Bukan hanya Olga yang doyan bersepatu roda. Remaja-remaja tahun 1980-an memenuhi jalanan, hingga diskotek-diskotek untuk berseluncur di atas sepatu roda.
Dessy Ratnasari dalam film Olga dan Sepatu Roda. (imdb.com).
Aa
Aa
Aa
Aa
PAGI buta, di sebuah jalan aspal yang melandai, beberapa muda mudi memacu laju sepatu roda. Ketika tong-tong penuh warna mengadang, mereka bermanuver untuk melewatinya. Setelah itu, mereka memacu sepatu roda ke jalanan ibu kota. Mereka meluncur penuh gaya di antara mobil-mobil yang memadati jalan.
Adegan itu menjadi pembuka film Olga dan Sepatu Roda. Besutan sutradara Achiel Nasrun pada 1991 ini menampilkan Desy Ratnasari sebagai pemeran utamanya. Film ini terinspirasi tokoh cerpen Hilman Hariwijaya di majalah Mode lalu kemudian dibukukan dengan judul Olga. Kemunculan film ini tak lepas dari demam sepatu roda yang melanda anak-anak muda saat itu.
PAGI buta, di sebuah jalan aspal yang melandai, beberapa muda mudi memacu laju sepatu roda. Ketika tong-tong penuh warna mengadang, mereka bermanuver untuk melewatinya. Setelah itu, mereka memacu sepatu roda ke jalanan ibu kota. Mereka meluncur penuh gaya di antara mobil-mobil yang memadati jalan.
Adegan itu menjadi pembuka film Olga dan Sepatu Roda. Besutan sutradara Achiel Nasrun pada 1991 ini menampilkan Desy Ratnasari sebagai pemeran utamanya. Film ini terinspirasi tokoh cerpen Hilman Hariwijaya di majalah Mode lalu kemudian dibukukan dengan judul Olga. Kemunculan film ini tak lepas dari demam sepatu roda yang melanda anak-anak muda saat itu.
Putri Purnama, perempuan berusia 34 tahun yang bekerja sebagai manajer proyek pembangunan dan pengembangan situs web untuk Australia, merupakan salah seorang yang tergila-gila dengan sepatu roda. Dia biasa bermain di Happy Day Disco Roller Skate di kawasan Blok M. Dia dan kawan- kawannya bisa menghabiskan waktu 2-3 jam meliuk-liuk bersepatu roda di Happy Day.
“Sejak kelas 5 SD, umur masih 12 tahunan, saya biasa mengunjungi Happy Day bersama teman-teman dan kakak dari salah satu teman,” ujarnya. “Sekarang sudah tidak ingat apakah tempat itu kecil atau besar, mungkin karena saya masih kecil. Perasaan waktu itu ruangannya besar sekali, dengan terowongan dan landasan spiral dan segitiga. Ruangannya waktu itu cukup gelap berhias lampu-lampu laser.”
“Tahun 1980-an Blok M jadi tempat ngeceng anak-anak muda Jakarta, ajang melihat dan dilihat,” kata Sys NS, mantan penyiar radio Prambors, sembari tertawa. “Sepatu roda memang sedang tren. Serulah pokoknya waktu itu.”
Film Roller Boggie menandai popularitas roller disco. (imdb.com).
Demam Disko
Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, sepatu roda sudah mulai digandrungi anak muda sekitar 1960-an, terutama di kota-kota besar seperti Surabaya, Ujung Pandang, dan Jakarta. Eksistensi sepatu roda bisa dilacak dari film Djuara Sepatu Roda tahun 1958 garapan Wim Umboh. Meski adegan bersepatu roda hanya tampil sepintas, tapi film itu memberi gambaran bahwa saat itu orang Indonesia sudah kenal sepatu roda. Pada 1978 muncul perkumpulan sepatu roda yang dibikin Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA). Sejak itu permainan ini mulai populer.
Namun yang melambungkan sepatu roda adalah tren di Amerika, yang menggabungkan aktivitas bersepatu roda dengan berjoget atau dikenal dengan sebutan roller disco. Menurut Rennay Craats dalam History of The 1970s, berawal dari goyang disko ala John Travolta dalam film Saturday Night Fever yang dirilis pada 1978, banyak muda mudi Amerika terkena demam disko. Pada 1980, kurang lebih 10 ribu klub disko tumbuh di Amerika dengan rata-rata pendapatan US$4 juta per tahun.
Dari klub, disko merambah jalan-jalan atau taman di kota Amerika. Para pemain sepatu roda biasa bermain di taman kota ditemani alunan musik dari radio tape. Sembari mendengarkan alunan musik, mereka kerap berimprovisasi ala tarian disko. Saat itulah roller disco muncul.
Pada pengujung 1970-an, banyak penari roller disco dengan kostum celana satin gemerlap mengikuti kompetisi-kompetisi roller disco. Bila Saturday Night Fever menjadi awal dari kegilaan tarian disko, maka film Roller Boggie yang dirilis pada 1979 menandai popularitas roller disco.
Demam roller disco juga merambah Indonesia. Hampir mirip seperti di Amerika, film Saturday Night Fever jadi pemicunya. “Film itu seperti mengukuhkan kepada anak-anak muda di kota besar di seluruh dunia bahwa malam minggu orang harus pergi ngedisco,” tulis Andre Syahreza dalam The Innocent Rebel. Lebih lanjut Andre menulis, saat itu berbagai diskotek pun bermunculan, termasuk Lipstick, diskotek untuk bermain sepatu roda sambil mendengarkan musik dan bergoyang ala tarian disko.
“Mungkin pengelolanya melihat remaja-remaja Indonesia sedang keranjingan sepatu roda. Dengan alasan untuk memasyarakatkan sepatu roda sebagai olahraga remaja yang sehat, maka Lipstick Disco Skate dibuka di Blok M, Kebayoran Baru,” tulis majalah Rona terbitan tahun 1988.
Lipstick terkenal sebagai tempat berkumpulnya muda mudi Jakarta era 1980-an di kawasan Blok M.
Saking digandrungi, para pebisnis hiburan meliriknya. Surabaya duluan memulainya. Sejak 1979, Go Skate, tempat orang-orang berseluncur di atas sepatu roda sudah kondang di sana. Tempo menulis, gedung seluas 4.000 meter persegi itu dikelola PT Surabaya Indah. Cuma lantaran pengunjung menyusut, pada 1980 arena hup-hap-hup ini ditutup.
Namun di Jakarta, satu per satu diskotek mulai menyediakan tempat yang memungkinkan anak-anak muda bisa bersepatu roda dengan santai sembari mendengarkan alunan musik dari disc jokey (DJ). Ruangannya mirip dengan diskotek pada umumnya yang berhias tata lampu temaram. Orang juga bisa memesan minuman.
“Sebetulnya bukan diskotek ya, tapi sebuah tempat yang disediakan untuk orang bersepatu roda sambil diiringi musik,” kata Kitting Lee Satria yang sempat menjadi DJ di Lipstick Roller Disco di Gajah Mada Plaza pada 1987. “Saya hanya dua bulan bekerja di sana, tapi saat itu keranjingan anak muda dengan sepatu roda memang luar biasa.”
Menurut Kitting, tempat kerjanya adalah Lipstick kedua yang berdiri setelah Lipstick di Blok M. Kitting juga gila sepatu roda. Dia kerap mengunjungi Lipstick hingga akhirnya mendapat tawaran jadi DJ. “Peminatnya banyak sekali. Di tempat saya ngedije, setiap hari selalu ramai pengunjung, tak pernah sepi. Tahun 1980-an, anak muda tak main sepatu roda belum gaul namanya,” ujarnya.
Selain Happy Day dan Lisptick, NASA Roller Disco di daerah Monas jadi salah satu tempat bermain sepatu roda favorit remaja Jakarta. “Bermain, bertemu teman-teman, senang-senang bersama. Banyak kenangan yang tidak bisa terlupakan waktu itu,” kata Putri.
DJ Kitting Lee Satria dalam acara Indonesia Junior DJ Festival 1988. (Dok. Kitting Lee Satria/Historia.ID).
Sambil Goyang Disko
Tepat jam satu siang, alunan musik dari sang DJ mulai terdengar di Lipstick Roller Skate Gajah Mada Plaza. Kadang memainkan lagu-lagu menghentak seperti “Honky Tonk Woman” Rolling Stone, kadang ditimpali lagu romantis seperti “You Light Up My Life” yang dipopulerkan Debby Boone. Bila sudah begitu, di antara remang cahaya, sepasang muda mudi yang kasmaran akan meluncur di lantai disko sambil berpegangan tangan erat.
“Ya dulu jadi ajang buat pacaran juga, selain tempat bolos dari sekolah,” kata Kitting seraya tertawa.
“Meski buka dari pukul 11, tapi biasanya saya mulai bertugas dari pukul satu siang, karena jam segitu pengunjung mulai berdatangan. Kita mainkan lagu-lagu yang sedang ngetop saat itu, seperti ‘Silent Morning’ Noel atau ‘Who’s That Girl’ Madonna.”
Keceriaan bermain di Lipstick dirasakan Pitra, ibu rumah tangga berusia 35 tahun, yang dulu maniak sepatu roda. Dari rumahnya di Sambas, Jakarta Selatan, Pitra rela naik metromini atau bajaj demi menyambangi Lisptick atau Happy Day di Blok M. “Kalau sudah bermain bisa lupa waktu, karena dulu itu memang hiburan paling menyenangkan. Tidak terlalu mahal tapi juga tidak terlalu murah,” ujarnya.
Tahun 1980-an, anak muda tak main sepatu roda belum gaul namanya.
Berolahraga sambil mendengarkan dentuman musik, bersenang-senang bersama teman sambil ngeceng, menurut Pitra, menjadi daya pikat arena roller disco. Terkadang dari siang hari, dia dan teman-temannya bisa bermain sampai malam hari menjelang diskotek tutup.
“Pernah sampai dicariin sama orang tua karena bermain sampai malam,” ujarnya seraya tertawa.
Di antara klub roller disco, Lipstick Blok M terbilang cukup fenomenal. Seperti direkam Tempo 12 September 1988, sekira 100 remaja dan anak sekolah menghabiskan waktu di sana, dengan membayar Rp1.500. Namun, saat malam minggu, jumlahnya membludak sampai 700 orang, kapasitas maksimum Lipstick.
Lipstick Blok M menempati bekas gedung Kebayoran Theatre. Pengelola sarana hiburan ini, PT Pudjiadi Prestige, juga mengelola Senopati Apartement. Lipstick resmi dibuka awal September 1988. Di Bandung, dengan pengelola tak seratus persen sama, ada pula Lipstick Disco Skate. Menempati ruang hampir 2.000 meter persegi di lantai empat Gedung Palaguna, arena bersuasana western ini diresmikan Wali Kota Bandung Ateng Wahyudi pada 16 Agustus 1988.
DJ Kitting Lee Satria sedang beraksi di Lipstick Roller Disco di Gajah Mada Plaza. (Dok. Kitting Lee Satria/Historia.ID).
Dan Lampu Pun Meredup
Di Jakarta, acara-acara radio Prambors yang kerap digelar di Happy Day Roller Disco turut mendongkrak ketenaran roller disco. “Ada kerja sama antara Prambors dan Happy Day, jadi ada acara rutin Prambors di sana. Saya rasa acara-acara itu cukup mempengaruhi tren sepatu roda di kalangan remaja karena waktu itu kan rata-rata orang mendengarkan radio,” kata Sys.
Hal itu pun diamini Pitra. Menurutnya, Happy Day didominasi anak-anak muda penikmat Prambors. “Rata-rata yang main di Happy Day itu anak-anak Prambors,” katanya.
Bersepatu roda di antara remang cahaya ruang disko, bermesraan bersama pasangan atau justru menjadi ajang mencari pasangan, arena-arena disko itu menjadi kenangan tak terlupakan bagi muda mudi Jakarta era 1980-an. “Dulu saya sempat dapat gebetan di Happy Day,” ujar Pitra, tertawa. “Pokoknya seru.”
Memasuki pertengahan 1990, ketenaran sepatu roda mulai meredup. Lipstick Blok M yang sempat mengubah konsep menjadi klub malam, tempat orang bisa berdisko sampai pagi, akhirnya tutup. Sedang Happy Day yang mulai sepi pengunjung hilang tak berbekas akibat dilalap si jago merah pada 2005.
Seiring meredupnya tren sepatu roda, satu per satu arena diskotek roller disco pun gulung tikar. Tak satu pun yang kini masih tersisa. Bahkan bangunan-bangunannya pun tak ada, dipugar dan berganti fungsi. Yang tersisa tinggal kenangan.*