Berkaca dari Arie Hanggara

Arie Hanggara mati di tangan ayah dan ibu tiri. Kekerasan pada anak yang berujung kematian terus terjadi hingga kini. Anak-anak belum sepenuhnya aman bahkan dari keluarganya sendiri.

OLEH:
Aryono
.
Berkaca dari Arie HanggaraBerkaca dari Arie Hanggara
cover caption
Makam Arie Hanggara di Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. (Aryono/Historia.ID).

KEMATIAN Engeline, gadis mungil berusia delapan tahun asal Bali, menjadi perhatian masyarakat. Dia meregang nyawa di tangan orang-orang terdekatnya. Polisi mengendus Margriet Christina Megawe, ibu angkat Engeline, sebagai dalang sekaligus eksekutor. Kendati Margriet berkelit, polisi tetap menetapkannya sebagai tersangka utama. 

Kisah Engeline seperti mengulang cerita tragis kematian anak bernama Arie Hanggara lebih dari 30 tahun silam. Kisah mereka hampir sama: memiliki latar belakang masalah keluarga, mengalami kekerasan dari orang terdekat.

“Nah ini ada bedanya dengan kisah Engeline. Machtino justru melapor sendiri ke polisi setelah membawa Arie ke rumah sakit. Ada kesadaran dan penyesalan di situ,” ujar Arswendo Atmowiloto, yang pernah mewawancarai Machtino, ayah kandung Arie Hanggara, kepada Historia.

KEMATIAN Engeline, gadis mungil berusia delapan tahun asal Bali, menjadi perhatian masyarakat. Dia meregang nyawa di tangan orang-orang terdekatnya. Polisi mengendus Margriet Christina Megawe, ibu angkat Engeline, sebagai dalang sekaligus eksekutor. Kendati Margriet berkelit, polisi tetap menetapkannya sebagai tersangka utama. 

Kisah Engeline seperti mengulang cerita tragis kematian anak bernama Arie Hanggara lebih dari 30 tahun silam. Kisah mereka hampir sama: memiliki latar belakang masalah keluarga, mengalami kekerasan dari orang terdekat.

“Nah ini ada bedanya dengan kisah Engeline. Machtino justru melapor sendiri ke polisi setelah membawa Arie ke rumah sakit. Ada kesadaran dan penyesalan di situ,” ujar Arswendo Atmowiloto, yang pernah mewawancarai Machtino, ayah kandung Arie Hanggara, kepada Historia.

Arie Hanggara dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ia berada di blok AA II, tak jauh dari kantor pengelola TPU Jeruk Purut. “Letaknya di dekat tembok pembatas, persis di bawah pohon semboja,” ujar Kardi (60 tahun), yang sudah bekerja di TPU Jeruk Purut lebih dari 30 tahun.

Pada kepala nisan, melekat plakat marmer bertuliskan “Arie Hanggara Machtino, lahir 31 Desember 1977, wafat 8 Nopember 1984”. Di sisi kiri dan kananya terdapat plakat marmer “Maafkan Papa” dan “Maafkan Mama”. Ya, penyesalan selalu datang terlambat.

Berita Arie Hanggara dalam Mutiara, 5 Desember 1984. (Perpusnas RI).

Tangan Besi Papa-Mama

Arie Hanggara adalah anak kedua dari empat bersaudara, pasangan Machtino Eddiwan dengan Dahlia Nasution. Biduk rumah tangga mereka akhirnya kandas kala Machtino memutuskan hidup bersama dengan Santi, karib Dahlia. Dahlia pun memutuskan berpisah dan tinggal di Bogor dengan membawa anak sulung mereka, Anggi. Sementara, ketiga anak lainnya, Arie Hanggara, Arki, dan Andi tinggal bersama Machtino dan Santi di bilangan Jakarta Selatan. 

Di usianya yang baru menginjak tujuh tahun dan baru duduk di kelas 1 SD Perguruan Cikini di Jakarta, kenakalan menjadi hal yang lazim. Meski demikian, kenakalan Arie mendapat respons negatif dari Machtino. “Ia memang manusia sadis. Kesalahan yang dibuat anak-anak sekecil-kecilnya pasti akan dipukul dengan apa saja yang dipegang,” kata Dahlia Nasution kepada polisi, dikutip harian Angkatan Bersenjata, 10 November 1984.

Machtino sendiri adalah suami tanpa pekerjaan tetap; lebih banyak menganggur daripada bekerja. Menurut Arswendo, yang pernah mewawancarainya di penjara, Machtino sering gagal dalam pekerjaan. Masa mudanya dihabiskan dengan bergaul dalam lingkungan anak kaum elite di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Maklum, ayahnya, Eddiwan adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Karya Pembangunan. 

“Machtino ini dulu termasuk geng anak Menteng,” ujar Henny Anggraini, adik kelas Machtino kala bersekolah di SMA 7 Gambir dan pernah tinggal di Jalan Haji Agus Salim, Menteng, sejak 1960–1996.

Puncak kekesalan Machtino terjadi pada Rabu, 7 November 1984. Gara-gara uang Rp8.500 di dalam tas sekolah anaknya, Santi menampar dan membenturkan kepala Arie ke tembok. Sementara Machtino menyetrap dengan menyuruh jongkok-berdiri sambil menghadap tembok. Saat melihat Arie kelelahan, Machtino malah mengambil sapu dan memukulkan gagangnya ke tubuh Arie hingga patah.

Tidak berhenti di situ. Machtino kemudian mengikat tangan dan kaki Arie, membuka bajunya, dan memasukkannya ke kamar mandi. Machtino baru sadar ketika anaknya sudah sedemikian payah. Dia bergegas membawanya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan mobil pribadinya. Setelah mengetahui anaknya sudah meninggal, kata Arswendo, dia pun menyerahkan diri ke kantor polisi. Sejak itu Machtino bersama Santi ditahan pihak kepolisian untuk diperiksa.

Berita kematian Arie Hanggara segera menarik perhatian publik. Bahkan proses rekonstruksi yang dilakukan polisi atas kematian Arie di rumahnya di Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan, mengundang massa. Tak ayal, beragam umpatan pun ditujukan kepada pasangan Machtino-Santi.

“Petugas terpaksa melepas beberapa kali tembakan untuk membubarkan kerumunan massa, dan ada tanda-tanda massa sudah bersiap berbuat sesuatu dengan batu di tangannya,” tulis harian Angkatan Bersenjata, 15 November 1984.

Setelah dua bulan masa pemeriksaan, kasus pembunuhan tersebut naik ke pengadilan pada 16 Januari 1985. Jaksa mengajukan tuntutan hukuman penjara sembilan tahun bagi Machtino dan enam tahun untuk Santi. Akhirnya, tulis harian Kompas, 4 April 1985, Machtino bin Eddiwan diganjar penjara lima tahun, sedangkan Santi binti Cece dihukum penjara dua tahun, masing-masing dipotong masa tahanan.

Suasana sidang Machtino dan Santi dalam kasus pembunuhan Arie Hanggara. (Repro Tempo, 25 Januari 1985).

Menjadi Komoditas

Seperti kisah Engeline, kabar kematian Arie mendapat perhatian media. Dalam enam bulan, terhitung sejak November 1984–April 1985, berita tentang Arie Hanggara selalu muncul. Mulai dari proses pemeriksaan, gelar perkara, persidangan, hingga vonis. Bahkan kasus ini seolah menjadi komoditas. Kisah Arie Hanggara muncul dalam bentuk kaset dan film.

Pada mulanya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto mengusulkan pembuatan patung Arie Hanggara agar peristiwa serupa tak terjadi lagi. Dia menyerahkan pembuatannya kepada perupa kawakan Eddie Sunarso. Eddie mengerjakannya di Studio Patung Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia, Yogyakarta dengan melibatkan dua mahasiswa program studi patung, yaitu Herry Crus dan Fajar T.

Patung Arie Hanggara dibuat setinggi satu meter. Ia berdiri sedikit membungkuk dengan tangan dan kaki terikat tali. Pelipisnya tampak lebam dan kedua matanya setengah terkatup. Ekspresi wajahnya mencerminkan kesakitan sekaligus kepasrahan. Namun, ketika pengerjaan hampir rampung, ide menteri mendapat penolakan dari pihak keluarga. Nugroho pun urung memasangnya.

Namun, anehnya, ketika Frank Rorimpandey, sutradara film, berniat mengangkat kisah Arie Hanggara ke layar lebar, pihak keluarga menyetujuinya. Frank kebetulan kawan Machtino. Dia segera melakukan pendekatan kepada Machtino, yang kala itu masih dalam tahanan. Machtino setuju dengan kemauan Frank. Santi dan Dahlia Nasution pun mengiyakan. 

Harian Pos Kota, Mei 1985, memberitakan Frank lalu menghubungi produser Bob Haryanto. Bob pun mendapat izin tertulis dari Machtino-Santi-Dahlia untuk memproduksi film tentang Arie Hanggara. Namun, di tengah jalan rencana ini berantakan. Produser lain dari Elang Perkasa Film juga berniat memfilmkan kisah ini. Bambang Adipitaya, wakil dari Elang Perkasa Film, pun membuat pernyataan pelimpahan pembuatan film pada Elang Perkasa.

Merasa dilangkahi, Bob mendatangi Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Dia mendesak PPFI mengirim surat ke Departemen Penerangan berisi penangguhan film tentang Arie Hanggara, sampai dua produser film ini menyelesaikan sengketa.

Patung Arie Hanggara yang urung dipasang. (Facebook Lmb Kotagede/Kerabat Keliling Jogja).

Singkat cerita, Bob Haryanto tetap menjadi produser film Arie. Frank Rorimpandey lalu menghubungi Arswendo Atmowiloto dan mendaulatnya sebagai penulis naskah film. “Ketika ditawari konsep film ini, saya tidak langsung setuju. Saya lihat keadaan dulu. Sebab, kala itu kan lagi heboh bener. Permintaan saya hanya satu, saya tidak mau sumber yang sumir. Saya mau menemui Machtino di penjara di Salemba,” ujar Arswendo. 

Arswendo pun mulai melakukan observasi lapangan. Dia keluar-masuk penjara untuk mewawancarai Machtino. Saat itu, menurutnya, mewawancarai Machtino sangat gampang, meski dia dipenjara. Setelah naskah selesai, mulai dicari pemerannya. Deddy Mizwar terpilih memerankan Machtino, Joyce Erna sebagai Santi, dan Yan Cherry Budiono sebagai Arie Hanggara. 

Kendala kembali datang saat pengajuan ke Badan Sensor Film. Pertama, nama Arie Hanggara tidak boleh menjadi judul film. Kedua, jika ada adegan yang melibatkan polisi, harus digambarkan polisi yang selalu siap dan tegas. “Judul ini kemudian saya akali menjadi Anak Ratapan Insan. Jelek banget kan ya, maksa gitu. Meski kalau disingkat juga dibaca ARI,” ujar Arswendo. 

Soal penampilan polisi yang sigap dalam film juga disiasati. “Aslinya, ketika Machtino melapor ke kantor polisi pada pukul 3 pagi, para polisi yang tugas piket masih terlelap tidur,” ujar Arswendo.

Saat produksi, Frank Rorimpandey membuat beberapa perubahan adegan. Hal ini dilakukan supaya film tidak digambarkan selalu suram. Seperti memberikan adegan di mana keluarga Machtino melakukan tamasya bersama. “Padahal, Machtino cuma memberi janji saja kepada anak-anaknya untuk bertamasya,” kata Arswendo.

Saat diluncurkan di bioskop tahun 1985, film Anak Ratapan Insan meledak dan ditonton lebih dari 38 ribu orang. “Yang terpenting adalah momentumnya. Dari film ini juga, Deddy Mizwar mendapat Piala Citra sebagai aktor terbaik tahun 1986. Demikian pula dengan naskah filmnya,” ujar Arswendo sembari terkekeh.

Adegan dalam film Arie Hanggara, Anak Ratapan Insan. (Istimewa).

Anak Dalam Negara

Sejak 1979, pemerintah telah menerbitkan UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak. UU ini diteken Presiden Soeharto pada 23 Juli 1979. Bersamaan dengan pengesahan UU ini, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pun didirikan oleh Nelly Adam Malik, istri Wakil Presiden Adam Malik. 

Lima tahun berselang, pada 23 Juli 1984, Soeharto mencanangkan Hari Anak Nasional, yang diresmikan melalui Keppres No. 44/1984. Menurut Keppres tersebut, tujuan dari peringatan Hari Anak Nasional adalah pembinaan untuk mewujudkan kesejahteraan anak. Namun, tiga bulan setelah Soeharto meneken Keppres itu, nyawa seorang anak terenggut karena keteledoran orang tua. “Machtino ini secara penampilan biasa saja. Tidak tampak garang atau jahat. Namun ia telah teledor mendidik anak,” ujar Arswendo.

Dharma Wanita, organisasi istri pegawai negeri sipil, mengutuk tindakan orang tua Arie Hanggara. “Peristiwa ini sangat mengagetkan kita sebagai bangsa yang berfalsafah Pancasila. Sesungguhnya perbuatan tersebut sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat Pancasila yang saat ini sedang giat-giatnya kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Kardinah Soepardjo Rustam atas nama presidium Dharma Wanita, dikutip Kompas, 17 November 1984.

Kisah Arie Hanggara seolah menjadi momentum dalam pembinaan anak-anak secara lebih baik. Karlinah Umar Wirahadikusumah, pengurus YKAI, membentuk Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia (FKPPAI). Salah satu hasil dari forum ini adalah program Dasawarsa Anak yang dicanangkan pemerintah pada 23 Juli 1986.

Sejumlah cara dibuat untuk lebih memberikan perlindungan bagi anak, dari ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1990, pembentukan Komisi Nasional Perlindungan Anak pada 1998, hingga dikeluarkannya UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, kasus kekerasan terhadap anak masih terus mewarnai perjalanan sejarah Indonesia.

Kisah terbaru yang dialami Engeline menjadi bukti bahwa anak-anak belum sepenuhnya aman, bahkan dari keluarga terdekatnya sendiri.*

Majalah Historia No. 24 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
654c3b65ea170613c1648fbe