Bukan Sekadar Urusan Upah

Protes terhadap penurunan gaji menjadi momentum melawan pemerintah kolonial Belanda. Ada faktor nasionalisme di balik pemberontakan di kapal De Zeven Provincien itu.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Bukan Sekadar Urusan UpahBukan Sekadar Urusan Upah
cover caption
Peter A. Rohi (kiri) bersama masyarakan Nusa Tenggara Timur tabur bunga di makam para pahlawan pemberontakan kapal De Zeven Provincien di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, 4 Februari 2016. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

MASYARAKAT Nusa Tenggara Timur melakukan tabur bunga di makam para pahlawan pemberontakan kapal De Zeven Provincien di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, 4 Februari 2016. Dalam acara ini hadir keluarga dari pemimpin pemberontak, yaitu curu Martin Paradja serta anak, menantu dan cucu Josias Kolondam Kawilarang.  

“Kami sudah lama mendengar bahwa kakek kami adalah pelaut hebat. Orang tua saya dulu beberapa kali mengajak saya ziarah ke sini. Namun, bagi kami anak keturunan Martin Paradja, merasa ada kurang perhatian dari pemerintah,” ujar Dominggus Benggu, cucu Martin Paradja kepada Historia.

Kerangka Paradja dan 20 awak Indonesia yang gugur dalam pemberontakan dipindahkan dari Pulau Onrust ke Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 10 Februari 1958. Saat itulah, wartawan-cum-sejarawan Peter A. Rohi kali pertama mengetahui tentang pemberontakan pelaut Indonesia di kapal De Zeven Provincien. Ayahanya menunjukkan koran yang memuat foto dan berita tentang pemindahan kerangka 21 pemberontak.

MASYARAKAT Nusa Tenggara Timur melakukan tabur bunga di makam para pahlawan pemberontakan kapal De Zeven Provincien di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, 4 Februari 2016. Dalam acara ini hadir keluarga dari pemimpin pemberontak, yaitu curu Martin Paradja serta anak, menantu dan cucu Josias Kolondam Kawilarang.  

“Kami sudah lama mendengar bahwa kakek kami adalah pelaut hebat. Orang tua saya dulu beberapa kali mengajak saya ziarah ke sini. Namun, bagi kami anak keturunan Martin Paradja, merasa ada kurang perhatian dari pemerintah,” ujar Dominggus Benggu, cucu Martin Paradja kepada Historia.

Kerangka Paradja dan 20 awak Indonesia yang gugur dalam pemberontakan dipindahkan dari Pulau Onrust ke Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 10 Februari 1958. Saat itulah, wartawan-cum-sejarawan Peter A. Rohi kali pertama mengetahui tentang pemberontakan pelaut Indonesia di kapal De Zeven Provincien. Ayahanya menunjukkan koran yang memuat foto dan berita tentang pemindahan kerangka 21 pemberontak.

“Saya masih ingat ayah bangga dan membacakan bahwa kerangka Martin Paradja adalah satu-satunya yang dikenal, kerana tubuhnya yang tinggi besar. Pemindahan kerangka mereka dari Onrust ke TMP Kalibata atas perintah langsung Presiden Sukarno. Martin Paradja dan Juliant Hendrik adalah pemuda-pemuda sekampung ayah di Pulau Sabu,” kata Peter yang membacakan sejarah pemberontakan kapal De Zeven Provincien di acara tabur bunga itu.  

Pemberontakan itu menuntut pembebasan rekan-rekan mereka yang ditahan di Surabaya karena unjuk rasa menolak pengurangan gaji. “Opa (paman dari ibu saya, Andrew Therik) dan paman saya, Johannes Rihidima, ikut dalam demonstrasi-demonstrasi sebagai protes terhadap keputusan pemerintah kolonial menurunkan gaji para pelaut,” kata Peter.  

Ketika itu, suasana politik sedang memanas apalagi setelah Sukarno berpidato di Surabaya tahun 1932 yang menyerukan bangkit melawan penjajah. Sukarno ketika itu sudah dianggap sebagai pemimpin pergerakan sampai ke pelosok-pelosok Tanah Air.  

“Paman saya mengatakan ketika itu para anggota Angkatan Laut yang muda-muda sudah mengagumi Sukarno dan PNI. Martin Paradja yang paling berapi-api di antara mereka, dan tidak segan-segan mengatakan bahwa dia pengikut Sukarno. Opa saya juga menambahkan bahwa pengumuman penurunan gaji merupakan momentum bagi para anggota Angkatan Laut yang sudah terpengaruh semangat nasionalisme. Praktik rasialis yang secara resmi diberlakukan di tubuh AL Belanda menjadi pemacu bergerak majunya nasionalisme,” kata Peter.

Pemakaman kembali para pahlawan pemberontakan kapal De Zeven Provincien di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, 10 Februari 1958. (Repro Sedjarah Pembrontakan di Kapal Tudjuh karya M. Sapija).

Dua Versi Penggerak Berontak

Pada peringatan 25 tahun pemberontakan kapal De Zeven Provincien tahun 1958, pengurangan gaji sebagai motif pemberontakan sama sekali tak disebut. Motif yang disebutkan adalah diskriminasi antara pelaut Eropa dan Indonesia. Ini seakan memperkuat sikap antikolonial para pemberontak. Koran berhaluan komunis, Harian Rakyat, 5 Februari 1958, menulis: “Pemberontakan di De Zeven adalah pemberontakan antikolonial pertama yang dilakukan oleh pelaut Indonesia.”

“Partai Komunis Indonesia yang pada 1958 mencapai puncak kekuasaan, masih mencoba menyebut pemberontakan itu sebagai gerakan yang terilhami oleh komunisme,” tulis Elly Touwen-Bouwsma dalam “Pemberontak atau Perintis Kemerdekaan: Tanggapan Indonesia terhadap Pemberontakan di Kapal De Zeven Provincien,” termuat di De Zeven Provincien Ketika Kelasi Indonesia Berontak (1933).  

Di Belanda sendiri, kata Peter, kaum konservatif menilai pemberontakan ini mirip dengan perebutan kapal Potemkin di Wladiwostok pada 1905 oleh pelaut revolusioner Rusia yang sudah dipengaruhi ajaran komunis.  

Wartawan senior Harry Kawilarang, keponakan Josias Kolondam Kawilarang, menyebut bahwa Gubernur Jenderal De Jonge mempelintir dengan mempolitisasi peristiwa pemberontakan itu. Dia menuduh bahwa aksi ini adalah gerakan politik yang di motori de Rooiers, kaum komunis yang sedang membangun Armada Merah untuk mengacaukan keadaan setelah kalah dalam aksi makar pada pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatra tahun 1926 dan 1927 dan ditindak dengan kekerasan dan dibubarkan.

Sedangkan J.C.H. Blom dalam “Pemberontakan di Kapal De Zeven Provincien,” termuat di De Zeven Provincien: Ketika Kelasi Indonesi Berontak (1933) menyebut bahwa sejarawan Belanda, L. de Jong, yang berpendapat pemberontakan itu digerakkan oleh sel komunis. Blom mematahkan pendapat itu bahwa tidak ada bukti kuat yang mendukung adanya sel komunis. Alasan yang membuat sel komunis tidak mungkin ada di kapal, yaitu pasca gagalnya pemberontakan PKI 1926–1927, komunisme di Hindia Belanda sangat lemah dan baru tahun 1935 mulai pulih dalam gerakan bawah tanah. Lagi pula cukup janggal bahwa para pemberontak beberapa kali dengan tegas dalam telegramnya menyebut “sama sekali tidak ada kecenderungan komunis.”  

“Selama perjalanan menyusuri Sumatra, faktor ideologis sama sekali tidak berperan bahkan bendera merah tidak dikibarkan, bendera Belanda setiap hari dikibarkan, potret Ratu Wilhelmina tetap tak disentuh,” tulis Blom.  

Blom menyimpulkan bahwa sel komunis sangat tidak mungkin sebagai organisator pemberontakan. “Sepengetahuan saya gerakan komunis juga tidak menagih ‘kehormatan’ pemberontakan. Baik Komintern, Partai Komunis Belanda, maupun Partai Komunis Hindia Belanda tidak pernah menyebut bertanggung jawab sebagai penggerak pemberontakan,” tulis Bom.  

Menurut Blom sangat tidak mungkin mencari sel komunis di antara orang Eropa. Boshart, yang kelak jadi komunis, pada waktu pemberontakan dapat dipastikan tidak. Di kalangan pribumi pun tidak ada petunjuk adanya sel komunis.  

“Yang ada adalah pengaruh nasionalistis. Terutama pada diri Paradja dapat disebut adanya hubungan dengan gerakan nasionalistis. Meskipun ada pengaruh komunisme dalam nasionalisme, hal itu bukan berarti sama dengan adanya hubungan dengan gerakan komunis, apalagi keanggotaam dalam sel komunis,” tulis Blom.  

Tokoh-tokoh pemberontakan kapal De Zeven Provincien. Kiri-kanan: Kaunang, Pasumah, Suhardjo, Josias Kolondam Kawilarang, dan Moh. Sjarif. (Repro Sedjarah Pembrontakan di Kapal Tudjuh karya M. Sapija).

Dampak Pemberontakan

Sekeluar dari penjara Sukamiskin, Sukarno berpidato di Surabaya pada 1932. Pidatonya membakar jiwa nasionalisme para pemuda, termasuk para pelaut bumiputra. Surat kabar Soeara Oemoem milik dr. Soetomo yang memuat pidato Sukarno dibredel sementara, sedangkan pemimpin redaksinya, Joenoes Sijaranamual ditahan.  

“Sekali lagi Soeara Oemoem di Surabaya dibredel untuk selamanya karena memuat berita pemberontakan, sedang pemimpin redaksinya, Tjindarboemi dipenjarakan,” kata Peter.  

Menurut Elly, pembredelan Soeara Oemoem dan penahanan Tjindaboemi lebih karena serangan koran itu terhadap Gubernur Jenderal De Jonge yang menggelar apel kesetiaan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 7 Februari 1933 di Waterlooplein, Batavia. Unjuk kesetiaan juga diadakan di beberapa kota besar, yang mengungkapkan dukungan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan menyerukan tindakan tegas terhadap para pemberontak dan gerakan nasionalis.

Koran itu menyatakan bahwa “Sekali lagi dia (gubernur jenderal, red.) ingin menggarisbawahi pemilahan antara orang Belanda dan non-Belanda. Hal itu tidak taktis dan upaya rekayasa untuk mempertahankan kedigdayaan orang Eropa di masyarakat yang heterogen. Lagi pula telegram yang dikirim ke pers dunia ditandatangani oleh awak pribumi dan Eropa.”  

“Serangan langsung koran itu terhadap gubernur jenderal bukan tanpa akibat. Tak lama setelah itu pimpinan redaksi ditahan. Koran itu dituduh menghasut,” tulis Elly. Selain itu, lanjut Elly, wartawan Tjindarboemi ditunjuk punya andil dalam pemberontakan karena telah menyebarkan gagasan dr. Soetomo, pemimpin Soerabajasche Studieclub, kepada pelaut Indonesia melalui majalah serikat kelasi pribumi, Sinar Laoetan.

Menurut John Ingleson dalam Jalan Ke Pengasingan, pemberontakan Zeven Provincien telah menjadi katalisator yang akhirnya meyakinkan De Jonge bahwa batas bagi kegiatan yang diijinkan telah dilangkahi oleh kaum nasionalis yang politis. De Jonge pun mengambil tindakan terhadap kaum nasionalis radikal.  

Jaksa Agung Verheyen menggunakan bukti kecil berupa blangko kartu keanggotaan PNI Baru yang ditemukan pada seorang anggota badan pengurus Bond van Inlandsche Marine (Serikat Pelaut Pribumi) di Surabaya, untuk membuktikan adanya sel PNI Baru dalam Angkatan Laut di Surabaya dan ada hubungannya antara pemberontakan dengan kegiatan PNI Baru.

Verheyen memerintahkan para kepala pemerintahan di daerah untuk menyelidiki lebih teliti lagi rapat-rapat politik kaum nasionalis dan melarang agitasi. Campur tangan pemerintahan di daerah dan polisi semakin meningkat terhadap rapat-rapat umum PNI Baru dan Partindo; rapat demi rapat ditutup dan pada beberapa pertemuan pembicaranya diperintahkan menghentikan pidato.

“Meskipun tak ada bukti-bukti bahwa PNI Baru ataupun Partindo terlibat, De Jonge beranggapan bahwa kaum nasionalis turut bertanggung jawab karena agitasi mereka,” tulis Ingleson.  

Oleh karena itu, Peter melihat adanya hubungan pemberontakan dengan pengasingan para tokoh pergerakan. “Sukarno dicurigai berada di balik pemberontakan. Begitu juga Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Maka ketiganya ditangkap dan dibuang. Bung Karno ke Ende, sedang Bung Hatta dan Sjahrir dibuang ke Boven Digul, kemudian pindah ke Banda Neira,” pungkas Peter.*

Majalah Historia No. 28 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66bb13bcf298fb2cf7472ad8