Berkelit dari Situasi Sulit

Dengan strategi mengalihkan saham, Unilever selamat dari nasionalisasi. Cerita berbeda dialami di masa Konfrontasi.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Berkelit dari Situasi SulitBerkelit dari Situasi Sulit
cover caption
Para karyawan sedang mengoperasikan alat pemotong sabun di pabrik Unilever di Angke, Jakarta, 27 September 1951. (ANRI).

KANTOR pusat Unilever di London Inggris telah mempelajari berita rencana nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia pada November 1957. Unilever Indonesia, yang berdiri pada 5 Desember 1933, juga rentan dinasionalisasi karena perusahaan patungan Belanda-Inggris ini sebagian besar sahamnya dimiliki Belanda dengan kantor pusat di Rotterdam.  

Sebagai antisipasi, kantor pusat London mengirim seorang direktur ke Indonesia. Dia menekankan agar kantor pusat Unilever Indonesia di Rotterdam, Belanda, sebagian besar saham dialihkan ke London. Jalan keluar ini disambut baik oleh London dan Rotterdam.  

“Unilever memiliki satu kemungkinan pertahanan: Unilever adalah perusahaan internasional dan lebih dari setengah modal Unilever sebagai perusahaan induk dimiliki di luar Belanda, terutama di Inggris dan Amerika,” tulis D.K. Fieldhouse dalam Unilever Overseas: The Anatomy of a Multinational 1895-1965.  

Proses pengalihan saham ke London memakan waktu dan belum selesai ketika proses nasionalisasi perusahaan Belanda tengah berlangsung di Indonesia. Beruntungnya, pemerintah Indonesia menganggap Unilever sebagai perusahaan internasional sehingga tidak dinasionalisasi. Pada 1959, pembagian saham Unilever menjadi 32 persen Belanda dan 68 persen non-Belanda.

KANTOR pusat Unilever di London Inggris telah mempelajari berita rencana nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia pada November 1957. Unilever Indonesia, yang berdiri pada 5 Desember 1933, juga rentan dinasionalisasi karena perusahaan patungan Belanda-Inggris ini sebagian besar sahamnya dimiliki Belanda dengan kantor pusat di Rotterdam.  

Sebagai antisipasi, kantor pusat London mengirim seorang direktur ke Indonesia. Dia menekankan agar kantor pusat Unilever Indonesia di Rotterdam, Belanda, sebagian besar saham dialihkan ke London. Jalan keluar ini disambut baik oleh London dan Rotterdam.  

“Unilever memiliki satu kemungkinan pertahanan: Unilever adalah perusahaan internasional dan lebih dari setengah modal Unilever sebagai perusahaan induk dimiliki di luar Belanda, terutama di Inggris dan Amerika,” tulis D.K. Fieldhouse dalam Unilever Overseas: The Anatomy of a Multinational 1895-1965.  

Proses pengalihan saham ke London memakan waktu dan belum selesai ketika proses nasionalisasi perusahaan Belanda tengah berlangsung di Indonesia. Beruntungnya, pemerintah Indonesia menganggap Unilever sebagai perusahaan internasional sehingga tidak dinasionalisasi. Pada 1959, pembagian saham Unilever menjadi 32 persen Belanda dan 68 persen non-Belanda.

Para karyawan sedang mengoperasikan mesin pencetak sabun di pabrik Unilever di Angke, Jakarta, 27 September 1951. (ANRI).

Lobi-Lobi

Pada Juni 1959, Paul Rijkens, mantan presiden Unilever, bersama sekelompok pengusaha Belanda terkemuka mengadakan pertemuan diam-diam dengan Sukarno di Roma. Menurut J. Thomas Lindblad dalam Bridges to New Business: The Economic Decolonization of Indonesia, para pengusaha Belanda merasa kepentingan mereka tidak dilayani dengan baik oleh pemerintah Belanda yang mempertahankan Irian Barat; akibatnya merugikan mereka. Pertemuan diam-diam itu dilakukan, “untuk mencapai pemahaman rahasia di luar negosiasi dengan pemerintah Belanda.”  

Langkah Rijkens membuat berang pemerintah Belanda. Dalam biografinya, Ik herinner mij, Menteri Luar Negeri Joseph Luns menyebut “golongan Rijkens” kekanak-kanakan dan mengganggu kebijakan pemerintah Belanda.  

“Pengusaha-pengusaha itu berpendapat bahwa dengan mengalah kepada tuntutan Sukarno, hubungan antara kedua negara akan menjadi baik lagi dan kesibukan ekonomi kita dapat dilangsungkan lagi. Di kalangan Koninklijke (maskapai minyak) ada yang menyetujui melepaskan Irian Barat, tapi golongan ini lebih tenang, dan tinggal tetap di belakang layar. Rijkens sebaliknya politisi sangat aktif,” kata Luns, dikutip Mohamad Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah II.  

Kendati upaya Rijkens gagal terwujud, menurut Lindblad, “tetapi inisiatif seperti itu adalah ilustrasi dari strategi dasar akomodasi yang dipilih oleh perusahaan Belanda di Indonesia.”  

Meski bersikap akomodatif, Unilever toh tetap menjadi sasaran pengambilalihan yang digerakkan serikat buruh, terutama yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pengambilalihan perusahaan-perusahaan Inggris terjadi pada masa Konfrontasi melawan Malaysia, yang pecah pada September 1963.  

Pada Oktober 1963, Temple, seorang eksekutif Unilever dari London, mengunjungi Indonesia untuk mempelajari keadaan. Secara terpisah, dia menemui Wakil Perdana Menteri Subandrio dan Presiden Sukarno.  

“Presiden Sukarno berjanji Unilever akan diizinkan terus menjalankan bisnisnya asal tidak berusaha memasukkan unsur kolonialisme,” tulis William A. Redfern dalam “Sukarno’s Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s”, disertasi di Universitas Michigan tahun 2010.  

Sedangkan Subandrio menekankan posisi Unilever terkait situasi Malaysia dan menyarankan agar semua manajer Inggris diganti orang lain, bahkan menunjuk orang Belanda sebagai pemimpin perusahaan. Dia juga menyarankan agar saham Unilever dikembalikan ke Rotterdam dari London. “Dia ingin menjadikan Unilever sebagai contoh kerja sama antara Belanda dan Indonesia,” tulis Fieldhouse. Saat itu Indonesia berhasil merebut Irian Barat dan ingin memulihkan hubungan dengan Belanda.  

Unilever menuruti saran Subandrio. Pada Desember 1963, seorang Belanda, IEB Quarles van Ufford diangkat menggantikan RBA Cantopher sebagi presiden komisaris. Dia mulai bekerja pada Februari 1964. Pada saat yang sama Unilever mulai mengganti manajer-manajer Inggris dengan non-Inggris. Begitu pula dengan sahamnya, dikembalikan ke Rotterdam.  

Namun segala upaya itu seolah sia-sia.

Kegiatan para pekerja di ruang pemotongan sabun di pabrik Unilever, 12 Februari 1947. (ANRI).

Diambil Alih karena Konfrontasi

Pada 18 Januari 1964, Serikat Buruh Unilever (Serbuni) yang berafiliasi dengan PKI mengambil alih kantor pusat Unilever dan pabriknya di Jakarta. Enam hari kemudian Serbuni mengambilalih pabrik Unilever di Surabaya, tetapi tetap dalam kendali manajemen yang semuanya orang Indonesia.  

Pada 26 November 1964, Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden tentang penguasaan dan pengurusan perusahaan-perusahaan milik Inggris di Indonesia. Keputusan ini dilengkapi daftar perusahaan yang berada di bawah kendali kementerian terkait. Unilever ditempatkan di bawah Departemen Perindustrian Rakyat.  

Menurut Redfern, Unilever secara khusus disebut dalam surat edaran Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh dan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Rakyat Azis Saleh pada 8 Februari 1964. Azis Saleh kemudian membentuk tim disebut Kepala Kuasa Usaha (KKU) yang diketuai Letnan Kolonel Suwondo untuk menjaga keamanan agar Unilever tetap beroperasi.  

“Departemen Perindustrian Rakyat menjamin tidak ada niat untuk menasionalisasi perusahaan atau mengganggu kewenangan manajemen, dan manajemen tetap mempertahankan kontrol langsung atas stafnya, meskipun manajemen tunduk pada saran dan mungkin arahan tim KKU,” tulis Redfern.  

Setelah sembilan bulan, lanjut Redfern, KKU dan tim pengawas mendapat tekanan dari serikat buruh, sehingga secara bertahap merebut kewenangan manajemen Unilever. Bisnis Unilever kian tertekan dan merugi.  

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 membawa keuntungan bagi perusahaan-perusahaan Inggris, termasuk Unilever. Menurut Mohammad Sadli, ekonom yang juga menjadi arsitek ekonomi Orde Baru, karena secara resmi tak pernah dinasionalisasi dengan memberi ganti rugi, pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto mengembalikan semua perusahaan non-Belanda pada 1967 dalam rangka menarik investasi asing.  

“Mereka antara lain Bata, Goodyear, BAT, Unilever, dan Bir Bintang. Perusahaan-perusahaan Belanda tidak dikembalikan. Sentimen nasionalisme tak bisa menerimanya,” tulis Sadli dalam Bila Kapal Punya Dua Nakhoda. Unilever bertahan sampai sekarang.*

Majalah Historia No. 30 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66e3fd43c54f5e0dea3795d0