Bertanah Air Indonesia, Bukan Hadramaut

Masyarakat Arab menganggap tanah airnya Hadramaut. Persatuan Arab peranakan mendorong mereka untuk bertanah air Indonesia.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Bertanah Air Indonesia, Bukan HadramautBertanah Air Indonesia, Bukan Hadramaut
cover caption
Peserta Kongres PAI di Cirebon 1938. (Repro C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab karya Hamid Algadri).

PARA peserta Konferensi Peranakan Arab di rumah Said Bahelul di Kampung Melayu, Semarang, tegang. Suasana perkenalan berjalan canggung, karena sejak lama komunitas Arab mengalami konflik yang dipicu soal strata sosial antara sayid dan non-sayid. Sayid, atau disebut juga alawi, adalah istilah yang digunakan untuk menyebut keturunan Nabi Muhammad dan karenanya membuat mereka merasa istimewa. Abdul Rahman (A.R.) Baswedan mencairkan suasana dengan mengajukan jalan tengah.

“Solusi sederhananya panggil semua Arab dengan ‘saudara’ atau al-akh. Tidak peduli alawi atau non-alawi, you are my brother,” ujar Samhari Baswedan, anak kesebelas A.R. Baswedan, kepada Historia.  

Kompromi tersebut mendapat sambutan baik. Konferensi Peranakan Arab, yang dimulai pada 3 Oktober 1934, dihadiri sekira 40 orang Arab peranakan dari Arrabitah, organisasi pro-sayid, dan Al-Irsyad, organisasi non-sayid. Mereka berasal dari Surabaya, Semarang, Pekalongan, dan Jakarta.

PARA peserta Konferensi Peranakan Arab di rumah Said Bahelul di Kampung Melayu, Semarang, tegang. Suasana perkenalan berjalan canggung, karena sejak lama komunitas Arab mengalami konflik yang dipicu soal strata sosial antara sayid dan non-sayid. Sayid, atau disebut juga alawi, adalah istilah yang digunakan untuk menyebut keturunan Nabi Muhammad dan karenanya membuat mereka merasa istimewa. Abdul Rahman (A.R.) Baswedan mencairkan suasana dengan mengajukan jalan tengah.

“Solusi sederhananya panggil semua Arab dengan ‘saudara’ atau al-akh. Tidak peduli alawi atau non-alawi, you are my brother,” ujar Samhari Baswedan, anak kesebelas A.R. Baswedan, kepada Historia.  

Kompromi tersebut mendapat sambutan baik. Konferensi Peranakan Arab, yang dimulai pada 3 Oktober 1934, dihadiri sekira 40 orang Arab peranakan dari Arrabitah, organisasi pro-sayid, dan Al-Irsyad, organisasi non-sayid. Mereka berasal dari Surabaya, Semarang, Pekalongan, dan Jakarta.  

Di hari kedua, ketegangan kembali muncul karena hasutan dan provokasi, sampai-sampai ada peserta yang membawa pistol. Menurut Suratmin dalam Abdul Rahman Baswedan Karya dan Pengabdiannya, debat sengit terjadi ketika A.R. Baswedan menguraikan prasaran dengan pokok utama tanah air Arab peranakan adalah Indonesia. Namun, akhirnya semua sepakat.  

Para peserta konferensi kemudian mendeklarasikan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab: tanah air peranakan Arab adalah Indonesia; peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri; peranakan Arab harus memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Semua peserta juga sepakat menamai 4 Oktober sebagai Hari Kesadaran Arab-Indonesia.  

Pada hari ketiga, rapat memutuskan membentuk organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI), dengan A.R. Baswedan terpilih sebagai ketua. Tujuannya menyatukan seluruh Arab peranakan (muwallad) dengan keanggotaan terbuka bagi setiap Arab yang lahir di Indonesia. Sedangkan Arab totok (wulaiti) boleh diterima sebagai anggota luar biasa, penyokong atau donatur dengan tidak mendapat hak suara.  

“Keempat puluh partisipan menyetujui dengan bulat bahwa dasar organisasi ini adalah pengakuan bahwa Indonesia merupakan tanah air mereka, bukan Hadramaut,” tulis Natalie Mobini Kesheh dalam Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadhrami di Indonesia.

Samhari Baswedan, anak kesebelas A.R. Baswedan. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Semua Manusia Sama

Penduduk Hadramaut terbagi ke dalam empat golongan: sayid, syaikh, qabili, dan abid/masakin. Bila sayid adalah keturunan Nabi, syaikh keturunan ulama atau intelektual; qabili keturunan kelas ksatria; abid keturunan budak. “Golongan sayid dalam kehidupan masyarakatnya merasa lebih super dan berwenang dalam segala hal daripada golongan lainnya. Perasaan yang demikian dibawa dan berkembang di Indonesia,” tulis Suratmin.

Kalangan sayid kemudian mengorganisasi diri dalam Jamiat Kheir yang didirikan pada 1901. Mula-mula bergerak di bidang sosial kemudian beralih ke pendidikan dengan membuka sekolah Al-Khaeriyah. Guru-gurunya didatangkan dari luar negeri. Salah satunya Syekh Ahmad Surkati, seorang ulama asal Sudan. Surkati kemudian membuat geger kelompok Arab di Hindia Belanda karena membuat fatwa yang membolehkan gadis keturunan sayid dikawin lelaki bukan sayid.  

Fatwa Surkati menimbulkan kemarahan golongan sayid. Fatwa ini dianggap memberi saluran bagi orang non-sayid untuk mengangkat diri menjadi sayid. Selain itu, “ajaran-ajaran yang diberikannya makin membuat non-sayid menemukan harga diri mereka lebih mantap,” tulis Husain Haikal dalam Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan.

Surkati menanggung konsekuensinya. Dia dipecat. Mulanya Surkati hendak pulang ke Makkah. Namun, Syekh Manggus, seorang kapiten Arab, membujuknya untuk tetap tinggal dan mengajar di sekolahnya, Al-Irsyad, yang didirikan bersama sahabatnya pada 6 September 1914. Sebagai pengelola sekolah didirikan organisasi Jamiat al-Islam wal Irsyad al-Arabia atau lebih dikenal dengan Al-Irsyad pada 11 Agustus 1915.  

Pertentangan pun tak terhindarkan. Untuk menandingi Al-Irsyad, kalangan sayid mendirikan Arrabitah al-Alawiyah atau ikatan kaum alawi. Ibarat sumbu yang disulut, “Perselisihan menjalar dari kota ke kota lainnya hingga menimbulkan percekcokan hebat sekali sampai terjadi perkelahian dan pembunuhan di antara mereka itu di masjid,” tulis Suratmin.  

Upaya melerai perselisihan itu dilakukan tokoh-tokoh Arab terkemuka dari dalam dan luar negeri. Dari Saleh Ghuzni dan Husein Abidin dari Singapura; Amir Syakib Arsalan, tokoh Arab asal Suriah yang disingkirkan pemerintah kolonial Prancis ke Swiss; Ibnu Saud, yang berhasil mempersatukan Saudi Arabia; Abdullah Salim bin Alatas atau A.S. Alatas, seorang sayid anggota Volksraad (Dewan Rakyat); Hamid bin Said bin Thalib dari Surabaya; hingga Awad Syahbal dari Sala. Namun, semua usaha itu tidak membuahkan hasil.  

“Kegagalan usaha-usaha tadi lebih banyak disebabkan kurangnya partisipasi pihak sayid dan kurangnya penanganan yang serius,” tulis Haikal.  

Pada saat yang kritis itu datanglah seorang peranakan muda dan enerjik dari Ambon, Mohammad bin Abdullah Alamudi. Dia memprakarsai pembentukan Perkumpulan Arab atau Arabische Bond (AV) di Surabaya pada 1920. Karena AV didominasi kaum totok yang lahir di Hadramaut, Alamudi membentuk organisasi sayap bagi peranakan agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik di Hindia Belanda. Lahirlah Indo-Arabische Verbond (IAV).

A.R. Baswedan bikin heboh dengan mengenakan blangkon dan surjan.

Kegalauan A.R. Baswedan

A.R. Baswedan menyambut gagasan Alamudi untuk menyatukan kalangan Arab di Hindia Belanda. Bukan hanya ikut kongres, Baswedan membantu pembiayaan percetakan Alhambra dengan menggunakan warisannya. Alamudi mengurus perusahaan, sedangkan Baswedan dan Salim Maskati, seorang wartawan, mengelola penerbitan suratkabar Al-Yaum. Selain itu, Baswedan mengusulkan diterbitkannya Al-Miskah dalam bahasa Arab.

“Perjanjian-perjanjian tandatangan kertas kosong, setelah enam bulan bangkrut. Ternyata uangnya habis digunakan untuk kepentingan pribadi Alamudi,” ujar Samhari.

Alamudi menggunakan dana itu untuk modal dagang alat tulis dan barang-barang lainnya. Dagangnya gagal, percetakan ditutup, Alamudi pun menanggung utang yang besar. Masalah ini sampai ke pengadilan. Baswedan kalah karena dalam kertas kosong bermaterai yang ditandatanganinya memuat pernyataan bahwa memberi kuasa kepada Alamudi melakukan segala sesuatu yang diperlukan.  

“Kandasnya percetakan Alhambra berarti kandas pula gagasan persatuan AV dan IAV yang dibidani Alamudi,” tulis Haikal.  

Harta warisan Baswedan lenyap, tetapi dia lebih terpukul lagi melihat perpecahan yang makin berlarut-larut di kalangan Arab. Dia juga merindukan persamaan di antara orang Arab.  

Sewaktu kecil, Baswedan mendapatkan pengalaman yang begitu membekas dalam benaknya. Ceritanya, sepulang sekolah, Baswedan pergi ke toko pakaian ayahnya, Awad bin Umar Baswedan. Di toko tersebut bekerja seorang pembantu asal Madura.  

Di ruang belakang toko ada kamar kecil untuk salat sekaligus kamar pembantu itu, Baswedan melihat ayahnya salat diimami oleh pembantunya. Dia merasa aneh. Seusai salat, Baswedan bertanya, “Kenapa abah diimami pembantu itu?”  

Ayahnya tertawa. “Kalau sudah urusan salat tidak ada pembantu tidak ada tuan,” kata ayahnya, “dia sudah mulai salat, abah baru datang. Jadi abah makmum.”  

“Ingat,” abahnya menekankan, “di mata Tuhan yang paling tinggi adalah yang paling takwa.”

“Menurut bapak, pengalaman itu sangat membekas. Itu yang membuat bapak sangat demokratis dan egaliter,” kata Samhari.  

Pengalaman kedua dia dapatkan ketika bersekolah di Al-Irsyad Jakarta. Saat itu, karena kecewa dengan madrasah Al-Khaeriyah yang mengistimewakan anak-anak sayid, dia pindah ke Al-Irsyad di Jakarta. “Dia pergi ke Surkati karena Surkati menjadi ikon dari sebuah gerakan baru bahwa semua orang sama. Padahal, sebelumnya orang alawi lebih tinggi di banding yang lainnya,” kata Samhari. Karena ayahnya sakit keras, dia pindah ke Hadramaut School, sebuah madrasah modern di Surabaya.  

Baswedan kemudian menjadi mubalig Muhammadiyah di bawah pimpinan KH Mas Mansyur. Dia juga bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB) di Surabaya, satu organisasi yang memiliki kecenderungan nasionalisme. “Ini berarti bapak sudah keluar dari kelompok Arab, masuk ke kelompok Islam yang lebih luas,” kata Samhari.  

Sempat menjadi wartawan Sin Tit Po dan Soeara Oemoem, Baswedan kemudian mengelola suratkabar Matahari di Semarang. Di sini, dia menulis artikel yang menghebohkan berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya,” dimuat 1 Agustus 1934. Dalam tulisan ini, Baswedan menganjurkan pengakuan Indonesia sebagai tanah air Arab peranakan.  

“Menurut pengamatan Baswedan, pada saat itu seluruh Arab peranakan biarpun mereka yang cerdas dan terkemuka tidak ada yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Mereka beranggapan tanah airnya adalah Hadramaut,” tulis Suratmin.  

Pada 1 September 1934, Baswedan kembali bikin heboh. Matahari edisi itu memuat foto Baswedan mengenakan blangkon dan surjan. Dengan mengenakan pakaian Jawa itu, menurut Natalie, dia tampaknya ingin menegaskan bahwa orang-orang peranakan adalah orang Indonesia dan bukan orang Arab. Dia pun dituduh bukan hanya menjadi penyebab perpecahan, tetapi juga mencoba menghancurkan nasionalisme masyarakat Hadramaut.  

Bercermin pada kelemahan dan kegagalan Alamudi, Baswedan membulatkan tekad untuk mempersatukan kaum Arab di Indonesia. Dia melakukan dialog dengan kalangan sayid dan non-sayid. Dia mengunjungi berbagai kota seperti Surabaya, Sala, Pekalongan, dan Jakarta. Dari hasil dialog, dia berkesimpulan pertikaian berkepanjangan dalam masyarakat Arab di Indonesia adalah kelanjutan dari pertikaian di Hadramaut. Dan pertikaian itu takkan berakhir jika melibatkan kelompok wulaiti. Karenanya dia berniat mendirikan organisasi yang tak lagi dirusuhi kelompok wulaiti.  

“Bapak pikir bukan soal antara sayid dan non-sayid, tetapi kita ini orang Indonesia. Isunya bukan soal alawi dan non-alawi tetapi antara mereka yang totok dan yang kelahiran Indonesia atau peranakan. Begitu konteksnya diubah menjadi konteks Indonesia dengan sendirinya isu konflik kelompok hilang,” ujar Samhari.  

Baswedan akhirnya berhasil mendorong pembentukan organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI).  

Mulanya perkembangan PAI berjalan lambat. Pada kongres pertama, PAI hanya memiliki enam cabang dan yang aktif cabang di Jakarta dan Surabaya. Tahun-tahun berikutnya hanya bertambah sedikit. Pada kongres kelima, lahirlah PAI Istri yang dipimpin oleh Barkah Ganis, yang kelak menjadi istri Baswedan. Selain itu, dibentuk pula laskar PAI untuk para pemuda.  

Menurut Natalie, Baswedan secara langsung bertanggung jawab atas pembentukan sebagian besar cabang PAI. Usahanya menghabiskan uang pribadinya yang cukup besar dan bahkan kemudian menyebabkan kesehatannya menurun.  

“Bapak menyerahkan hidupnya untuk menyebarkan ide PAI. Dia keliling dari Semarang ke Surabaya, lalu ke Jakarta. Ide ini dilemparkan melalui majalah, Sadar dan Insaf. Hidupnya untuk itu,” kata Samhari.

Rapat PAI, 1941.

Dinamika PAI

Selain perselisihan di dalam kalangan orang Arab, PAI didirikan di tengah permusuhan yang kuat antara orang pribumi dan orang Arab. “Kebencian terhadap peran ekonomi yang dimainkan orang-orang Hadrami ditambah lagi dengan rasa jijik terhadap konservatisme agama dari pihak sayid memberikan pandangan stereotip bahwa orang Hadrami bersifat tamak, kikir, suka berbohong dalam bisnis dan fanatik,” tulis Natalie.  

Dalam kongres PAI di Surabaya pada 25 Maret 1937, A.S. Alatas, wakil Arab di Volksraad yang juga penasihat PAI, menyatakan bahwa PAI hanya dapat menarik minat bangsa Indonesia melalui kegiatan politik. Karena itu, PAI mendukung Petisi Soetardjo di Volksraad. Pada 1939, PAI bergabung dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI), federasi partai-partai politik. “Dengan menjadi anggota GAPI, para muwallad anggota PAI berusaha untuk bisa diterima sebagai masyarakat Indonesia, setidaknya di bidang politik,” tulis Natalie.

Diterimanya oleh kalangan nasionalis baru separuh perjuangan. Tantangan terbesar PAI sesungguhnya adalah meyakinkan orang Arab peranakan untuk mengakui diri mereka sebagai warga Indonesia. Usaha ini tidaklah mudah. Bahkan, sebagian masyarakat Hadrami di Indonesia menuduh PAI memunculkan pertentangan baru dengan memilah kelompok peranakan dan totok. Oposan utamanya juga datang dari Al-Irsyad, yang menganggap PAI memecah-belah Al-Irsyad dan merebut para pendukungnya.  

Di tubuh PAI sendiri terjadi pertentangan. A.S. Alatas, yang masa jabatannya di Volksraad hampir habis, akan dicalonkan Al-Irsyad untuk masa jabatan berikutnya. Dalam konferensi PAI di Sala tahun 1938, Alatas dinyatakan “tidak punya pendirian tetap terhadap asas dan aliran PAI, baik dalam pembicaraan maupun perbuatan, yang menurut keterangan sepuluh cabang PAI, terang dan nyata A.S. Alatas dianggap berdosa pada perserikatan.” Demi menegakkan disiplin partai, konferensi memutuskan mengeluarkan A.S. Alatas.  

Merasa dicemarkan nama baiknya, A.S. Alatas menuntut Baswedan dan Abdullah Bajasut, sekretaris PAI, ke pengadilan. “Hakim memutuskan Baswedan dan Bajasut didenda masing-masing f50 dan f100,” tulis Haikal.  

Ketika Jepang menduduki Indonesia, seperti partai politik lainnya, PAI dilarang. Padahal, PAI sedang mengalami perkembangan pesat. Pada 1941, cabang PAI tersebar di 45 kota besar dan kota kecil di Jawa dan luar Jawa. PAI juga membuat sayap PAI Istri dan Laskar PAI. Laskar PAI menjalin hubungan dengan para pemuda dari partai politik lain seperti Gerindo, Parindra, PSII, dan Muhammadiyah.  

Suratmin menyebut Pemuda PAI ambil bagian dalam pertempuran-pertempuran melawan Jepang. Pada pertempuran di Semarang gugur Abu Bakar Alatas, pemimpin regu, dan Al-Hadad gugur dalam pertempuran di Lengkong Serpong, bersama Letnan Soebianto Djojohadikusumo, adik Sumitro Jojohadikusumo.  

Menurut J.M. van der Kroef dalam Indonesia in the Modern World, A.R. Baswedan berperan dalam membentuk dan melatih pemuda peranakan Arab tersebut. Mereka ditempatkan di barak dan dilatih semimiliter untuk kemudian berperang melawan Belanda. Korps tempur Arab ini berdampingan bersama angkatan bersenjata Indonesia selama revolusi.  

Di akhir masa pendudukan Jepang, Baswedan menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam suatu rapat BPUPKI, Baswedan menegaskan: “…saya telah memberi penjelasan bahwa tidak ada seorang pun daripada peranakan Arab yang menginginkan dan mencita-citakan kerakyatan lain daripada kerakyatan Indonesia.”  

Setelah Indonesia merdeka, PAI tidak dihidupkan lagi. Ini sesuai dengan janji Baswedan bahwa bila kelak Indonesia merdeka dan kaum peranakan Arab dengan sendirinya diakui sebagai warga negara Indonesia, PAI harus dibubarkan.*

Majalah Historia No. 13 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6680c645f5973f27af3b49ac