Situs Liangan di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah. (Risa Herdahita Putri/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
KISAH hilangnya sebuah desa di wilayah yang kini bernama dusun Liangan terpatri di benak Istiarso, juru jaga Situs Liangan. Dia mendengar kisah turun-temurun kalau di wilayah itu pernah ada sebuah desa, bahkan pasar yang ramai, sebelum akhirnya terkubur bencana letusan gunung berapi.
Berdasarkan kajian geologi yang dilakukan Isa Nurnusanto, geolog dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, materi vulkanik Gunung Sindoro adalah faktor utama yang mengubur permukiman Liangan Kuno.
“Untuk sementara disimpulkan ada dua bencana yang pernah melanda Situs Liangan dengan tingkat rendah-sedang hingga tingkat tinggi,” tulis Isa dalam artikelnya, “Catatan Geologis Geologi Situs Candi Liangan” yang dimuat di Liangan,Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro suntingan Novida Abbas.
KISAH hilangnya sebuah desa di wilayah yang kini bernama dusun Liangan terpatri di benak Istiarso, juru jaga Situs Liangan. Dia mendengar kisah turun-temurun kalau di wilayah itu pernah ada sebuah desa, bahkan pasar yang ramai, sebelum akhirnya terkubur bencana letusan gunung berapi.
Berdasarkan kajian geologi yang dilakukan Isa Nurnusanto, geolog dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, materi vulkanik Gunung Sindoro adalah faktor utama yang mengubur permukiman Liangan Kuno.
“Untuk sementara disimpulkan ada dua bencana yang pernah melanda Situs Liangan dengan tingkat rendah-sedang hingga tingkat tinggi,” tulis Isa dalam artikelnya, “Catatan Geologis Geologi Situs Candi Liangan” yang dimuat di Liangan,Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro suntingan Novida Abbas.
Dusun Liangan memang dekat dari puncak Gunung Sindoro. Jaraknya hanya 6-8 km pada ketinggian 1.100-1.200 mdpl. Lereng timur tempat dusun itu berada pun merupakan endapan erupsi Sindoro. Posisi Liangan di lereng Sindoro di satu sisi membawa kesejahteraan dan di sisi lain mengancam. Alamnya indah, tanahnya subur. Namun, bencana gempa vulkanik dan gunung meletus mengintai kapan saja.
Masyarakat Adaptif
Sejarah letusan Gunung Sindoro tak banyak diketahui, terutama yang berkaitan dengan Liangan Kuno, meski penanggalan karbon menunjukkan abad ke-10 atau tahun 971 M.
Sindoro diyakini pernah meletus sebelum lokasi situs Liangan dihuni masyarakat Liangan Kuno. Hal ini dibuktikan antara lain dengan adanya materi vulkanik berupa bongkah batu yang berada tepat di bawah bangunan candi dan materi vulkanik yang berada di jalan batu. Bukti lainnya adalah pemanfaatan materi vulkanik terutama batu andesit sebagai komponen bangunan ibadah, selain kesuburan tanah yang mendukung kegiatan pertanian kuno.
“Menjadi penting untuk mengetahui kronologi letusan Sindoro sebelum Liangan dihuni guna memperkirakan kronologi awal hunian Liangan Kuno,” tulis Isa.
Sementara dalam tulisan M. Fadhlan, geolog dari Pusat Arkeologi Nasional, “Geolog Situs Liangan Kab. Temanggung, Prov. Jawa Tengah” diterbitkan dalam buku yang sama, hingga kini catatan tertua tentang letusan Gunung Sindoro adalah 1806 M. Catatan yang lebih tua lagi diungkap geolog Belanda Reinout Willem van Bemmelen dalam The Geology of Indonesia (1949), yaitu pada 1600-1617; letusannya menghancurkan kampung-kampung yang terletak di kakinya.
“Situs Liangan dan Gunung Sindoro adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sindoro menyediakan lahan, manusia Liangan masa lalu memanfaatkan lahan itu,” tulis Fadhlan.
Bentang alam yang berbentuk lereng oleh masyarakat penghuni Liangan Kuno dibentuk berteras-teras. Antara teras dan dinding teras diperkeras dengan balok-balok batu dari jenis batuan beku. Mereka memanfaatkannya untuk membangun tempat ibadah, permukiman, dan area bercocok tanam.
Menurut Fadhlan, erupsi di tingkat sedang yang pernah terjadi sempat merusak permukiman dengan kerusakan mencapai 30-40 persen. Itu terlihat dari berbagai perbaikan yang dilakukan secara tambal sulam.
Hal yang sama dilontarkan Sugeng Riyanto, ketua Tim Peneliti Situs Liangan dari Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta. “Seperti yang terlihat di beberapa dinding teras. Awalnya berbentuk segi empat panjang, tapi diisi dengan bolder batuan. Bukan karena kurang tapi karena rusak. Semacam tambalan,” ujar Sugeng.
Artinya, para penghuni Liangan Kuno terbiasa menghadapi bencana minor. Mereka mempunyai pengetahuan empiris untuk menghadapi dan menanggulangi kerusakan akibat bencana. Buktinya, hingga kini, saat penggalian arkeologis dilakukan, tak ditemukan satupun korban jiwa akibat letusan dahsyat yang mengubur situs itu untuk selama-lamanya.
“Karenanya ketika benar-benar meletus dahsyat, penghuninya menyingkir duluan, mereka bisa menebak jitu dan menyingkir,” tutur Sugeng.
Tak Takut Bencana
Berulang kali ditimpa bencana minor tak membuat masyarakat Liangan takut meninggali wilayah itu. Ini seolah memperlihatkan ketangguhan masyarakat Liangan Kuno, juga masyarakat Mataram Kuno umumnya, dalam menghadapi bahaya gunung berapi.
Secara tidak langsung karakter penduduk Liangan Kuno menepis anggapan bahwa letusan dahsyat gunung berapi pernah harus memindahkan penduduk Mataram Kuno beserta ibukotanya. Mereka meninggalkan ibukotanya di Jawa Tengah menuju Jawa Timur pada abad ke-10 M akibat letusan dahsyat Gunung Merapi, Yogyakarta.
Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, mengatakan, bukan hal aneh jika sejak dulu masyarakat tak mudah menyingkir dari daerah bencana. “Tanya Mbah Marijan,” ujarnya. Mbah Marijan yang menolak turun dari Gunung Merapi yang sering batuk pada 2010 bisa menjadi contoh perilaku masyarakat penghuni Liangan Kuno.
Menurut Daud, bagi masyarakat tradisional, bencana gunung meletus adalah fenomena alamiah. Jika akhirnya jatuh korban jiwa, itu kesalahan manusia, bukan alam. Mereka akan memperkirakan bencana yang akan datang, pergi mengungsi, lalu kembali jika bisa. “Bagi mereka kedekatan dengan alam itu adalah proses alami. Salah mereka kalau mereka tidak bisa menghindar,” ujar Daud.
Masyarakat yang lebih mistis biasanya lebih erat dengan alam sekitarnya. Dengan pola pikir ini, tambah Daud, gunung dianggap sebagai gejala alam yang diagungkan dan dikeramatkan.
Karakter masyarakat seperti itu terbukti sanggup mengidentifikasi keadaan melalui fenomena alam. Mereka mampu bertahan hidup dan mengatasi tantangan alam yang dihadapi. Seperti yang terjadi di Liangan Kuno. Mereka dapat membangun sebuah permukiman lengkap dengan beberapa bangunan suci, pengolahan sistem irigasi, rumah kayu, dan perlengkapan rumah tangga lainnya meski mereka tahu risiko bencana letusan Gunung Sindoro.*