Sejak lama produsen sepeda melirik pasar anak-anak. Dibuatlah sepeda roda tiga. Desain dan warna dirancang menarik. Namun, kesan estetika klasik hilang karena muncul plastik.
Ananta Hari Noorsasetya dan sepeda koleksinya yang tertua. (Nugroho Sejati/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
HIDUP Ananta Hari Noorsasetya, berusia 42 tahun, tak jauh-jauh dari sepeda. Jika sebelumnya dia tergila-gila pada sepeda onthel, kini dia melirik model sepeda lawas lainnya yang bentuknya lebih unik dan menarik. Koleksinya memenuhi rumahnya di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Di teras rumahnya teronggok sebuah sepeda roda dua dengan ukuran ban depan yang besar (boneshaker) bikinan Inggris tahun 1897. Memasuki ruang tamu, dua sepeda roda tiga produksi 1940-an berbahan kombinasi kayu dan besi nangkring di atas lemari. Di depan gebyok, partisi kayu khas Jawa yang berfungsi sebagai penyekat ruang tamu dan ruang keluarga, berjajar tiga sepeda roda tiga lainnya: merek CCM tipe velocipede dari Kanada produksi akhir abad ke-19, merek Miguni bercat abu-abu dari Jepang tahun 1940, dan sepeda tandem tanpa merek berwarna dominan merah produksi 1930-an.
HIDUP Ananta Hari Noorsasetya, berusia 42 tahun, tak jauh-jauh dari sepeda. Jika sebelumnya dia tergila-gila pada sepeda onthel, kini dia melirik model sepeda lawas lainnya yang bentuknya lebih unik dan menarik. Koleksinya memenuhi rumahnya di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Di teras rumahnya teronggok sebuah sepeda roda dua dengan ukuran ban depan yang besar (boneshaker) bikinan Inggris tahun 1897. Memasuki ruang tamu, dua sepeda roda tiga produksi 1940-an berbahan kombinasi kayu dan besi nangkring di atas lemari. Di depan gebyok, partisi kayu khas Jawa yang berfungsi sebagai penyekat ruang tamu dan ruang keluarga, berjajar tiga sepeda roda tiga lainnya: merek CCM tipe velocipede dari Kanada produksi akhir abad ke-19, merek Miguni bercat abu-abu dari Jepang tahun 1940, dan sepeda tandem tanpa merek berwarna dominan merah produksi 1930-an.
Tak beberapa lama, si empunya rumah melangkah ke ruang belakang dan kembali dengan membawa satu demi satu koleksinya. Kebanyakan untuk anak-anak. Maka, sepeda-sepeda roda tiga memenuhi ruang tamu.
“Belum ada 100 biji, baru ada kira-kira 90 buah. Susah mencarinya,” ujar pria berambut gondrong yang kerap disapa Ananta kepada Historia.
Kepincut
Ananta, yang sehari-hari mengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Jakarta, mulai kepincut sepeda roda tiga, khususnya untuk anak-anak, sejak 1992.
Mulanya, bersama kawan-kawannya, dia melakukan konservasi sebuah rumah tua di Semarang, Jawa Tengah. Saat menggali halaman di belakang rumah, cangkulnya menghantam logam. Penasaran, dia mulai menggali pelan-pelan. Sedikit demi sedikit, beberapa barang pun terlihat: senapan api laras panjang, sekop tua, tengkorak, dan sepeda mini roda tiga. Semua barang temuan itu dikumpulkan, kecuali sepeda yang tinggal rangka besi dan berkarat. Ananta membawanya pulang ke rumah di Nitiprayan, Yogyakarta.
Sepeda mini roda tiga itu menjadi koleksi pertama Ananta dan kini berada di ruang tamu rumahnya di Jakarta Utara. Sepeda itu tinggal kerangka yang semuanya terbuat dari besi cor. Sadel dan ban karetnya sudah tanggal. Velg sebelah kiri sedikit penyok. Sepeda itu, ujar Ananta, cara mengayuhnya dengan tangan. Ada tuas di depan tempat duduk yang terhubung dengan gir untuk memutar kedua roda di belakang. Tuas itu digerakkan maju-mundur untuk memutar gir. Kemudinya cukup dilakukan dengan satu tangan.
“Prinsip saya, semakin tua sepeda itu semakin tidak nyaman,” ujar Ananta. “Bayangkan sepeda mini itu dulu dipakai anak usia 7 tahun. Betapa sulit, berat, dan tanpa rem pula.”
Ananta menaksir sepeda itu dibuat sebelum 1880-an, kisaran 1876 atau 1878. “Karena pada 1880 sudah banyak velocipede seperti merek Viking,” ujarnya.
Dari penemuan itu, Ananta mulai keranjingan berburu sepeda roda tiga, khususnya untuk anak-anak, ke banyak tempat. Banyak cara dia tempuh demi mendapatkannya. Salah satunya dengan barter.
Ananta sebelumnya kolektor sepeda onthel lawas. Koleksinya mencapai 1.000 buah. Dia juga pendiri Paguyuban Onthel Djogjakarta (Podjok). Jika dia melihat orang memiliki sepeda mini roda tiga lawas, dia tak segan menawarkan barter dengan sepeda onthelnya.
Meski demikian, dia tak sembarang menggaet sepeda roda tiga. “Saya mulai mencari yang jenis velocipede, yang roda depannya lebih besar,” ujar jebolan Seni Kriya ISI Yogyakarta ini. Dan, yang terpenting, tak ada model yang sama dalam koleksinya.
Tunggangan Kaum Kaya
Sepeda roda tiga (tricycle) kali pertama dibuat tahun 1680 oleh Stephan Farffler, seorang pembuat jam yang lumpuh asal Nuremburg, Jerman. Alat ini, yang memiliki gigi dan engkol tangan, dianggap sebagai kursi roda otomatis pertama sekaligus pendahulu sepeda roda tiga.
Lebih dari seabad kemudian, tahun 1879, dua orang Prancis bernama Blanchard dan Maguier menciptakan sebuah sepeda roda tiga. Lalu, Denis Johnson mematenkan sepeda roda tiga di Inggris pada 1818.
Pada 18 November 1876, James Starley (1831-1881) memperkenalkan Coventry Lever Tricycle, dengan dua roda kecil di sisi kiri dan sebuah roda besar di sisi kanan, yang segera merajai jalanan kota Inggris. Tiga tahun berselang, dua puluh jenis sepeda roda tiga muncul di Coventry. Dan pada 1884, ada lebih dari 120 model berbeda dihasilkan 20 produsen sepeda.
Sepeda roda tiga umum dipakai mereka yang tak bisa mengendarai kendaraan beroda tinggi (high wheelers), seperti perempuan bergaun panjang, dan laki-laki bertubuh pendek. Maka sejak 1881 hingga 1886 di Britania Raya, sepeda roda tiga lebih populer daripada sepeda roda dua. Terutama di antara orang-orang kaya karena harganya yang mahal. Bagi mereka, sepeda roda tiga lebih prestisius, lebih sopan, dan cocok untuk kaum perempuan.
Kemunculan sepeda roda tiga, tulis Paul Smethurst dalam The Bicycle: Towards a Global History, merupakan “evolusi dari sepeda dengan model boneshaker yang tinggi menuju sepeda yang lebih aman.”
Disebut boneshaker atau penggoyang tulang karena saat itu belum ditemukan teknologi suspensi sehingga membuat penunggang sepeda ini sering mengeluhkan sakit tulang pinggang. “Pada sepeda roda tiga bikinan James Starley, sudah ditempatkan suspensi dari lempeng logam berbentuk huruf C yang ditempatkan di bawah sadel atau tempat duduk,” tulis Smethrust.
Sejak itu sepeda roda tiga merambah ke beberapa negara Eropa dan Amerika lalu Hindia Belanda yang saat itu berada di bawah kekuasaan Belanda.
Saat sepeda roda tiga sohor di Eropa, pada 1880-an Hindia Belanda sedang memasuki masa ekonomi liberal. Selama masa ini pengusaha swasta dari Belanda dan negara-negara Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula, dan kina. Mulai muncul orang-orang kaya pemilik perkebunan. Dengan dibukanya Terusan Suez sejak 1869, mereka dapat dengan mudah memesan barang impor seperti sepeda dari Eropa atau Amerika.
Saat berburu sepeda roda tiga, Ananta memilih daerah yang di masa lalu dihuni banyak keluarga Belanda atau daerah perkebunan. “Saya pernah mendapatkan sepeda roda tiga model velocipede dari sebuah gudang di perkebunan teh di Pekalongan. Lama sekali teronggok, dan saya beli murah karena tak seorang pun yang melirik. Dan itu berasal sebelum tahun 1900-an,” ujar Ananta.
Sepeda roda tiga, yang memiliki setang atau kemudi berupa besi cor dengan diameter kecil sekira 1 sentimeter, bisa dipastikan berasal dari akhir abad ke-19.
Susah Dicari
Sepeda roda tiga menjadi sebuah kebutuhan, apalagi jika memiliki anak kecil. Para orang kaya beranggapan, terang Ananta, sepeda itu akan menjadi bekal bagi si kecil ketika dewasa untuk memakai sepeda roda dua. Paling tidak, si kecil memiliki pengalaman bersepeda.
“Dan sepeda roda tiga atau tricycle ini sulit ditemukan karena anak kecil kadang sesukanya saat mengendarai. Kadang sambil ngebut. Lalu sering nabrak. Dan jika sudah rusak, orangtua menganggapnya sebagai rongsokan,” ujar Ananta.
Kebanyakan sepeda roda tiga yang masuk ke Hindia Belanda adalah merek CCM (Canada Cycle Motor) dari Kanada, karena strukturnya lebih sederhana, dan Murray dari Amerika. Kedua merek ini, jelas Ananta, mengeluarkan banyak tipe sepeda roda tiga dan memiliki katalog produksi yang lengkap.
“Merek CCM paling artistik dari segi model, sehingga banyak diminati. Dan banyak sepeda roda tiga jenis velocipede dari CCM berwarna merah. Mungkin, produsennya lebih menyasar anak kecil jadi memberi warna yang menyala,” ujar Ananta.
Selain CCM dan Murray, Ananta memiliki sepeda roda tiga merek Tropicana dari Amerika lalu Dunlop, Mobo, Humber, dan Miguni dari Jepang. Bukan hanya sepeda yang berbahan besi, beberapa dari koleksinya berjenis wood tricycle yang mulai dari ban, tempat duduk, hingga setang terbuat dari kayu; hanya rangkanya saja dari besi. Sepeda jenis ini amat jarang karena daya tahan kayu yang tak bisa awet.
Saat mencari sepeda roda tiga ke beberapa tempat, Ananta juga sering menemukan sepeda roda tiga tanpa merek, hanya ada stiker dari toko yang menjualnya.
“Kesulitan menemukan sepeda roda tiga ini barangkali juga dari segi kepentingan pengguna. Mungkin sepeda roda dua lebih banyak dipakai di Hindia Belanda karena untuk dipakai para petugas keamanan seperti polisi dan pengantar surat,” ujarnya.
Perkembangan
Sepeda roda tiga pun mengalami perkembangan. Pada periode 1930-1940, sepeda roda tiga muncul dengan model baru yaitu tandem. “Nah mulai periode ini saya kira mulai banyak produsen sepeda roda tiga dari dalam negeri yang meniru model merek asing,” ujar Ananta.
Salah satu yang memproduksinya adalah Gazelle. Gazelle bermula dari usaha William Kölling, seorang petugas pos, pada 1882 yang mendapat inspirasi dari penemuan baru bernama sepeda. Usahanya berkembang. Pada 1892, dia menjalin kerjasama dengan Rudolf Arentsen dan mendirikan perusahaan Arentsen and Kölling. Mulanya mereka mengimpor sepeda dari Inggris untuk dijual kembali. Sepeda pertama dengan nama Gazelle kali pertama dirilis tahun 1902. Namun, tiga tahun kemudian, mereka pecah kongsi. Posisi Arentsen digantikan Henry Kölling, saudara William.
Pada 1915, nama perusahaan diganti jadi NV Gazelle Rijwielfabriek v/h Arentsen and Kölling. Perusahaan ini berkembang pesat. Penjualan di Belanda meningkat dan meniti jalan ekspor.
“Penjualan sepeda Gazelle yang semakin meningkat di Hindia Belanda sangat signifikan. Selain sepeda ‘biasa’, sepeda bermotor, sepeda roda tiga dan sepeda transportasi diproduksi,” tulis laman gazelle-indonesia.com.
Sepeda roda tiga juga mulai mempertimbangkan aspek keamanan bagi anak kecil. Mulai muncul sepeda dengan bahan besi campur timah yang cukup ringan seperti merek Miguni dari Jepang. Bobot yang ringan akan meminimalkan efek cedera bagi pengguna jika terjatuh lalu tertimpa sepedanya.
Pertimbangan bobot yang ringan pun menjadi acuan bagi perkembangan sepeda roda tiga di masa berikutnya. Mulai ada campuran plastik dalam struktur sepeda roda tiga.
Sepeda roda tiga berbahan plastik mulai marak sejak 1980-an. Apalagi, ujar Ananta, ada anjuran dari pakar kesehatan untuk produsen sepeda supaya membuat rancangan sepeda bagi anak-anak, baik roda tiga maupun roda dua, dengan menghindari model lekukan tajam yang berbahaya bagi anak-anak.
“Bagian pertama yang terkena sentuhan plastik ini adalah pedal. Dari situ kemudian merembet ke bagian lain. Nah, saat kemunculan plastik ini, nilai estetika klasik pada sebuah sepeda roda tiga menjadi hilang,” pungkas Ananta.*