Bukan Sekadar Pasar Malam

Pasar malam tak sekadar arena hiburan. Ia pernah menjadi ajang amal, propaganda, dan menyokong kemerdekaan.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Bukan Sekadar Pasar MalamBukan Sekadar Pasar Malam
cover caption
Lukisan penobatan Ratu Wilhelmina karya Nicolaas van der Waay. (Paleis Het Loo/Wikimedia Commons).

HARI yang sangat dingin dan berangin melanda Negeri Belanda. Tapi orang-orang tetap bersemangat keluar rumah. Berbalut mantel tebal, mereka bersiap menyambut hari Penobatan Ratu Wilhelmina. Mereka membeli lampu-lampu dan hiasan rumah. Pemilik toko tak mau kalah, sibuk mempercantik toko.

Pesta penobatan siap digelar. Pembesar kerajaan-kerajaan di Hindia Belanda pun diundang jauh-jauh hari. Delegasi dari Sala, misalnya, sudah datang tiga bulan sebelum penobatan.

HARI yang sangat dingin dan berangin melanda Negeri Belanda. Tapi orang-orang tetap bersemangat keluar rumah. Berbalut mantel tebal, mereka bersiap menyambut hari Penobatan Ratu Wilhelmina. Mereka membeli lampu-lampu dan hiasan rumah. Pemilik toko tak mau kalah, sibuk mempercantik toko.

Pesta penobatan siap digelar. Pembesar kerajaan-kerajaan di Hindia Belanda pun diundang jauh-jauh hari. Delegasi dari Sala, misalnya, sudah datang tiga bulan sebelum penobatan.

Hari penobatan tiba pada 6 September 1898. Jalanan Amsterdam dipenuhi masyarakat yang tak hirau cuaca dingin. Sementara di istana, tamu-tamu mengikuti upacara penobatan dengan khidmat. Setelah itu, Ratu Wilhelmina, penerus takhta Kerajaan Belanda, berkeliling kota untuk menemui rakyatnya dengan diiringi pasukan berkuda. Sementara tamu-tamu istana kembali ke hotel.

Sorenya, delegasi dari Kesultanan Siak, Sala, dan Kutai menikmati pesta penobatan di luar hotel. Dengan mantel dan dasi hitam, mereka menuju pusat kota, ke sebuah tanah lapang. Mereka mencari sesuatu yang tak ditemui di Hindia Belanda, sesuatu yang sangat Eropa. Tapi setibanya di sana, mereka juga menemukan suasana seperti di Hindia Belanda. Pesta keramaian sedang dihelat. Beragam atraksi, sandiwara, dan barang kerajinan dapat dinikmati masyarakat. Tiap orang boleh masuk asal membayar tiket. Di sepetak tanah lapang. Semua larut dalam suka cita.

Keadaan hampir serupa tampak di Den Haag. Tapi kesan acaranya lebih serius, bertajuk “Pameran Nasional Karya Perempuan”. Sesuai namanya, acara itu memamerkan karya perempuan. “Di situ dipamerkan berbagai kerajinan rumah tangga dan kerja pabrik hasil karya perempuan,” tulis Harry A. Poeze, sejarawan Belanda, dalam Di Negeri Penjajah. Karya-karya itu dipamerkan dalam anjungan yang dibuka dari sore hingga malam. Pesertanya tak cuma dari Negeri Belanda, melainkan juga dari Hindia Belanda. “Beberapa pembatik dari Sala memamerkan kemahirannya di Anjungan Hindia yang besar.”

Bila malam tiba, sekelompok orang Jawa tampil. Mereka mementaskan lakon wayang orang. Bahasa tak jadi soal bagi penonton. Sebab, yang terpenting mereka bisa melihat manusia yang “masih liar” dan berkulit hitam.

Suasana penobatan Ratu Wilhelmina pada 6 September 1898 di Amsterdam, Belanda. (Tropenmuseum).

Menghidupkan Malam

Tak mau ketinggalan, orang Belanda di Batavia ikut menyambut penobatan itu. Malam di kota pun dibuat sebenderang mungkin. Lampu-lampu gas di Pelabuhan Tanjung Priok diganti dengan bola lampu listrik. Komite perayaan membeli kembang api dan siap disulut di Tanjung Priok. Warga kota diundang hadir.

Tio Tek Hong, seorang warga Tionghoa, menceritakan suasana kala itu dalam “Riwayat Hidup Saja dan Keadaan di Djakarta”, masuk antologi Batavia Kisah Tempo Doeloe. “Menurut rencana akan ada pesta kembang api,” tulisnya. Tapi sayang, pesta itu kelewat malam. Baru dimulai pukul 24.00. Orang-orang telanjur pulang lebih awal.

Sementara itu di depan Istana Gubernur Jenderal (sekarang lapangan Gambir), lapangan disulap menjadi arena pesta. Stan-stan makanan berjejer rapi. Ada pula tempat untuk berdansa. Orang Belanda berbaur dengan penduduk lokal yang diundang, berpesta dari sore hingga malam.

Beberapa tahun setelahnya, lapangan itu resmi digunakan untuk perayaan Penobatan Ratu. Setiap Agustus dan September, selama sepekan, orang bisa menikmati beragam hiburan, dari sulap, komidi speda (komedi putar), pertunjukan tonil, hingga American Carnaval Show. Untuk masuk ke arena tak harus terima undangan seperti sebelumnya. Penyelenggaranya menjual karcis masuk.

Semua hiburan menarik minat pengunjung. Terlebih lagi permainan panjat pinang. Di atas batang pinang, hadiah berupa baju digantung. “Untuk mencapai puncak tidak mudah, sebab batang pinang atau bambu itu dilumuri lemak sapi supaya licin,” tulis Tio.

Meski acaranya dibuka sejak pagi, acara ini disebut Pasar Malam Gambir. Dengan pijaran lampu listrik dan dana besar, pasar malam itu menjadi yang paling gemerlap dan terbesar di Batavia. Apalagi pasar malam tak begitu banyak di Batavia. Hanya terpusat di wilayah elite seperti permukiman orang Belanda.

“Sebelumnya lapangan di depan rumah pelukis Raden Saleh di Cikini pernah digunakan untuk kegiatan pasar malam,” tulis Jeffry al-Katiry dalam Pasar Gambir, Komik Cina, dan Es Shanghai.

Belum semua wilayah Batavia terpasang listrik sehingga cahaya di pasar malam lainnya hanya lamat-lamat; berbeda jauh dari benderang di depan istana. Di tempat lain, kalaupun ada kemeriahan di malam hari, biasanya pementasan tonil dan bioskop keliling.

Suasana Pasar Gambir tahun 1930-an. (Tropenmuseum).

Selain merayakan Penobatan Ratu, pasar malam di Gambir bertujuan menggerakkan ekonomi masyarakat. Terlebih lagi ketika memasuki dekade 1910-an. Maka, dibukalah stan kerajinan rakyat dari sejumlah wilayah di Hindia Belanda. Yang paling menarik minat, salah satunya, adalah topi anyaman bambu dari Tangerang. Pembelinya kebanyakan orang Eropa. Karena laris di pasar malam, topi ini diekspor ke Eropa.

Kereta setan alias mobil di Batavia ikut menaikkan gengsi pasar malam itu. Orang kaya Belanda di Batavia mulai meninggalkan dokar atau andong sejak mobil diperkenalkan di Batavia pada awal abad ke-20. Mobil bukan sekadar alat transportasi tapi juga simbol status. Pada 1918, sebuah toko mobil di Batavia, Berkhemer, membuka stan yang memamerkan dan menjual mobil-mobil impor dari Amerika seperti Gray, Gardner, dan Chandler. Merek-merek itu menjadi generasi pertama mobil di Batavia.

Pada 1923, Ratu Wilhelmina genap 25 tahun menduduki takhta kerajaan. Bagi pemerintah Negeri Kincir Angin, momentum ini harus diperingati. Maka, pemerintah mengerahkan pejabatnya di seluruh tanah jajahan untuk merayakan secara besar-besaran. Salah satunya melalui pasar malam.

Di Batavia, pemerintah ingin berbagi kebahagiaan itu dengan bumiputra. “Komite bermaksud selamanya akan memberi dasar atawa tabiat pesta bumiputra kepada yang setahun sekali diadakan itu: yakni pasar malam,” tulis J.R. Schenck de Jong, ketua komite Pasar Gambir 1923, dalam Programma Pasar Gambir 1923.

Warga tumpah ruah, terutama di hari terakhir, bahkan sampai memacetkan jalan sekitar pasar. “Penduduk daerah Pasar Baru lebih baik pulang jalan kaki daripada terjebak dalam kemacetan,” tulis Tio. Acara itu ditutup dengan atraksi kembang api.

Di daerah lain, meski tak segemerlap di Batavia, setali tiga uang. Di Deli, Sumatra Utara, warga berbondong-bondong mengunjungi pasar malam. Harga karcisnya bervariasi, tergantung ras pengunjungnya: Eropa, Tionghoa, atau bumiputra. Namun pengunjung harus membayar lagi jika ingin menikmati wayang Tionghoa, wayang bangsawan, wayang orang, dan bioskop Velodrome. Kesenian keliling itu hidup dari pasar malam.

Kalau tak ingin menikmati pementasan, pengunjung bisa melihat-lihat karya anak negeri, dari hasil tani sampai barang kerajinan. Usai keliling pasar, tak perlu khawatir urusan perut. Penyelenggara membuka banyak stan makanan, lokal maupun asing. “Buat makan dan minum untuk orang Eropa dan anak negeri dan lain-lain bangsa, disediakan dengan cukup,” sebagaimana tertulis dalam Programma Pasar Malam Deli 1923.

Poster peringatan 25 tahun Wilhelmina sebagai Ratu Belanda. (atlasvanstolk.nl).

Amal dan Propaganda

Di Surakarta lain cerita. Pada Januari 1929, pasar malam tak hanya diselenggarakan untuk memperingati hari Penobatan Ratu, melainkan juga perayaan hari ulang tahun ke-64 Susuhunan. Dalam tradisi Jawa, ulang tahun ke-64 disebut tumbuk. Maka, dinamakanlah pasar malam itu Toemboek Dalem.

Hiburannya hampir sama dengan pasar malam lainnya; ada wayang orang dan bioskop. Yang agak berbeda adalah stambul Jawa. Sandiwara ini merupakan kemempelaian antara seni pertunjukan Eropa dan Jawa. Ceritanya berasal dari tanah Eropa, namun dimainkan dengan jiwa Jawa. Stambul sendiri telah dikenal sejak awal abad ke-20 di Surabaya dan terus berkembang ke wilayah lainnya melalui pasar malam.

Berlokasi di sekitaran keraton, pasar malam ini menyedot perhatian masyarakat Sala. Meski memungut uang karcis, tujuan pasar malam ini bukan keuntungan semata karena bakal disisihkan untuk beasiswa. “Kalau pasar malam itu mendapat untung, keuntungan itu akan dipergunakan buat bikin studiefonds,” sebagaimana termaktub dalam Programma Pasar Malem Toemboek Soerakarta 1929.

Hingga 1937, belum ada yang melihat potensi pasar malam sebagai usaha hiburan rutin. Kebanyakan pasar malam digelar mengikuti peristiwa tertentu dan waktunya terbatas. Penyelenggaranya pun sering kali berasal dari komite yang dibentuk pemerintah atau badan tertentu, bukan perseorangan. Seorang Tionghoa akhirnya mendobrak tradisi ini.

Adalah Tan Hin Hie, pengusaha ikan asin, yang membuka pasar malam tak terjadwal pertama
di Batavia. Beroleh keuntungan dari usaha ikan asinnya, dia membeli sebidang tanah di wilayah pinggiran kawasan pecinan Glodok. Dia lalu membangun arena pertunjukan untuk tonil, komidi putar yang didorong orang, bioskop, dan rumah setan, yang kemudian dikenal dengan nama Prinsen Park. Pasar malam ini resmi dibuka pada 1937 kala Pasar Malam Gambir mulai kehilangan pamor.

“Prinsen menjadi plesiran baru warga, baik asing maupun lokal. Bahkan mengalahkan Concordia dan Societet de Harmonie,” kata Alwi Shahab, sejarawan gaek Jakarta. Pasar itu buka tiap malam.

Tiga tahun setelah berdiri, warga perlahan melupakan Pasar Gambir. Apalagi sejak 1937, pemerintah tak pernah lagi menggelarnya. Di Prinsen, sekumpulan warga Tionghoa berusaha menggunakan pasar malam sebagai wadah amal dan propaganda.

Poster pasar malam “Kina Fonds Tiongkok” di Prinsen Park, Batavia tahun 1940. (Repro Programma Pasar Malem Kina Fonds Tiongkok April 1940).

Pada April 1940, selama seminggu, mereka menyewa sebagian Prinsen untuk acara “Kina Fonds”. Tujuannya menggalang dana untuk membantu Chiang Kai Sek melawan Jepang. “Untuk menjawab panggilan Chiang Kai Sek, pasar malam ini diadakan,” tulis Tschou Kwong Kah, konsul Tionghoa di Batavia, dalam Programma Pasar Malem Kina Fonds Tiongkok April 1940.

Invasi Jepang di Asia tak terbendung. Tiongkok jatuh, begitu pun Hindia Belanda. Namun kegiatan pasar malam tetap berlanjut. Di bawah Jepang, pasar malam lebih banyak ditujukan untuk propaganda dan penggalangan dana Perang Asia Timur Raya. Di Jakarta, pasar malam besar diselenggarakan pada Juni 1943.

Secara terang-terangan, Jepang menyebutnya sebagai pengganti Pasar Gambir. Berbeda dari pasar malam sebelumnya, pasar ini dibanjiri buku-buku Jepang. “Mereka yang berkepentingan
bisa melihat buku-buku pelajaran dalam bahasa Nippon,” tulis harian Pembangoen, 24 Juni 1943. Tapi kesenian lokal dibiarkan tetap tampil. Seperti yang dilakukan Belanda, Jepang mendorong wayang dan segala rupa barang kerajinan lokal.

Untuk mendukung Perang Asia Timur Raya, Jepang membidik dana dari luar Jawa. Di Sinjai, Sulawesi Selatan, misalnya, mereka mendorong penduduk agar berduyun-duyun mengunjungi pasar malam. Rasa percaya diri mengemuka setelah melihat dukungan penduduk. “Semangat penduduk di sini untuk membantu Dai Nippon dalam peperangan suci ini, supaya kemenangan yang akhir segera tercapai, semakin berapi-api,” tulis Pewarta Selebes, 28 Agustus 1943.

Untuk memikat khalayak, Jepang menyiapkan aneka pertunjukan seperti perlombaan kuda. “Hasilnya akan diserahkan kepada yang berwajib selaku sokongan untuk memenangkan perang,” tulis Pewarta Selebes.

Pada pertengahan 1945, Jepang kalah perang. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pun berdengung. Sebulan setelah kemerdekaan, sekelompok orang di Banjarmasin siap menggelar pasar malam. Kebetulan pula hari raya Idulfitri akan tiba. “Di tanah lapang Kandangan akan diadakan Pasar Malam yang bernama Pasar Malam Menyambut Indonesia Merdeka,” tulis Borneo Shimboen, 4 September 1945.

Setelah kemerdekaan, pasar malam menjelma jadi ajang ekshibisi kelas dunia. Pada 1968, Gubernur Jakarta Ali Sadikin memperkenalkan Pekan Raya Jakarta di tanah bekas Pasar Gambir. Namun beberapa pasar malam lainnya meredup. Prinsen Park, contohnya, sejak 1970-an mulai kumuh. “Sampai sekarang, kok, kalau melihat Prinsen heran juga. Jadi kumuh begitu,” kata Alwi Shahab.

Meski begitu, sekarang bertumbuh pasar malam kaget di pinggiran ibu kota bahkan sampai di pelosok daerah. Tak tentu waktu, tapi pengunjungnya tetap banyak dan menjadi hiburan rakyat.*

Majalah Historia No. 6 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64635b47a2ffcbe6488b70fb