Berguru Kepada Guru Bangsa

Hamka mengejar ilmu sampai ke Jawa. Belajar Islam sekaligus marxisme dari guru bangsa H.O.S. Tjokroaminoto.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Berguru Kepada Guru BangsaBerguru Kepada Guru Bangsa
cover caption
Pertemuan perdana Sarekat Islam di Blitar, 1914. (KITLV).

PADA suatu hari di tahun 1924, sehabis makan siang, Hamka berkata kepada ayahnya, “Hamba hendak ke Jawa, abuya!” Air matanya menitik. 

Haji Rasul termenung lama. Dia bertanya, “Mengapa engkau kesana?” 

“Menuntut ilmu,” jawab Hamka. 

“Ilmu apa yang akan dituntut disana?” tanya ayahnya. “Kalau perkara agama tidak di Jawa tempatnya, tetapi di sini, di Minangkabau ini. Entah kalau engkau pergi kepada iparmu di Pekalongan.” 

“Memang, itulah maksud anakanda,” kata Hamka. 

“Pendirian ayah tidak berubah. Engkau mulai balig, telah lebih 15 tahun umurmu. Engkau mulai dah dapat menimbang sendiri. Kalau tidak dapat dihalangi lagi, berangkatlah,” ujar ayahnya.

PADA suatu hari di tahun 1924, sehabis makan siang, Hamka berkata kepada ayahnya, “Hamba hendak ke Jawa, abuya!” Air matanya menitik. 

Haji Rasul termenung lama. Dia bertanya, “Mengapa engkau kesana?” 

“Menuntut ilmu,” jawab Hamka. 

“Ilmu apa yang akan dituntut disana?” tanya ayahnya. “Kalau perkara agama tidak di Jawa tempatnya, tetapi di sini, di Minangkabau ini. Entah kalau engkau pergi kepada iparmu di Pekalongan.” 

“Memang, itulah maksud anakanda,” kata Hamka. 

“Pendirian ayah tidak berubah. Engkau mulai balig, telah lebih 15 tahun umurmu. Engkau mulai dah dapat menimbang sendiri. Kalau tidak dapat dihalangi lagi, berangkatlah,” ujar ayahnya.

Cita-cita Hamka untuk mengembara tidak pernah kendur. Setelah ke Bengkulu, dia juga hendak ke Jawa. “Hamka itu kalau sudah berniat pantang mundur,” kata Hanif Rasyid, anak Sutan Mansur, kakak ipar Hamka, kepada Historia

Keadaan Padang Panjang yang “memerah” semakin mendorong Hamka merantau ke Jawa.

Hanif Rasyid. (Jose Hendra/Historia.ID).

Komunis Masuk Sumatra

Setahun sebelumnya, H. Datuk Batuah dan Natar Zainuddin kembali dari Jawa dengan membawa komunisme. Ketika itu, Sarekat Islam (SI) pecah menjadi SI Putih dan SI Merah yang kemudian menjadi komunis. 

Dalam memoarnya, Kenang-kenangan Hidup Jilid I, Hamka menyebut Datuk Batuah “menumpang kapal Karl Marx tentang teori ekonominya, tetapi tidak sampai hati meninggalkan kepercayaannya kepada Tuhan (pendirian begini dipegang teguh sampai wafatnya).” 

Batuah dan Zainuddin menyebarkan paham komunis terutama di kalangan murid-murid Sumatera Thawalib. Mereka mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk meyakinkan bahwa komunisme sejalan dengan Islam. Mereka juga menyederhanakan arti dan tujuan komunis sebagai “benci kepada pemerintah Belanda, melawan penindasan kaum kafir karena penjajahan kaum kapitalis, dan imperialisme berlawanan dengan ajaran Islam.” 

Hamka yang bersekolah di Sumatera Thawalib mulai mendengar paham komunis. Dia bersama kawan-kawannya bersemangat menyanyikan lagu-lagu komunis: Internasionale, 1 Mei, dan Kerja 6 Jam Sehari.

Sampai suatu waktu ayahnya bertanya, “Malik, apakah engkau masuk komunis pula?” 

“Tidak, abuya!” kata Hamka. 

“Hati-hati!” ayahnya mengingatkan, “Pengalamanmu belum ada. Lahirnya komunis di sini membawa-bawa agama, pada batinnya hendak menghapus agama.” 

Haji Rasul juga menyatakan kepada murid-murid Thawalib, yang sebagian besar tertarik komunis, bahwa komunis bertentangan dengan Islam. “Sebab itu, kalau mula-mulanya beliau dibenci dengan diam-diam, akhirnya sudah dengan cara terang-terangan,” kata Hamka. 

Tidak hanya ayahnya, menurut Hamka, kebiasaan kaum komunis adalah menyerang pemimpin-pemimpin Islam berpengaruh. “H.O.S. Tjokroaminoto adalah tumpuan serangan, penghinaan, dan cacian yang berat-berat,” kata Hamka. 

Hamka membaca suratkabar dari Jawa, seperti Hindia Baru yang dipimpin Haji Agus Salim, tokoh SI, dan harian komunis seperti Medan Moeslimin di bawah Haji Misbach. Batuah juga menerbitkan majalah Pemandangan Islam. Dalam kedua kubu suratkabar itu nama Tjokroaminoto selalu disebut. Hindia Baru memuja-muji Tjokroaminoto, sebaliknya suratkabar komunis mencapnya penjual bangsa, perkakas imperialis, penipu dan menghabiskan uang rakyat. 

“Sehingga kalau ada orang menggelapkan uang disebut ‘Mentjokro’ yaitu alat yang senantiasa dipakai oleh kaum komunis buat menumbangkan lawannya,” tulis Hamka, “H.O.S. Tjokroaminoto Membukakan Mataku,” termuat dalam H.O.S. Tjokroaminoto: Hidup dan Perdjuangannja karya Amelz

Sementara itu, kawan-kawan Hamka banyak menyebut keadaan di Jawa dan tentang pentolan komunis, seperti Semaun, Darsono, Musso, Alimin, Tan Malaka, Sneevliet, Baars, dan lain-lain. Gambar mereka tergantung di dinding Internasional Debating Club yang didirikan Batuah. Semuanya ini mendorong Hamka ingin segera ke Jawa.

Sesudah Tjokroaminoto, saya belum pernah mendengar suara pidato semerdu nyaring itu, kecuali Bung Karno. Tapi merdunya kalah, meskipun sama hebatnya.

Merantau ke Jawa

Hamka akhirnya merantau ke Jawa. “Ayahnya tidak kasih uang. Kawan-kawannya di asrama Sumatera Thawalib yang mengumpulkan uang untuk bekalnya ke Jawa,” ungkap Hanif. 

Dari Batavia, Hamka menumpang pada seorang saudagar kain batik untuk pergi ke Yogyakarta. Setibanya di sana, dia tinggal di rumah seorang saudagar sekampung, Marah Intan, di Ngampilan, tidak jauh dari Kauman. Dia kemudian bertemu adik ayahnya, Ja’far Amrullah, yang meninggalkan perniagaannya demi belajar agama di Yogyakarta. 

“Malik ikut kemana-mana sama Ja’far,” ujar Hanif. Pamannya itu mengajak Hamka kursus agama kepada Kiai Haji Hadikusumo (Ki Hadikusumo) dan Mirza Wali Ahmad Baiq, utusan pergerakan Ahmadiyah yang baru datang dari Lahore, Pakistan. 

“Meskipun demikian,” kata Hamka, “hati saya belum puas kalau belum mendapat kursus dari Tjokroaminoto sendiri. Pertama karena keinginan hendak belajar, kedua keinginan hendak melihat beliau dari dekat, orang yang telah sekian lama menjadi buah tutur orang Minangkabau. Buah tutur yang memuji setinggi langit dan buah tutur yang menghina ke alas bumi.” 

Engku Lebai Berantai, seorang saudagar kain mengatakan bahwa Tjokroaminoto itu artinya “Tjerminauto” karena sangat terang otaknya laksana cermin auto (mobil). Dan ayah Hamka juga pernah bertemu dengan Tjokroaminoto di Surabaya. “Itu semuanya mendesak jiwaku buat bertemu dan belajar kepada beliau,” kata Hamka. 

Marah Intan, anggota SI, mengupayakan supaya Hamka dapat ikut kursus Tjokroaminoto. Namun, syarat menjadi anggota SI minimal berumur 18 tahun. Sedangkan Hamka belum cukup umur. Demi menimba ilmu pada Tjokroaminoto, apa boleh buat umur Hamka dikatrol dua tahun. Pamannya menanggung uang masuk sebesar f.1. Mereka kemudian bersumpah bahwa masuk SI tidak untuk mencari keuntungan diri sendiri, setia kepada organisasi, teman, dan pemimpin. Setelah itu, meminum air jernih bergantian. “Setelah meminum air selesai, barulah ditunjukan beberapa tanda-tanda,” kata Hamka. Tanda-tanda rahasia itu untuk mengenali sesama anggota SI. 

Dari sekira 30 peserta kursus, Hamka paling kecil. Dua kali seminggu mereka ditempa oleh tiga tokoh besar: Tjokroaminoto mengajarkan Islam dan sosialisme, R.M. Suryopranoto yang dijuluki “raja mogok” mengampu sosiologi, dan H. Fakhruddin, pemimpin Muhammadiyah dan bendahara SI, memberikan pelajaran dasar-dasar pokok hukum Islam. 

“Ketiga guru saya adalah orang-orang pergerakan yang telah memandang Islam dengan cara baru,” kata Hamka. “Keterangan-keterangan yang belum pernah saya terima selama belajar di surau, waktu itulah mulai saya kenal. Saya mulai mengenal komunisme, sosialisme, nihilisme dan mulai mendengar nama Marx, Engels, Prudhon, Bakounin dan lain-lain.” 

Hamka memiliki kesan kepada ketiga tokoh itu: H. Fakhruddin penuh dengan kelucuan dan Suryopranoto cepat dalam memberikan keterangan. Tetapi tiba giliran Tjokroaminoto, majelis tenang dan diam, dan mulailah timbul kegembiraan di wajah setiap peserta kursus. “Mulailah dia memberikan pelajaran, saya seakan-akan bermimpi, sebab akhirnya bertemu juga olehku orang yang telah lama namanya mempengaruhi jiwaku,” kata Hamka. 

H.O.S. Tjokroaminoto.

Hamka menggambarkan Tjokroaminoto dengan “berblangkon, berkain dan slop, kulitnya putih kuning agak pucat, agak kurus seperti ayahnya. Kumisnya melentik ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan, matanya tajam laksana mata burung elang rajawali.” 

“Tjokroaminoto memberikan pelajaran dengan berkeliling dalam kelas. Dengan asyik dia menerangkan sosialisme dari segi Islam, berdasarkan ayat dengan menuliskan nomor-nomor ayat, berdasar hadis dengan arti dan perawinya, sebab rupanya lidahnya sendiri tidak fasih menyebutkan bahasa Arabnya,” kata Hamka. Tjokroaminoto sendiri menaruh perhatian kepada Hamka karena dia lebih terbuka dalam menerima pelajaran, mau bertanya dan menyalin pelajaran yang diberikan. 

Selain kursus, Hamka ikut merayakan maulid Nabi yang diikuti 20 ribu orang dengan membawa bendera kertas berwarna hijau bertuliskan “Al-Islam.” Dia juga menghadiri rapat pertama pendirian Jong Islamieten Bond cabang Yogyakarta. 

“Akhirnya berilmulah anak nakal ini,” kata Hanif. “Yang tadinya matanya tajam melihat orang (suka mengganggu orang, red.), kini sudah redup.” 

Pada permulaan tahun 1925, Hamka pamit kepada pamannya untuk pergi ke Pekalongan. Ja’far melarangnya karena dia masih harus belajar. “Hamka bilang bahwa pelajarannya sudah lama selesai, cuma dipanjang-panjangkan,” ujar Hanif. Hamka juga mengatakan bahwa ayahnya menyuruh ke Pekalongan menemui kakak iparnya, Sutan Mansur. Dia murid terpandai ayahnya sehingga dikawinkan sama Fatimah Karimullah, kakak pertama Hamka. 

Sutan Mansur melihat Hamka punya kelebihan. “Dibinalah dia, diajari, dilatih, diberi ilmu. Semua ilmu yang didapat dari ayahnya diturunkan semua ke Malik. Malik tidak pernah belajar pada ayahnya, tapi dia dapat ilmu dari abang iparnya. Karena dia cerdas, semua ilmu ayahnya dia dapat,” ungkap Hanif. 

Hamka mengakui setelah berguru kepada Tjokroaminoto, H. Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusumo, Suryopranoto, dan Sutan Mansur, dia mengetahui Islam sebagai suatu yang hidup. Dari merekalah dia tahu bahwa Islam adalah suatu perjuangan dan pendirian yang dinamis. 

Hamka kembali bertemu Tjokroaminoto ketika SI cabang Batang mengadakan rapat umum di Pekalongan. Tjokroaminoto berpidato hebat. Tiga orang komunis mengemukakan pendapat bahwa “agama adalah candu rakyat” ditanggapinya dengan tenang dan dipatahkan satu persatu pendapat mereka. Khalayak bertepuk-tangan. 

“Sesudah beliau, saya belum pernah mendengar suara pidato semerdu nyaring itu, kecuali Bung Karno. Tapi merdunya kalah, meskipun sama hebatnya,” kata Hamka. 

Setelah selesai acara, Hamka menghampiri Tjokroaminoto. “Pak! Masih ingat kepada saya?” 

“Oh, katanya engkau akan pulang ke Sumatra? Kok masih disini?” 

“Tidak lama lagi saya akan pulang, Pak.” 

Ayahnya yang singgah ke Jawa melihat Hamka telah jauh berubah. Pada Juni 1925, Hamka kembali ke Sumatra dengan membawa pemahaman baru tentang Islam. Dia juga telah pandai berpidato; seperti guru yang dikaguminya: Tjokroaminoto.*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65d2f420b069b0afacf64864