Biaya Perjalanan Presiden Sukarno Dipertanyakan

Semangat berkorban di Hari Raya Kurban. Termasuk kerelaan berkorban untuk menanggung biaya kunjungan Presiden Sukarno ke Bojonegoro?

OLEH:
Zalfaa Rizqi Nuraulia
.
Biaya Perjalanan Presiden Sukarno DipertanyakanBiaya Perjalanan Presiden Sukarno Dipertanyakan
cover caption
Ilustrasi KH Misbach, anggota DPR dari Partai Masyumi. (M.A. Yusuf/Historia.ID).

KUNJUNGAN Presiden Sukarno ke Bojonegoro, Jawa Timur, menuai tanda tanya. KH Misbach, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Masyumi, mempertanyakan biaya kunjungan tersebut yang dibebankan kepada rakyat.

Pertanyaan itu disampaikan kepada pemerintah sebagai bagian dari “hak menanya” yang dimiliki oleh anggota DPR sesuai pasal 69 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Surat berisi pertanyaan Misbach diterima oleh Sekretariat DPR pada 1 Agustus 1957. Ketua DPR lalu membuat surat yang ditujukan ke perdana menteri tertanggal 7 Agustus 1957.

Surat-surat terkait kunjungan Presiden Sukarno ke Bojonegoro tersimpan dalam Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri Tahun 1950–1959 Jilid II No. 2344 di Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta.

Misbach tak hanya asal ucap. Dia memperoleh informasi tersebut ketika reses atau kegiatan anggota DPR di luar waktu sidang untuk berinteraksi langsung dengan konstituen.

KUNJUNGAN Presiden Sukarno ke Bojonegoro, Jawa Timur, menuai tanda tanya. KH Misbach, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Masyumi, mempertanyakan biaya kunjungan tersebut yang dibebankan kepada rakyat.

Pertanyaan itu disampaikan kepada pemerintah sebagai bagian dari “hak menanya” yang dimiliki oleh anggota DPR sesuai pasal 69 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Surat berisi pertanyaan Misbach diterima oleh Sekretariat DPR pada 1 Agustus 1957. Ketua DPR lalu membuat surat yang ditujukan ke perdana menteri tertanggal 7 Agustus 1957.

Surat-surat terkait kunjungan Presiden Sukarno ke Bojonegoro tersimpan dalam Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri Tahun 1950–1959 Jilid II No. 2344 di Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta.

Misbach tak hanya asal ucap. Dia memperoleh informasi tersebut ketika reses atau kegiatan anggota DPR di luar waktu sidang untuk berinteraksi langsung dengan konstituen.  

Selama reses kedua tahun 1957, dia meninjau beberapa daerah di Jawa Timur, terutama Bojonegoro. Di sana dia mendengar kabar tak sedap mengenai kunjungan presiden pada Juli 1957 atas undangan dari Panitia Merah Putih setempat.  

“Kami mendengar, bahwa sebagai akibat kedatangan tersebut rakyat dalam Keresidenan Bojonegoro, yang meliputi Kabupaten Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan dibebani sokongan Rp65.000 ... guna menutup perongkosan kedatangan Tamu Agung tersebut beserta rombongannya,” tulis Misbach.

Menurut Misbach, hal itu memberatkan rakyat Bojonegoro, daerah yang dikenal miskin. Lebih-lebih rakyat sedang menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok. Jika pemerintah pusat tak sanggup menanggung biaya, bukankah sebaiknya kunjungan itu tak dilakukan.

Presiden Sukarno berpidato dalam rapat akbar di Alun-alun Bojonegoro tahun 1957(Perpusnas RI)  

Berapa Biayanya?

KH Misbach memang tak bisa dilepaskan dari Jawa Timur. Dikutip buku 80 Tahun K.H. Misbach suntingan Herry Mohammad dan Akbar Muzakki, Misbach lahir di Brondongan, Baturetno, Tuban pada 16 Juni 1914 dari pasangan Marjo (Marjawi) dan Bakirah (Buchoiroh).

Sempat jadi guru di Tuban, Misbach pindah ke Bojonegoro dan menduduki berbagai jabatan strategis seperti wakil kepala Kantor Agama, anggota Badan Eksekutif, hingga kepala Kantor Agama Keresidenan Bojonegoro.  

Misbach kemudian terjun ke politik dan bergabung dengan Masyumi. Menghadapi pemilihan umum (pemilu) 1955, dia terlibat dalam Komisi Aksi Pemilihan Umum (KAPU), yang bertugas membuat peraturan dan menyeleksi calon-calon anggota DPR dan Konstituante. Misbach juga maju dalam pencalonan setelah mendapat lebih dari 40.000 tanda tangan atau cap jempol di Paciran, Lamongan.  

Hasil pemilu menggembirakan. Misbach terpilih sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Timur.  

Masyumi meraih posisi kedua dalam pemilu 1955 setelah Partai Nasional Indonesia (PNI). Hal ini membawa Masyumi jadi partai koalisi pemerintahan dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II atau sering pula disebut Kabinet Ali-Roem-Idham. Menyusul perbedaan pendapat dengan PNI, Masyumi menarik seluruh menterinya. Kabinet pun jatuh.

Presiden Sukarno kemudian menunjuk dirinya sebagai pembentuk kabinet. Lahirlah Kabinet Djuanda atau disebut juga Kabinet Karya, sebuah zaken kabinet yang diisi oleh orang-orang ahli di bidangnya. Masyumi menganggap Kabinet Djuanda inkonstitusional dan memilih jalan oposisi.

Sejalan dengan partainya, Misbach kerap kritis pada pemerintah. Salah satunya soal kunjungan Presiden Sukarno ke Bojonegoro pada 8 dan 9 Juli 1957, yang sebagian dibebankan kepada rakyat. Dia menggunakan hak bertanya yang dimilikinya sebagai anggota DPR.

“Berapakah biaya seluruhnya kedatangan Presiden Sukarno dengan rombongannya sewaktu di Bojonegoro?”  

“Berapakah dari biaya seluruhnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat?”  

“Benarkah bahwa rakyat dalam Keresidenan Bojonegoro dibebani sokongan Rp65.000 guna menutupi perongkosan?”

Menghadapi pemilu 1955. KH Misbach mengumpulkan anggota Masyumi Cabang Blimbing, Lamongan. (Repro 80 Tahun K.H Misbach).

Kerelaan Berkorban

Kunjungan presiden dilakukan bertepatan dengan Hari Raya Iduladha. Dilansir koran Preangerbode, 9 Juli 1957, setelah menghadiri peringatan Iduladha di Lapangan Banteng Jakarta, presiden bertolak ke Surabaya didampingi putri-putrinya, Megawati, Rahmawati, dan Sukmawati. Dalam rombongan terdapat beberapa pejabat dan menteri seperti Menteri Penerangan Soedibjo, Menteri Negara Urusan Veteran Chaerul Saleh, dan Menteri Urusan Tenaga Rakyat Anak Marhaen Hanafi.  

Dari Surabaya, rombongan melanjutkan perjalanan ke Bojonegoro dengan mobil. Perjalanan memakan waktu lebih lama dari rencana karena harus memenuhi keinginan masyarakat yang menghadang di Gresik, Lamongan, Babat, dan Sumberejo. Di tempat-tempat ini presiden mengingatkan masyarakat bahwa tujuan perjuangan Indonesia hanya dapat dicapai dengan semangat persatuan dan gotong royong.

Sesampai di Bojonegoro sore hari, presiden menghadiri rapat akbar di Alun-alun Bojonegoro. Dalam pidatonya, presiden menyatakan kepuasannya bahwa rakyat memperjuangkan persatuan, kecuali beberapa kelompok pemimpin yang tidak menginginkan persatuan.  

“Saya akan terus menekankan persatuan dan gotong royong sampai saya meninggal dunia,” kata Presiden Sukarno.

Malam harinya, presiden menghadiri acara peringatan Iduladha di Masjid Agung. Pada kesempatan ini dia menghimbau seluruh rakyat untuk rela berkorban, bukan hanya untuk keluarga tapi juga bangsa dan negara demi kejayaan bangsa.  

Sukarno menyampaikan keteladanan Nabi Muhammad. Alih-alih menunggu Allah memberikan apa yang dijanjikan, Nabi melakukan segala daya dan pengorbanan untuk mewujudkan janji Allah. Dan sebagai umat ​​Islam dan bangsa, kita tak boleh puas dengan pengorbanan yang sudah ditumpahkan.

“Manusia pada dasarnya malas, tapi kita harus melawan sifat ini. Kita tidak boleh mudah puas dengan apa yang telah kita capai. Sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara besar menemui ajalnya karena masyarakatnya sudah puas dengan hasil yang dicapai dan tidak mau berkorban lebih jauh lagi untuk negara,” ujar Presiden Sukarno.

Keesokan harinya, di hadapan pejabat sipil dan militer setempat serta perwakilan partai politik dan organisasi, Presiden Sukarno menyampaikan mengenai pencanangan Gerakan Hidup Baru, yang akan dimulai pada peringatan 12 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.  

Presiden Sukarno, kutip Java Bode 10 Juli 1957, meminta para pemimpin dan pejabat pemerintah melaksanakan gerakan ini secara luas serta mendorong masyarakat untuk melakukan revolusi mental. Tujuannya adalah menjadi pribadi baru, memiliki semangat baru, untuk mencapai cita-cita menuju terbentuknya masyarakat sosialis.

Presiden dan rombongan kemudian kembali ke Surabaya dan melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

Arsip-arsip terkait pertanyaan KH Misbach soal kunjungan Presiden Sukarno di Bojonegoro tersimpan dalam Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri Tahun 1950-1959 Jilid II No. 2344.

Penarikan Sumbangan

Surat Misbach mendapat respons dari pemerintah. Demi memperoleh bahan-bahan yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan Misbach, Wakil Perdana Menteri II Idham Chalid mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri dan Direktur Kabinet Presiden tertanggal 11 September 1957. Permintaan tersebut kemudian turun ke bawah.

Menteri Dalam Negeri Sanoesi Hardjadinata sudah mengambil inisiatif. Dia meminta penjelasan kepada Gubernur Jawa Timur Samadikoen dengan mengirim surat tanggal 21 Agustus 1957.  

Karena mendapatkan tembusan, Residen Bojonegoro M. Moesigit Dirdjoprawiro melaporkan perihal kunjungan presiden dalam surat kepada gubernur tertanggal 9 September 1957. Dia membenarkan adanya penarikan sumbangan dari penduduk yang mampu, terutama Tionghoa.

Penarikan dilakukan oleh panitia pemerintah yang diketuai residen dan seizin pihak berwajib. Dia beralasan biaya yang diterima dari Kantor Gubernur sebesar Rp5.000 tidak mencukupi. Alasan lainnya agar penyambutan Tamu Agung tidak mengecewakan.  

“Lagi pula berhubung dengan suasana pada dewasa ini dipandang perlu diadakan penghormatan yang sesuai dengan kedudukan Kepala Negara, demi untuk kewibawaan/gezag pemerintah pusat.”

Sumbangan kemudian disalurkan ke bupati-bupati di dalam Keresidenan Bojonegoro. Rinciannya: Bojonegoro memperoleh Rp27.885,50, Tuban sebesar Rp29.127,50, dan Lamongan sebesar Rp20.000. Jumlah keseluruhan Rp77.013. Biaya penyambutan presiden menghabiskan dana Rp59.727,80. Adapun sisanya dibagikan ke tiga kabupaten tersebut untuk biaya perayaan 17 Agustus dan sebagainya.

Setelah memperoleh laporan dari residen, Gubernur Jawa Timur Samadikoen memberikan penjelasan kepada menteri dalam negeri dalam surat tanggal 23 September 1957. Disertakan pula laporan dari residen Bojonegoro.

Samadikoen menjelaskan, untuk kunjungan presiden, Kantor Gubernur memperoleh otorisasi sebesar Rp8.000. Untuk residen Bojonegoro diberikan uang muka Rp5.000, belum termasuk uang harian supir dan biaya bensin yang dikeluarkan para pejabat. Setelah dijumlah ternyata pengeluaran mencapai Rp9.296,58.  

Samadikoen menjelaskan panjang-lebar mengenai kesulitan yang dihadapi daerah-daerah dalam menyambut kunjungan presiden, sementara hanya sebagian kecil dana yang diterima dari Kementerian Dalam Negeri.  

Otorisasi bersifat tetap dan hanya bisa diterbitkan kalau permohonan melampirkan tanda bukti pengeluaran. Kementerian Dalam Negeri sering tak menyetujui pengeluaran-pengeluaran tambahan, meskipun sudah diberikan bukti pengeluaran yang ada kalanya merupakan permintaan rombongan Tamu Agung. Karena itu timbul usaha mencari sendiri kekurangan itu.

“Tidak hanya di Bojonegoro ini saja untuk pertama kali kami dengar ada usaha pengumpulan uang untuk menyambut PJM Presiden, akan tetapi rupanya baru kali ini menarik perhatian seorang anggota Parlemen.”  

Samadikoen pun memberikan alternatif. Daerah diperbolehkan menutupi kekurangan dana dari pemerintah dengan usaha sendiri. Kalau ini tidak dibenarkan, jalan keluarnya: pemerintah pusat menanggung seluruh keuangan dan/atau tidak mengadakan rapat raksasa dan lain-lain yang tidak dapat dibiayai oleh keuangan pemerintah.

“Soal ini bukan soal baru, akan tetapi karena peliknya kita sebetulnya segan untuk mempersoalkannya.” Samadikoen berharap Kementerian Dalam Negeri memecahkan persoalan ini secara definitif, “jangan hanya membatasi diri dengan menjawab pertanyaan Sdr. KH Misbach seperlunya.”

Salah satu acara dalam kunjungan Presiden Sukarno di Bojonegoro tahun 1957. (Perpusnas RI).

Hasrat Rakyat

Atas dasar penjelasan dari gubernur Jawa Timur, Menteri Dalam Negeri Sanoesi Hardjadinata mengirikan surat kepada perdana menteri tertanggal 1 November 1957. Isinya bahan-bahan yang diperlukan pemerintah untuk menjawab pertanyaan KH Misbach.

Sanoesi menjelaskan, biaya penyambutan Presiden Sukarno beserta rombongannya di Bojonegoro sebesar Rp64.805,90. Berdasarkan besarnya rombongan, program perjalanan, dan indeks-indeks yang biasa digunakan dalam menetapkan pemberian uang persediaan untuk penerimaan tamu negara, Kementerian memberikan otorisasi sebesar Rp8.000 dan mendapat persetujuan dari Kabinet Presiden.

Sanoesi menambahkan, selain pengeluaran yang dibiayai oleh sumbangan rakyat, gubernur Jawa Timur telah meminta tambahan kredit dari pemerintah pusat sebesar Rp1.296,58. Sebab, pengeluaran yang hendak dibebankan kepada pemerintah pusat berjumlah Rp9.296,58.

Sanoesi membantah rakyat Bojonegoro dibebani sokongan Rp65.000 untuk menutup perongkosan. Yang terjadi, rakyat Bojonegoro ingin menyambut kunjungan dengan spontan dan meriah dan berusaha mengisi kekurangan biaya tanpa membebani diri.

Bahan-bahan yang diberikan menteri dalam negeri itulah yang kemudian dipakai Idham Chalid untuk menjawab pertanyaan KH Misbach dalam suratnya kepada ketua DPR tertanggal 10 September 1958.

Idham Chalid juga menyampaikan, mengingat keuangan negara, pemerintah belum bisa membiayai segala pengeluaran yang timbul dari hasrat rakyat karena tak dapat diketahui batasnya. “Pengalaman sampai sekarang menunjukkan bahwa hasrat rakyat untuk memeriahkan penyambutan Tamu Agung senantiasa meluap-luap."

Hak bertanya KH Misbach terpenuhi.

Misbach mengarungi dunia politik dalam situasi yang panas. Menyusul Dekrit Presiden 5 Juli 1959, DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan oleh Presiden Sukarno yang kemudian memperbarui susunan DPR. Misbach dipilih kembali dan diambil sumpahnya pada 23 Juli 1959. Namun, DPR kembali dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada Maret 1960 dan digantikan DPR-Gotong Royong.  

Partainya, Masyumi, mengalami nasib pembubaran enam bulan kemudian karena keterlibatan tokoh-tokohnya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Misbach kemudian fokus di dunia dakwah dan badan-badan keagamaan.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
666cdfcfedb3542160d8bc89