang Cikini kembali beroperasi pada 1960-an. Pemda membukanya untuk umum. Kolam kembali ramai.

Suasana semakin meriah pada 1970-an karena tiap hari libur ada live music dari band-band ternama. “Kelompok-kelompok band itu antara lain adalah band Panbers, Arya Yunior, band BamBros, dan sebagainya,” kenang Dorce Gamalama, yang gemar berenang di Cikini, dalam Aku Perempuan: Jalan Berliku Seorang Dorce Gamalama.

Pada akhir 1980-an, kolam tersebut juga digunakan untuk pusat pelatihan nasional (pelatnas) untuk ajang SEA Games. Maklum, kolam renang ini punya ukuran standar Olimpiade. “Dulu saya tahun 1990 sempat pelatnas di sini. Pelatnas pertama, pelatnas SEA Games, di sini,” ujar perenang nasional Felix Sutanto kepada Historia.

Namun, karena pengelolaan yang buruk, kondisi kolam memburuk. Beberapa keramiknya lepas. Pada awal 2000-an, Pemda melakukan renovasi. Namun, tanpa tujuan yang jelas, pemerintah membongkar kolam anak yang berada di sisi selatan kolam utama. Dampaknya, jumlah pengunjung menurun.

Pada 2006, Pemda memberikan izin kepada PT Hotel Cikini Realty untuk membangun hotel sekaligus mengelola Kolam Renang Cikini. Hotel berdiri. Namun, perusahaan itu tak sanggup mengelola kolam renang tanpa kolam anak, sehingga memilih mencari pihak ketiga. Upaya itu tak mudah. Baru tiga tahun kemudian Millenium Aquatic Swimming Club, klub renang yang didirikan Felix dan Albert pada 1999, mau mengambil alih pengelolaan kolam berukuran 20 x 50 meter itu.

“Kita memang butuhnya kolam-kolam seperti ini, yang olympic size,” ujar Felix.

Sutanto Bersaudara punya mimpi melahirkan perenang-perenang andal. Kolam Renang Cikini dipilih jadi home base, kendati mereka mengoperasikan beberapa kolam renang yang tersebar di Jakarta. Setiap hari mereka menggelar latihan renang untuk anggota klub. Hasilnya, beberapa perenang Millenium Aquatic Swimming Club mendulang prestasi, bahkan di kancah internasional. I Gede Siman Sudartawan, misalnya. Perenang spesialis gaya punggung ini pernah meraih empat medali emas di SEA Games 2011 dan tampil dalam Olimpiade London 2012.

“Sejak awal memang kita butuh kolam yang bukan untuk bermain tapi untuk membina prestasi, membina atlet-atlet untuk menuju tingkat nasional maupun internasional,” terang Felix.

Namun, Sutanto Bersaudara juga tak mengabaikan kepentingan masyarakat. Kolam ini tetap terbuka untuk umum. Kendati mematok tarif agak tinggi, Kolam Renang Cikini tetap ramai pengunjung. “Banyak pelanggan yang rumahnya di daerah Senayan atau di Simprug. Mereka memilih datang jauh-jauh kemari karena kualitas airnya,” ujar Felix.

“Karena tempatnya berada di tengah kota, ramainya sore sampai malam, orang-orang kerja baru datang.”

Jika kolam bisa bicara, ia pasti akan berbagi segudang cerita. Di usia 100 tahun, Kolam Renang Cikini masih bertahan.*

Majalah Historia No. 27 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6669367ae5c004ecf94c5972