Bertaruh Jiwa Demi Nyawa

Perannya sangat penting. Di masa revolusi, mereka tak mempedulikan jiwanya demi menyelamatkan banyak nyawa.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Bertaruh Jiwa Demi NyawaBertaruh Jiwa Demi Nyawa
cover caption
Petugas palang merah sedang merawat korban. (Dok. Palang Merah Indonesia).

JALAN Menteng Raya 31 sudah ramai kendaraan sore itu. Truus Iswarni Sardjono, 83 tahun, menunggu kendaraan umum di depan Gedung Joang 45. Setiap hari ia biasa pergi-pulang menggunakan kendaraan umum. Ia tak mau merepotkan orang lain. Perjuangan berat untuk mencapai tempat tujuan di Jakarta yang semrawut baginya belum seberapa dibandingkan perjuangannya puluhan tahun silam di Surabaya.

Tak lama setelah kemerdekaan, Truus masuk Palang Merah 45 pimpinan Loekitaningsih. Belum sempat masuk asrama untuk mendapat pembekalan, pertempuran keburu pecah. Tiap hari, bersama teman-temannya, Truus berjuang menyelamatkan nyawa banyak orang di tengah kondisi yang mengancam jiwanya sendiri. “Yang paling saya nggak lupa, anak kecil,” ujarnya. Anak itu tewas dengan tubuh terbelah akibat terkena bom. “Yang setengah di got, setengah lainnya di pagar.”

JALAN Menteng Raya 31 sudah ramai kendaraan sore itu. Truus Iswarni Sardjono, 83 tahun, menunggu kendaraan umum di depan Gedung Joang 45. Setiap hari ia biasa pergi-pulang menggunakan kendaraan umum. Ia tak mau merepotkan orang lain. Perjuangan berat untuk mencapai tempat tujuan di Jakarta yang semrawut baginya belum seberapa dibandingkan perjuangannya puluhan tahun silam di Surabaya.

Tak lama setelah kemerdekaan, Truus masuk Palang Merah 45 pimpinan Loekitaningsih. Belum sempat masuk asrama untuk mendapat pembekalan, pertempuran keburu pecah. Tiap hari, bersama teman-temannya, Truus berjuang menyelamatkan nyawa banyak orang di tengah kondisi yang mengancam jiwanya sendiri. “Yang paling saya nggak lupa, anak kecil,” ujarnya. Anak itu tewas dengan tubuh terbelah akibat terkena bom. “Yang setengah di got, setengah lainnya di pagar.”

Loeki, panggilan akrab Loekitaningsih, identik dengan kerja palang merah. Sebagai respons keadaan kota Surabaya yang kian genting, Loeki, ketua Pemuda Puteri Republik Indonesia (PPRI), membentuk kesatuan palang merah. “Berhubung pada saat TKR dibentuk, prajurit kesehatan belum dapat disiapkan, maka kami bertugas sebagai Korps Palang Merah Putri,” tulis Loekitaningsih dalam “Saham Revolusi”, termuat dalam Seribu Wajah: Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45.

PPRI bergerak dalam bidang kelaskaran, palang merah, dapur umum, dan bantuan bagi pengungsi. Palang merah mereka bernama Palang Merah 45. Semua anggotanya, 52 pemudi adalah relawan. Ada yang melamar, banyak juga yang masuk karena ajakan Loeki.

Selain memberi pertolongan pertama pada korban pertempuran, Palang Merah 45 juga menyalurkan makanan dan pakaian serta menolong pengungsi. Mereka mendapatkan pakaian-pakaian dari gudang- gudang timbunan Jepang yang telah mereka ambil alih, sementara makanan diperoleh dari dapur-dapur umum. Untuk obat-obatan, Palang Merah 45 mendapatkan bantuan dari rumah sakit umum dan Palang Merah Indonesia (PMI).

Seiring membesarnya pertempuran di Surabaya, Palang Merah 45 akhirnya fokus pada kepalangmerahan. “Karena apa? Korbannya sudah seluruh kota, sudah penuh dengan korban,” ujar Truus. Orang-orang waktu itu sampai menjuluki Alun-alun Contong sebagai abatoar (tempat pemotongan hewan). “Itu jalanan aspal nggak ada, [adanya] darah.”

Truus Iswarni Sardjono. (M.F. Mukthi/Historia.ID).

Pertempuran Surabaya, lebih dikenal sebagai Pertempuran 10 November, merupakan buntut dari kegagalan perundingan antara pihak Indonesia dan Sekutu yang diwakili Inggris. “Bung Karno lalu memberi keputusan: ‘Terserah arek-arek Suroboyo’,” ujar Truus. Gubernur Suryo berunding dengan berbagai perwakilan masyarakat di gubernuran tak lama kemudian. Loeki ikut hadir. “Ia bilang, ‘Gimana, merdeka atau mati?’,” ujar Truus menirukan. Penduduk Surabaya pilih melawan.

Sejalan dengan strategi pertahanan yang berpencar dan berpindah-pindah, Loeki membagi Palang Merah 45 menjadi tiga lini. Pertama, mereka yang bergerak di garis depan, dengan tiga petugas per unitnya. Kedua, pos transito, tempat merawat para korban sebelum dikirim ke rumah sakit dengan tenaga 5–7 perawat. Ketiga, pos induk, tempat pembagian tugas dan pengaturan giliran tugas; poliklinik, dan sering jadi tempat rawat jalan para korban. Ada beberapa dokter yang ikut membantu seperti dr. Hadiono Singgih, dr. Sapraun, dan dr. Irsan Radjamin.

Palang Merah 45 bekerja dengan peralatan seadanya. Masing-masing anggota membawa satu tas kecil, verband tas namanya. Isinya sneelverband atau perban dengan saas (gundukan) tebal di dalamnya, mitela (perban segitiga), dan yodium tincture (semacam obat merah, untuk luka ringan). “Tas itu nggak boleh ketinggalan,” ujar Truus.

Empat ambulans bantuan milik mereka hampir tak pernah berhenti beroperasi, sehingga mereka harus bisa menyelamatkan para korban dengan berbagai cara. “Apa saja yang lewat, nunut.” Prioritas mereka adalah korban yang masih hidup. Korban tewas baru mereka urus ketika ada waktu sisa.

Sebagai unit khusus, mereka belum memiliki seragam. Para relawan mengenakan pakaian sehari-hari. Satu-satunya tanda pengenal mereka hanyalah rambut kelabang yang dinaikkan, sebuah kebiasaan yang sudah dilakukan semasa Jepang. Baru setelah ada gencatan senjata, Palang Merah 45 membuat seragam. “Kita minta [warna] cokelat, jadi lain dengan tentara. Nggak pernah ada yang putih,” ujar Truus.

Bukan hal mudah bagi mereka menjalankan tugas yang berurusan dengan darah dan tubuh korban yang tak lagi utuh. “Perut rada mual, munyer,” kenang Truus, ketika awal. Isbandiyah –kemudian dikenal sebagai Nyonya Sungkono– suatu hari pernah mengumpulkan banyak otak korban yang tercecer ke dalam satu mitela lalu menguburkannya. “Saya bergidik hanya satu kali,” kenang Truus, sewaktu mengangkat jenazah yang mukanya hilang. Namun karena jadi rutinitas, lama-lama mereka terbiasa.

Dua anggota palang merah dan pejuang berlarian di sebuah front. (Repro Documenta Historica karya Osman Raliby).

Muncul di Front

Hujan mortir NICA memecah keheningan pagi medio 1946 di Jrebeng, Sidoarjo. Orang-orang panik. Di sebuah rumah, para pemudi menyelamatkan obat-obatan, dokumen, dan barang penting lain. Mereka lalu menyelamatkan diri ke lubang perlindungan di halaman. Dua pemudi masih tertinggal ketika sebuah mortir menghantam rumah itu sesaat kemudian.

“Saya mengira bahwa saya akan hancur lebur bersama mobil dan rumah yang menjadi pos kami,” tulis Darsini Soekarto, salah satu pemudi yang tertinggal tadi, dalam kesaksiannya, “Nyaris Disambut Maut”, termuat dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45 Buku Pertama. Ia ketika itu sedang lari menuju mobil di halaman untuk menyelamatkan obat-obatan. Belum sampai, mortir keburu menghajar rumah yang hanya berjarak sekira lima meter darinya. Ia langsung tiarap. “Badan saya terangkat-angkat oleh getaran ledakan peluru,” tulisnya.

Darsini dan para pemudi di rumah tadi merupakan anggota Palang Merah 45. Rumah yang dihantam mortir tadi merupakan posko mereka.

Banyak pemudi menggabungkan diri ke dalam organisasi kepalangmerahan tak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Mereka umumnya masuk secara sukarela –meski ada juga yang ditugaskan tempat kerjanya– sebagai kontribusi bagi perjuangan. Latar belakang mereka beragam, tapi kebanyakan pelajar. Usia mereka umumnya masih di bawah 20 tahun.

Sejumlah palang merah muncul secara spontan dengan stuktur organisasi dan peralatan seadanya. Mereka umumnya mengikuti front-front perjuangan yang tersebar di tanah air, memenuhi kebutuhan medis yang belum tersedia dalam ketentaraan. Tak ada standar prosedur bagi kerja palang merah; tergatung pada badan atau institusi yang menaunginya serta disesuaikan dengan kondisi dan tempat mereka bertugas. Begitu pula tugas anggota-anggotanya. “Kalau di situ nggak ada kecelakaan, nggak ada yang dirawat, saya cari beras, cari sayuran,” ujar Utari Suyanto, mantan anggota palang merah, kepada Historia.

Saya mengira bahwa saya akan hancur lebur bersama mobil dan rumah yang menjadi pos kami.

Utari kala itu berusia 16 tahun, bertugas di palang merah Rejowinangun, lima kilometeran dari Boja, Kendal. Poskonya, bekas rumah Belanda di tengah hutan, selain untuk tempat merawat korban juga menjadi asrama para dokter piket dan perawat. Peralatan dan obat-obatannya disuplai Rumah Sakit Umum Kendal. Para korban mendapat perawatan sementara di posko untuk kemudian dibawa ke rumah sakit.

Tugas anggota palang merah front Boja tak terlalu berat. Pertempuran jarang terjadi di sana. Korban tak terlalu banyak. “Kalau sepi ya badminton, jalan-jalan ke hutan cari pisang, cari monyet,” ujar Utari, yang selain sebagai perawat juga bertugas sebagai pencari logistik.

Berbeda dari palang merah front Boja, palang merah di Makassar menjalani tugas lebih berat. Pertempuran kerap terjadi, terlebih ketika Belanda sudah menguasai kota Makassar. Sebagai pemimpin palang merah, Emmy Saelan bahkan ikut memanggul senjata dan bergerilya hingga pedalaman. Untuk komunikasi antaranggota, Emmy menggunakan rambut sebagai sandi; bila seorang anggota memegang rambut harus dibalas dengan memegang rambut pula. Nama sandi Emmy sendiri Daeng Kebo.

Meski kadang ikut bertempur, Emmy tetap menjalankan kerja kepalangmerahan. Ia mengobati dan merawat para korban. “Ia kan pernah kerja di rumah sakit, jadi tahu mengenai obat dan sebagainya,” ujar Maulwi Saelan, adik kandung Emmy.

Palang merah di Makassar bergerak dalam unit-unit kecil, mengikuti garis pertahanan para pejuang. Poskonya terpencar dan berpindah-pindah, dengan membawa peralatan dan obat- obatan seadanya.

Di Bogor, Hadiati Soema Atmaja dan teman-temannya menjadikan halaman depan rumah orang tuanya di Gang Menteng sebagai posko palang merah darurat. Neneng, panggilan Hadiati, berusia sekira 16 tahun, sedangkan Sariyah 11 tahunan. Sariyah Soema Atmaja, ketua Wirawati Catur Panca Kota Bogor, ingat bagaimana sepak terjang kakaknya. Neneng dan teman-teman merawat para korban dengan peralatan dan obat-obatan ala kadarnya. “Sederhana, ada kain buat perban ya pakai kain,” ujar Sariyah.

Petugas palang merah sedang berlatih pertolongan pertama pada korban. (Dok. Palang Merah Indonesia).

Bahaya Mengintai

Risiko yang dihadapi para anggota palang merah tak kalah berat dari yang bertempur. Peluru atau pecahan bom bisa nyasar sewaktu-waktu. Loeki, misalnya, sering kali hampir terserempet maut ketika menjalankan tugas. Ia dan rombongannya pernah ditembaki musuh dari salah satu rumah penduduk. Tak lama setelah itu, mereka nyaris jadi santapan empuk pesawat musuh.

Ketika hendak meninggalkan kota dengan sedan Chrysler bertanda palang merah, pesawat musuh menukik ke arah mereka. Loeki dan rombongannya hanya pasrah. Untung saja pesawat itu tak menembak. “Setelah mereka yakin bahwa mobil kami betul-betul mobil red cross, akhirnya pesawat terbang itu menghilang,” kenang Loeki.

Yang paling menegangkan ketika Loeki dan rombongannya mengantarkan ransum ke garis depan di front Trosobo. Di perjalanan, mobil mereka berpapasan dengan banyak kendaraan yang bergerak terburu-buru. Ketika hampir sampai dan mobil akan belok ke tujuan, mendadak tank musuh muncul dalam jarak sekira 100 meter. Tank itu langsung memuntahkan kanonnya, tapi meleset. Supir ambulans langsung banting stir 180 derajat. Gerakan tersebut membuat tembakan musuh kembali meleset. Supir terus melarikan ambulans meski musuh terus memberondong. Ambulans akhirnya selamat. “Sangat mengherankan mengapa tank itu menembak ambulans?” kenang Loeki.

Ketegangan hampir selalu menemani hari-hari palang merah. Belum lagi, mereka menangani jumlah korban yang jauh melebihi batas. “Kita itu 24 jam, besok lagi, besok lagi,” ujar Truus. Istirahat hanya mereka dapat secara bergiliran. Itu pun sebentar. “Kalau kita bisa merem, itu sudah hebat.”

Setelah mereka yakin bahwa mobil kami betul-betul mobil red cross, akhirnya pesawat terbang itu menghilang.

Palang Merah 45, yang aktif berkoordinasi dengan badan ketentaraan setempat, sampai pernah minta bantuan tambahan tenaga dan obat-obatan. Bantuan itu datang tak lama kemudian dari Jakarta dan kota-kota lain.

Tapi, itu tetap belum meringankan beban tugas mereka. Jumlah korban dengan awak mereka tak sebanding. “Yang di front itu hanya kita,” ujar Truus. Mereka sering kali tak sempat makan, apalagi mandi. Pakaian mereka, yang hanya beberapa dan kotor oleh darah dan tanah, hanya dicuci ketika sempat. Pola makan mereka tak teratur. Belum lagi “beban” sosial, Loeki dan Palang Merah 45-nya pernah difitnah sebagai pemuas birahi dokter dan pejuang. Akibatnya, kondisi mereka pun terus mundur. Mereka kewalahan. Satu per satu sakit.

Suatu hari dr. Hutagalung (dari divisi) memeriksa para anggota Palang Merah 45. Begitu tahu hasilnya, ia meminta divisi cepat ambil tindakan. “Suruh istirahat! Ini de meisjes, anak buah Loeki, sebentar lagi pada gila,” ujarnya sebagaimana ditirukan Truus.

Setelah gencatan senjata, Divisi VII, yang menguasai wilayah Surabaya dan sudah punya unit kesehatan, mengambil alih pos-pos kesehatan Palang Merah 45 dengan menempatkan 200 prajurit kesehatan. Sementara Palang Merah 45 dibubarkan dan anggotanya kembali ke profesi masing-masing.

Banyak di antara mereka lalu menikah, aktif di Staf I (bagian intelijen) divisi, atau melanjutkan tugas palang merah di tempat lain. Truus sendiri memilih meneruskan perjuangan. Saat itu, sekira 1947, Divisi VI Narotama pimpinan Mayjen TNI Sungkono sudah mundur ke Kediri karena Surabaya diduduki NICA. Di Kediri, Staf I Divisi menarik Truus untuk menjadi telik sandi. Dalam tugas inilah Truus bertemu Sardjono, perwira zeni Tentara Pelajar yang kelak jadi direktur teknik Garuda Indonesia, lelaki yang dinikahinya pada 1954.

Mereka tak pernah memikirkan bahaya apalagi hasil yang bakal mereka peroleh dari pengorbanannya. Dalam benak mereka, menolong orang yang meregang nyawa merupakan panggilan jiwa. “Kalau bukan kita, terus siapa?” ujar Truus, yang menjabat ketua bidang umum Wirawati Catur Panca, organisasi yang mewadahi para perempuan pejuang ‘45.*

Majalah Historia No. 1 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
642abf555b553995ef35bde1