Presiden Sukarno di dalam kemah ketika menunaikan ibadah haji pada 1955.
Aa
Aa
Aa
Aa
PAGI, 18 Juli 1955. Lapangan Terbang Kemayoran ramai. Ribuan orang menanti untuk melepas keberangkatan Presiden Sukarno bersama rombongan (31 orang) ke Tanah Suci. Setiba di Kemayoran, Sukarno menyampaikan amanatnya.
“Hari ini saya minta pamit dari seluruh lapisan rakyat di manapun saudara-saudara berada di tanah air kita. Saya minta doa selamat dari saudara-saudara sekalian.” ujar Sukarno, dikutip harian Merdeka, 19 Juli 1955.
PAGI, 18 Juli 1955. Lapangan Terbang Kemayoran ramai. Ribuan orang menanti untuk melepas keberangkatan Presiden Sukarno bersama rombongan (31 orang) ke Tanah Suci. Setiba di Kemayoran, Sukarno menyampaikan amanatnya.
“Hari ini saya minta pamit dari seluruh lapisan rakyat di manapun saudara-saudara berada di tanah air kita. Saya minta doa selamat dari saudara-saudara sekalian.” ujar Sukarno, dikutip harian Merdeka, 19 Juli 1955.
“Saya ingin minta dari saudara-saudara semua, supaya selama saya tidak ada di Tanah Air, saudara-saudara semuanya bersama-sama menjaga dan memelihara ketentraman dan keselamatan negara kita.”
Setelah berjabat tangan dengan sejumlah pejabat sipil maupun militer dan korps diplomatik, Garuda Indonesia Airlines yang membawa presiden tinggal landas. Riuh dan lambaian tangan mengiringinya.
Singgah di Kairo, presiden dan rombongan menginap di Istana Koubbah. “Istana bekas Raja Faruk ini indah sekali,” tulis Mangil Martowidjojo, komandan Polisi pengawal pribadi presiden yang ikut dalam rombongan, dalam Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967. Selama lima hari, Sukarno melakukan kunjungan kenegaraan, termasuk menghadiri perayaan Hari Revolusioner Mesir pada 23 Juli.
Setibanya di Lapangan Terbang Jeddah, Raja Saud bin Abdul Aziz menyambutnya. Acara dilanjutkan pengibaran bendera Merah-Putih, penembakan meriam 21 kali, pemutaran lagu kebangsaan, barisan kehormatan, dan perkenalan. Rombongan lalu dijamu di Istana Raja.
“Sukarno berangkat bukan hanya sebagai seorang muslim yang baik tapi juga seorang kepala negara. Maka, Sukarno di sana diterima kepala negara,” ujar Peter Kasenda, sejarawan Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta. Selain itu, meriahnya sambutan terhadap Sukarno di Mesir maupun Arab Saudi dikarenakan tahun itu Indonesia berhasil menghelat Konferensi Asia-Afrika.
Ketika rombongan berziarah ke makam Nabi Muhammad, Sukarno dan beberapa orang mendapat kesempatan masuk ke ruangan tempat makam Rasulullah. “Lama Bung Karno berdiri mengheningkan cipta, berdoa di samping makam Nabi Muhammad… Bung Karno menangis seperti anak kecil yang menangis… keras dan lama,” tulis Mangil.
Keesokan harinya, Sukarno menuju Mekah. “Kegiatan rombongan selain melakukan kunjungan kehormatan ke istana-istana Raja Saud dan Pangeran Faisal di Riyadh, dan Gubernur Jeddah, juga meliputi upacara pencucian bangunan dan memasuki Kabah,” tulis Ario Helmy dalam Biografi KH Zainul Arifin Berdzikir Menyiasati Angin.
Hari-hari selanjutnya Sukarno menjalankan rangkaian ibadah haji di Makkah, Arafah, dan Mina. Di sesela waktunya, dia menerima kunjungan para pemuda Indonesia yang belajar di Mekah, memberikan amanat di depan warga Indonesia, dan berkunjung ke perkemahan jamaah haji asal Indonesia.
Raja Arab Saudi memberinya hadiah mobil Chrysler Crown Imperial yang dipakai Sukarno selama berada di Arab Saudi. Haji Sukarno dan rombongan tiba di Tanah Air pada 4 Agustus 1955.*