Bergerilya di Filipina

Aku menyimpan buku harian, yang setelah penangkapanku kembali oleh Jepang harus dibakar. Karena itu aku harus menuliskan catatan ini berdasarkan ingatan.

OLEH:
Petrik Matanasi
.
Bergerilya di FilipinaBergerilya di Filipina
cover caption
Ilustrasi: Awaludin Yusuf

AKU masuk tentara sebagai operator radio pada 22 Desember 1940. Setelah mendapatkan pelatihan di Cimahi, aku bergabung dengan Skuadron Kavaleri 2 di Bandung ketika perang pecah. Setelah kejatuhan Jawa, aku ditawan bersama ribuan orang lainnya di Bandung. 

Setelah enam bulan, aku mendaftar sebagai tentara pembantu Jepang (Heiho) agar bisa keluar dari kamp tawanan dan bisa bertemu kerabat. Jepang telah menyatakan jika kami mau bekerja di luar memperbaiki jembatan dekat Bandung, kami akan dibayar 30 sen per hari. 

Tapi kami malah dibawa dengan pengawalan ke Cirebon dan kemudian Tanjung Priok. Kami dikirim ke luar negeri tanpa tahu tujuan. Akhirnya kami tiba di Rabaul, New Britain, sekira September 1942. Selama di sana aku ditugaskan sebagai penerjemah. Kami tinggal selama hampir tujuh bulan dan kemudian dibawa lagi ke Filipina.

Kami tiba di Filipina pada 6 Mei 1943 dan ditawan di Kamp Gonzales, Provinsi Pangasinan. Di sana aku menjalin kontak dengan anggota Pasukan Gerilya di bawah komando Mayor Robert B. Lapham. Mereka memberi tahu bahwa Mayor Lapham ingin mendapatkan informasi tentang penempatan tentara Jepang di kamp tawanan. Informasi itu segera diberikan. Beberapa hari kemudian aku menerima instruksi dari Komandan Satuan untuk bersiap-siap melarikan diri dari kamp tawanan.

Selama tinggal di sana, aku dipercaya Jepang sehingga bisa keliling ke berbagai desa. Kebetulan kami, aku dan 15 prajurit Menado lainnya, yang merupakan mantan anggota Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), tiba di sebuah desa. Kami dikepung oleh gerilyawan. Letnan Mercelino Cada, yang bertanggung jawab atas para gerilyawan, menanyakan informasi tentang posisi Jepang. Ia juga menyarankan aku melarikan diri sesuai instruksi dari Mayor Robert Lapham dari Angkatan Darat AS. 

Beberapa hari setelah percakapan dengan Lernan Cada, aku menerima perintah dari komandan Gerilya Amerika pada 20.00, karena Pasukan Gerilya sedang bersiap untuk menyerang kamp tawanan. Aku menginstruksikan rekan-rekanku untuk pergi dari kamp, masing-masing tiga orang, untuk menghindari masalah jika dikejar oleh Jepang. 

AKU masuk tentara sebagai operator radio pada 22 Desember 1940. Setelah mendapatkan pelatihan di Cimahi, aku bergabung dengan Skuadron Kavaleri 2 di Bandung ketika perang pecah. Setelah kejatuhan Jawa, aku ditawan bersama ribuan orang lainnya di Bandung. 

Setelah enam bulan, aku mendaftar sebagai tentara pembantu Jepang (Heiho) agar bisa keluar dari kamp tawanan dan bisa bertemu kerabat. Jepang telah menyatakan jika kami mau bekerja di luar memperbaiki jembatan dekat Bandung, kami akan dibayar 30 sen per hari. 

Tapi kami malah dibawa dengan pengawalan ke Cirebon dan kemudian Tanjung Priok. Kami dikirim ke luar negeri tanpa tahu tujuan. Akhirnya kami tiba di Rabaul, New Britain, sekira September 1942. Selama di sana aku ditugaskan sebagai penerjemah. Kami tinggal selama hampir tujuh bulan dan kemudian dibawa lagi ke Filipina.

Kami tiba di Filipina pada 6 Mei 1943 dan ditawan di Kamp Gonzales, Provinsi Pangasinan. Di sana aku menjalin kontak dengan anggota Pasukan Gerilya di bawah komando Mayor Robert B. Lapham. Mereka memberi tahu bahwa Mayor Lapham ingin mendapatkan informasi tentang penempatan tentara Jepang di kamp tawanan. Informasi itu segera diberikan. Beberapa hari kemudian aku menerima instruksi dari Komandan Satuan untuk bersiap-siap melarikan diri dari kamp tawanan.

Selama tinggal di sana, aku dipercaya Jepang sehingga bisa keliling ke berbagai desa. Kebetulan kami, aku dan 15 prajurit Menado lainnya, yang merupakan mantan anggota Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), tiba di sebuah desa. Kami dikepung oleh gerilyawan. Letnan Mercelino Cada, yang bertanggung jawab atas para gerilyawan, menanyakan informasi tentang posisi Jepang. Ia juga menyarankan aku melarikan diri sesuai instruksi dari Mayor Robert Lapham dari Angkatan Darat AS. 

Beberapa hari setelah percakapan dengan Lernan Cada, aku menerima perintah dari komandan Gerilya Amerika pada 20.00, karena Pasukan Gerilya sedang bersiap untuk menyerang kamp tawanan. Aku menginstruksikan rekan-rekanku untuk pergi dari kamp, masing-masing tiga orang, untuk menghindari masalah jika dikejar oleh Jepang. 


KAMI melarikan diri pada 6 Agustus 1943. Beberapa jam kemudian, kami tiba di tempat para gerilyawan menunggu. Kami memulai perjalanan tanpa tahu tujuan. Sangat berat bagi kami berjalan tanpa sepatu. 

Setelah dua hari berjalan kaki, kami tiba di kamp gerilya. Oleh Letnan Cada, kami diperkenalkan kepada komandannya, seorang Amerika. Kami berjumlah sepuluh orang. Kami hampir melupakan penderitaan. Kami disambut dengan sebuah pesta yang menyajikan babi, sapi, dan ayam. Kami diberi senjata dan peralatan lainnya. 

Dua hari setelah kedatangan kami, kurir datang dan mengabarkan tiga kompi pasukan Jepang mendekati arah kami. Orang Amerika itu memerintahkan kami untuk siap-siap berangkat jam sembilan malam. “Jangan berkecil hati, miliki harapan dan terus berjalan –dan jangan pernah bertanya ke mana harus pergi. Waktunya akan tiba bahwa kita mencapai tujuan kita,” kata komandan kepadaku.

Jadi kami terus berjalan dan mendaki, tiga hari tiga malam, ke pegunungan Baguio. Di sana kami mendirikan kamp sementara, menunggu informasi lebih lanjut mengenai posisi Jepang. Kami tinggal di sana hampir lima hari, tidak makan apapun selain daging binatang apa saja. 

Kurir datang dan memberi tahu satu kompi pasukan Jepang berada dua mil di sebelah barat posisi kami. "Tetap di dekat senjatamu dan tunggu perintah lebih lanjut,” kata orang Amerika. Kami berjumlah delapan puluh orang, bersenjata lengkap. 

Kurir kedua tiba dan mengabarkan patroli pengintaian Jepang berjarak 1.200 yard dari posisi kami. Ia menyamar sebagai penduduk dan membawa bagasi dengan tommy gun di dalamnya.

Kawanku bernama Joseph Supit bilang kepadaku untuk bertanya kepada komandan Amerika apakah sepuluh orang Sulawesi boleh menghadapi patroli pengintai Jepang. Orang Amerika itu menjawab: “Jangan pertaruhkan nyawamu karena aku harus jawab apa kepada KNIL jika mereka mencarimu. Seandainya kamu mati di sini dalam tugas, aku yang akan disalahkan.” Dia menginstruksikan untuk pindah ke suatu tempat ke arah selatan pada pukul 18.00. 

Setelah 20 menit berjalan, terdengar suara tembakan senapan mesin ke arah kami. Namun kami terus berjalan selama dua hari dua malam menuruni pegunungan. Tiga dari kami berada di dekat persimpangan, kurir datang dan memberi tahu bahwa Jepang berada di persimpangan. Kami tentu saja bergerak ke arah lain. Kami tiba di dekat tepi sungai pada pukul 02.00. Di sana kami beristirahat sebentar.

Sekitar pukul enam pagi, beberapa dari kami pergi untuk membasuh muka, tapi terkejut melihat sekitar 40 serdadu Jepang sedang beristirahat di seberang sungai, di bawah semak-semak. Ketika Komandan diberitahu, dia menginstruksikan semua orang untuk bergerak ke atas dan menyeberangi sungai.


KAMI mendaki lagi selama hampir dua hari dua malam, di bawah guyuran hujan lebat, ke sebuah desa di kaki gunung. Sesampai di sana, penduduk senang melihat kami, tapi sedikit takut Jepang tahu posisi kami. 

Kepada orang-orang kampung kami bilang tidak makan dengan baik selama hampir lima hari. Kami tak cukup beruntung tiba di sebuah desa yang kesulitan makanan. Namun penduduk melakukan yang terbaik. Satu-satunya daging yang bisa mereka tawarkan adalah daging anjing.

Adolf Limbong (kanan) sosok legendaris pahlawan Indonesia yang ikut bergerilya di negeri Filipina. ( wikimediacommons )

Sekitar pukul duabelas malam, kurir datang dan mengabarkan enam serdadu Jepang, sebuah Advance Patrol, berada sekitar 190 meter di sebelah barat dari posisi kami. Komandan Gerilya Amerika bilang santai saja. Tapi kami terlalu lelah dan mengantuk. Kami sama sekali tidak siap jika disergap oleh Jepang.

Kurir datang lagi dan memberi tahu bahwa Jepang datang dari segala arah. Maka, Komandan menginstruksikan: “Bersiaplah dan berdiri di dekat senjatamu.” Aku menerjemahkan instruksi yang sama kepada rekan-rekanku.

Aku sendiri pergi untuk mengambil seragam Belanda milikku dari jemuran. Ketika berada di dekat rumah, aku melihat lima orang bersenjata berjalan ke arahku. Aku mengira kawan-kawan gerilyawan. Sebab, empat di antaranya orang Filipina. Tapi aku terkejut ketika mengenali satu orang lainnya adalah seorang tentara Jepang.

Aku nyaris hilang kendali, karena aku mengenakan seragam hijau Belanda dengan dua pistol tergantung di sisiku. Aku tak bergerak karena serdadu Jepang sangat dekat denganku. Ketika salah seorang Filipina, yang bersama serdadu Jepang, mengambil posisi menembak, aku segera membungkuk. Aku cukup beruntung karena pada saat yang sama suara tembakan terdengar.

Ketika mendengar suara tembakan, kawan-kawanku yang berada di lantai atas rumah segera melompat keluar jendela dengan senjata mereka dan mengambil posisi menembak.

Tembakan berlangsung selama beberapa menit. Aku sendiri bersembunyi di bawah pohon mangga. Aku tak tahu di mana yang lain. Aku memanggil kawan-kawanku tapi tak ada jawaban. 

Kulihat 20 serdadu Jepang datang ke rumah tempat kami menginap. Aku terkejut melihat si Amerika masih di dalam rumah. Mencegah dirinya dihabisi oleh tentara Jepang, aku mulai menembak untuk memancing Jepang agar menembak ke arahku. 

Tentara Jepang kian dekat ke arahku, mengikuti suara tembakan pistol satu-satunya yang mengarah ke mereka. Peluru revolver kaliber 38 milikku habis. Aku lempar senjata itu dan menarik pistolku lainnya untuk menghadapi tentara Jepang. Sementara aku masih menembak, aku mendengar kawan-kawanku menembaki tentara Jepang. Sadar ada lebih banyak gerilyawan, tentara Jepang mundur untuk mencari bala bantuan.  

Aku tak mengamati apakah si Amerika telah keluar dari rumah atau belum. Ketika Jepang mundur, semua penduduk keluar dari tempat persembunyian. Aku memanggil salah satu dari mereka dan memintanya untuk menghitung jumlah korban. Dia kembali dengan mengabarkan bahwa dua orang Filipina yang bergabung dengan Jepang selama pertempuran, satu tentara Jepang, dan dua bocah kampung tewas. Aku memintanya untuk mencari tahu korban dari pihak kami. 

Aku belum bisa menghubungi kawan-kawanku. Selama pertempuran, semua orang lari ke pegunungan untuk mencari posisi bertempur yang lebih baik. Aku hampir putus asa karena tak punya pengalaman gerilya, dan aku ditinggal sendirian di sana. Masalah utamanya aku tak bisa berbicara dalam bahasa lokal.

Sementara aku mencari dengan beberapa penduduk, kurir datang dan memberitahuku bahwa pasukan Jepang dalam jumlah besar sedang datang ke tempat kami bertempur. Segera aku lari ke atas gunung dan kebetulan bertemu dengan salah satu rekan, seorang sersan gerilya Filipina. Aku minta nasehatnya apa yang sebaiknya dilakukan. Dia menyarankan aku pergi bersamanya ke kota. Hampir semua tentara Jepang keluar dan hanya sedikit yang tersisa di sana. 

Adolf Lembong (tengah) berpose bersama teman-teman seperjuangannya kala itu. Adolf Lembong dikenal karena aksinya dalam bergerilya di Filipina. (wikimedia)

AKU hampir gemetar ketika memasuki kota. Ini kali pertama aku melihat kota dengan serdadu-serdadu Jepang. Sersan Filipina memberitahuku ada banyak mata-mata Jepang, orang Filipina, berkeliaran mencari anggota KNIL yang kabur dari kamp tawanan. 

Aku memasuki kota dengan masih mengenakan seragam KNIL. Ketika melewati kota, si sersan bilang tak perlu khawatir dengan tempat ini, karena sebagian besar orang Filipina adalah gerilyawan. Malam itu juga kami melewati rel keretaapi menuju bekas kamp mereka

Bulan bersinar terang. Tapi aku terlalu lelah. Setelah terus berjalan, dan tanpa tahu apa-apa, aku berjalan dengan mata tertutup. Sersan gerilya berjalan di belakangku. 

Aku terkejut mendengar teriakan. Ketika membuka mata, kulihat empat serdadu Jepang dengan bayonet terhunus di sekitarku. Aku gemetaran karena pistolku, kaliber 32 otomatis, ada di saku.  

Aku berdiri dengan mengangkat tangan dan bilang ke serdadu Jepang bahwa aku bukan gerilyawan, tapi relawan penjaga kampung. Aku beruntung tentara Jepang tak merogoh sakuku, percaya begitu saja, dan memerintahkanku untuk memanggil orang yang lari. Begitu memalingkan muka ke arah orang yang lari, aku mengenali si sersan gerilya. Aku membungkuk ke orang Jepang dan bilang akan menangkapnya sesuai perintah mereka.

Setelah jauh dari pandangan mereka, sekali lagi aku tak tahu harus pergi ke mana. Aku tanya penduduk apakah melihat seorang sersan gerilya melintas, tapi mereka tak memberi jawaban yang jelas. Mungkin curiga aku mata-mata Jepang. 

Aku beritahu mereka bahwa aku orang Sulawesi yang kabur dari kamp tawanan dan namaku Adolf Lembong. Akhirnya mereka mau membantuku dalam situasi sulit ini. Mereka mengirim informasi ke markas gerilya bahwa aku berada di tempat yang aman. Sebelum berita itu sampai ke markas gerilya, sersan gerilya mengabarkan bahwa aku ditawan Jepang.

Aku tak tahu apakah kawan-kawanku tentara Belanda dalam kondisi baik. Ternyata mereka bersama para gerilyawan. Jadi, begitu mendengar aku ditangkap, mereka putus asa karena tak bisa bicara bahasa Inggris maupun bahasa lokal. Ketika mendengar aku berada di tempat yang aman, mereka segera datang menemuiku. 

Hanya delapan tentara Belanda, termasuk aku, yang dipertemukan keesokan paginya, sementara dua lainnya masih di luar. 

Kami, delapan tentara Belanda dan tujuh orang Filipina, bersama lagi selama hampir lima hari. Seorang kurir datang dengan informasi bahwa komandan Amerika memberikan instruksi pribadi agar aku memimpin orang-orang yang telah bergabung. 

Keesokan paginya, kami menerima informasi bahwa pasukan Polisionil Filipina (Constabulary), yang berada di bawah pasukan Jepang, datang ke arah kami dari segala arah dengan bersenjata lengkap. Ini pengalaman pertamaku memberi komando. Aku ingat aba-aba yang diberikan komandan Amerika ketika memberikan perintah kepada anak buahnya. Aku perintahkan anak buahku berdiri pegang senjata dengan waspada. 

Aku bertanya kepada gerilyawan Filipina apakah mau bergabung dengan kami untuk bertempur melawan Constabulary. Sebagian besar menjawab, “Kami tak bisa bertempur karena kalah jumlah.” Aku kepada mereka, yang tak ingin bertempur harus pergi ke tempat yang aman. Kami, tentara Belanda, tak punya kesempatan untuk melarikan diri atau mengungsi karena kami masih berseragam lengkap dan belum ada pakaian sipil yang dipasok oleh pasukan gerilya. 

Kami, sekitar sebelas orang dengan senjata lengkap, ditinggalkan. Aku perintahkan kawan-kawanku tentara Belanda untuk tak menembak jika musuh belum terlihat. 

Constabulary tiba dan memeriksa semua rumah, kecuali rumah tempat kami berada. Seorang Letnan Constabulary melewati salah seorang penjaga kami yang bernama Pinontan. Jarak antara penjaga dan letnan itu hanya lima meter. Beruntung, letnan itu tak melihatnya. Mungkin dia tahu tapi ciut untuk mencari ke segala arah, karena tahu jika Satuan Gerilya bersiap perang, pasti jumlahnya banyak.

Setelah tanda “semua beres” diberikan pos terluar, aku perintahkan anak buahku berkeliling. Tiap satu tentara Belanda dengan seorang Filipina. 

Aku sendiri bergerak lebih jauh untuk mendekati kamp Detasemen Gerilya di sebuah desa bernama Flores. 


SETELAH dua hari, aku pindah lagi ke timur, tiga mil lebih jauh. Di sana aku terima perintah dari komandan gerilya untuk mengumpulkan semua tentara Belanda ke tempat yang aman. Aku hanya bisa mengumpulkan lima orang, termasuk aku. 

Ketika kami berada di sana, datang informasi bahwa desa-desa sekitar dipenuhi tentara Jepang. Aku kirimkan kurir, seorang bocah laki-laki 11 tahun bernama Aurio untuk pergi ke tempat kami sembunyikan semua senjata, dan mengambil enam pistol. Sebab, di antara kami hanya aku yang memegang pistol kaliber 32. Aku perintahkan kawan-kawanku, ketika matahari terbenam, berpencarlah di ladang dan tunggu instruksi lebih lanjut. 

Saat itu seorang gerilyawati bertanggung jawab atas perbekalan kami di ladang. Dia datang merayap dan mencari kami, dengan bekal makanan, karena jika kau berdiri kau akan terlihat oleh orang Jepang. Dia biasa membawakan makanan pada jam 10 malam. Aku minta kepada gerilyawati itu membawakan minuman keras untuk sekadar menghangatkan badan. Tapi dia tak datang lagi karena ditangkap Jepang di rumahnya. Sementara kami menunggu di sana, seorang kurir datang dan memberi tahu banyak gadis ditangkap Jepang, sehingga kami harus membantu diri kami sendiri. 

Pada pukul lima subuh, aku minta kurir Filipina mencari serdadu Belanda lainnya tapi dia tak menemukannya. Maka, sekitar pukul enam aku perintahkan bergerak ke selatan, ke Gunung Amorong. 

Ketika kami masih di ladang, aku melihat salah satu kawanku, Joeph Supit. Aku memangilnya untuk ikut bersamaku. Bersama kami mulai melintasi desa, ladang, dan sungai, menuju selatan. 

Aku terkejut ketika kurir memberi tahu bahwa kami harus menyeberangi Jalan Nasional. Beruntung, tak terjadi apa-apa pada kami, meskipun banyak truk lewat. 

Menjelang sore, kami sampai di tempat tujuan. Tapi aku terkejut lagi karena dikepung oleh gerilyawan, yang mencurigai kami sebagai mata-mata. Ketika aku bilang bahwa aku adalah salah satu tentara Belanda yang melarikan diri dari kamp tahanan, mereka mengudang kami untuk beristirahat. Selanjutnya, aku diterima mereka dalam Pasukan 207 pimpinan Letnan Soniega.

Keesokan paginya, sebuah laporan dikirim ke Markas Besar bahwa aku aman. Aku kemudian diperintahkan untuk tinggal sementara dengan Satuan Gerilya, Pasukan 207, di bawah Letnan Soniega, sampai perintah lebih lanjut. Aku tinggal selama beberapa bulan. 


PADA 26 Oktober 1943, aku dapat perintah untuk melapor ke Markas Besar komando gerilya Amerika-Filipina, United States Armed Forces in the Far East-Luzon Guerilla Armed Forces (USAFFE-LGAF), untuk instruksi lebih lanjut. 

Ketika sampai di sana malam itu, aku diangkat sebagai instruktur Pasukan Gerilya, dan pada saat yang sama, diberi pangkat Letnan Dua. Penunjukan ini tak lepas dari pengalamanku yang penuh keberanian, ketangguhan, dan kedisiplinan yang diperlukan dalam gerilya. 

Pada November 1943  aku ditugaskan sebagai perwira penghubung USAFFE-LGAF merangkap perwira intelijen. Pada 12 Januari 1944, aku diperintahkan untuk mengejar seorang mata-mata yang hampir ditangkap markas besar. 

Aku langsung pergi ke kota, dengan nama San Leon, dan tiba di sana sore hari. Aku pergi ke stasiun. Kereta tiba, dan seorang kondektur bilang padaku bahwa mata-mata yang aku cari ada di kereta menuju Manila. Aku melompat ke dalam kereta bersama empat sersan gerilya dari Divisi Intelijen. 

Aku bilang ke kondektur, yang juga seorang gerilyawan, bahwa aku akan menggantikannya dan menyamar sebagai kondektur. Aku ambil kertasnya, surat tugas, dan mulai memeriksa tiket para penumpang. Ketika aku melihat mata-mata itu, aku perintahkan salah satu sersanku agar tidak membiarkannya keluar. 

Kami tiba di Stasiun Paniqui larut malam. Beberapa gerilyawan sudah menunggu. Aku memberi intruksi untuk mendapatkan mata-mata itu dan menghabisinya.

Pagi-pagi, ketika kereta hendak kembali ke San Leon, aku menyamar lagi sebagai kondektur. Ketika tiba di kota Rozales, aku lompat keluar kereta. Sialnya, pistolku kaliber 32,20 berplat nikel terjatuh, sementara serdadu Jepang dan Constabulary Filipina bersenjata lengkap di depanku di stasiun. 

Sejumlah pasukan KNIL saat melakukan pendaratan di salah satu daerah Indonesia. Adolf Lembong sendiri tercatat pernah menjadi anggota KNIL dan mendarat di Filipina. ( nimh-beeldbank.defensie.nl )

Aku hampir putus asa karena surat pengenal kondektur sudah kukembalikan. Tapi aku berusaha mengendalikan diri dan mengambil pistol, memainkannya di depan orang Jepang, karena tak ada gunanya menyembunyikannya lagi. Lalu mendekat ke salah satu Letnan Constabulary dan bertanya apakah dia mengenalku atau tidak. “Ya Pak, aku tahu kamu. Kamu adalah Letnan Lembong, salah satu kepala gerilya Belanda.”

Aku minta Letnan Constabulary untuk menginstruksikan semua orang di dalam gedung untuk tidak keluar, baik Constabulary maupun sipil, karena aku harus mengambil sarapan di dalam. Orang-orang di sana hampir berlarian, karena hampir semuanya mengenalku. Mereka mungkin mengira gerilyawan Belanda kembali beraksi dan menyerbu tempat itu.

Aku pegang pistol di tangan kanan dan makan dengan tangan kiri agar siap setiap saat dalam kondisi darurat apapun. Aku belajar dari pengalaman gerilyaku bahwa jika kau telat mencabut pistolmu daripada musuhmu maka kau kalah. 

Setelah sarapan, aku menuju kereta dan memerintahkan operator untuk berangkat. Tapi dia mengatakan bahwa dia telah menerima perintah untuk tidak berangkat. Aku menodongkan pistol: “Apakah kamu gerilyawan atau pro Jepang?” Dia menjawab seorang gerilyawan. Yah, kataku, jika anggota gerilyawan, dia tunduk pada perintahku dan harus segera berangkat. Kereta pun berangkat sebelum waktunya.

Ketika tiba di San Leon, gerilyawati dan banyak gerilyawan menunggu kedatanganku. Seseorang telah menelepon dari kota tempat aku kena celaka bahwa aku akan kembali ke San Leon. Gerilyawati yang sama kemudian jadi istriku. Namanya Asunción Angel. 


SETELAH pertemuan yang bermakna lagi, aku terima perintah pergi ke kota Dagupan pada 27 Januari 1944 untuk mendapatkan informasi yang tepat tentang kekuatan Jepang, aktivitas mata-mata, dan juga menghubungi beberapa komandan gerilya yang hanya kuketahui namanya. Kali ini aku kurang beruntung. Setelah mengirim semua informasi, aku ditangkap di sebuah toko. 

Seorang gerilyawati berada di depanku ketika Jepang dan Constabulary Filipina mengepungku. Aku memberi isyarat kepadanya untuk segera pergi ke Markas Gerilya, dan memberi tahu mereka tentang kejadian yang menimpaku di Dagapun. Aku juga mengatakannya untuk tak menyalahkan diri dan berjanji bahwa aku akan kembali lagi. 

Aku dibawa ke Kempei (Polisi Militer Jepang) dan dikurung selama tiga hari tanpa nasi sedikitpun atau setetes air. Aku pikir aku akan mati di Filipina. Pada hari keempat tentara Jepang datang dan membawaku ke Manila. Aku dimasukkan ke dalam penjara di Tamoris Fort, San Tiago Goal, Filipina. Itu adalah penjara yang sangat tua. Kalau tidak salah, penjara itu sudah berdiri sejak tahun 1600, di masa Rezim Spanyol.

Aku ditahan dalam sebuah sel, yang cukup besar untuk menampung dan memberi ruang bagi orang seukuranku. Aku tinggal di sana dua hari dua malam tanpa bisa bergerak.

Setelah dua hari, mereka membawaku ke hadapan pejabat tinggi Jepang untuk dimintai keterangan. Mereka menyuruhku untuk tidak berbohong. Mereka tahu semua hal tentangku, bahwa namaku adalah Adolf Lembong, anggota tentara Belanda, yang melarikan diri dari kamp tawanan dan menjadi komandan gerilya.

Aku ingat saat mereka menangkapku di Dagupan. Aku punya cukup surat pengenal di saku manapun. Menggunakan nama samaran Max Ancheta dalam surat-surat apapun. Salah satu surat pengenal menyatakan aku adalah mata-mata Jepang. Surat pengenal kedua sebagai agen rahasia Constabulary Filipina. Yang ketiga warga negara Filipina yang taat hukum dan ditandatangani oleh Presiden Filipina (Jose P.) Laurel, di bawah pemerintahan boneka. 

Namun, kendati ada kertas-kertas ini, aku tak bisa menolong diriku sendiri karena tak bisa bahasa Filipina. Jadi tak ada yang lain selain memberi tahu orang Jepang bahwa aku adalah salah satu tahanan Minahasa yang melarikan diri dari kamp tawanan.

Yang mewawancaraiku adalah para perwira tinggi. Tiap satu dari mereka punya seorang penerjemah. Salah satu dari mereka memintaku dengan baik hati memberi informasi yang tepat dan menyerahkan semua orangku kepada Jepang, karena Jepang tak pernah berniat berperang melawan orang Asia tapi melawan kulit putih.

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/36-lembong/Adolf%20Lembong%20ok.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/36-lembong/Adolf%20Lembong%20ok.mp4"></video></div>

Aku jawab tak bisa memberikan informasi apapun kecuali namaku. Aku katakan apakah dia sebagai orang Jepang dan seorang perwira mau memberikan informasi kepada musuh jika mereka menangkapnya. Aku katakana bahwa kehormatan mencegahku untuk memberikan informasi apapun kepadanya. Aku juga mengatakan kepadanya bahwa kita sama. 

“Kamu seorang tentara, aku juga seorang tentara. Kamu berjuang untuk negaramu, dan aku berjuang untuk negaraku. Persoalannya hanya bahwa kamu melawan pihak kami, dan aku melawan pihakmu."

Mereka menghentikan pemeriksaan dan mengirimku kembali, bukan ke tempat sebelumnya tapi ke kamar bagus, yang dulunya milik seorang perwira. Mereka memberiku makanan enak, pakaian bagus, tidur yang cukup, yang dalam pikiranku untuk membujukku agar berada di pihak mereka.

Aku juga memiliki pelayan yang siap membantu jika aku membutuhkan sesuatu. Tapi aku terkejut ketika salah satu pelayan mengatakan kepadaku bahwa dia gerilyawan yang dikirim oleh Unit Gerilya. Dia memberiku catatan. Semua instruksi tertulis bahwa pada 27 Mei, aku akan dikirim kembali oleh Jepang ke Dagupan, dan aku harus siap antara jam 8 dan 9 malam, karena saat itu Pasukan Gerilya akan menyerang kamp Jepang. Mereka telah mengirimkan peringatan kepada seorang agen rahasia Jepang, yang merupakan orang Filipina dan juga gerilyawan, untuk memberi hak istimewa padaku keluar tanpa sepengetahuan penjaga Jepang.

Ketika tiba waktunya, aku bertindak sesuai instruksi yang diberikan oleh gerilyawan bahwa aku harus keluar lewat lubang kakus. Demi tugas kau lupa semua penderitaan dan segalanya. Ketika berhasil keluar dari gedung Kempei, sebuah dokar menungguku dengan seorang gerilyawan sebagai kusir. Dia membawaku ke stasiun. 

Setiba di stasiun, enam orang datang dan minta perintah dariku. Aku minta mereka untuk siap-siap bertempur setidaknya selama tiga hari; ketika persediaan peluru mereka habis akan cukup waktu untuk mundur. Aku hanya membawa lima sersan gerilya untuk menemani ke kamp. Kami berjalan hampir dua hari dua malam sebelum mencapai kamp.

Setiba di kamp di San Leon, ada informasi dari penduduk, yang diberi tahu oleh orang Jepang, bahwa hadiah 5000 peso (250 dolar) akan diberikan kepada siapapun yang menangkapku hidup atau mati. Ini hanya soal main petak umpet. Sejak itu aku tak dapat menghubungi secara pribadi Mayor Lapham, karena dia sudah pergi ke sisi lain gunung, mencoba menghubungi kapal selam AS di suatu tempat di Balar Tayabas.

Sementara aku tak dapat menghubungi komandan lagi, beberapa gerilyawan Filipina datang dan memberi tahu bahwa Unit Gerilya telah menyerah dengan semua senjata dan memohon agar mereka diterima di unitku. Aku bilang tak memiliki cukup senjata. Tapi jika mereka mau ikut aku, dan mereka cukup berani, hanya dengan satu pistolku, kami dapat memperoleh beberapa senjata. Aku memilih enam yang terbaik dari mereka untuk mengikutiku.

Kami berjalan hampir tiga hari, dan tiba di sebuah kota bernama Alcala, dan memasuki Constabulary Filipina dari belakang. Kami terlebih dulu mengejutkan penjaga dan melucuti senjatanya. Salah satu dari kami tetap bersama penjaga itu, sedangkan sisanya masuk barak. 

Saat itu bulan bersinar terang. Kami masuk ke ruang gudang senjata. Kami hanya mengambil senapan dari rak dan mengamankan 19 senapan yang berdiri di ruangan. Setelah itu kami keluar ruangan dan memberi tahu penjaga bahwa dia harus berdiri tegak selama dua puluh menit. Penjaga Filipina itu mematuhi instruksiku. 

Kami sampai ke kamp dengan perasaan senang karena berhasilkan mengamankan beberapa senjata untuk mereka yang tak bersenjata. Kami kemudian menghubungi Tayabas. 

Pada 26 Oktober 1944, aku menikah dengan gerilyawati Filipina yang berpangkat Letnan Dua.


PADA 25 Desember, aku dapat bertemu lagi dengan komandan gerilyaku, yang baru saja kembali dengan senjata baru bersamanya. Dia menunjukku sebagai Komandan Peleton Markas Besar dan Skuadron Layanan, USAFFE-LGAF.

Pada 4 Januari, kami menerima perintah untuk memulai serangan umum. Aku menjadi lelah menunggu di sekitar markas. Jadi, tanpa perintah, aku memanggil anggota Pasukan Gerilya dari KNIL untuk ikut denganku melawan dan menyergap pasukan Jepang di Jalan Nasional. 

Pada tanggal 6 Januari, kami tiba di Jalan Nasional, dekat San Leon, dan pada malam hari kami mengepung Gedung Kontrol Pangan Jepang. Untungnya, tak ada serdadu Jepang di sana. Kami dengan mudah mengambil semua kain dan bahan makanan dari gudang dan memberikannya kepada warga sipil sambil berteriak: "Kemenangan untuk Semua."

Pada tanggal 7 Januari, kami menyergap truk-truk Jepang. 21 serdadu Jepang tewas tanpa korban di pihak kami. Saat itu kami hanya bersepuluh. Mereka yang ikut dalam penyergapan bersamaku adalah Sersan Alexander Rawoeng, Sersan Jan Pelle, Sersan Marcos Taroreh, Sersan Marthin Sulu, Sersan Alexander Kewas, Sersan Albert Mondong, Sersan Hendrick Terok, Sersan Andries Pacasi, Sersan William Tantang. 

Pagi berikutnya kami bertempur lagi di tempat lain, tiga mil ke arah timur. Kami tak tahu berapa tentara Jepang yang tewas. Namun, kami tahu pasti bahwa ada beberapa orang Jepang yang terbunuh. Menurut warga sipil, kami tahu bahwa Jepang menurunkan dua belas orang tewas mereka, dari truk yang kami sergap. 

Pagi berikutnya kami kembali ke markas. Dalam perjalanan, seseorang memberi tahu bahwa CO-ku sangat marah padaku karena aku tidak mematuhi perintahnya. 

Kami tiba di sana larut malam, karena satu-satunya transportasi yang kami miliki adalah kedua kaki kami sendiri. Aku menginstruksikan anak-anak untuk tetap berada di luar kamp markas sampai pagi. Aku sendiri mencoba menghubungi C.O.

Ketika bertemu dengannya di pagi hari, aku menceritakan kepadanya tentang tindakan yang kami lakukan di Jalan Nasional. Alih-alih marah, dia mengatakan bahwa dia hanya mengkhawatirkan keselamatan kami.

Ketika Amerika mendarat di Teluk Lingayen, mereka mengirim pesan agar aku menghubungi mereka sedini mungkin. Jarak antara Teluk Lingayen dan kamp sekitar tujuh puluh mil. Namun, saat itu aku sangat sakit. 

Setelah dua hari, aku pergi menemui mereka, dengan bendera "Merah, Putih dan Biru", yang dijaga oleh enam gerilyawan Filipina, dan sebagai komandan Sersan Frans Loing dari KNIL.

Puluhan pasukan KNIL saat berpose bersama sekitar tahun 1905. Adolf Limbong sendiri pernah bersama sekitar 15 pasukan bekas KNIL saat berada di Filipina tahun 1942. ( tropenmuseum/wikimedia commons )

Orang Amerika terkejut melihat bendera itu. Mereka tidak percaya bahwa ada bendera "Merah, Putih dan Biru" berkibar di Filipina, karena setahu mereka, Filipina bukan wilayah Belanda. Ketika bertatap muka, aku menceritakan mengapa bendera Merah Putih dan Biru diberikan kepada mereka, bukan Bintang dan Garis, atau Bendera Persemakmuran Filipina. Mereka berkata: “Ketika kami melihatmu datang dengan bendera Merah Putih Biru, kami mengira Tentara Belanda mendarat lebih awal daripada kami, dan itu tidak mungkin.”

Pada 22 Januari 1945, aku menerima pangkat perwira sebagai Letnan Satu, ketika ditempatkan di Batalyon Infanteri Pertama APO 6 di bawah Letnan Kolonel Francis Corbin sebagai komandan batalyon. Istriku selalu bersamaku selama aku ditempatkan di "Crack Battalion" itu. Aku sebut “Crack Battalion” karena batalyon ini selalu berhadapan langsung dengan Jepang di garis tembak. 

Meskipun tembakan senapan mesin dan artileri Jepang, dan juga penembak jitu, istriku tetap ikut pergi dengan pistol revolver kaliber 32 di sisinya dan tommy gun di bahunya.

Pada tanggal 6 Februari, aku diinstruksikan oleh Komandan Batalyon bahwa, karena instruksi dari atasan, istriku tidak diizinkan di garis depan, tetapi di garis belakang. Ketika memberi tahu istri saya tentang instruksi yang telah saya terima, dan bahwa dia harus berada di garis belakang, dia menolak untuk pergi tanpa aku. 

Pada l Februari 1945, aku diangkat menjadi komandan Skuadron Gerilya ke-270, USAFFE.

Pada 8 Februari 1945, aku dipanggil kembali oleh Markas USAFFE-LGAF. Kemudian aku mendirikan markasku di kota Balungao — di sana Anda akan melihat bendera "merah, putih dan biru" berkibar, bersama dengan "Bintang dan Garis" dan "Bendera Persemakmuran Filipina".

Pada 17 Februari 1945, Skuadron 270 ditetapkan sebagai Polisi Militer di wilayah komando distrik militer 5 yang telah dibebaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, dengan aku sebagai Komandan Skuadron.


PADA 12 April 1945, aku mengundurkan diri dari tugas lanjutan di USAFFE LGAF, dengan tujuan melapor kembali ke KNIL di mana aku masih menjadi bagian tak terpisahkan. Ketika tentara saya tahu bahwa aku akan meninggalkan mereka, mereka juga meminta untuk diberhentikan dengan hormat, dan diizinkan untuk kembali ke kehidupan sipil.

Mereka mengatakan: "Kami tidak ingin bergabung dengan Angkatan Darat tanpa Letnan Minahasa Belanda. Kami tidak dapat melanjutkan dengan komando Filipina sebagai perwira, tetapi kami lebih suka Letnan muda Belanda sebagai pemimpin kami. Dia memahami kami, dan kami menyukainya. Kami sedih karena dia bukan warga negara Filipina."

Jadi, pada tanggal yang sama, kami semua diberhentikan dengan hormat sesuai "permintaan sendiri".

Sejak itu aku mencoba menghubungi Perwakilan Belanda, dan baru pada 14 Juni 1945, pukul 15.00, aku bertemu dengan Asisten Perwakilan Belanda, Letnan de Vos, dan dia menginstruksikanku untuk melapor keesokan paginya, pada pukul 07.35, di Lapangan Nicholas, Manila, dan melapor pada tanggal yang sama di Morotai, untuk mendapatkan instruksi lebih lanjut dari Kolonel de Rooy.

Pada 18 Juni 1945, aku tiba di Brisbane sekitar pukul 11 siang dan tiba di Kamp Columbia pada jam 12 siang. 

*****


Begitulah Adolf Gustaf Lembong mengisahkan petualangannya di Filipina dalam sebuah laporan pada pertengahan 1945. Laporan berbahasa Inggris itu tersimpan dalam koleksi Arsip NEFIS en CMI nr 460 bertajuk Rapporten inzake de guerilla-aktiviteiten van KNIL-militair Adolf Lembong als 1e luitenant infanterie van de LGAF USAFFE op de Filipijnen van augustus 1943 tot april 1945 en betreffende zijn voordracht tot toekenning van een koninklijke onderscheiding

Tak hanya berjuang di Filipina, Lembong menyarankan agar dirinya dan kawan-kawannya asal Minahasa dikirim untuk bergerilya melawan Jepang di kampung halaman mereka, Minahasa. Namun Perang Dunia II keburu berakhir. Setelah Jepang menyerah, ia kembali ke Indonesia dan melanjutkan kariernya di KNIL. Dia dijadikan Letnan cadangan. 

Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950, pria kelahiran 1921 asal Sinonsayang, Amurang, Sulawesi Utara ini masuk KNIL sebagai seorang fusilier (prajurit rendahan) pada 1940 dan setelah 1945 menjadi perwira KNIL. 

Pada pertengahan 1947, Adolf Lembong melakukan desersi dari KNIL ketika Belanda menguatkan posisinya lewat agresi militer I. Ia memilih berpihak pada Indonesia dan bergabung dengan organisasi perjuangan Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang dipimpin Ratulangie. Barbara Sillars Harvey dalam disertasi berjudul “Tradition, Islam, and Rebellion: South Sulaersi 1950-1965” menyebut, Lembong mendapat rekomendasi dari Ratulangie dan sesampainya di Yogja diterima sebagai anggota TNI.

Menyandang pangkat Letnan Kolonel, Lembong ditunjuk sebagai komandan Brigade XVI, unit gabungan beberapa laskar dan organisasi perjuangan yang anggotanya kebanyakan berasal dari Sulawesi. Sebagian anggota Brigade XVI dikirim ke daerah asal untuk berperang melawan Belanda.

“Kami hanya tentara miskin. Tetapi jika Belanda menyerang kami, kami akan bertempur. Kami akan memecah dalam kelompok kecil. Tak ada komunikasi teratur, melakukan sabotase, dan taktik bumi hangus. Kami akan membuat mereka merasakan apa yang balatentara Jepang rasakan di Filipina,“ ujar Lembong kepada kotan Manila Times edisi 15 November 1948. 

Penunjukan Adolf sebagai komandan tak sepenuhnya diterima beberapa anak buahnya. Alasannya antara lain ia orang yang tak dikenal dan tak dapat dipercaya. Lembong kemudian ditempatkan sebagai perwira staf di markas besar TNI di Yogyakarta.

Semasa agresi militer II, Lembong pernah ditawan Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan, ia ditunjuk sebagai kepala Pendidikan Latihan TNI. Untuk keperluan itu, ia berkunjung ke Bandung.

Pagi 23 Januari 1950, Adolf Lembong berniat bertemu dengan komandan Divisi Siliwangi. Adolf Lembong bersama ajudannya dihujani peluru ketika dengan mobil mereka memasuki markas Divisi Siliwangi yang dikuasai serdadu KNIL yang tergabung dalam Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Adolf Lembong gugur. Gedung di mana Lembong terbunuh sekarang dijadikan Museum Mandala Wangsit yang berisikan tentang sejarah perjuangan Divisi Siliwangi. Jalan di mana museum ini terletak sekarang dinamai Jalan Lembong.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6399a12045cf3f16ab7886c7