Tokoh-tokoh PSI dipenjara karena dituduh melakukan subversif. Namun, Sutan Sjahrir tetap meminta orang-orang PSI membantu Sukarno. Anak-anak muda sosialis melawan.
Demonstrasi KAMI, 26 Mei 1966. (geheugenvannederland.nl).
Aa
Aa
Aa
Aa
SUKARNO mencatat kemenangan untuk sementara waktu. Dia berhasil menyingkirkan Masyumi dan PSI, dua lawan utamanya dalam usaha mewujudkan Demokrasi Terpimpin. PSI dan Masyumi didakwa terlibat PRRI/Permesta. Tanpa ampun, Sukarno mengeluarkan surat pembubaran. Masyumi mengajukan banding, tapi gagal. Sedangkan PSI justru menerima pembubaran karena tak mau menerima cap sebagai partai terlarang. Alhasil Sukarno, PKI, dan TNI-AD mendominasi arena politik.
Di luar ingar bingar politik, tokoh-tokoh PSI mulai menjalani hari-hari tanpa partai. Sjahrir sesekali bermain tenis atau berkeliling Jakarta bersama putranya. Djoeir Moehamad lebih aktif di kegiatan sosial. Soedjatmoko jadi pengangguran dan lebih banyak membaca di rumah. Djohan Sjahroezah dan Soemartojo masih menjalin kontak dengan eksponen PSI di daerah. Sementara T.A. Murad, anggota Dewan PSI, bertanya agak liris soal perjalanan PSI. “Apa yang telah kita lakukan? Apa yang tersisa?” dikutip Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.
SUKARNO mencatat kemenangan untuk sementara waktu. Dia berhasil menyingkirkan Masyumi dan PSI, dua lawan utamanya dalam usaha mewujudkan Demokrasi Terpimpin. PSI dan Masyumi didakwa terlibat PRRI/Permesta. Tanpa ampun, Sukarno mengeluarkan surat pembubaran. Masyumi mengajukan banding, tapi gagal. Sedangkan PSI justru menerima pembubaran karena tak mau menerima cap sebagai partai terlarang. Alhasil Sukarno, PKI, dan TNI-AD mendominasi arena politik.
Di luar ingar bingar politik, tokoh-tokoh PSI mulai menjalani hari-hari tanpa partai. Sjahrir sesekali bermain tenis atau berkeliling Jakarta bersama putranya. Djoeir Moehamad lebih aktif di kegiatan sosial. Soedjatmoko jadi pengangguran dan lebih banyak membaca di rumah. Djohan Sjahroezah dan Soemartojo masih menjalin kontak dengan eksponen PSI di daerah. Sementara T.A. Murad, anggota Dewan PSI, bertanya agak liris soal perjalanan PSI. “Apa yang telah kita lakukan? Apa yang tersisa?” dikutip Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Murad mungkin tak menyadari bahwa PSI masih menyisakan ancaman bagi Sukarno. Majalah Sikap milik PSI masih terbit dan sesekali memuat tulisan Sjahrir berisi pandangan situasi politik mutakhir. Sebab itu Sukarno suatu hari mengirim Soebandrio, Wakil Perdana Menteri (Waperdam) merangkap Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI), ke rumah Sjahrir di Jalan Cokroaminoto, Jakarta. Tujuannya meredakan ancaman PSI dengan kompromi.
Soebandrio meminta Sjahrir menyetujui pemikiran-pemikiran Sukarno. “Ah, jangan, Bung Karno sudah maklum apa dan bagaimana pendapat saya,” kata Sjahrir kepada Soebandrio, sebagaimana cerita Djoeir Moehamad dalam Memoar Sang Sosialis. Mendengar jawaban Sjahrir, Soebandrio lekas pergi sembari mengingatkan Sjahrir tentang risiko dari penolakan itu. Sjahrir tak peduli. Kompromi berhenti.
Beberapa bulan berikut, Sjahrir menerima kabar duka dari Anak Agung Gde Agung, sahabatnya sekaligus simpatisan PSI berpengaruh di Bali. Ayahanda Anak Agung wafat. Sjahrir bersama Soebadio Sastrosatomo datang melayat ke upacara Palebon (pembakaran jenazah) di Gianyar, Bali, pada 18 Agustus 1961. Hadir pula Mohammad Hatta dan sejumlah tokoh Masyumi.
Kabar tidak enak merebak usai acara. Bahwa orang-orang PSI dan Masyumi telah menggunakan Palebon untuk merencanakan tindakan subversif melalui organisasi ilegal.
“Kemudian beredar cerita tentang sebuah dokumen rahasia yang ditemukan oleh perwira-perwira intel mengenai adanya organisasi ilegal bernama NIGO, Nederlansch-Indische Guerilla Organisatie,” kata Soebadio Sastrosatomo kepada Rosihan Anwar dalam Pengemban Misi Politik. “Laporan itu tidak berdasar,” lanjut Soebadio.
Anak Agung, si empunya acara, membela Soebadio. “Adalah tidak masuk akal bahwa dalam keadaan di mana turut hadir ribuan orang lainnya rapat gelap untuk menumbangkan pemerintah dapat diselenggarakan,” tulis Anak Agung dalam Surat-Menyurat Hatta dan Anak Agung.
Penangkapan Tokoh PSI
Nahas bagi tokoh-tokoh PSI. Sukarno lebih percaya laporan perwira intel. Tapi dia baru bertindak keras setelah ada upaya pembunuhan dirinya di Makassar pada 7 Januari 1962. Menurut intelijen, peristiwa itu berhubungan dengan rapat di Gianyar. Melalui tangan A.H. Nasution, Sukarno menangkap Sjahrir, Soebadio, dan Anak Agung pada 16 Januari 1962. Sinyal bahaya bagi orang-orang PSI.
Djoeir Mohamad merasa penangkapan bisa kapan saja menimpa tokoh PSI lainnya. Maka dia menyiapkan koper berisi alat keperluan sehari-hari. “Memang, tak berapa lama sesudah itu saya dan beberapa lainnya ditahan atas perintah Waperdam Soebandrio,” tulis Djoeir dalam Memoar Seorang Sosialis.
Soedjatmoko beruntung. Dia bebas dari penangkapan. “Soedjatmoko tidak menghadiri kremasi ayah Anak Agung Gde Agung,” tulis Nursam dalam Pergumulan Seorang Intelektual. Lagi pula Soedjatmoko lebih terkenal sebagai intelektual ketimbang politisi. Selain itu, dia juga punya hubungan baik dengan Soebandrio dan Sukarno.
Kehilangan tokoh-tokoh penting, orang-orang PSI menumpukan harapan pada Djohan Sjahroezah. Tapi dia tak dapat berbuat banyak. “Ia hanya kelihatan membiarkan kaum totaliter untuk menghabiskan tenaga mereka sendiri,” tulis Djoeir. Djohan cuma percaya satu hal: polah totaliterisme bakal mendapat serangan dari rakyat.
Sjahrir dan Soebadio tak berdaya di dalam penjara Madiun. Penjagaan penjara sangat ketat. Petugas jaga memeriksa surat-surat dari dan untuk Sjahrir dan Soebadio secara saksama. Sjahrir dan Soebadio beroleh informasi politik melalui radio secara terbatas.
Sumber informasi lain buat Sjahrir dan Soebadio berasal dari kawan-kawan PSI. Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Hamid Algadri, dan Idham sesekali mengunjungi mereka. Mereka hanya bisa bertukar pikiran sebentar dengan Sjahrir dan Soebadio.
Bahwa PSI menyediakan diri kalau diajak Bung Karno ikut dalam pemerintahan, sangat merupakan suatu angan-angan.
Deklarasi Ekonomi
Sjahrir menyimpulkan situasi politik memburuk. Tidak hanya bagi PSI, tapi juga untuk Sukarno. PKI dan tentara berebut pengaruh, dan semakin meruncing. Perekonomian Indonesia terpuruk. “Sjahrir berpendapat Sukarno juga tidak tahu bagaimana dia mesti keluar dari jalan buntu. Sjahrir pesankan kepada orang-orang PSI untuk membantu Sukarno, sekiranya terbuka kemungkinan dan kesempatan untuk itu,” tulis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI.
Usaha membantu Sukarno datang pada Maret 1963. Soedjatmoko menerima permohonan Soebandrio agar dia ikut memperbaiki perekonomian. Maka dia mengonsep rencana perbaikan perekonomian dengan empat poin penting: pengakuan kedudukan swasta, penegasan peran swasta, debirokratisasi, dan desentralisasi manajemen. Sukarno menerima usulannya dan menamakannya Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada 23 Maret 1963.
Sjahrir memuji usaha Soedjatmoko. Menurutnya usaha membantu Sukarno tercapai. Dia juga meminta orang-orang PSI menyokong pelaksanaan Dekon.
Di luar penjara, ada cerita berbeda dari Mohammad Hatta soal Dekon. “Kalau sekiranya Bung Karno tahu bahwa itu rancangan orang PSI, barangkali ditolaknya,” tulis Hatta dalam suratnya kepada Anak Agung, 10 Februari 1964. Hatta juga mengkritik gagasan Sjahrir bekerja sama Sukarno. “Bahwa PSI menyediakan diri kalau diajak Bung Karno ikut dalam pemerintahan, sangat merupakan suatu angan-angan.”
Eksponen Radikal
Berbeda dari Soedjatmoko, eksponen PSI berusia muda dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) menempuh jalan radikal. Menurut mereka, membantu Sukarno adalah menjauhkannya dari pengaruh PKI. Dan cara itu berarti menggulingkan Sukarno.
Perlawanan itu bermula dari Bandung pada awal Mei 1963. Pencopotan Mochtar Kusumatmadja, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pajajaran (FH Unpad), menyulut kemarahan mahasiswa. Mereka menuding PKI sebagai dalang pencopotan. Suripto, seorang mahasiswa FH Unpad dan aktivis GMS Bandung, mencorat-coret tembok kampus sebagai bentuk protes.
Protes membesar, lalu bergeser jadi kerusuhan anti-Tiongkok dan anti-Sukarno pada 10 Mei. Mahasiswa mengeroyok warga Tionghoa. Mereka juga membakar rumah dan toko-toko. Mobil dan motor tak ketinggalan jadi sasaran amuk mahasiswa. “...Upaya untuk mendiskreditkan pemerintah Sukarno,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945–1967.
Sejumlah organisasi mahasiswa terlibat dalam peristiwa itu. Antara lain Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB), Corpus Studiosorum Bandungense (CSB), Ikatan Mahasiswa Bandung (IMABA), Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI), dan Daya Mahasiswa Sunda (Damas). Menurut Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia, meski organisasi mahasiswa itu tampak independen, tokoh-tokohnya berpandangan mirip atau dekat dengan PSI.
Sukarno menaruh perhatian serius pada kerusuhan itu. Dia tahu dan yakin orang-orang PSI jadi dalangnya. “Keributan-keributan yang terjadi di Bandung tanggal 10 Mei yang bersifat anti-Cina itu adalah disebabkan aksi kontra revolusi yang dilancarkan oleh orang bekas PSI, Masyumi, PRRI, Permesta, dan subversi asing,” kata Sukarno di hadapan peserta rapat wanita Partindo (Partai Indonesia), 19 Mei 1963.
Buntutnya, menurut Rosihan Anwar, tampak kecenderungan di sebagian alat negara untuk mengejar-ngejar bekas PSI. Salah satunya Hamdani, anggota Dewan PSI sekaligus kawan lama Sjahrir. Pemerintah menangkapnya tanpa alasan jelas pada 26 Mei 1963. Lalu penangkapan beralih ke aktivis-aktivis GMS Bandung. “Saya ditangkap dan kemudian ditahan 2 tahun di penjara polisi di Bandung,” kata Suripto kepada Budi Setiawanto dalam Menguak Tabir Perjuangan Suripto.
Efek peristiwa 10 Mei sampai ke Jakarta. Klub diskusi GMS Jakarta untuk menggulingkan Sukarno terhenti sementara. Padahal klub diskusi itu belum lama berjalan. Idenya berasal dari Zainal Zakse dan Soe Hok Gie, aktivis GMS Jakarta sekaligus mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI).
Zainal dan Gie kerap menyambangi bekas markas besar PSI di Jalan Cisadane, Jakarta, dan giat berhubungan dengan intelektual PSI seperti Soedjatmoko. Selama 1963, mereka berdiskusi di rumah Maruli Silitonga, ketua GMS. Sejumlah intelektual turut hadir. Antara lain Mohamad Sadli, Sarbini, Rosihan Anwar, Soedjatmoko, dan Wiratmo Soekito. Diskusi berjalan lagi pada 1964. Kali ini diskusi lebih banyak membahas soal budaya.
Saat bersamaan, muncul pula klub diskusi lain eksponen PSI. Menginginkan pemerintahan baru, klub ini menamakan dirinya Gerakan Pembaharuan (GP). Kegiatannya lebih rahasia, tertutup, tapi juga radikal. GP menyebar di beberapa tempat di Eropa, Kuala Lumpur, Bangkok, Hong Kong, Medan, Bandung, Surabaya, dan Jakarta.
Sumitro Djojohadikusumo menggerakkan GP dari tempat persembunyiannya di luar negeri. “Ia mengirimkan instruksi kepada pendukungnya di Indonesia melalui apa yang secara misterius ia namakan MHQ (Mobile Head Quarters),” tulis John Maxwell dalam Soe Hok Gie Pergulatan Intelektual Melawan Tirani.
Gie ikut memperkuat GP di Jakarta tanpa diketahui orang-orang PSI di sekitarnya. Teman-teman Gie di GP termasuk pula eksponen PSI bekas Permesta seperti Henk Tombokan, Jopie Lasut, dan Boelie Londa. Mereka memperoleh dana dari Sumitro untuk menerbitkan dan menyebarluaskan berita berkala, Pembaharuan. Isinya pandangan Sumitro tentang situasi terakhir Indonesia. Gie beberapa kali menyumbang tulisan berisi kecaman terhadap Sukarno.
Mengetahui Suripto keluar dari penjara pada 1965, GP punya jurus baru. GP memboyong Suripto ke Jakarta untuk menyebarkan pengaruh GP ke militer. “Ia pindah ke Jakarta setelah menyelesaikan studinya dan terlibat secara aktif dengan pembentukan jaringan dengan unsur-unsur tentara yang antikomunis dan anti-Sukarno,” tulis Maxwell. “Koneksi militer Suripto menjadi penting bagi Gie dan kawan-kawannya pada bulan-bulan selanjutnya,” lanjut Maxwell. Sebab perubahan drastis segera berlangsung.
Militer menyerang PKI secara terbuka setelah peristiwa G30S. NU dan PNI menghentikan koalisinya dengan PKI. Mereka menuntut pembubaran PKI. Rakyat bergerak melampiaskan kemarahannya pada PKI. PKI terpojok dan tersapu. Sukarno kehilangan salah satu pendukung terbesarnya.
Gie berpikir ini saatnya mahasiswa juga bergerak menghantam Sukarno. Dia mendapat informasi dari Suripto tentang sikap militer. Menurut Suripto, militer mendukung gerakan mahasiswa. Militer tak lagi berada pada pihak Sukarno. Maka Gie menggalang teman-temannya di UI berdemonstrasi pada Januari 1966. Untuk menambah daya gedor demonstrasi, organisasi- organisasi mahasiswa melebur dalam organisasi tunggal, Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI).
Serangan KAMI Jakarta terhadap Sukarno makin kuat. Apalagi mereka beroleh bantuan dari KAMI Bandung. Mereka datang dengan truk dan bergerak lebih radikal ketimbang KAMI Jakarta. Misalnya dengan langsung mengirim petisi pedas ke Sukarno. “Ada beberapa sebab mengapa KAMI Bandung lebih radikal. Di sana pengaruh kaum aktivis PSI paling kuat,” tulis Ulf Sundhaussen.
Serangan mahasiswa memaksa Sukarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966. Dia harus berbagi kekuasaan dengan Soeharto, mayor jenderal oportunis pendukung aksi mahasiswa. Kekuasaan Sukarno pun melemah.
Belum berhasil mengatasi tekanan mahasiswa, Sukarno terhantam lagi pada 9 April 1966 secara tak terduga. Sutan Sjahrir wafat di Swiss dalam status tahanan politik. “...Memicu serangan sengit terhadap taktik Sukarno membungkam para pengkritiknya dan seruan pembebasan tokoh- tokoh lainnya yang dipenjara tanpa melalui pengadilan,” tulis Maxwell.
Poppy, istri Sjahrir, menemui Sukarno pada 28 April 1966. Masih dalam keadaan berduka, dia meminta Sukarno sudi membebaskan kawan-kawan Sjahrir dari penjara. “Sedang saya pikirkan,” jawab Sukarno, dikutip Mochtar Lubis dalam Catatan Subversif. Mahasiswa tak senang dengan kabar ini. Lagi-lagi kemarahan meluap. Lagi-lagi demonstrasi pecah.
Di Bandung, mahasiswa menyalurkan kemarahan dengan cara berbeda. “Dengan cepat, menuruti langkah Jakarta, mahasiswa Bandung merasa perlu memiliki surat kabar untuk menyempurnakan koordinasi gerakan mereka dan gerakan intelektual di Bandung,” tulis Raillon.
Mereka menerbitkan koran Mahasiswa Indonesia (MI) pada 19 Juni 1966. Menurut Raillon, “... PSI menjadi sumber inspirasi yang besar di mata Mahasiswa Indonesia.” Sementara almarhum Sjahrir menjadi semacam sesepuh. Tak heran, sebab Rahman Tolleng, pemimpin redaksi MI, pernah masuk GMS dan giat mengusung sosialisme.
Di bawah Rahman Tolleng, MI terbit sebanyak 25.000 eksemplar dan tersebar ke luar Bandung. Mereka berhasil mengajak sejumlah intelektual seperti Rosihan Anwar, Wiratmo Soekito, Arief Budiman, dan Soedjatmoko menyumbangkan tulisannya. Karena itu, pengaruh MI cukup kuat dalam membentuk opini masyarakat. Pembaca dan pendukungnya termasuk dari kalangan militer seperti A.H. Nasution dan Divisi Siliwangi Jawa Barat.
“Mahasiswa Indonesia berada di garis depan dalam kampanye melawan Presiden Soekarno yang masih berkuasa,” tulis Raillon. MI memuat beberapa artikel untuk menyerang Sukarno dari berbagai sudut. Baik soal pribadi maupun pandangan politiknya. PKI juga jadi sasaran. Artikel-artikel MI menyimpulkan pendirian mereka: Sukarno harus mundur dan PKI mesti bubar.
Keinginan MI bersambut. Sukarno tak mampu lagi mempertahankan posisinya. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mencabut mandatnya sebagai presiden pada 12 Maret 1968. Soeharto naik jadi presiden. PKI runtuh, Sukarno jatuh. Kemenangan menghampiri orang-orang dan simpatisan PSI. Pintu menuju kekuasaan pun terbuka bagi mereka.*