SUASANA nyaris gelap gulita. Dibutuhkan cahaya senter atau lampu kamera untuk menyesapi setiap kisah di balik relief maupun arca di dalam Candi Plaosan, Klaten, Jawa Tengah.
Di aula sebelah kiri Candi Palosan Kidul, terdapat sepasang arca Bodhisattva serta empat relief yang mengelilingi setiap dinding batunya. Ancah Yosi Cahyono, tenaga pembantu pemugaran Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X dengan wilayah kerja Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, menunjuk relief di sebelah kanan sepasang arca Bodhisattva yang menggambarkan tujuh figur.
Figur pertama mendeskripsikan seorang bangsawan. Tampak dari busana dan kelengkapan kerajaan, termasuk mahkota dan sangkur. Dua sosok lain, di atas sang bangsawan, menggambarkan hapsara-hapsari (dewa-dewi) melayang sambil membawa persembahan. Di sebelah bangsawan, ada dua figur membawa payung; yang satu terbuka, satunya lagi tertutup. Di bawahnya ada dua sosok lagi dengan sikap duduk bersila dengan sikap tunduk.
SUASANA nyaris gelap gulita. Dibutuhkan cahaya senter atau lampu kamera untuk menyesapi setiap kisah di balik relief maupun arca di dalam Candi Plaosan, Klaten, Jawa Tengah.
Di aula sebelah kiri Candi Palosan Kidul, terdapat sepasang arca Bodhisattva serta empat relief yang mengelilingi setiap dinding batunya. Ancah Yosi Cahyono, tenaga pembantu pemugaran Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X dengan wilayah kerja Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, menunjuk relief di sebelah kanan sepasang arca Bodhisattva yang menggambarkan tujuh figur.
Figur pertama mendeskripsikan seorang bangsawan. Tampak dari busana dan kelengkapan kerajaan, termasuk mahkota dan sangkur. Dua sosok lain, di atas sang bangsawan, menggambarkan hapsara-hapsari (dewa-dewi) melayang sambil membawa persembahan. Di sebelah bangsawan, ada dua figur membawa payung; yang satu terbuka, satunya lagi tertutup. Di bawahnya ada dua sosok lagi dengan sikap duduk bersila dengan sikap tunduk.
“Keempatnya kita tidak tahu apakah bisa dikategorikan sebagai budak, karena harus dijelaskan lebih dulu pengertian budak itu seperti apa,” ujar Yosi kepada Historia.ID.
Relief-relief lain yang terdapat di bangunan Candi Palosan Lor juga memperlihatkan penggambaran serupa.
Kompleks Candi Plaosan, yang terdiri atas Candi Plaosan Lor dan Kidul, merupakan candi Buddha yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dari Kerajaan Medang atau sering disebut Mataram Kuno.
Menurut Yosi, Candi Palosan berdiri sejak awal abad ke-8 pada masa peradaban Dinasti Syailendra. Masih satu zaman dengan Candi Ratu Boko di kawasan Prambanan dan Candi Borobudur di Magelang. Pada masa itu kerajaan Hindu-Buddha mengalami masa kejayaan.
“Bisa dilihat juga itu di relief-relief Candi Borobudur. Di situ ada capture (penggambaran) praktik-praktik perbudakan juga,” timpal Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Di Candi Borobudur terdapat sebuah relief yang menampilkan dua figur, yakni seorang gadis budak yang sedang memberikan sisa-sisa makanan kepada seseorang di sampingnya. Sayangnya tak bisa dideskripsikan lebih jauh karena kepala seseorang di samping budak itu terpotong.
Gambaran pada relief-relief candi menunjukkan bahwa perbudakan sudah dikenal dalam peradaban lama di Nusantara.
Budak Afrika
Di ruang laboratorium lantai tiga Gedung R. Soegondo Fakultas Ilmu Budaya Departemen Sejarah UGM terpajang replika kapal kayu nan megah. Replika sepanjang sekira satu meter itu menggambarkan dengan detail, baik cadik gandanya hingga tiang cucur dan layar tanja, serta rumah atas di dek lengkap dengan oculi atau ukiran mata.
“Ini salah satu replika yang tergolong kecil tapi lebih detail dari (replika) yang lain dalam menggambarkan kapal Borobudur seperti yang ada di reliefnya (Candi Borobudur),” ujar Sri Margana.
Kapal Borobudur, atau kadang dikenal sebagai kapal Samudera Raksa, jadi bukti kejayaan maritim bangsa Indonesia yang sudah mampu berlayar dari Nusantara sampai pesisir timur benua Afrika.
“Ya memang seperti kapal dagang. Kapal ini membawa banyak komoditas, kemungkinan termasuk para budak,” lanjut Sri Margana.
Budak-budak itu berasal dari kawasan Afrika Timur yang di masa itu disebut zanj atau zanggi, merujuk bahasa Arab atau jenggi dalam bahasa Jawa Kuno yang tertulis di sejumlah prasasti. Catatan tertua disebutkan dalam Prasasti Kancana dari tahun 860 Masehi dan Prasasti Lintakan dari tahun 919 M. Disebutkan budak-budak jenggi yang berkulit hitam dijadikan abdi atau hamba sahaya di Nusantara.
Terkait perdagangan budak jenggi, Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia mengutip kesaksian pedagang Arab bernama Ibn Lakis dalam roman Merveilles de I’Indie tentang orang-orang Waqwaq –yang merujuk pada para pelaut Nusantara.
Dikisahkan, pada tahun 945 orang-orang Waqwaq dengan seribu perahu mendatangi pantai-pantai Afrika. Mereka mencari bahan-bahan yang cocok untuk negeri mereka dan Cina seperti gading, kulit kura-kura, dan kulit macan tutul.
“Yang terutama mereka cari ialah budak zanggi. Karena orang zanggi itu dengan mudah menanggung perbudakan, dan karena kekuatan fisik mereka,” ungkap Lombard.
Budak-budak Afrika itu, lanjut Lombard, tak hanya dijadikan abdi, pelayan, atau tenaga kerja. Tapi juga komoditas perdagangan dan persembahan untuk Kekaisaran Cina dalam rangka diplomasi perdagangan sejak abad ke-7 hingga abad ke-9.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno mencatat kedatangan utusan Raja Holing (Kalingga) pada 813 atau 815 M yang membawa upeti berupa empat budak sheng-chih (jenggi), burung kakatua berbagai warna, burung p’in-chia, dan benda berharga lainnya.
“Kaisar Cina sangat gembira lalu memberikan gelar kehormatan kepada utusan itu, tetapi sang duta memohon agar gelar itu diberikan kepada adiknya yang ikut bersamanya, akhirnya kaisar memberikan gelar itu kepada kedua utusan Holing tersebut,” tulis Marwati dan Nugroho.
Holing atau Kalingga, yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah, adalah pendahulu Kerajaan Medang.
Sumber tertulis tertua lainnya tentang praktik perbudakan adalah Prasasti Waharu IV dari tahun 931 Masehi. Disebutkan pada masa itu, Kerajaan Medang mengalami kemakmuran. Bahkan sampai mendatangkan budak-budak dari luar Jawa.
“Di prasasti itu disebutkan mereka mendatangkan budak-budak dari wilayah jenggi. Itu menunjukkan bahwa praktik perbudakan yang dilakukan penguasa-penguasa di Indonesia sifatnya sudah global,” ujar Sri Margana. Kerajaan Medang (abad ke-8 hingga abad ke-10) berkuasa di Jawa Tengah hingga Bali.
Kerajaan demi kerajaan di Nusantara melanggengkan perbudakan. Pada masa Majapahit sekitar abad ke-14 ada bertya yang berarti budak. Ketika utusan dari Majapahit berkunjung ke negeri Cina, ia membawa budak sebagai persembahannya selain mutiara dan lada.
Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, kendati menempati kedudukan sosial paling rendah, golongan budak diperlukan oleh golongan raja, bangsawan, dan elite untuk melayani kepentingan mereka. “Pembuatan keraton, bangunan-bangunan kota, pembuatan jalan, dan pekerjaan berat lain yang memerlukan fisik kuat biasanya menggunakan tenaga golongan budak.”
Di Luar Kasta
Kendati sudah berlangsung sejak lama, para sejarawan umumnya sepakat bahwa perbudakan di Indonesia tak bisa disamakan dengan Eropa yang cenderung dipaksakan dan jadi komoditas perdagangan.Budak-budak di Nusantara umumnya terbentuk karenapelapisan atau pengelompokan masyarakat berdasarkan kasta.
“Jadi perbudakan bukan sesuatu yang diciptakan dari keadaan seperti di Eropa. Kalau di era kerajaan Hindu-Buddha itu bagian dari sistem sosial. Kalau ia budak sebagaimana sistem sosial yang diatur dalam agama Hindu, ya ia akan berada pada posisi yang tidak akan pernah berubah,” ujar Sri Margana.
Karena sistem sosial itu, status budak takkan pernah berubah. Seorang budak, lahir sampai mati, ia tetaplah budak. Pernikahan dengan orang dari kasta lebih tinggi tak bisa menanggalkan statusnya sebagai budak. Kendati demikian, kata Sri Margana, tidak semua budak menghamba pada orang-orang dari kasta di atasnya.
“Sistem kasta karena kelas. Jadi mungkin saja pada masa itu ia bukan hamba. Bisa saja ia petani, pedagang, seorang yang lain tapi secara struktural ia adalah kelas budak,” kata Sri Margana.
Kalaupun ada orang-orang dari golongan budak menghamba pada orang dari kasta lebih tinggi, biasanya disebabkan karena jeratan utang, terpuruk dalam kemiskinan, atau untuk menghindari kelaparan.
Di masa peradaban Dinasti Syailendra, para abdi atau hamba sahaya lazim berasal dari kalangan hulun atau kawula yang berada di luar empat kasta: brahmaṇa, kṣatriya, wesya, dan sudra. Bahkan, menurut Soegianto Sastrodiwiryo dalam roman Budak Pulau Surga, golongan hulun sudah tak dianggap manusia, melainkan benda mati atau properti. Selain diperbudak untuk banyak keperluan, golongan yang mirip kalangan paria di India itu bisa dijadikan alat jual beli atau jaminan pengganti benda lain.
Di Bali, keberadaan hulun disebut dalam sejumlah prasasti. Istilah hulun dijumpai dalam Prasasti Bila II yang berangka tahun 995 Saka (1073 Masehi) dari masa pemerintahan Anak Wungsu. Sementara Prasasti Dawan (975 Saka atau 1053 Masehi) mengindikasikan bahwa golongan hulun dapat ditukar atau dinilai dengan sejumlah uang.
Anak Wungsu dikenal sebagai raja yang berhasil membawa kesejahteraan masyarakat serta agama Hindu dan Buddha bisa hidup berdampingan. Ia juga tercatat paling banyak meninggalkan prasasti.
I Wayan Pardi dalam “Perdagangan Budak di Bali pada Abad ke XVII–XIX”, di Jurnal Masyarakat & Budaya, Vol. 20 No. 1 tahun 2018, menyebut pengelompokan masyarakat menyebabkan budak tidak mendapatkan perlindungan hukum. Siapapun, terutama dari empat kasta, dapat berbuat semena-mena terhadap budak yang dimilikinya seperti tersua dalam Prasasti Srokodan D = Sukawati C yang berangka tahun 999 Saka.
Budak pada masa Bali Kuno juga diperjualbelikan sebagaimana isi Prasasti Sukawana AI (804 Saka atau 882 Masehi) dan Prasasti Srokodan D = Sukawati C. Ketika pemiliknya meninggal dunia atau mengalami kesulitan keuangan, budak tersebut dapat ditukarkan dengan uang. Begitu juga sebaliknya, ketika ada seseorang yang ingin membeli budak maka ia harus membayar sejumlah uang kepada penjual budak.
Menariknya, sejumlah prasasti Bali Kuno menyebut golongan hulun tidak dapat diperlakukan semena-mena. Hedwi Prihatmoko dari Balai Arkeologi Bali dalam “Kajian Epigrafis Prasasti Babahan” di jurnal Forum Arkeologi, November 2016, mencatat beberapa prasasti yang menyebut tentang perlindungan hukum bagi budak-budak yang terlilit utang, seperti Prasasti Kintamani D, Kintamani E, Dausa Pura Bukit Indrakila AII (938 Saka atau 1016 Masehi), Campetan (1071 Saka atau 1149 Masehi), Sukawati A, dan Banjar Pucangan Pengotan (999 Saka atau 1077 Masehi). Prasasti-prasasti itu menyebut kewajiban memperlakukan budak secara manusiawi, larangan melipatgandakan pokok utang, dan pembebasan bagi budak atau keluarganya yang melunasi pokok utangnya.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Perbudakan di Indonesia tak bisa disamakan dengan Eropa. Budak-budak di Nusantara umumnya terbentuk karenapelapisan atau pengelompokan masyarakat berdasarkan kasta.</div>
Blambangan, kerajaan bercorak Hindu terakhir di timur Jawa, juga mengenal perbudakan. Bahkan kerajaan ini dikenal sebagai penghasil budak sebagaimana dicatat Tome Pires dalam Suma Oriental. Budak-budak yang dijual di seluruh Jawa berasal dari Blambangan. Ketika Sultan Agung, penguasa Mataram, menyerang Blambangan pada abad ke-17, budak-budak dan penduduk di sana dibawa ke Mataram.
“Banyak sekali penduduk di sana dibawa ke Mataram sebagai budak. Mereka ditempatkan di satu desa yang sekarang masih ada, Minggiran. Dari kata ‘minggir’ atau tepi pulau karena Blambangan kan di pesisir timur Jawa,” ujar Sri Margana.
Kaum perempuan lazimnya dijadikan pelayan atau pengasuh anak. Sementara laki-laki dijadikan prajurit. Yang menolak tetap ditawan dan dijadikan tumbal percobaan senjata.
“Kan legendanya orang Blambangan itu sakti, tahan senjata. Jadi dipakai untuk mencoba (senjata). Pusaka-pusaka seperti tombak untuk perang kan harus diujicobakan dulu. Nah, orang-orang Blambangan ini sering dipakai uji coba. Kalau ia mati berarti senjatanya ampuh. Kalau enggak mati, berarti senjatanya kurang ampuh,” terangnya lagi.
Sebelum melakukan ekspansi ke Blambangan, Sultan Agung dua kali menyerang Batavia tapi gagal karena persoalan logistik. Kendati gagal, penyerangan itu mengubah aturan perbudakan di Batavia. Belanda takut bahwa budak-budak Jawa yang lebih banyak tersedia akan berkomplot dan memberontak melawan mereka. Demi menghindarinya, mereka memilih membawa minoritas etnis dari tempat yang jauh seperti Bali, Ambon, Manado dan Sumbawa, bahkan Sri Lanka dan India.
Di Mataram, praktik perbudakan bersandar pada tradisi lama. Menurut Soemarsaid Moertono dalam Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI–XIX, suatu ketentuan hukum Jawa yang sudah tua menyebutkan empat cara bagaimana seseorang yang bebas dapat menjadi budak (kawula): sebagai tawanan perang, utang yang tak terbayar, meninggalkan rumah gustinya (melarikan diri), dan seseorang memperbudak dirinya secara sukarela karena ingin makan, jaminan hidup dan perlindungan.
“Jadi, perbudakan juga sudah ada pada zaman Mataram II,” catat Soemarsaid merujuk pada Mataram Islam.
Kendati demikian, Soemarsaid meragukan penggunaan tenaga budak dalam jumlah besar dan intensif sehingga mendatangkan keuntungan ekonomi. Sebab, kesultanan atau para pembesar memiliki akses untuk memperoleh tenaga kerja. Apalagi jika merujuk pada budak jenis lain, yang dalam literatur Jawa disebut batur tukon atau “budak belian”.
“Mungkin dirasakan bahwa harus ada suatu perbedaan antara konsep kawula yang diakui oleh adat kebiasaan dan batur tukon yang lebih bersifat ekonomi; mungkin yang dimaksudkan istilah terakhir ini ialah mereka yang dimasukkan ke Jawa lewat perdagangan laut dengan luar negeri. Masih perlu penelitian lebih lanjut untuk dapat mengerti benar arti kedua istilah,” catat Soemarsaid.
Dunia Melayu
Di luar Jawa dan Bali, pelapisan masyarakat pun berlaku. Di Nias, budak atau dikenal dengan sawuyu merupakan “kasta” tersendiri dalam strata sosial masyarakat. Menurut sejarawan Teuku Ibrahim Alfian dan Anatona dalam makalah berjudul “Perdagangan Budak di Pulau Nias 1820–1860”, munculnya sawuyu dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena tak mampu membayar utang. Golongan ini disebut sondara hare. Kedua, peperangan. Seseorang yang menjadi budak karena kalah perang atau diculik disebut binu. Budak tawanan itu kemudian dijual kepada orang asing.
“Nias adalah sebuah kawasan tempat perbudakan tumbuh bagaikan suatu lembaga adat seperti pada semua bangsa primitif,” catat Alfian dan Anatona.
Aktivitas jual beli manusia di Nias sudah berlangsung sejak abad ke-10. Permintaan budak cukup tinggi, terutama dari sejumlah penguasa politik di Sumatra.
Dalam tulisan lainnya, Anatona menyebut stratifikasi masyarakat di beberapa bagian wilayah di Pulau Sumatra seperti Padangsche Bovenlanden (Dataran Tinggi Padang), Tapanuli, Riau, Sumatra Timur, dan beberapa Negeri Melayu di Semenanjung Malaya seperti Malaka, Perak, dan Selangor, menempatkan golongan budak menjadi sebuah strata tersendiri, terlepas dari strata-strata yang lain.
Praktik perbudakan yang menonjol terjadi di Malaka, sebuah bandar niaga terkemuka kala itu. Informasi awal mengenai keberadaan budak di Kerajaan Malaka tertera dalam kitab Sulatus Salatin (Peraturan Raja-Raja) yang dikenal dengan nama lain Sejarah Melayu. Budak milik para penguasa disebut sebagai budak negara atau budak kerajaan. Kategori budak milik penguasa Kerajaan Malaka dinamakan hamba raja atau abdi raja.
Menurut Anatona, dosen sejarah Universitas Andalas, dalam “Identitas Budak di Dunia Melayu”, di jurnal Humaniora No. 2, Juni 2008, eksistensi budak dalam komunitas masyarakat Malaka sangat penting. Begitu pentingnya sehingga keberadaan mereka diatur dalam Undang-undang Malaka (UUM) yang diterapkan sejak pertengahan abad ke-15.
“Tidak kurang dari 13 pasal di dalam UUM yang mengatur mengenai budak. Porsi ini cukup besar sehingga dapat dimaknai sebagai sinyal bahwa budak dan perbudakan merupakan salah satu unsur penting di dalam hukum ketatanegaraan Kerajaan Malaka,” catat Anatona.
Pada abad ke-16, Malaka menjadi salah satu importir budak terbesar. Jawa adalah pemasok utamanya. Budak-budak didatangkan dari pelabuhan Sunda Kelapa dan Blambangan. Penaklukan Malaka oleh Portugis tak menghentikan perbudakan di sana. Kendati demikian, pasar budak utama perlahan bergeser ke Sulawesi Selatan.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Pada abad ke-16, Malaka menjadi salah satu importir budak terbesar. Jawa adalah pemasok utamanya. Budak-budak didatangkan dari pelabuhan Sunda Kelapa dan Blambangan.</div>
Jauh sebelumnya, di Sulawesi Selatan, lapisan masyarakat hanya ada dua, yakni anakarung dan maradeka. Anakarung diisi raja, keluarga-kerabat raja, dan bangsawan. Sementara maradeka adalah rakyat jelata atau orang kebanyakan. Di luar itu terdapat apa yang disebut lapisan ata. Di Gowa, lapisan ata disebut Tu-mangnginrang atau Tumangngempoang, di Bone disebut To-ripasanra; di Wajo disebut Sanra; di Mandar disebut Batuwa inranan.
Menurut Mattulada dalam Bugis-Makassar: Manusia dan Kebudayaannya, berdasarkan keterangan dalam berbagai lontara Bugis-Makassar, seseorang menjadi ata karena peristiwa jual beli dan kalah perang. Semua ata yang terjadi karena pembelian disebut ata-rielli. Ata-rielli itu dapat diwariskan. Ketika diwariskan ia menjadi ata-mana’ (ata warisan).
Mattulada sendiri tak mau menggunakan istilah budak tapi sahaya untuk pengertian ata, yaitu sejumlah orang yang mengabdikan diri kepada sesuatu lembaga atau orang karena ia dengan sadar telah melakukan pelanggaran-pelanggaran dan yang harus ditebusnya dengan pengabdian atau melepaskan kemerdekaannya.
Menurut Mattulada, ata hanya dapat dipandang sebagai salah satu aspek dari Panngaderreng untuk mencegah orang Bugis-Makassar menerima atau menyerah pada nasib dan dalam peperangan. Sebab, ata berarti kehilangan siri’ atau bisa diartikan harga diri.
Selain pelapisan masyarakat, budak diperoleh melalui penculikan, perompakan, maupun penaklukan kerajaan-kerajaan kecil. Budak-budak ini kemudian diekspor ke Palembang, Jambi, Batavia, Banjarmasin, hingga Johor. Adanya jaringan perdagangan budak inilah yang menurut Anwar Thosibo dalam Historiografi Perbudakan: Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad XIX membuat kerajaan Makassar berkembang pesat.
“Tidak diragukan pula laporan-laporan awal Portugis tentang Sulawesi Selatan menyatakan bahwa budak-budak yang melimpah jumlahnya bisa didapatkan dengan harga yang murah di sana,” catat Thosibo.
Di Jawa hingga Sumatra, praktik perbudakan terus eksis setelah kedatangan orang-orang Eropa dan berlangsung hingga abad ke-19. Budak masih dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Mengurus rumah, membantu berdagang, hingga mengolah perkebunan. Kepemilikan budak juga menjadi simbol kemakmuran dan status sosial.*