Bertahan karena Kenangan

Restoran Trio bermula dari bengkel becak. Banyak orang penting datang ke restoran ini. Sebagai pelanggan setia, Ali Sadikin berpesan supaya melestarikan restoran ini.

OLEH:
Darma Ismayanto
.
Bertahan karena KenanganBertahan karena Kenangan
cover caption
Restoran Trio terletak di Jl. R.P. Soeroso No. 29A, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

DI bangku kayu, di meja yang letaknya tak begitu jauh dari kasir, seorang pria duduk tenang. Rambutnya tersisir rapi, klimis. Pakaiannya serba putih. Sepatunya mengkilap. Dia tak banyak bicara.

“Paling kalau ada yang tidak disenanginya dia kirim surat kritik. Saya ingat dia pernah kirim surat yang isinya berpesan supaya saya terus melestarikan tempat makan ini,” kenang Lam Hong Kie alias Effendy Sumartono, 68 tahun, pemilik Restoran Trio.

Ali Sadikin, gubernur Jakarta, adalah pelanggan tetap restoran ini. Bukan hanya Ali Sadikin. Hampir sebagian besar petinggi Jakarta mampir. Henk Ngantung dan Tjokropranolo pun pernah menikmati sedapnya masakan Cantonese ala Restoran Trio. Meski tak semengkilap Ali Sadikin, Effendy mengenang Henk sebagai sosok necis. “Dia kalau datang selalu pakai kacamata riben,” kata Effendy.

DI bangku kayu, di meja yang letaknya tak begitu jauh dari kasir, seorang pria duduk tenang. Rambutnya tersisir rapi, klimis. Pakaiannya serba putih. Sepatunya mengkilap. Dia tak banyak bicara.

“Paling kalau ada yang tidak disenanginya dia kirim surat kritik. Saya ingat dia pernah kirim surat yang isinya berpesan supaya saya terus melestarikan tempat makan ini,” kenang Lam Hong Kie alias Effendy Sumartono, 68 tahun, pemilik Restoran Trio.

Ali Sadikin, gubernur Jakarta, adalah pelanggan tetap restoran ini. Bukan hanya Ali Sadikin. Hampir sebagian besar petinggi Jakarta mampir. Henk Ngantung dan Tjokropranolo pun pernah menikmati sedapnya masakan Cantonese ala Restoran Trio. Meski tak semengkilap Ali Sadikin, Effendy mengenang Henk sebagai sosok necis. “Dia kalau datang selalu pakai kacamata riben,” kata Effendy.

Di Restoran Trio, di meja dan kursi jatinya yang masih kokoh, tersimpan banyak kenangan. Banyak orang penting pernah datang ke sana. Dari Sutan Sjahrir hingga tokoh kiri macam Aidit dan Njoto. Dari seniman sampai ekspatriat. Sekali datang, kesan yang didapatkannya akan membekas dan mendorong mereka datang lagi.

Horst Henry Geerken, asal Jerman, juga memiliki kesan sama seperti kebanyakan orang yang pernah mengunjungi restoran ini. Geerken datang ke Indonesia pada 1963 –dan akhirnya tinggal hingga 18 tahun lamanya– sebagai insinyur residen perwakilan di Indonesia untuk perusahaan telekomunikasi Jerman AEG-Telefunken. Hari-hari pertamanya di Jakarta, dia mendapat undangan makan dari seorang rekan bisnis China di Restoran Trio. “Ada banyak restoran China di Jakarta, tapi konon restoran ini paling tua dan salah satu yang paling enak,” tulisnya dalam A Magic Gecko.

Mulanya dia tak yakin. Restoran terbuat dari kayu reot. Lokasinya jauh dari kesan menyenangkan, di samping rel kereta api pula. Tapi dia percaya dengan pilihan kliennya. Terbukti, “Saya tidak kecewa: makanannya luar biasa enak,” tulisnya. 

Setiap kali kembali ke Jakarta, Geerken wajib mengunjungi Restoran Trio karena kelezatan makanannya maupun alasan sentimental. Dan restoran ini tak berubah: masih reot seperti dulu, tanpa pendingin ruangan, dan makanannya tetap lezat. Musik keroncong terdengar, sesekali ditingkahi suara kereta api lewat. “Dalam kunjungan terakhir, saya bertemu dengan Iwan Tirta dan seniman Indonesia lainnya. Saya baru tahu bahwa mereka juga pengunjung tetap di sana. Rumah Makan Trio masih ngetren hingga sekarang.”

Lam Hong Kie alias Effendy Sumartono (tengah) bersama karyawan Restoran Trio. (Micha Rainer Pali/Historia.ID)

Dari Bengkel Becak

Tahun 1930, seorang pemuda bernama Lam Khai Tjioe merantau dari wilayah Canton bagian selatan ke Hindia. Atas jaminan seorang saudara yang sudah menetap di sini, dia diperbolehkan tinggal di Batavia. Keahlian memasak dijadikan modal hidup.

“Awal datang hanya sendiri. Istrinya atau ibu saya, Tjhan King Sin, belum ikut. Sesudah agak mapan, lima tahun kemudian baru menyusul. Saya sendiri lahir tahun 1945 di Jakarta,” kata Effendy, anak kedua Khai Tjioe. 

Khai Tjioe bekerja sebagai juru masak di sebuah rumah makan. Suatu hari, seorang taukeh becak bernama Tan Kim Po memintanya memasak di rumahnya. Terkesan oleh kelezatan masakan Khai Tjioe, Kim Po menawarinya membuka rumah makan sendiri. Maka pada 1945, disulaplah sebuah bengkel becak milik Kim Po menjadi rumah makan sederhana. 

“Waktu itu, untuk menjaga keamanan, Tan Lung, masih saudara Khai Tjoe, yang jago maen pukulan dijadikan petugas keamanan. Digawangi oleh tiga orang, seorang Belanda kemudian menyarankan untuk memakai nama Restoran Trio. Maka, sejak 1947 resmi berdiri dengan nama Restoran Trio,” ujar Effendy. 

Digawangi oleh tiga orang, seorang Belanda kemudian menyarankan untuk memakai nama Restoran Trio.

Berdiri di salah satu pojok di Jalan Gondangdia Lama, masakan China ala Cantonese menjadi menu andalan restoran ini. Lama-lama restoran semakin maju dan dikenal orang. Effendy mengenang, pada 1950-an, kebanyakan pelanggan adalah orang Belanda, misalnya awak maskapai penerbangan KLM dan maskapai pelayaran KPM. Saking larisnya, pada 1960-an, restoran bisa buka sampai pukul dua pagi. 

Namun, kebersamaan ketiga pendiri restoran tak berlangsung lama. Sekira 1963 Tan Lung meninggal dunia, kemudian disusul Tan Kim Po. Sendiri, Khai Tjoe menyerahkan urusan restoran kepada anaknya, Effendy. “Ayah saya meninggal pada 1981, tapi sejak 1963 saya sudah mengelola restoran,” ujar Effendy. 

Menurut Effendy, masa keemasan restoran ini terjadi pada 1975–1980. Ini didukung pula oleh harga bahan baku dan situasi keamanan yang stabil. “Waktu 1998 udah payah juga. Untungnya masih bertahan. Sebabnya, sebenarnya usaha warung makan seperti ini modalnya murah. Asal sudah ada tempat, 20 juta rupiah ada jalan,” kata Effendy.

Suasana pengunjung Restoran Trio. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Masih Seperti Dulu

Letaknya tidak jauh dari jembatan kereta api Cikini. Bangunan restoran berwarna hijau terang, dan di bagian atapnya terpasang papan nama terbuat dari kayu jati dengan tulisan Restoran Trio berwarna putih. 

Melangkah ke dalam, aura klasik restoran Tionghoa tempo dulu segera menyergap. Bangku dan meja kayu yang sederhana; tempelan menu dengan penulisan menggunakan ejaan lama, hingga iringan lagu lama. Restoran Trio tak banyak berubah. “Ukurannya saja yang berubah. Dulu sekira 90 meteran, terus kena gusur sedikit akibat pembangunan jembatan kereta api sekarang tinggal 60 meteran,” kata Effendy. 

Sebisa mungkin, Effendy tetap mempertahankan kondisi restoran. Alasannya, banyak pelanggan mengusulkan agar suasana nostalgia tetap terjaga. Kendati begitu, ada juga segelintir tamu yang komplain kegerahan oleh hawa panas saat siang hari. Maklum, tak ada pendingin ruangan, kecuali dua kipas angin.

Koki Restoran Trio sedang masak. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Restoran Trio menyediakan lebih dari 240 masakan Cantonese. Pada kartu nama dan cover depan buku menu tertera sebaris tagline, “Famous Cantonese Cuisine”. Lam Khai Tjioe, yang memiliki pengetahuan luas soal masakan Cantonese, mewariskan resep-resep masakannya secara turun-temurun kepada juru masak restoran. “Kodok goreng, burung dara goreng, sup sarang burung, sup sirip ikan atau shark fin soup merupakan menu yang disukai banyak orang. Agum Gumelar kalau ke sini pasti pesan shark fin soup,” ujar Effendy. 

Kini, Restoran Trio tidak terlalu ramai pengunjung. Yang datang, umumnya memiliki memori di tempat itu. Terkadang keluarga dan orang-orang kantoran yang istirahat makan siang. “Satu-dua pejabat masih suka datang, Marty Natalegawa, Andy Mallarangeng, Agum Gumelar, belum lama ini Ahok pun mampir,” ujar Effendy. “Marty dan Andy Mallarangeng waktu datang bilang, ‘Dulu waktu masih SMA saya pernah makan di sini. Restoran ini tempatnya orang bermemori’,” kata Effendy. 

Meski tak seramai dulu, Effendy tetap melanjutkan usaha restorannya. Dia sudah mempersiapkan kedua anak perempuannya, Lenny dan Rina, untuk meneruskan usaha ini. Dia juga memegang pesan Ali Sadikin agar melestarikan Restoran Trio. 

Bagi pelanggan Restoran Trio, keindahan dan kenyamanan tempat tidak lagi menjadi soal. Mereka sudah terpikat oleh kenangan dan cita rasa masakannya yang tetap terjaga.*

Majalah Historia No. 10 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64c61cda8035168a179b1d02
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID