Bertahan di Tanah Sultan

Di tanah hijrah Yogyakarta, Laswi membantu para pejuang, mulai dari korban perang hingga tahanan.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Bertahan di Tanah SultanBertahan di Tanah Sultan
cover caption
Tuti Amir Kartabrata (duduk ketiga dari kanan), kepala Brigade I bersama anggota Laswi dan Tentara Keamanan Rakyat. (Repro Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno).

MAGRIB, 24 Maret 1946, terdengar ledakan dinamit sebagai tanda pembumihangusan. Bandung memerah. Komandan Resimen VIII TRI dan pelindung Laswi, Omon Abdulrachman, memerintahkan agar Laswi segera mundur sampai melewati jembatan Dayeuh Kolot, sebelum jembatan dihancurkan. Pukul 22.00, semua anggota Laswi melewati Dayeuh Kolot dan lalu langsung menuju Ciparay.

Di bawah MP3, Laswi mendapat tugas menangani dapur perjuangan di seluruh sektor Bandung. Anggota Laswi mulai disebar ke setiap kesatuan untuk melaksanakan tugas dapur umum dan palang merah. Pusat dapur umum tetap berada di Ciparay untuk mengurus para pejuang di garis depan Dayeuh Kolot. Empat brigade Laswi diperbantukan ke dalam Batalyon I sampai Batalyon V.

MAGRIB, 24 Maret 1946, terdengar ledakan dinamit sebagai tanda pembumihangusan. Bandung memerah. Komandan Resimen VIII TRI dan pelindung Laswi, Omon Abdulrachman, memerintahkan agar Laswi segera mundur sampai melewati jembatan Dayeuh Kolot, sebelum jembatan dihancurkan. Pukul 22.00, semua anggota Laswi melewati Dayeuh Kolot dan lalu langsung menuju Ciparay.

Di bawah MP3, Laswi mendapat tugas menangani dapur perjuangan di seluruh sektor Bandung. Anggota Laswi mulai disebar ke setiap kesatuan untuk melaksanakan tugas dapur umum dan palang merah. Pusat dapur umum tetap berada di Ciparay untuk mengurus para pejuang di garis depan Dayeuh Kolot. Empat brigade Laswi diperbantukan ke dalam Batalyon I sampai Batalyon V.

“Saya diperbantukan di daerah Sapan di bawah Batalyon III yang dipimpin Ahmad Wiranatakusumah. Tahunya di Sapan banyak teman waktu SMP,” ujar Euis Sari’ah alias Saartje menyebut nama anak bupati Bandung Wiranatakusumah V, yang kemudian jadi kepala staf Kostrad dan wakil panglima II Komando Siaga Ganyang Malaysia.

Karena tenaga Laswi sudah terkuras dan perlu pasukan cadangan, Yati Aruji pergi ke Yogyakarta untuk membentuk Laswi. Markasnya di Bintaran Tengah. Rien Soetirin bergabung dengan Laswi Yogyakarta setelah lulus Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP) di Gombong. Rien mengutarakan pengalamannya dalam tulisan berjudul “Satu-satunya Wanita Pengubur Jenazah,” yang dimuat Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ‘45 karya Irna H.N. Hadi Soewito.

Setelah mengikuti pelatihan selama tiga bulan, pasukan Laswi Yogyakarta berjumlah 20–30 orang menuju garis depan di front Jawa Barat. Dengan berpakaian seragam hijau, mereka berangkat menggunakan kereta api malam, “dengan membawa berpuluh-puluh besek lauk-pauk, antara lain telur, pindang/asin, keripik tempe, abon, dan dendeng untuk para pejuang di garis depan,” tulis Rien. “Bantuan dari Laswi Yogyakarta tiba bulan puasa,” kata Tuti Amir Kartabrata, kepala Brigade I Laswi.

Sesampainya di Ciparay, mereka masuk asrama bersama anggota Pemuda Putri Indonesia (PPI) Garut yang dipimpin Enih Asmunah dan Timi Maulani. Baru beberapa minggu membantu di daerah itu, lanjut Rien, mereka sudah dihantam berpuluh kanon musuh. “Kita sudah bilang jangan menyalakan api di luar. Penerangannya seadanya saja. Tapi mereka tak menghiraukan,” kata Tuti.

Sekutu menyerang Ciparay. Markas Laswi segera pindah ke Majalaya. “Saya juga ditarik dari Sapan ke Majalaya,” kata Saartje.

“Laswi Yogyakarta bertahan di Majalaya, yang asramanya berdekatan dengan markas Pesindo Soreng Pati,” tulis Rien. “Saya masih ingat, di depan asrama kami terdapat rel kereta api.”

Laswi Solo sedang berlatih dasar-dasar kemiliteran dan cara menggunakan senjata. (IPPHOS/ANRI).

Setelah keadaan aman, Laswi Yogyakarta, dipimpin langsung Yati Aruji, mengantarkan beras dengan gerobak ke Ciparay. Menurut J. Jogaswara dalam Lahirnya Badan-badan Perjuangan dan BKR di Kota Bandung sampai Timbulnya MDPP/MPPP, Ciparay merupakan pusat dari kegiatan dapur umum yang mendapat tugas mengurus makanan untuk pasukan-pasukan yang berada di front Dayeuh Kolot. Di perjalanan, mereka dihujani mitraliur dari pesawat Sekutu. Selang beberapa menit kemudian, terdengar suara ledakan dahsyat. “Dalam hati saya menduga, jangan-jangan teman kami di asrama Majalaya tertimpa bom,” tulis Rien.

Pada Agustus 1946, Sekutu memusatkan serangan ke Majalaya sebagai markas Laswi dan para pejuang lainnya. “Waktu itu saya piket, yang lain menyebar. Rasanya waktu itu sedang ganti baju lalu mendengarkan radio. Sampai ada yang datang memberitahu ‘Saartje, itu ada yang jualan bandros (makanan tradisional terbuat dari adonan tepung, gula, dan kelapa)’.”

Kira-kira jam setengah sembilan malam, “saya bilang, minta uangnya ke intendant bagian perbekalan. Belum juga selesai bicara, tembakan membabi buta. Yang selamat menyebar. Saya dan Ibu Jajat bagian perbekalan, terkena bom. Telinga saya kena tekanan udara bom,” kata Saartje sambil menunjuk telinga sebelah kiri.

Pada saat hampir bersamaan, Tuti hendak tidur-tiduran. “Sebelumnya saya bilang kepada Ibu Saartje mau buang air. Tiba-tiba bledug-bledug, pesawat membom. Ibu Saartje sudah berdarah, sambil teriak asrama Laswi kena...,” kata Tuti. “Karena luka, Ibu Saartje dan Ibu Jajat jadi mayor.”

Serangan Sekutu menewaskan empat orang: Siti Murwani dari Madiun, Siti Fatimah dari Yogyakarta, Lala dari PPI Garut, dan Ida Mursida dari Bandung. Sepuluh orang luka-luka dirawat di rumah sakit Garut, dua di antaranya Jajat dan Saartje, “yang sampai sekarang pendengarannya tidak normal, gendang telinganya pecah,” tulis Irna H.N. Hadi Soewito dalam Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca.

Karena anggota Laswi ngeri melihat jenazah yang sudah hancur, Rien memaksakan diri dengan pemuda Pesindo Soreng Pati memakamkan jenazah dengan tikar. Keempat jenazah kemudian dimakamkan di taman makam pahlawan, dua di Yogyakarta dan dua di Cikutra Bandung.

Belakangan baru diketahui seorang penjual cendol –Saartje menyebut pedagang bandros– yang berjualan di depan asrama Laswi sebagai mata-mata. Pemuda-pemuda Pesindo Soreng Pati menghajar habis-habisan dan menembaknya di tempat itu juga.

Penjagaan di depan asrama Laskar Wanita. (Repro Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno).

Mengajar Anak-anak Desa

Akhir tahun 1946, Laswi pindah ke Tasikmalaya. Setelah MP3 dilebur menjadi Resimen Tentara Perjuangan (RTP), Laswi masuk menjadi anggota RTP. Markasnya di Padanyungan Tasikmalaya di bawah pimpinan Sutoko. Tugas Laswi menyediakan makanan untuk pasukan yang beristirahat maupun di garis depan, membantu tata usaha, serta mencari dana untuk pengungsi dengan cara mengadakan bazar dan lain-lain.

“Mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat,” tulis Jogaswara, “mulai dari mencari bahan makanan, mengolahnya menjadi makanan sampai mengantarnya ke garis depan.”

Pengiriman makanan dipimpin oleh Nani Ramani. Namun, kendaraan yang digunakan untuk mengirim makanan sering mogok sehingga kelabakan mencari penggantinya. Suatu hari, kendaraan itu mogok lagi. Terpaksa Nani menghentikan kendaraan yang lewat. Ternyata yang berhenti mobil Panglima Divisi III Kolonel A.H. Nasution, “tetapi bapak kita ini dengan tersenyum memperkenankan kendaraannya diisi dengan makanan untuk diantar ke garis depan,” tulis Irna. Sejak itu, Laswi mendapat julukan Jenderal Ompreng.

Karena kesulitan transportasi, Sutoko memberikan 15 ekor kuda kepada Laswi sebagai pengganti kendaraan. “Perawatan kuda sebanyak itu diserahkan kepada saya,” tulis Willy, “Momento,” termuat dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ‘45. Pengiriman ke garis depan dapat dilakukan dengan menggunakan keretek (sejenis sado) dan gerobak. Dengan adanya kuda inilah pekerjaan Laswi bisa lancar. “Sopir yang mengemudikan gerobak-gerobak Laswi adalah Willy,” tulis Jogaswara.

Mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat, mulai dari mencari bahan makanan, mengolahnya menjadi makanan sampai mengantarnya ke garis depan.

Willy adalah anggota Laswi bagian perhubungan dengan tugas ordonansi, penyusupan, dan penyelidikan ke daerah lawan. Ia terkenal pemberani bahkan sempat memenggal kepala tentara Gurkha. “Kepala itu dibawa-bawa, diperlihatkan pada saya,” kata Saartje. “Willy adalah wanita cantik peranakan Ambon.”

Setelah RTP dilebur menjadi TNI, anggota Laswi yang ingin melanjutkan sekolah dipersilakan kembali ke orang tua masing-masing. Sedangkan yang ingin melanjutkan perjuangan bergabung dengan Inspektorat Wanita Biro Perjuangan di Garut di bawah pimpinan Suhendro. Pada waktu itu, Laswi dipimpin oleh Atikah Natamiganda dan Edja Tedja Setiasih sebagai sekretaris. “Tugas Laswi melatih kader wanita dari kecamatan-kecamatan untuk dididik keterampilan, membuat makanan tahan lama yang akan dikirim ke garis depan, menjahit pakaian seragam, kemasyarakatan, dan kemiliteran,” tulis Irna.

Setelah Garut dibumihanguskan, Laswi mundur ke Garut sebelah timur, dan menggabungkan diri dengan Staf Teritorial III di bawah pimpinan Utarya dan Aang Kunaefi. Selain mengurus makanan untuk pasukan, Laswi bertugas membantu Rumah Sakit Darurat yang dipimpin dr. Pusponegoro. Selain merawat yang terluka dan meninggal dunia, Laswi menyelamatkan alat-alat kedokteran ketika ada serangan musuh. Bila tak ada pertempuran, sebagian anggota Laswi mengajar anak-anak desa, terutama tentang kebersihan dan kesehatan.

Korps Wanita Tantara sesudah reorganisasi tahun 1948. (Repro Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno).

Melayani Tahanan

Buntut dari Perjanjian Renville, yang mengharuskan Republik mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI, Divisi Siliwangi hijrah ke Yogyakarta pada Februari 1948. Sebagian anggota Laswi yang berada di pengungsian justru kembali ke kota Bandung untuk melanjutkan perjuangan, terutama tugas sosial.

“Di antaranya secara bergiliran membawa makanan dan bacaan-bacaan (majalah dan lain-lain) untuk tentara kita yang ditawan oleh Belanda di Kebon Waru,” tulis Irna. “Kemudian bersama- sama dengan Ibu A.H. Nasution mengurus keluarga TNI yang mau mengikuti suaminya hijrah ke Yogyakarta.”

Sebagian anggota Laswi lainnya hijrah ke Yogyakarta. “Saya bersama Ibu Aruji dan sekitar 22 anggota Laswi hijrah ke Yogyakarta,” kata Saartje. Di sana menggabungkan diri dengan Laswi Yogyakarta yang bermarkas di Gondokusumo 35 Yogyakarta dan berasrama di Bintaran Tengah. “Markas itu diberi oleh salah seorang ningrat,” kata Saartje. Saartje sendiri lebih sering menginap di rumah adik dari kakeknya. Kata mereka, takut kurang makan. Pagi-pagi ia pergi ke markas.

Di Yogyakarta, anggota Laswi diperkenankan melanjutkan sekolah. Setelah gagal masuk akademi militer, Saartje masuk SMA lalu memilih pulang ke Bandung dan masuk Kweekschool (sekolah guru). Sementara anggota lainnya meneruskan tugas.

Saat itu, Laswi Yogyakarta dipimpin oleh Ibu Awibowo, Ibu Hadinegoro, Ibu Thabrani, dan Siti Achrijah Maskun. Selain itu, Utami Suryadharma, Herawati Diah, dr. Sulianti Saroso, ibu Ali Sastroamijoyo, Sri Kanah dari Laskar Putri Indonesia dan putrinya, Sri Wulan, juga bergabung dengan Laswi. “Laswi Jawa Tengah tersebar di mana-mana,” tulis Irna. “Tugasnya kalau siang bekerja di dapur-dapur umum dan kalau malam sering ikut bergerilya dengan para pejuang.”

Ketika para suami anggota Laswi ditangkap, mulailah mereka bergerak untuk mendirikan Panitia Sosial.

Dapur umum yang dibuat Laswi selama agresi militer Belanda kedua sangat membantu para pejuang. Prajurit yang bertempur tak dapat memikirkan waktu makan, dan kalau bukan karena pejuang perempuan barangkali mereka tak bisa makan satu-dua hari.

Dalam menyuplai makanan atau obat-obatan untuk para pejuang, Laswi melakukan berbagai taktik untuk mengelabui musuh. “Umpamanya makanan kita letakkan di tempat-tempat sampah dan terus diawasi, sampai malamnya diambil oleh para gerilyawan,” tulis buku Yogya Benteng Proklamasi. “Jadi, waktu itu tempat sampah fungsinya besar juga untuk menunjang perjuangan.” Dari tempat sampah itulah barang-barang yang dibutuhkan para pejuang menemukan jalan ke garis depan.

Pada 19 Desember 1948, Belanda membombardir Yogyakarta. Markas Laswi tak luput dari sasaran. “Ketika para suami anggota Laswi ditangkap, mulailah mereka bergerak untuk mendirikan Panitia Sosial yang membuat segala macam makanan dan obat-obatan untuk diantar ke penjara dua kali seminggu. Selain itu juga ke garis depan,” tulis Annie Bertha Simamora dalam Satu Abad Kartini 1879–1979.

Panitia Sosial, yang dibentuk Laswi bersama Pemuda Putri Indonesia (PPI) dan Wanita Pembantu Perjoangan (WAPP), melindungi keluarga yang anggota keluarganya pergi berjuang maupun ditahan. Panitia sedapat mungkin menyediakan kebutuhan hidup mereka, seperti beras atau jagung, minyak atau tepung.

Di rumahnya, Yati Aruji mendirikan warung untuk mengumpulkan uang guna keperluan sosial. “Ada sabun, pasta gigi, handuk, singlet, sikat gigi, dan lain-lain, tersedia bagi para pejuang yang memerlukan dan juga bagi keluarga yang ditinggalkan suaminya yang sedang berjuang atau ditahan,” tulis Irna.

Panitia Sosial juga memperhatikan nasib para tahanan. Atas prakarsa panitia ini, ibu-ibu bersama sejumlah tokoh pergerakan perempuan mengunjungi tahanan di penjara. Mereka membawa buah-buahan segar, kue-kue, dan keperluan lainnya. “Belanda yang menjaga tidak dapat berbuat apa-apa, tidak dapat menghalanginya,” tulis Irna.

Setelah pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, anggota-anggota Laswi kembali ke masyarakat.*

Majalah Historia No. 1 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
642a72120e9e8172628d32a7