Hamka saat menjadi pembicara dalam forum keagamaan di Malaysia, 1979. (Repro Hamka di Mata Hati Umat).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEJAK muda Hamka memang gandrung sejarah. Dia, sebagaimana diakuinya sendiri, tak pernah mengenyam pendidikan formal ilmu sejarah, tetapi punya minat tinggi pada sejarah. “Perhatian saya kepada Sejarah Islam adalah amat besar, sehingga sejak masa masih belajar di Sumatra Thawalib (1918–1924) di Padang Panjang dan Parabek, buku-buku Sejarah berbahasa Melayu dan Arab sangat menarik hati saya,” kata Hamka dalam kata pengantar buku Sejarah Umat Islam jilid keempat.
Sebagai pembaca sejarah Islam dengan referensi bahasa Arab dan Melayu, Hamka selalu mengampu mata pelajaran sejarah Islam, baik sejak dia mengajar di Tabligh School (Sekolah Mubaligh) yang didirikannya pada 1929, maupun di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Yogyakarta.
Di balik ketenarannya sebagai penulis roman, sepanjang riwayat pekerjaannya sebagai penulis, Hamka telah menghasilkan sekira 19 buku sejarah. Salah satu buku yang boleh dibilang jadi magnum opus Hamka adalah empat jilid Sejarah Umat Islam. Sejak terbit kali pertama pada 1950, buku tersebut sudah dicetak ulang lebih dari lima kali.
SEJAK muda Hamka memang gandrung sejarah. Dia, sebagaimana diakuinya sendiri, tak pernah mengenyam pendidikan formal ilmu sejarah, tetapi punya minat tinggi pada sejarah. “Perhatian saya kepada Sejarah Islam adalah amat besar, sehingga sejak masa masih belajar di Sumatra Thawalib (1918–1924) di Padang Panjang dan Parabek, buku-buku Sejarah berbahasa Melayu dan Arab sangat menarik hati saya,” kata Hamka dalam kata pengantar buku Sejarah Umat Islam jilid keempat.
Sebagai pembaca sejarah Islam dengan referensi bahasa Arab dan Melayu, Hamka selalu mengampu mata pelajaran sejarah Islam, baik sejak dia mengajar di Tabligh School (Sekolah Mubaligh) yang didirikannya pada 1929, maupun di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Yogyakarta.
Di balik ketenarannya sebagai penulis roman, sepanjang riwayat pekerjaannya sebagai penulis, Hamka telah menghasilkan sekira 19 buku sejarah. Salah satu buku yang boleh dibilang jadi magnum opus Hamka adalah empat jilid Sejarah Umat Islam. Sejak terbit kali pertama pada 1950, buku tersebut sudah dicetak ulang lebih dari lima kali.
Empat jilid buku Sejarah Umat Islam itu disusun sejak 1939. Sebagaimana seorang sejarawan profesional yang sedang merekonstruksi peristiwa masa lalu, Hamka juga terlebih dahulu menjalankan metode heuristik atau mengumpulkan bahan penulisan. “Ada kira-kira seratus kitab tarikh besar dan kecil yang kita (Hamka, red.) baca seketika menyusun kitab ini,” kata Hamka dalam pengantar Sejarah Umat Islam jilid pertama yang ditulis pada Juli 1949.
Dalam jilid pertama bukunya, Hamka menguraikan sejarah masyarakat Arab pra dan pasca-Islam, lantas pada jilid kedua dan ketiga Hamka mengisahkan penyebaran Islam di Benua Afrika, Eropa sampai ke Benua Asia. Terpaut sebelas tahun sejak jilid pertama terbit di tahun 1950, jilid keempat yang menguraikan kedatangan Islam ke Indonesia dicetak pertama kali pada 1961.
Berbeda dengan ketiga jilid Sejarah Umat Islam yang terlebih dulu terbit, jilid keempat yang mengulas tema Islam di Indonesia disusun dalam waktu yang lama. Butuh waktu 15 tahun bagi Hamka untuk mengumpulkan sumber-sumbernya. Dia mengakui jilid keempat jauh lebih sulit disusun ketimbang tiga jilid sebelumnya. “Sebab belum ada yang memulai menyusun ‘Sejarah Umat Islam’ Indonesia yang lebih lengkap,” katanya.
Historiografi Islam di Indonesia pada masa itu memang belum banyak dilakukan oleh para sejarawan. Sepuluh tahun pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia upaya menulis ulang sejarah Indonesia dari perspektif bangsa Indonesia sendiri mulai dilakukan. Setelah konferensi sejarah 1957, para sejarawan beriktikad untuk menjadikan orang Indonesia sebagai faktor penentu dalam sejarahnya sendiri. Hamka senapas dengan semangat itu dan melakukan penulisan sejarah umat Islam dalam bingkai keindonesiaan.
Sebelum karya Hamka terbit, telah ada karya sejarah yang berpusar pada perkembangan dan dinamika gerakan Islam di Nusantara. Namun, karya-karya tersebut masih ditulis dalam cara pandang istana sentris. Hamka menginsyafi historiografi demikian belum berpatokan pada kaidah-kaidah ilmiah. “Ada pula buku-buku yang menerangkan sejarah kerajaan Islam di Indonesia... semuanya itu tidak ada yang dapat melepaskan susunan sejarah daripada dongeng-dongeng,” kata Hamka.
Kendati demikian, Hamka tetap menggunakan sumber-sumber tersebut sebagai bahan penulisan karyanya. Dan untuk mengimbanginya, Hamka menggunakan sumber sejarah kerajaan Islam yang ditulis oleh para sejarawan Belanda dan Inggris, walaupun dengan rasa curiga kepada para orientalis yang dia sebut punya “maksud tersembunyi” itu.
Hamka mafhum soal pentingnya penggunaan sumber primer untuk penulisan sejarah. Setiap kali melakukan perjalanan dakwah keliling daerah, sebisa mungkin dia mencari narasumber atau dokumen bersejarah. Banyak di antaranya dokumentasi itu dianggap pusaka yang tak bisa sembarangan dibuka orang.
“Kadang-kadang para sultan tidak keberatan memperlihatkan bahan sejarah mereka yang dibungkus dengan kain kuning, simpanan bertuah kepunyaan istana, yang kebanyakan belum dicetak,” ungkapnya.
Kendati tak pernah mengaku sebagai ahli sejarah, langkah-langkah kerja Hamka menulis sejarah layaknya seorang sejarawan profesional. Beberapa tahapan metode penulisan sejarah seperti heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi telah ditempuhnya.
Karena Buya Hamka juga seorang ulama, setiap sejarah yang dia tulis, bukan hanya mengungkap kebenaran di masa lalu, tapi juga bisa dipelajari sebagai kearifan.
Menurut Mansur Suryanegara dalam “Prof. Dr. Hamka Sejarawan dan Pelaku Sejarah” termuat di buku Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, kelihaian Hamka menelaah sejarah dapat terlihat saat dia menyampaikan pidato pengukuhan doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Cairo pada 21 Januari 1958. Dalam pidato yang berjudul “Pengaruh Ajaran dan Pikiran Al Ustadz Imam Syeikh Muhammad Abduh di Indonesia” itu Hamka menganalisis perkembangan Islam di Indonesia yang dikaitkan dengan pengaruh peristiwa sejarah di luar negeri.
“Penyajian dan analisis semacam itu seolah-olah pada waktu itu Buya Hamka sedang menjabarkan teori J.C. van Leur yang dikembangkan pada 1955. Bahwa studi sejarah Indonesia (dipengaruhi, red.) sejarah internasional,” tulis Mansur.
Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia juga selaras dengan pendapat Hamka. Menurutnya perjalanan historis Islam di Indonesia sepanjang sejarah tak bisa dilepaskan dari perkembangan Islam di Arabia dan kawasan-kawasan Islam lainnya.
Karena itu, menurut Azyumardi dalam bukunya yang lain, Historiografi Islam Kontemporer, “Kajian-kajian tentang Islam di Indonesia yang tidak memperhitungkan faktor ini akan gagal dalam memahami Islam di Nusantara secara akurat.”
Hamka telah memulai usaha memahami sejarah Islam di Indonesia dengan cara demikian. Sehingga, menurut Mansur, Hamka berhasil membuat ikatan erat antara perkembangan Islam di Timur Tengah dengan Tanah Melayu dan Indonesia. “Kedua negara yang terakhir ini dipandangnya sebagai negara yang bernaung di satu atap yang bersejarah yang sama yakni Islam. Dan menghadapi musuh yang sama yakni penjajah,” tulis Mansur.
Rekonstruksi Sejarah ala Hamka
Sebagai seorang sastrawan, Hamka punya ciri khas dalam merangkai kisah. “Bahasanya indah selalu, disela dengan petatah-petitih. Bahasa Indonesia yang banyak diseling-seling dengan bahasa Minang, bahasa ibunya,” tulis sastrawan Ali Audah dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka.
Cara menulis yang sama terbawa pula saat dia menulis sejarah. Hamka pun gemar merangkai kalimat dalam bentuk dialog. Gaya rekonstruksi yang berisikan dialog itu, menurut Mansur, kemungkinan besar ditiru oleh Hamka dari pengulangan dialog atau pesan para nabi dan rasul yang diungkapkan kembali dalam Al-Qur’an. “Sehingga terlihat karya sejarah Buya Hamka sebagai perpaduan karya sastrawan dan sejarawan,” kata Mansur.
Salah satu nukilan kisah dalam Sejarah Umat Islam jilid keempat misalnya, Hamka membuat dialog antara utusan raja Malaka dengan bendaharanya. “Melihat dan mendengar hingar-bingar itu Bendahara pun keluar. Ma’lumlah beliau bahwa keadaan sudah sampai pada puncaknya. Raja telah menentukan sikapnya. Lalu beliau larang Tumenggung Hasan bersikap keras seraya katanya: “Hai Hasan, mengapa engkau bersikap demikian? Apakah engkau ingin hendak membinasakan nama orang tua-tua kita? Adat Melayu tidaklah pernah durhaka,” tulis Hamka mengisahkan konflik internal di Kerajaan Malaka.
Tak ada kutipan langsung dalam karya Hamka tersebut. Dia hanya merujuk bahwa kisah dan dialog itu dikutipnya dari Sejarah Melayu. Kendati berkali-kali Hamka mengatakan kalau dia menggunakan banyak rujukan kepustakaan, namun sulit bagi pembaca untuk melacak rujukan dari mana kiranya setiap kisah atau peristiwa yang dia tulis itu. Soal ini mendatangkan kritik untuknya, selain dituduh terlalu subyektif dalam menulis sejarah.
Salah satu karyanya yang kental dengan subyektivitas tinggi adalah Ayahku, Kenang-Kenangan Hidup, dan Muhammadiyah di Minangkabau. Namun, sejarawan Taufik Abdullah memaklumi subyektivitas Hamka dalam kedua karyanya itu. “Terlepas dari subyektivitas, yang memang tak bisa seorang sejarawan pun bisa seluruhnya terbebas daripadanya,” tulis Taufik dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka.
Subyektivitas Hamka sebagai sejarawan, menurut Taufik, lebih banyak ditemukan pada pilihan “kata” dan “kata sifat” yang dipakai tetapi tidak pada fakta yang disampaikan. Inilah yang sesungguhnya yang memberi aspek “seni” dari penulisan sejarah yang ilmiah.
“Nah, Buya Hamka mencoba akademis, tapi populer. Meleburkan footnote (catatan kaki, red.) dalam karyanya. Karena Buya Hamka juga seorang ulama, setiap sejarah yang dia tulis, bukan hanya mengungkap kebenaran di masa lalu, tapi juga bisa dipelajari sebagai kearifan. Bukan untuk keperluan akademis, bukan untuk keperluan teori,” kata Taufik Abdullah kepada Historia pertengahan Oktober 2014.
Sementara itu, Ali Audah, 90 tahun, yang ditemui Historia di rumahnya di Bogor awal Oktober 2014, berpendapat kalau sosok Hamka lebih cenderung terlihat sebagai seorang sejarawan daripada sastrawan. “Kalau saya lihat sekarang, rasanya dia lebih pantas kita sebut sebagai sejarawan ketimbang sastrawan,” pungkas Ali berderai tawa.*