Batu Gajah menggambarkan manusia yang sedang mengapit gajah dan membawa nekara di punggungnya. (Tropenmuseum).
Aa
Aa
Aa
Aa
SUNGGUH sakti mulut Si Pait Lidah. Kutukan yang keluar darinya bisa mengubah apapun menjadi batu. Sudah banyak orang jadi korban. Lihat saja arca-arca batu yang tersebar di kawasan Lahat dan Pagar Alam (pemekaran dari Lahat tahun 2001), Sumatra Selatan. Setidaknya itulah yang dipercayai masyarakat pendukung Budaya Besemah atau lebih dikenal dengan Pasemah.
Si Pait Lidah, atau yang sebenarnya bernama Serunting Sakti, menurut H.R. van Heekeren dalam The Bronze-Iron Age of Indonesia, selalu dihubungkan dengan arca-arca megalitik di bumi Pasemah. Seolah cerita lisan itu menjelaskan mengapa terdapat banyak arca batu di wilayah itu.
“Legenda Lidah Pait juga dikenal sampai ke Jambi dan Lampung,” tulis van Heekeren.
Di balik legenda itu, sebenarnya tinggalan arca batu yang tersebar di Pasemah merujuk pada kebudayaan megalitik.
SUNGGUH sakti mulut Si Pait Lidah. Kutukan yang keluar darinya bisa mengubah apapun menjadi batu. Sudah banyak orang jadi korban. Lihat saja arca-arca batu yang tersebar di kawasan Lahat dan Pagar Alam (pemekaran dari Lahat tahun 2001), Sumatra Selatan. Setidaknya itulah yang dipercayai masyarakat pendukung Budaya Besemah atau lebih dikenal dengan Pasemah.
Si Pait Lidah, atau yang sebenarnya bernama Serunting Sakti, menurut H.R. van Heekeren dalam The Bronze-Iron Age of Indonesia, selalu dihubungkan dengan arca-arca megalitik di bumi Pasemah. Seolah cerita lisan itu menjelaskan mengapa terdapat banyak arca batu di wilayah itu.
“Legenda Lidah Pait juga dikenal sampai ke Jambi dan Lampung,” tulis van Heekeren.
Di balik legenda itu, sebenarnya tinggalan arca batu yang tersebar di Pasemah merujuk pada kebudayaan megalitik.
Pasemah memang pantas disebut sebagai Kampung Megalitik. Di sana tidak hanya terdapat peninggalan megalitik berupa arca batu tapi juga kubur batu, lukisan dinding kubur batu, batu bergores, dolmen, lumpang batu, dan menhir. Van Heekeren menilai arca merupakan yang paling menarik di antara peninggalan megalitik lainnya di Pasemah. Pahatannya yang detil dan halus menyiratkan masyarakat kala itu sudah memakai logam untuk memahat.
Balai Arkeologi Palembang mencatat setidaknya ada lebih dari 63 arca megalitik di tengah ribuan tinggalan budaya megalitik lainnya di Pasemah.
Jika dilihat dari letak, bumi Pasemah potensial sebagai tempat tinggal masyarakat purba. Tanahnya subur berkat keberadaan Gunung Dempo. Letaknya berada di ketinggian, yang masih satu rangkaian dengan Bukit Barisan.
Menurut Triwurjani, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), secara spesifik Pasemah meliputi dataran tinggi di kaki Gunung Dempo di sebelah timur dan tenggara. Uniknya, menurut dia, di sana tersebar temuan-temuan arca megalitik dengan pola sama. “Makanya itu adalah satu-kesatuan kawasan budaya yang disebut Pasemah,” ujarnya saat ditemui Historia di kantornya.
Situs Megalitik Muda
Arca batu Pasemah kali pertama diungkap Letnan L. Ullmann dalam “Hindoe-beelden in de Binnenlanden van Palembang”, dimuat Indisch Archief tahun 1850. Kemudian terdapat laporan-laporan singkat lainnya yang mayoritas menyebutkan arca Pasemah adalah tinggalan kebudayaan Hindu. Penyelidikan menyeluruh dilakukan van der Hoop, naturalis Belanda, pada 1930-1931. Hasilnya, yang dia tulis dalam sebuah monograf berjudul Megalithic Remains in South Sumatra (1932), peninggalan itu berasal dari masa yang lebih tua dan dapat dikelompokkan ke dalam tradisi megalitik.
Triwurjani mengatakan, arca di wilayah Pasemah memiliki keistimewaan dibandingkan kawasan lain. Jika umumnya arca ditampilkan tanpa anggota tubuh lengkap kecuali badan dan kepala yang besar dan berdiri kaku, arca di Pasemah sebaliknya. Dari 64 arca yang diteliti untuk disertasinya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun 2015 berjudul “Arca-Arca Megalitik Pasemah, Sumatera Selatan: Kajian Semiotik”, Triwurjani menemukan arca Pasemah berbentuk suatu figur lengkap terutama ketika digambarkan berinteraksi dengan hewan.
“Kita akan bisa bilang bahwa arca itu sedang bergerak cepat,” ujar Triwurjani.
Karakter lainnya, arca Pasemah dibuat mengikuti bentuk batuannya. Artinya, bentuk arca tidak terpaku pada pakem tertentu. Kendati demikian, ia tetap memiliki ciri tertentu, seperti mata bulat besar.
Mengapa penggambaran arca Pasemah lebih dinamis dibandingkan arca megalitik lainnya di Indonesia?
Menurut Kristantina Indriastuti, peneliti Balai Arkeologi Palembang, ini disebabkan situs megalitik Pasemah secara umum berasal dari abad ke-10 hingga 11 M. Data ini berdasarkan sampel arang dengan metode radio carbondating yang dianalisis di laboratorium Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) Bandung.
“Arcanya sudah lebih maju, lebih dinamis, lebih lengkap, lebih detil, mungkin karena senimannya sudah lebih pintar,” ujar Kristantina, atau biasa dipanggil Tantin, ketika dihubungi Historia.
Dengan data itu, lanjut Kristantina, bisa dibayangkan kala itu masyarakat Pasemah pernah hidup berdampingan di era Kerajaan Sriwijaya. Lokasinya yang terpencil memungkinkan mereka tetap mempertahankan tradisi megalitik. “Mungkin juga atribut prajurit yang dikenakan arca itu hasil mereka mencontek pakaian prajurit Sriwijaya,” ujarnya.
Triwurjani tidak sependapat. Menurutnya, berlangsungnya kebudayaan megalitik hingga ke masa yang lebih muda biasa terjadi di Indonesia. Dalam prasejarah, megalitik merupakan tradisi. Tradisi ini bisa terus berlangsung meski kebudayaan baru berkembang di wilayah itu. Dalam kasus Pasemah, ia masih tergolong megalitik muda. Di masa kini tradisi megalitik pun masih bisa ditemukan, seperti di Toraja.
“Saya pernah dating (menentukan umur, red.) situs lain tentang menhir juga abadnya sama dengan (candi) Borobudur,” ujar Triwurjani.
Penggambaran Leluhur
Mata bulat, besar, dan menonjol. Hidung pesek dan lebar. Mulut lebar dengan bibir yang tebal. Rahang lebar dan kuat. Begitulah mayoritas arca batu Pasemah diwujudkan.
Van der Hoop dalam “A Prehistoric Site Near the Lake of Kerinci (Sumatra)”, yang disampaikan dalam Third Congress of Prehistoristorians of the Far East 1938, menyebut arca manusia di Pasemah merupakan wujud penggambaran leluhur. Katanya, jika berdasarkan gelang di tangan dan kaki, sangat beralasan untuk menyimpulkan arca Pasemah mungkin memerankan tokoh legendaris atau mitos.
“Pakaian, dandanan, dan atribut mereka dimodelkan pada orang-orang dari pencipta fase awal logam mereka,” kata van der Hoop yang dikutip Ian Caldwell dalam “A Rock Carving and a Newly Discovered Stone Burial Chamber at Pasemah, Sumatra”, dimuat Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 153, tahun 1997.
Berbeda dari van der Hoop, Erwan Suryanegara bersama Nuning Damayanti dan Wiyoso Yudoseputro dalam “Artefak Purba Pasemah: Analisis Ungkap Rupa Patung Megalitik di Pasemah” yang dimuat Journal of Visual Art and Design (Institut Teknologi Bandung), Vol. 1, No. 1, 2007, menyebut bentuk arca manusia yang tidak proporsional disesuaikan dengan pola pikir mistis bahwa para leluhur mereka maha menguasai, maha besar, maha perkasa, maha kuat, dan maha melindungi. Dan sesuai pola pikir masa itu, arca megalitik seperti halnya di Pasemah diyakini merupakan media penghubung. “Mendekatkan diri dengan arwah nenek moyang,” tulis Erwan dkk.
Sementara Triwurjani mengatakan arca-arca itu merupakan perwujudan dari kepercayaan masyarakat megalitik Pasemah terhadap “kuasa Ilahi” (devine power). “Dengan membuat arca, manusia yang masih hidup berharap keselamatan dan kesejahteraan,” ujarnya.
Itulah mengapa, tutur Triwurjani, menelusuri rupa masyarakat megalitik Pasemah tak bisa dilakukan berdasarkan penggambaran arca di kawasan itu. Dia yakin arca megalitik di Pasemah tidak digambarkan menyamai wujud masyarakat pembangunnya. Arca, dalam pengertian pemujaan kepada luluhur, semestinya digambarkan sebagai sosok yang memiliki kelebihan.
Bentuk mata arca yang besar melotot bertujuan melindungi para keturunan dari gangguan. Arca yang terletak di dekat kubur batu dimaksudkan agar arwah si mati bisa selamat sampai ke alam baka. “Makin seram makin sakti, menambah kekuatan dia,” ujar Triwurjani.
Keberadaan gajah dan kerbau yang mendampingi arca juga demi menjelaskan keagungan para leluhur. Dengan menggambarkan manusia menunggangi gajah, misalnya, itu membuktikan keberhasilan para leluhur menaklukkan hewan itu. Apalagi, gajah juga butuh makanan yang banyak. Masyarakat yang bisa memelihara gajah dianggap hebat karena mampu menyediakan pakan dalam jumlah besar. Kedua hewan itu juga kemungkinan yang paling sering dipakai masyarakat Pasemah masa lalu sebagai alat bantu aktivitas sehari-hari, misalnya sebagai alat angkut.
“Ada babi dan harimau juga, tapi tidak perlu digambarkan berulang, karena ini (gajah dan kerbau) yang dianggap paling penting,” ujar Triwurjani.
Hierarki Tata Ruang
Arca di Pasemah begitu banyak dan bervariasi. Arca ditemukan dalam bentuk tunggal maupun berkelompok. Namun, secara garis besar, arca di kawasan Pasemah bisa dikelompokkan: interaksi manusia dengan binatang, interaksi sesama manusia, dan interaksi sesama binatang.
Dari pengelompokkan itu, Triwurjani yakin bahwa Pasemah adalah sebuah koloni yang telah mengenal pembagian tata ruang permukiman yang kompleks. Hal ini terlihat dari letak geografis arca. Triwurjani membagi lokasi temuan menjadi tiga wilayah: wilayah atas yang dekat dengan Gunung Dempo, wilayah tengah, dan wilayah bawah di dataran lebih rendah. Arca yang ditemukan di wilayah atas mengenakan atribut lengkap. Misalnya arca Batu Gajah yang terkenal.
Arca ini dilengkapi dengan nekara, pedang, perhiasan, dan ditemukan berdekatan dengan kubur batu yang memiliki lukisan di dindingnya. Sosok manusianya tidak mengapit gajah. “Saking dihormatinya, gajahnya tidak ditunggangi,” ujar Triwurjani.
Keberadaan arca-arca semacam ini mengesankan wilayah atas adalah wilayah yang paling sakral. Keberadaan nekara menguatkannya. Dalam kebudayaan prasejarah, nekara selalu diidentikkan sebagai alat upacara.
“Hanya dua arca yang membawa nekara sekaligus pedang, keduanya ada di atas,” ujar Triwurjani.
Di wilayah tengah lebih banyak ditemukan arca yang mengungkapkan keseharian. Misalnya, arca manusia yang berinteraksi dengan anak-anak. Triwurjani mengibaratkan wilayah tengah sebagai tempat masyarakat bermukim.
Wilayahnya tidak terlalu dekat air, sehingga selamat dari daerah banjir, sekaligus tidak terlalu tinggi. “Yang seperti ini secara general biasanya dipilih untuk permukiman,” ujar Triwurjani.
Sementara di wilayah bawah ditemukan arca membawa pedang sambil memeluk gajah. “Keberadaan arca ini seolah tanda memasuki wilayah Pasemah,” tuturnya.
Selain itu, ada arca manusia berpedang menunggangi kerbau. Biasanya terdapat di tepian wilayah Pasemah; seolah ini menyiratkan daerah perbatasan. “Kebetulan sebelah sananya lagi bukan Pasemah dan memang belum ditemukan arca lagi,” kata dia.
Kini tinggalan itu masih berserakan di sekitar rumah-rumah penduduk yang meninggali wilayah Pasemah serta di tengah hamparan sawah dan kebun kopi. Banyak di antaranya dilindungi pagar besi dan papan pernyataan sebagai Benda Cagar Budaya. Namun ada pula yang sudah berpindah tempat, seperti Batu Gajah yang kini menjadi koleksi Museum Balaputradewa, Palembang.
Arca yang dulunya dipuja itu kini juga mendapat penolakan dari sebagian warga setempat. Khususnya arca sepasang harimau sedang kawin. Pada arca ini, harimau yang berada di bawah digambarkan tengah menerkam manusia. Mitos mengatakan, orang yang diterkam harimau itu adalah pezinah. “Ada orang yang minta arca itu dicabut karena tidak cocok lagi, karena seolah mereka bangsa pezinah,” kata Triwurjani yang sempat mengadakan Forum Group Discussion (FGD) dengan warga setempat.
Di luar itu, keyakinan pada mitos kutukan Si Pait Lidah rupanya juga mampu melindungi arca dari kerusakan. Menurut Kristantin, warga hingga kini tak berani merusak tinggalan itu.*