Bong Supit Bogem

Sebuah dusun di Yogyakarta jadi trade mark usaha jasa khitan sejak puluhan tahun lalu hingga kini. Mengkhitan semua kalangan hingga keraton dan Cendana.

OLEH:
Aryono
.
Bong Supit BogemBong Supit Bogem
cover caption
Prosesi khitanan putra mahkota Sultan Hamengkubuwono VII di alun-alun utara Yogyakarta tahun 1920. (Kassian Cephas/Tropenmuseum).

KETIKA hendak mengkhitankan anak lelakinya pada awal 1990-an, Daruni bersama suaminya mendatangi bong supit Bogem di daerah Kalasan, Prambanan, Yogyakarta. “Dalam alam pikir orang Yogya, jika ingin supit ya ke Bogem,” ujar Uni, panggilan akrab Daruni, merujuk juru khitan di dusun Bogem, tepatnya di Jalan Solo Km. 16 Kalasan, Sleman, Yogyakarta. 

Supit dalam bahasa Jawa berarti alat untuk menjepit atau khitan. Maka, bong supit berarti juru khitan. 

Setelah mendaftar, tak lama kemudian, putra Uni pun dipanggil masuk. Tak ingin melewatkan bagian penting dari ritus kedewasaan putranya, Uni ikut menemani. “Juru supitnya sabar. Dia terus mengobrol dengan anak saya. Dari soal sekolah hingga cita-cita. Sementara tangan si juru supit terus bekerja. Saya pikir, dengan mengobrol, perhatian si anak teralihkan dari proses khitan yang dijalaninya,” ujar Uni, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang juga salah satu pentolan Bengkel Tari Nini Thowok. 

Tak sampai seperempat jam, proses khitan selesai. “Anak saya masuk ruang khitan memakai celana dan usai khitan pun mampu memakai celana. ‘Tidak sakit,’ kata anak saya,” ujar Uni.

KETIKA hendak mengkhitankan anak lelakinya pada awal 1990-an, Daruni bersama suaminya mendatangi bong supit Bogem di daerah Kalasan, Prambanan, Yogyakarta. “Dalam alam pikir orang Yogya, jika ingin supit ya ke Bogem,” ujar Uni, panggilan akrab Daruni, merujuk juru khitan di dusun Bogem, tepatnya di Jalan Solo Km. 16 Kalasan, Sleman, Yogyakarta. 

Supit dalam bahasa Jawa berarti alat untuk menjepit atau khitan. Maka, bong supit berarti juru khitan. 

Setelah mendaftar, tak lama kemudian, putra Uni pun dipanggil masuk. Tak ingin melewatkan bagian penting dari ritus kedewasaan putranya, Uni ikut menemani. “Juru supitnya sabar. Dia terus mengobrol dengan anak saya. Dari soal sekolah hingga cita-cita. Sementara tangan si juru supit terus bekerja. Saya pikir, dengan mengobrol, perhatian si anak teralihkan dari proses khitan yang dijalaninya,” ujar Uni, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang juga salah satu pentolan Bengkel Tari Nini Thowok. 

Tak sampai seperempat jam, proses khitan selesai. “Anak saya masuk ruang khitan memakai celana dan usai khitan pun mampu memakai celana. ‘Tidak sakit,’ kata anak saya,” ujar Uni.

Bong supit Bogem didirikan Barimin, atau lebih dikenal dengan nama Notopandoyo, pada 1939 namun hingga kini masih melayani ratusan anak lelaki, bahkan dewasa, yang berkhitan. “Selama masih ada bayi laki-laki yang lahir, bong supit Bogem akan terus buka,” ujar Bardo Djumeno, 59 tahun, putra kelima Notopandoyo.

Notopandoyo, pendiri bong supit Bogem di Kalasan, Yogyakarta tahun 1939. (Dok. Basuki Harjono).

Ciri Khas

Bogem, sebuah dusun yang terletak di kelurahan Taman Martani, Sleman, Yogyakarta, adalah asal leluhur Notopandoyo. “Dulu, Bogem ini setingkat kelurahan. Nah, adik kakek saya lurah Bogem. Sekarang Bogem menjadi dusun yang berada dalam lingkungan kelurahan Taman Martani,” ujar Bardo, penerus Notopandoyo yang menekuni pekerjaan notaris. Bardo juga seorang bong supit, belajar dari ayahnya sejak 1963 setelah dia dikhitan. Kini dia meneruskan usaha ayahnya. 

Notopandoyo muda sejak awal tertarik pada dunia kesehatan. Dia lalu mengembangkannya dengan belajar kepada seorang bong supit keraton Yogyakarta, Raden Penewu Sutadi Hadiwiyoto. Dari situlah dia mendapatkan ilmu melakukan khitan. 

Khitan sudah dikenal lama dan meluas di masyarakat Nusantara. Pada 1885, G.A. Wilken, etnolog berkebangsaan Belanda, menerbitkan sebuah artikel bertajuk “De besnijdenis bij de volken van den Indischen Archipel” mengenai tradisi khitan di Nusantara. Setelah melakukan penelitian di sejumlah masyarakat adat, tulis Nico Kaptein dalam “Circumcision In Indonesia: Muslim or Not”, terangkum dalam Pluralism and Identity: Studies in Ritual Behaviour yang disunting Jan G. Platvoet dan Karel van der Toorn, Wilken berkesimpulan bahwa tradisi ini adalah budaya asli Nusantara dan telah ada jauh sebelum Islam datang. Pendapat Wilken kemudian diperkuat B.J.O. Schrieke (1890–1945) yang menjelaskan bahwa artefak pra-Islam yang disimpan di Museum Nasional Jakarta menggambarkan alat kelamin laki-laki yang telah dikhitan. 

Khitan juga diyakini sudah dilakukan leluhur orang Jawa. Menurut Muhadjir Darwin dkk. dari Center for Population and Policy Studies, Universitas Gadjah Mada, dalam “Male And Female Genital Cutting: Among Yogyakartans and Madurans”, hasil penelitian selama Februari-April 2002, dalam tradisi Jawa ada dua macam khitan, yaitu tetakan (untuk lelaki) dan tetesan (untuk perempuan) yang berguna membuang sukerta atau kesialan. 

Dalam konsep mistisisme Jawa, anak yang memiliki sukerta akan menjadi mangsa Batara Kala. Tetakan dan tetesan dipandang sebagai salah satu cara untuk membebaskan diri dari sukerta yang dilakukan Batara Manikmaya, dewa yang bertanggung jawab menghilangkan sukerta. Hasil dari tetakan dan tetesan kemudian dihanyutkan di laut atau dibakar. Sebuah ritual slametan kemudian menyertainya. 

Namun, khitan juga bukan khas Indonesia. Di berbagai budaya di belahan dunia mengenal praktik ini. Termasuk juga bangsa Semit (Arab dan Israel). Islam kemudian mengadopsinya untuk meneguhkan keislaman seseorang. Praktik ini juga mengikuti langkah Ibrahim, leluhur para nabi, yang diyakini melakukan khitan. 

Tradisi khitan di Nusantara telah ada jauh sebelum Islam datang. Islam kemudian mengadopsinya untuk meneguhkan keislaman seseorang.

Di Jawa, bong supit bukan profesi sembarangan. Menurut Harmanto Bratasiswara dalam Bauwarna: Adat Tata Cara Jawa, seorang bong supit harus memiliki keahlian khusus yang mumpuni dan banyak pengalaman. 

Menurut Muhadjir Darwin dkk., mulanya khitan dilakukan seorang dukun sunat dengan menggunakan buluh bambu. Untuk mencegah infeksi, si dukun mengunyah daun lamtoro (leucaena glauca) dan menempelkannya pada luka. Teknik tersebut kemudian dikembangkan para bong supit, terutama di Yogya, dengan nama dorsumsisi

Teknik dorsumsisi adalah teknik khitan dengan cara memotong preputium (kulup) pada bagian dorsal (bagian yang tampak saat penis tidak ereksi) pada jam 12 sejajar sumbu panjang penis ke arah proksimal (bagian atas ke arah perut), kemudian dilakukan pemotongan sirkuler ke kiri dan ke kanan sejajar sulcus coronarius (lubang yang terletak di kepala penis). “Dorsumsisi pada model juru supit Bogem yaitu ditimpal, diambil atasnya,” jelas Bardo. 

Untuk peralatan, mereka tak lagi menggunakan bambu, melainkan beralih ke pisau, gunting, kapas, obat bius, dan antibiotik pencegah infeksi. “Selain belajar kepada Sutadi, untuk menambah wawasan soal khitan, bapak juga banyak berkomunikasi soal medis kepada para dokter Belanda yang praktik di Yogya kala itu,” ujar Bardo.

Maklum, selama masa kolonial, praktik dukun sunat mendapat perhatian, mengingat risikonya bagi kesehatan pasien. Bahkan, seperti dikutip Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market, ada seorang dukun yang dihukum tiga bulan kerja paksa karena memotong terlalu besar bagian penis selama praktik sunat. Beberapa dokter bumiputra yang pragmatis pun menyarankan rekan-rekannya agar memantau dukun selama mengkhitan; memastikan kedua tangan mereka dan bidang bedah bersih serta penis anak yang disunat sudah diperiksa kemungkinan adanya kelainan. 

Kendati demikian, praktik tradisional masih dilakukan sejumlah bong supit di Yogya. Setidaknya menurut penuturan seorang bong supit di Bantul. “Penggunaan metode medis oleh bong supit di Yogyakarta dimulai pada 1940-an selama pendudukan Jepang. Saat itu pendidikan medis mulai diterima di antara dukun laki-laki,” kutip Muhadjir Darwin dkk. 

Hasil khitan model Bogem, menurut Bardo, memiliki ciri khas: ada kulit yang disisakan, yang akan berguna ketika si laki-laki menikah. “Ibarat melaju di jalan tol yang mulus, akan bikin ngantuk, maka dibuatlah semacam polisi tidur supaya tidak ngantuk pengendaranya. Analoginya semacam itu,” ujar Bardo sambil terkekeh. 

Generasi penerus bong supit Bogem. Kiri-kanan: Soetomo, Bardo Djumeno, Notopandoyo, Surani, Budi Harjanto, dan Basuki Harjono. (Dok. Basuki Harjono).

Dari Keraton Hingga Cendana 

Notopandoyo membuka praktik secara mandiri pada 1939 setelah gurunya meninggal dunia. Namun dia menolak disebut bong supit. Dia lebih suka disebut sebagai juru supit. “Istilah bong memiliki arti makam Tionghoa. Bapak nggak mau. Maka beliau memilih disebut juru supit, ahli supit,” ujar Bardo.

Dua tahun setelah membuka praktik di Bogem, Notopandoyo meminang Surani, putri demang Kartowikoro, yang kelak memberikannya sembilan anak; lima perempuan dan empat lelaki. 

Bukan hanya ilmu. Notopandoyo juga mewarisi pasien-pasien Sutadi yang tersebar di Klaten, Solo, Boyolali, dan Temanggung. Banyak priayi keraton yang jadi pelanggan Sutadi juga tetap mempercayakan khitan anak-anak mereka kepada Notopandoyo. Sampai akhirnya dia diangkat sebagai bong supit keraton Yogyakarta. 

“Ada putra sultan Hamengkubuwono IX yang dikhitan bapak, namanya lupa, karena waktu itu saya masih kecil,” ujar Bardo. Menurut laporan Kompas, 16 Januari 1992, putra Mangkunegara VIII dari Solo juga dikhitankannya. 

Di masa revolusi, Notopandoyo tak hanya menjalankan profesinya sebagai juru supit tapi juga ikut merawat prajurit Republik yang terluka dan menangani urusan logistik. “Dari Barimin dan iparnya, logistik untuk Pasukan Gerilya Pelajar (PGP) kecil-kecilan ini dijamin,” tulis Achmadi Moestahal, bekas prajurit TKR, lulusan pondok pesantren Gontor yang dekat dengan pemimpin Nahdlatul Ulama, Idham Chalid, namun bersimpati pada komunisme, dalam memoarnya Dari Gontor Ke Pulau Buru.

Waktu itu bapak dipanggil ke Cendana untuk mengkhitankan cucu Pak Harto. Bapak pun sendika dawuh (mengiyakan) saja.

Saat serangan umum atas kota Yogyakarta, 1 Maret 1949, Notopandoyo membantu sektor timur yang dipimpin Mayor Sardjono. Di sinilah dia berkenalan dengan Gufran Dwipayana, asisten Soeharto dan kelak penulis biografi Soeharto. “Dari perkenalan tersebut, putra Pak Dwipayana melakukan khitan di tangan bapak,” ujar Badro. 

Ketenaran Notopandoyo tak tergerus waktu. Bogem, dusun kecil di tepi kali Opak, tetap ramai oleh pendatang luar kota dengan satu tujuan: khitan. Apa yang menjadi kunci keberhasilan Notopandoyo tersebut? 

“Memahami psikologi anak yang dikhitan. Memberi pandangan bahwa khitan itu tidak sakit, lalu mengajaknya mengobrol, nylimurke (mengalihkan perhatian) si anak saat dikhitan,” ujar Bardo. Alhasil, banyak anak tak menangis saat dipotong kulit kulupnya, namun meringis tanda bahagia. 

Berita dan cerita khitan tak sakit di Bogem menjalar hingga Cendana, tempat tinggal Presiden Soeharto. Hingga pada suatu hari, pada 1984, datang utusan dari keraton Yogyakarta ke Bogem menyampaikan pesan dari Cendana. “Waktu itu bapak dipanggil ke Cendana untuk mengkhitankan cucu Pak Harto. Bapak pun sendika dawuh (mengiyakan) saja,” kenang Bardo. 

Notopandoyo pun berangkat ke Jakarta. Di Cendana, selain Dandy Nugroho Endra Maryanto yang berusia 11 tahun, putra Siti Herdiyanti Rukmana atau Mbak Tutut sekaligus cucu pertama Soeharto, Notopandoyo juga mengkhitan sekitar 40 anak dari panti asuhan dan karyawan Cendana. 

Klinik Khitan Bogem cabang Jakarta. (Aryono/Historia.ID).

Di Tangan Pewaris

Tangan cekatan, kesabaran, dan keramahan menjadi modal Notopandoyo sebagai juru supit. Dari tangannya, tulis Kompas, Notopandoyo pernah mencapai rekor tertinggi mengkhitan 427 anak per hari pada 1980-an. Angka ini tak akan tertandingi juru khitan manapun. Kompas juga mencatat, dalam rentang waktu tiga tahun, 1989–1981, jumlah anak yang khitan di Bogem meningkat. “Himpunan angka selama tahun 1989 sebanyak 10.500 anak, 1990 (11.653 anak) dan tahun 1991 sekitar 13.000 anak,” tulis Kompas, 16 Januari 1992. 

Profesionalisme Notopandoyo di dunia khitan-mengkhitan sudah tak diragukan. Atas hal tersebut pula, pada 1977, dia menerima gelar kebangsawanan dari kesultanan Yogyakarta sebagai raden ngabehi. Penghargaan lain, catat Kompas, di antaranya sebelas tanda dan piagam penghargaan dari berbagai pihak, antara lain Menteri Agama, Kepala Staf Angkatan Udara, Korpri PT Petrokimia Gresik, dan Rumah Tangga Istana Yogyakarta. 

Sebelum meninggal dunia, Notopandoyo masih sempat mengkhitan Didiet Prabowo, putra pasangan Prabowo Subianto dan Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto), pada Desember 1991 di Cendana bersama 25 anak lainnya. 

Notopandoyo mengembuskan napas terakhir pada 14 Januari 1992, pada usia 76 tahun. Usahanya kemudian diteruskan keempat anak lelakinya: Soetomo, Bardo Djumeno, Budi Harjanto, dan Basuki Harjono. Bukan hanya bisa mempertahankan nama baik bong supit Bogem, mereka bahkan melebarkan sayap hingga ke Jakarta, tepatnya di Jalan Kiwi No. 1A Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur. Si bungsu, Basuki Harjono, juga pegawai Departemen Dalam Negeri, diserahi tugas mengelola usaha di Jakarta. 

Di Kalasan sendiri, juru supit Bogem buka setiap hari, kecuali Jumat. Tiga anak Notopandoyo berbagi tugas. “Hari Senin-Selasa, kakak saya pertama (Soetomo) yang praktik. Lalu Rabu-Kamis, adik laki-laki (Budi Harjanto). Jumat libur. Dan Sabtu-Minggu jatah saya praktik,” ujar Bardo. 

Soal biaya, Bardo segan mengutarakan. “Biaya khitan di Bogem terjangkau semua kalangan,” kata Bardo. 

Kendati kini usaha jasa khitan menjamur, Bardo Djumeno tak khawatir. “Justru sebaliknya, kami senang. Karena jika tidak ada yang lain, maka kami, juru supit Bogem, tak mampu menangani semuanya,” ujar Bardo. 

Bong supit Bogem telah bertahan selama puluhan tahun, membantu kaum lelaki menuju kedewasaan dengan khitan.*

Majalah Historia No. 14 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65226b81c1f7ae8fa66e1611