Kerajaan Blambangan melawan dominasi dan agresi kerajaan Mataram Islam dan VOC. Konflik internal membuat VOC dengan mudah menaklukkan kerajaan Hindu terakhir di Jawa ini.
Kunjungan Asisten Residen Banyuwangi ke sisa-sisa reruntuhan Kuil Macan Putih, peninggalan kerajaan Blambangan, tahun 1852.
Aa
Aa
Aa
Aa
BLAMBANGAN kerap dianggap sebagai negeri antah berantah. Keberadaan kerajaan Hindu terakhir di Jawa ini lebih sering hadir dalam roman, tradisi oral, dan tulisan lokal (babad). Melalui karya ini, untuk meraih gelar PhD di Universitas Leiden, Belanda, Sri Margana menunjukkan peranan penting Blambangan dalam menentang dominasi dan agresi kerajaan Islam Mataram dan Kongsi Dagang Belanda (VOC).
Kerajaan Blambangan di ujung timur Jawa berkembang bersamaan dengan kerajaan Majapahit. Setelah keruntuhan Majapahit pada abad ke-15, menurut Sri Margana, Blambangan berdiri sebagai satu-satunya kerajaan Hindu di Jawa yang mengontrol bagian terbesar wilayah ujung timur Jawa (wilayah ini sekarang terbagi dalam lima kabupaten: Banyuwangi, Jember, Lumajang, Bondowoso, dan Situbondo).
Blambangan kemudian diperebutkan kerajaan Mataram Islam dan kerajaan Hindu (Gelgel, Buleleng, dan Mengwi) di Bali. Kerajaan-kerajaan di Bali ingin menjadikan Blambangan sebagai wilayah antara untuk melawan ekspansi Mataram Islam dan penyokong ekonomi Bali. Sementara Mataram menginginkannya sebagai bentuk kekuasaan penuh atas Pulau Jawa. Pada akhirnya Blambangan berada di bawah hegemoni Bali sejak 1697–1764.
BLAMBANGAN kerap dianggap sebagai negeri antah berantah. Keberadaan kerajaan Hindu terakhir di Jawa ini lebih sering hadir dalam roman, tradisi oral, dan tulisan lokal (babad). Melalui karya ini, untuk meraih gelar PhD di Universitas Leiden, Belanda, Sri Margana menunjukkan peranan penting Blambangan dalam menentang dominasi dan agresi kerajaan Islam Mataram dan Kongsi Dagang Belanda (VOC).
Kerajaan Blambangan di ujung timur Jawa berkembang bersamaan dengan kerajaan Majapahit. Setelah keruntuhan Majapahit pada abad ke-15, menurut Sri Margana, Blambangan berdiri sebagai satu-satunya kerajaan Hindu di Jawa yang mengontrol bagian terbesar wilayah ujung timur Jawa (wilayah ini sekarang terbagi dalam lima kabupaten: Banyuwangi, Jember, Lumajang, Bondowoso, dan Situbondo).
Blambangan kemudian diperebutkan kerajaan Mataram Islam dan kerajaan Hindu (Gelgel, Buleleng, dan Mengwi) di Bali. Kerajaan-kerajaan di Bali ingin menjadikan Blambangan sebagai wilayah antara untuk melawan ekspansi Mataram Islam dan penyokong ekonomi Bali. Sementara Mataram menginginkannya sebagai bentuk kekuasaan penuh atas Pulau Jawa. Pada akhirnya Blambangan berada di bawah hegemoni Bali sejak 1697–1764.
Meski demikian, Mataram tetap mengklaim kekuasaannya atas Pulau Jawa. “Pada 1743, Raja Pakubuwana II dari Mataram menyerahkan Java’s Oosthoek (dari sebelah timur Malang sampai Banyuwangi), termasuk Blambangan, kepada VOC,” tulis Sri Margana.
Penyerahan wilayah ini dilakukan sebagai balasan atas pengembalian takhtanya yang sempat diganggu pemberontak. Namun, VOC justru menelantarkan Java’s Oosthoek. Pemerintah Kompeni di Batavia (Hoge Regering) menolak pembukaan pelabuhan baru di Blambangan. Setelah Kongsi Dagang Inggris (EIC) berupaya membuka kantor dagang di Blambangan, barulah pada 1767 Hoge Regering mengirimkan tentara untuk melakukan kontrol administratif.
Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan karya Sri Margana. (Pustaka Ifada, 2012, xviii+364 halaman).
Pemberontakan
Ancaman tak hanya datang dari EIC. Perlawanan atas pembagian negara di Jawa lantas pecah di kawasan Jawa Timur. Pemberontakan Singasari dan Surapati membuat VOC harus melakukan kampanye militer ke ujung Timur Jawa. Pada 1768, Malang dan Lumajang jatuh ke tangan VOC setelah para pemberontak menyerah.
Di Blambangan terjadi perlawanan dari Agong Wilis, pangeran Blambangan yang kembali dari pengasingan. Dia mendapat dukungan dari penduduk luas serta komunitas Bugis, Melayu, Sumbawa, dan Cina. Tapi perlawanan ini diwarnai konflik internal sehingga VOC dengan mudah menaklukkan mereka. Para pemimpin perlawanan ditangkap dan dibuang ke Pulau Edam, Onrust, Banda, dan Malabar.
VOC lalu memberikan kepercayaan kepada elite-elite lokal Blambangan sampai akhirnya pecah perlawanan dari Bupati Sutanagara. Perlawanan ini membuat VOC mendatangkan elite Jawa dari Surabaya untuk mengendalikan administrasi. Kebijakan ini justru menimbulkan perlawanan Jagapati atau disebut sebagai Pemberontakan Rempeg pada 1771–1773 yang dipicu sentimen religius dan etnis. Setelah persoalan ini dapat dikendalikan, VOC melakukan reorganisasi administrasi di Blambangan. Ibu kota Blambangan direlokasi ke Banyuwangi.
Sri Margana menunjukkan peranan penting Blambangan dalam menentang dominasi dan agresi kerajaan Islam Mataram dan Kongsi Dagang Belanda (VOC).
Konflik yang terjadi di Blambangan mengganggu aktivitas perdagangan. Terlebih setelah pelabuhan utama Blambangan, Ulupampang, dibiarkan telantar karena menyebarkan wabah penyakit. Terjadilah perubahan jaringan perdagangan regional di sekitar Selat Bali. Pedagang Bugis, Mandar, Wajo, Bali, Cina, Sumbawa, dan Melayu memilih Pulau Nusa Barong, di selatan Jember, sebagai pelabuhan alternatif. Tempat ini pun menjadi basis para pedagang untuk melawan monopoli Kompeni. Sadar ancaman Nusa Barong, Kompeni melakukan ekspedisi militer dan menguasai pulau ini pada 1777.
Untuk meredakan perlawanan rakyat Blambangan, selama proses transisi VOC bekerja sama dengan penguasa Islam di Jawa. Agenda VOC adalah mempertahankan kepentingan ekonomi-politik sementara agenda sekutu Islamnya mewujudkan dunia Islam di Jawa. Agenda mereka disatukan kesamaan kepentingan: mempertahankan keseimbangan kekuasaan di Jawa.
Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, penulis buku Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan. (Riyono Rusli/Historia.ID).
Integrasi
Proses integrasi Blambangan di bawah hegemoni VOC berjalan alot lantaran kerajaan ini memiliki berbagai gejolak politik, sosial, jaringan kuat pedagang pribumi dan Cina, serta akar Hindu yang kokoh. Sri Margana menulis bahwa pendudukan dan transformasi di ujung timur Jawa dari kawasan “liar” menjadi kawasan ekonomi maju dan pembentukan negara kolonial membutuhkan biaya lebih tinggi dan waktu lebih lama jika dibandingkan kawasan kekuasaan VOC lainnya.
Sri Margana mengungkapkan, “Pendudukan VOC di Blambangan menunjukan bahwa di wilayah ini masyarakat Islam Jawa dan Madura memainkan peran sentral dalam ekspansi Belanda di Ujung Timur Jawa. Sebaliknya, justru komunitas Hindu memberikan perlawanan terhadap Belanda.” Kolaborasi VOC dan sekutunya dalam menduduki Blambangan kemudian mengeliminasi elemen Hindu-Bali di Blambangan.
VOC runtuh. Kekuasaannya atas wilayah-wilayah di Nusantara kemudian diambil alih Inggris pada masa transisi di awal abad ke-19. Pada masa ini muncul peranakan Cina di bidang ekonomi dan politik. Mereka memainkan peranan penting dalam roda perekonomian Blambangan dan menjadi bagian dari administrasi lokal. Kemunculan mereka memicu konflik etnis hingga pecah kerusuhan sosial di Probolinggo, dan daerah bagian barat Blambangan lainnya. Inilah bagian akhir buku ini. Sri Margana, dalam kata pengantar, berjanji melanjutkan kajian tentang Blambangan dalam 2 jilid buku berikutnya. Mari kita tunggu, episode lain tentang sebuah negeri yang tak lagi entah berantah ini.*