Soedarpo Sastrosatomo bersama Sultan Hamengkubuwono IX di Amsterdam, Belanda, 1970. (Repro Against The Currents: A Biography of Soedarpo Sastrosatomo).
Aa
Aa
Aa
Aa
SUMITRO Djojohadikusumo tak senang dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di bidang ekonomi. Salah satunya penunjukan De Javasche Bank sebagai bank sentral.
“Saya menginginkan agar BNI (Bank Negara Indonesia) menjadi bank sentral, itu adalah bank kita sendiri,” ujarnya kepada The Kian Wie dalam Pelaku Berkisah.
BNI –sekarang bernama BNI 1946– didirikan Margono Djojohadikusumo, ayahnya, di awal kemerdekaan. Margono pula yang ditunjuk jadi presiden direkturnya.
Nasionalisme ekonomi Sumitro kemudian dicurahkan ketika menjabat menteri perdagangan dan perindustrian dalam Kabinet Natsir. Pada April 1951 Sumitro mengumumkan Rencana Urgensi Perekonomian untuk mengembangkan industri nasional dan mengurangi ketergantungan pada ekonomi asing. Salah satunya melalui pemberian bantuan modal bagi pengusaha bumiputera, yang lebih dikenal sebagai “Program Benteng”.
SUMITRO Djojohadikusumo tak senang dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di bidang ekonomi. Salah satunya penunjukan De Javasche Bank sebagai bank sentral.
“Saya menginginkan agar BNI (Bank Negara Indonesia) menjadi bank sentral, itu adalah bank kita sendiri,” ujarnya kepada The Kian Wie dalam Pelaku Berkisah.
BNI –sekarang bernama BNI 1946– didirikan Margono Djojohadikusumo, ayahnya, di awal kemerdekaan. Margono pula yang ditunjuk jadi presiden direkturnya.
Nasionalisme ekonomi Sumitro kemudian dicurahkan ketika menjabat menteri perdagangan dan perindustrian dalam Kabinet Natsir. Pada April 1951 Sumitro mengumumkan Rencana Urgensi Perekonomian untuk mengembangkan industri nasional dan mengurangi ketergantungan pada ekonomi asing. Salah satunya melalui pemberian bantuan modal bagi pengusaha bumiputera, yang lebih dikenal sebagai “Program Benteng”.
“Saya tidak punya khayalan tentang apa yang mungkin terjadi, tapi saya pikir, kalau kita memberikan bantuan kepada sepuluh orang, tujuh bisa saja ternyata parasit, tetapi kita bisa mengharapkan yang tiga menjadi pengusaha,” ujar Sumitro.
Baik BNI maupun Program Benteng kemudian menjadi sarana partai politik, yang berkuasa, untuk mengumpulkan dana dan mengkosentrasikan kekuatan ekonomi.
Bisnis Partai
Sebagai bank pemerintah, BNI memberikan kredit kepada golongan pedagang, khususnya importir dan eksportir. BNI juga mendirikan badan-badan usaha; beberapa di antaranya dikaitkaitkan dengan PSI. Misalnya NV Putera yang didirikan dalam rangka Program Benteng.
NV Putera ditunjuk menangani impor kendaraan pesanan pemerintah. NV Putera lalu menggandeng Zoro Corporation milik Matthew Fox, taipan film Hollywood yang dekat dengan Sumitro dan Soedarpo Sastrosatomo, direktur Zoro. Kedua perusahaan sepakat membentuk pabrik perakitan mobil NV Indonesian Service Company (ISC) pada Oktober 1950. Tan Po Goan, politisi PSI, jadi presiden direkturnya.
Isu dominasi orang PSI pun berembus. Dampaknya, ISC tak berjalan lancar sehingga tak mampu membayar cicilan kepada BNI. Sekira Agustus 1951, Margono menawarkan Hasjim Ning, yang sudah punya perusahaan Jakarta Motor Coy (JMC), untuk menggantikan Tan Po Goan. Kehadiran Hasjim diharapkan meredakan isu PSI.
“Isu PSI itu cukup ampuh untuk dijadikan bahan kampanye anti-ISC di kalangan orang-orang partai lain yang cemburu dan cemas pada serba kemungkinan yang akan dicapai oleh ISC nantinya,” ujar Hasjim Ning dalam otobiografinya yang ditulis A.A. Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Tapi isu bukan isapan jempol semata. “Selama periode dominasi PSI di dalam BNI, ISC mampu, bersama sejumlah perusahaan swasta PSI, mengamankan kontrak-kontrak impor pemerintah yang penting,” tulis Richard Robinson dalam Indonesia: The Rise of Capital. Dan ini kemudian dipersoalkan parlemen.
Untuk meredamnya, Hasjim berupaya agar ISC punya badan hukum tersendiri, lepas dari Zoro dan Putera. Karena pengkritik utamanya adalah PNI, Hasjim mengundang Sukarno untuk mengunjungi pabrik di Tanjung Priok. Sukarno datang sekali dan “itu sudah cukup bagiku untuk meredam isu PSI atas ISC tersebut.”
Namun tudingan terhadap PSI bukan hanya ditujukan pada ISC tapi juga perusahaan lainnya.
Mosi Tak Percaya
Di tengah konflik internal pemimpin Angkatan Darat, di parlemen berembus isu pengaruh PSI dalam Kementerian Pertahanan. Bahkan, pada September 1952, sebuah mosi tidak percaya diajukan Zainul Baharuddin, ketua Seksi Pertahanan Parlemen, dan Bebasa Daeng dari sayap kiri partai nasionalis kecil, Partai Rakyat Nasional (PRN). Mosi itu menuduh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX menunjuk NV Wibowo Corporation dan NV Soedarpo Corporation untuk melakukan pembelian perlengkapan bagi seluruh angkatan bersenjata. Kedua perusahaan itu milik orang yang dekat dengan PSI, Wibowo dan Soedarpo Sastrosatomo.
Menurut Rosihan Anwar dalam Against The Currents: A Biography of Soedarpo Sastrosatomo, Wibowo, seorang mantan tentara dan diplomat, memulai bisnis dengan mendirikan PT Asosiasi Perdagangan Internasional (API), yang memperdagangkan barang-barang modal Jerman. Dia juga agen Bofors dan penasihat Oerlikon, pabrikan senjata Swedia dan Swiss.
Sementara Soedarpo, setelah mundur dari Zoro, mendirikan perusahaan ekspor-impor Soedarpo Corporation untuk mendapatkan lisensi Benteng. Dia adik Soebadio Sastrosatomo dan dikenal dekat dengan Sultan.
Sultan membantah dan menyatakan tuduhan tersebut tak beralasan. Surat kabar Pedoman, yang dekat dengan PSI, juga membela. Dalam editorial 8 Oktober 1952 bertajuk “Tjara2 kolonial”, Pedoman menyebut keterlibatan PSI dalam dunia usaha tidak pernah merupakan campur tangan langsung. Tapi, itu dilakukan sejumlah orang PSI yang sudah menonjol di dunia bisnis, yang merupakan saudara kandung, saudara ipar, atau punya hubungan dekat dengan para pemimpin PSI.
Kendati tak disebut dalam mosi, Idham dan Roestam Moenaf juga orang PSI yang dekat dengan kalangan militer. Idham, mantan diplomat, bekerja sebagai konselor di Sekjen Kementerian Pertahanan pada 1951–1954. Atas perintah Ali Budiardjo, dia dikirim untuk misi pembelian peralatan militer. Sedangkan Roestam adalah ajudan Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Atas persetujuan Simatupang, dia mengundurkan diri untuk jadi agen pabrikan senjata Oerlikon (Swiss), Carl Gustav (Swedia), dan Winchester (AS).
Pengaruh PSI dalam Kementerian Pertahanan terus jadi bulan-bulanan. Ia ikut memanaskan perseteruan parlemen dan militer yang berujung tuntutan militer kepada Presiden Sukarno untuk membubarkan parlemen pada 17 Oktober 1952.
Bertahan
Meneruskan hobi di Washington, Soedarpo bergabung dengan sebuah klub golf di Jakarta. Dia biasa main di lapangan Rawamangun. Sembari olahraga, sesekali dia melakukan negosiasi bisnis.
Pada 1953, Soedarpo menerima tawaran untuk mengambil alih Indonesian Shipping and Transport Agency (ISTA), perusahaan lokal milik Belanda. Modal dihimpun lewat leverage; dua pertiga dari uang yang disisihkannya dan keuntungan dagang, sepertiganya lagi berasal dari Sultan. Soedarpo kemudian mendirikan PT Samudera Indonesia.
Tak lama kemudian datang tawaran menjadi mitra perusahaan asuransi Nationale Nederlanden 1835. Soedarpo setuju dan bersama rekan-rekannya mendirikan perusahaan Asuransi Bintang. Menurut situs resminya, perusahaan ini didirikan 17 Maret 1955 oleh Soedarpo Sastrosatomo, Idham, Wibowo, Panglaykim, Ali Budiardjo, Roestam Moenaf, J.R. Koesman, dan Ismet. Idham jadi direkturnya.
Sadar bisnis asuransi tak menghasilkan banyak uang, Wibowo menggagas pendirian sebuah bank. Sumitro dan Panglaykim mendukung. Namun kesulitan menghadang: bagaimana mendapatkan lisensi perbankan dari Bank Indonesia. “Untunglah Sumitro waktu itu menjabat menteri keuangan, dan itu membuat kesulitan tersebut sedikit lebih mudah diatasi,” ujar Soedarpo kepada Thee Kian Wie dalam Pelaku Berkisah.
Pada September 1955, Bank Niaga didirikan. Idham jadi direktur utamanya.
Menurut Jus Soema Di Pradja, anak anggota Dewan PSI, Makmun Soemadipradja, beberapa perusahaan yang didirikan anggota PSI itu memang mendapat sokongan Sumitro. Tujuannya, “untuk membiayai orang-orang PSI.” Sayangnya, skenario ini tak berjalan mulus. Beberapa orang PSI tetap terlantar. “Hanya Wibowo yang habis-habisan,” ujar peneliti sosial Fajar Pramono.
Samudera Indonesia, Bank Niaga (kemudian merger dan berubah jadi CIMB Niaga), dan Asuransi Bintang masih bertahan melewati pergantian kekuasaan, hingga kini.*