MENJELANG Kongres Pemuda II, panitia menggelar sayembara. Isinya “menantang” para pemuda untuk menciptakan lagu kebangsaan. Pemenang akan tercatat sebagai pencipta lagu kebangsaan Indonesia. Berbagai surat kabar menyiarkan sayembara itu.
Berita sayembara sampai kepada Nahum Situmorang, pemuda dari Tapanuli. Usianya belum genap 20 tahun dan baru lulus dari Hollandsche Inlandsche Kweekschool (HIK) Goenoeng Sari di Lembang, Bandung.
Sekolah guru swasta ini memiliki jurusan seni suara dan musik, yang jadi minat Nahum. Ilmu musik yang ditimba di Kweekschool memungkinkannya menulis lagu dalam notasi musik Barat. Nahum tertarik ikut sayembara.
Nahum juga penikmat paduan suara gereja. Itulah sebabnya melodi lagunya berbentuk himne atau kidung pujian. Untuk liriknya, Nahum dibantu rekannya, Sanusi Pane, yang kelak dikenal sebagai sastrawan Pujangga Lama.
Namun, Nahum kalah bersaing dengan Wage Rudolf Soepratman, seniman jazz cum wartawan Sin Po, yang jauh lebih senior ketimbang dirinya. Soepratman juga lebih dikenal oleh kalangan tokoh pemuda yang terlibat dalam kongres.
MENJELANG Kongres Pemuda II, panitia menggelar sayembara. Isinya “menantang” para pemuda untuk menciptakan lagu kebangsaan. Pemenang akan tercatat sebagai pencipta lagu kebangsaan Indonesia. Berbagai surat kabar menyiarkan sayembara itu.
Berita sayembara sampai kepada Nahum Situmorang, pemuda dari Tapanuli. Usianya belum genap 20 tahun dan baru lulus dari Hollandsche Inlandsche Kweekschool (HIK) Goenoeng Sari di Lembang, Bandung.
Sekolah guru swasta ini memiliki jurusan seni suara dan musik, yang jadi minat Nahum. Ilmu musik yang ditimba di Kweekschool memungkinkannya menulis lagu dalam notasi musik Barat. Nahum tertarik ikut sayembara.
Nahum juga penikmat paduan suara gereja. Itulah sebabnya melodi lagunya berbentuk himne atau kidung pujian. Untuk liriknya, Nahum dibantu rekannya, Sanusi Pane, yang kelak dikenal sebagai sastrawan Pujangga Lama.
Namun, Nahum kalah bersaing dengan Wage Rudolf Soepratman, seniman jazz cum wartawan Sin Po, yang jauh lebih senior ketimbang dirinya. Soepratman juga lebih dikenal oleh kalangan tokoh pemuda yang terlibat dalam kongres.
Pada 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda II dihelat yang melahirkan ikrar Sumpah Pemuda. Kongres ditutup dengan kumandang lagu “Indonesia” karya Wage Rudolf Soepratman yang ditetapkan sebagai lagu kebangsaan.
Di antara karya-karya yang masuk ke panitia kongres, seperti disebut majalah Bona ni Pinasa,No. 11, Tahun II, Juli 1990, lagu ciptaan Nahum disebut-sebut paling menonjol. Dari segi keindahan musik, karyanya yang terbaik. Namun suasana zaman lebih mengutamakan semangat perjuangan. Apalagi lagu “Indonesia” karya Soepratman itu kemudian disempurnakan judulnya menjadi “Indonesia Raya” dan temponya yang semula keroncong (6/8) menjadi mars (4/4). Sehingga karya Soepratman terpilih sebagai pemenang pertama, dan Nahum pemenang kedua.
Sayangnya, lagu karya Nahum luput dari pengarsipan dan hilang begitu saja.
“Kita tidak punya rekaman atau notasinya. Ayah saya bercerita, memang benar lagunya himne seperti lagu kebangsaan Belanda (“Het Wilhelmus”) dan Inggris (“God Save the Queen”). Jadi, musikalnya klasik,” kata Bogart Situmorang (70 tahun), keponakan Nahum dari abangnya, Guru Sopar Situmorang.
Nahum jelas kecewa. Tapi, gagal dalam sayembara tak membuatnya berhenti berkarya. Talenta musik dan kecintaannya akan kultur kehidupan orang Batak melahirkan sejumlah karya monumental dalam semesta lagu pop Batak.
Mengasah Bakat Seni
Sipirok terletak di lembah pegunungan Bukit Barisan yang menjadi pusat pemerintahan kolonial di Tapanuli Selatan. Banyak orang Batak pedalaman merantau ke sana untuk mengejar kemajuan melalui pendidikan. Begitu pula yang dilakoni Kilian Situmorang.
Dari Desa Urat, kampung leluhur marga Situmorang di Pulau Samosir, Kilian hijrah ke Sipirok. Dia mengabdi sebagai guru sekaligus kepala sekolah sehingga mendapat gelar Guru Kilian.
Guru Kilian beristrikan Lina br. Tobing. Keluarga ini tinggal di Desa Bunga Bondar, Sipirok. Pada 14 Februari 1908, lahirlah anak kelima mereka bernama Nahum; diambil dari nama salah satu nabi dalam kitab Perjanjian Lama umat Kristen. Dalam bahasa Ibrani, Nahum berarti “si penghibur”. Menyusul kemudian tiga anak lainnya, yang membuat keluarga Guru Kilian kiam ramai.
Tumbuh di tengah keluarga terdidik, Nahum bersama tujuh saudaranya punya kemampuan berbahasa yang cukup baik. “Karena dibesarkan di Sipirok, mereka fasih sekali berbahasa Mandailing, selain bahasa Belanda dan Batak Toba,” kata Bistok Situmorang (82 tahun), keponakan Nahum, abang dari Bogart Situmorang.
Sedari kecil Nahum suka menyanyi. Dia sering dibawa berkeliling naik sado oleh bujing-bujing (anak-anak gadis) sambil bernyanyi. Kompas, 26 Agustus 1978, menyebut sejak usia delapan tahun Nahum sering diundang ke berbagai perhelatan untuk bernyanyi sambil meniup harmonika.
<div class="strect-width-img"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/6225b281d123ca1c672fbfa3_Intersection%2013.jpg" alt="img"></div> <figcaption>Pelajar di Hogere Kweekschool Bandung. (Tropenmuseum)</figcaption></figure></div>
Pada 1918, Guru Kilian memboyong keluarganya pindah ke Tapanuli Utara. Dia mengajar di Pansurbatu. Sementara Nahum meneruskan pendidikan dasarnya di Tarutung.
Nahum masuk sekolah Belanda untuk bumiputra atau Holland Inland School (HIS). Setamat HIS, Nahum dipersiapkan untuk mengikuti jejak sang ayah menjadi guru. Dia melanjutkan pendidikan ke Hollandsche Inlandsche Kweekschool (HIK) atau Sekolah Guru Bantu di Weltevreden (kini Jalan Gunung Sahari), Batavia. Biaya sekolah dipikul Manasye, abang nomor tiga, yang bekerja sebagai asisten pejabat pos di Medan dan Sopar, abang nomor empat, seorang guru di Tarutung.
Kweekschool Batavia kemudian dipindahkan ke Lembang, Bandung, dan lebih dikenal dengan nama Kweekschool Goenoeng Sari. Sekolah guru swasta ini, yang didirikan oleh Perguruan Neutrale Scholen, memiliki jurusan seni suara dan musik. Sesuai dengan minat Nahum.
Untuk mengembangkan bakat, Nahum ingin memiliki biola. Dia memelas kepada orang tuanya di kampung agar dibelikan biola. Karena biola terbilang barang mahal, permintaan itu tak dikabulkan. Keinginan Nahum akhirnya terwujud berkat abangnya, Sopar, yang bersedia membelikan biola. Selain biola, Nahum terampil memainkan piano dan gitar.
Nahum lulus tahun 1928. Setelah memperoleh ijazah guru, Nahum kembali ke tanah kelahirannya.
Guru Nahum
Pada 1929, Nahum mulai bekerja sebagai guru di sekolah partikelir Bataksche Studiefonds Sibolga. Sebagaimana orang Batak terdidik masa itu, Nahum dipanggil dengan gelar kehormatan: Guru Nahum.
Selain mengajar, dia menyalurkan bakat seninya dan menghasilkan karya lagu berjudul “Tumba Goreng”. Lagu yang diciptakan tahun 1932 itu memiliki tempo 4/4. Nahum terinspirasi dari tradisi muda-mudi Sibolga yang saling menari dan berpantun pada waktu terang bulan.
Empat tahun lamanya Nahum menetap di Sibolga hingga pindah mengajar ke Tarutung. Dia ingin lebih dekat dengan keluarga. Apalagi ibunya sedang sakit. Nahum mengajar bahasa Belanda. Salah satu muridnya ialah Nortier Simanungkalit, yang kelak menjadi komponis mars terkemuka.
Kehidupan Nahum sebenarnya berkecukupan. Menyandang gelar guru sudah pasti dihormati. Apalagi dia punya keahlian bermusik serta pandai merangkai notasi angka. Maka tak heran kalau Nahum punya jaringan pergaulan dengan kalangan seniman. Koneksi itulah yang membawa Nahum pada pinangan grup musik Soematra Keroncong Concours. Bersama Nahum, kelompok orkes yang dipimpin Raja Buntal Sinambela –putra Sisingamangaraja XII– itu memenangi kontes musik keroncong di Medan pada 1936.
Nahum juga kerap dilibatkan dalam beragam acara perayaan di Tarutung. Saat pernikahan Prinses Juliana dengan Pangeran Bernhard, dia masuk kepanitiaan perayaan. Panitia ini menyusun beragam acara, dari ibadah gereja, pertandingan olahraga, parade dan permainan anak-anak, hingga nyanyian lagu kebangsaan “Wilhelmus” dan lagu khusus Oranye –dengan lirik dan musik oleh Nahum Situmorang, catat Deli Courant, 4 Desember 1936.
Setahun kemudian pasangan Juliana dan Bernhard dikaruniai seorang anak, Beatrix. Kembali perayaan digelar di Tarutung. Seperti biasa, Nahum terlibat bersama anak-anak. Dicatat Deli Courant 3 Februari 1938, dua ribu anak mengikuti pawai kemudian aubade -- nyanyian penghornatan--, termasuk dua lagu Oranye khusus, puisi dan musik oleh guru Batak D. Hoetapea dan N. Sitoemorang. Pada tahun yang sama digelar Jubilee Ratu Wilhelmina. Dicatat Deli Courant, 9 September 1938, anak-anak berturut-turut menyanyikan lagu “Wilhelmus”, lagu hari jadi oleh guru Djisman Hoetaaea, dan lagu ulang tahun oleh guru N. Sitoemorang.
Sembari menyalurkan bakatnya, Nahum tetap menjalankan profesi guru. Kegiatannya di kelas baru terhenti ketika sekolah tempatnya mengajar ditutup ketika Jepang datang.
<div class="strect-width-img"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/6225b2a19736108e7458449e_Intersection%2017.jpg" alt="img"></div> <figcaption>Romusha Pada Era Jepang. (wikimediacommos)</figcaption></figure></div>
Lagu Zaman Jepang
Tiga tahun pendudukan Jepang tercatat sebagai masa penjajahan paling sengsara. Rakyat dipaksa bekerja rodi (romusha) demi memenuhi kebutuhan perang. Nahum beruntung memiliki keahlian bermusik sehingga terbebas dari kewajiban rodi.
Menurut Bistok, Nahum tergabung sebagai anggota Sendenhan (Barisan Propaganda), yang dibentuk Jepang untuk “perang kultural” –kemudian diubah jadi Sendenbu (Departemen Propaganda). Dia bernaung dalam kelompok orkes dan kerap tampil mengisi pertunjukan musik di sebuah restoran untuk menghibur tentara Jepang.
Jadi seniman di masa Jepang memberikan sejumlah keistimewaan bagi Nahum. Bistok menuturkan, Nahum memperoleh kain busana yang bagus untuk menunjang performanya di atas panggung. Dalam hal bermusik, Nahum juga dibolehkan berkreasi. Sedikitnya dia menelurkan dua karya lagu di zaman Jepang.
Lagu pertama berjudul “Gelorakan Semangat Pembangunan”. Dinyanyikan dengan ritme cepat atau allegro (4/4) dan dimaksudkan untuk memacu semangat juang para pemuda dalam membangun negeri.
Pada bait kedua lagu itu, unsur propaganda Jepang terasa kuat. Kata “Pemuda dan Pemudi” diganti dengan “Zikeidan dan Bogodan” yang semakna dengan laskar penjaga keamanan rakyat. Pada badan itulah, menurut Bungaran Antonius Simanjuntak dalam Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945, banyak pemuda Batak terserap ke dalam regu-regu penjaga kampung yang dibentuk di Tapanuli. Maka, lazim pula kalau lagu ini lebih dikenal dengan judul “Zikeidan dan Bogodan”.
Lagu kedua berjudul “Gyugun Laskar Rakyat”. Nahum menciptakan lagu bertempo mars ini pada 1944. Semangat bertempur menjiwai liriknya yang memang ditujukan kepada Gyugun, tentara sukarela bentukan Jepang di Sumatra.
Ada keterangan yang menarik dalam Koleksi 120 Lagu Nahum Situmorang, yang disusun Ikatan Keluarga Pewaris Komponis Nahum Situmorang (IKPK–NS), tentang lagu itu. Disebutkan bahwa melodi lagu tersebut disadur oleh komponis nasional Ismail Marzuki menjadi “Halo-Halo Bandung”. Tengara itu diungkapkan oleh Tagor Situmorang, keponakan Nahum, putra keempat Guru Sopar.
Menurut Tagor, beberapa orang tua di Tarutung masih mengingat lagu “Gyugun Laskar Rakyat” ketika dia berkunjung ke sana akhir 1980-an. Dari situlah dia mengetahui bagaimana lagu ini berkelana ke pulau seberang. Seperti dikisahkannya kepada Bona ni Pinasa, ada seorang mahasiswa, anak kepala nagari Tarutung, kuliah di Bandung. Dia ikut berjuang sebagai anggota barisan berani mati bertempur melawan Belanda tahun 1946. Peristiwa heroik itu kemudian dikenal sebagai “Bandung Lautan Api”,
“Nah, untuk mengobarkan semangat perjuangan, bisa jadi lirik lagu ‘Gyugun Laskar Rakyat’ digubah jadi ‘Halo-Halo Bandung’. Lagu tersebut sudah populer pada tahun 1944. Sedang peristiwa Bandung Lautan Api terjadi pada tahun 1946,” ujar Tagor. Namun, klaim itu masih bersifat spekulasi dan perlu pembuktian lebih sahih.
Lagu “Halo-Halo Bandung” memang sarat polemik. Sastrawan Remy Sylado mengatakan lagu tersebut diciptakan oleh Lumban Tobing, seorang prajurit Siliwangi. Ketika hijrah ke ibukota RI di Yogyakarta, Lumban Tobing bersama peletonnya dari halak (orang) Batak dan kawanua (orang Minahasa) mengadakan longmars sambil menyanyikan lagu ini.
“Menurut Remy, versi ‘Halo-Halo Bandung’ yang diakui sebagai ciptaan Ismail Marzuki didasarkan pada versi asli Lumban Tobing tentang kegigihan prajurit Siliwangi yang terdiri dari suku-suku luar Jawa untuk menegakkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,” tulis Nino Leksono dalam biografi Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman.
Sebagai catatan, Lumban Tobing yang dimaksud ialah Mayor Simon Lumban Tobing, kepala staf Batalion Pelopor I Divisi Siliwangi. Dia mahasiswa senior Sekolah Tinggi Teknik Bandung (kini Institut Teknologi Bandung) yang bergabung dalam barisan pelajar pejuang di masa revolusi. Dia bersama pasukannya akhirnya gugur karena dibunuh laskar Darul Islam di sekitar Garut.
<div class="quotes-center font-g">“Nah, untuk mengobarkan semangat perjuangan, bisa jadi lirik lagu ‘Gyugun Laskar Rakyat’ digubah jadi ‘Halo-Halo Bandung’. Lagu tersebut sudah populer pada tahun 1944. Sedang peristiwa Bandung Lautan Api terjadi pada tahun 1946. - Tagor</div>
Seniman Lapo Tuak
Setelah Jepang angkat kaki, Nahum mencari peruntungan ke Medan. Dia melakoni pekerjaan sebagai pedagang perhiasan. Dia menjajakan emas dan berlian.
Tapi, perang masih belum selesai. Belanda berusaha menjajah kembali bekas koloninya. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan berkobar di seluruh negeri. Di Esplanade (kini Lapangan Merdeka), Nahum sering menyaksikan orasi-orasi perjuangan yang dikumandangkan para pemuda. Jiwa seninya tergugah. Dia menciptakan lagu “Mariam Tomong Mariam Mortir” untuk memacu semangat para pejuang.
“Di lapangan itu dia langsung mencipta,” kata Harry Dikana Situmeang, dosen seni musik Universitas HKBP Nommensen. Keterangan itu didapat Harry lewat wawancara dengan beberapa sejawat Nahum untuk penulisan tesisnya tentang perkembangan musik populer Batak di Medan periode 1960-1980 di Universitas Sumatra Utara.
Lagu “Mariam Tomong Mariam Mortir” dinyanyikan dalam irama rumba (4/4) sehingga terdengar penuh semangat. Lagu ini kemudian menjadi salah satu tembang rakyat yang sering dikumandangkan pada rapat-rapat umum.
Jalan hidup sebagai pemusik benar-benar dihayati setelah perang berakhir. Dan dia menemukan sumber inspirasi yang melimpah-ruah di lapo tuak.
Lapo adalah tempat minum dan berkumpul orang-orang Batak. Mereka datang untuk sekadar kongko-kongko, bernyanyi melepas penat, hingga mabuk-mabukan. Ke situlah Nahum menghabiskan waktu. Nahum sendiri tak minum tuak tapi lebih memilih kopi, teh, atau oranye crush.
Di tempat minum yang identik dengan orang Batak itu pula Nahum berkenalan dengan Sidik Sitompul dan Berman Hutabarat. Ketiganya kemudian membentuk Nahum’s Band, bernyanyi dari satu lapo ke lapo lain. Dengan suara besar menggelegar, mereka hampir tak pernah memakai mikrofon. Meski demikian, segenap pengunjung lapo selalu terhibur menyaksikan penampilan mereka. Ditulis Kompas, 26 Agustus 1978, setiap pemilik lapo tuak senang jika didatangi Nahum. Sebab, bisa dipastikan warungnya bakal ramai pengunjung.
Banyak lagu Nahum tercipta kala menghabiskan waktu di lapo. Lagu “Lisoi” menggambarkan bagaimana lapo menjadi tempat pelipur lara. Lagu ini digarap dalam irama waltz yang identik dengan musik tarian rakyat. Secara harfiah, “lisoi” berarti membasuh dengan air. Nahum memaknai ulang lisoi sebagai simbol persahabatan di antara kalangan peminum di lapo tuak.
Lapo tuak boleh jadi tempat paling asyik bagi Nahum meluapkan hasrat bermusik. Tapi, penghasilan sebagai seniman jalanan terbilang pas-pasan. Atas bantuan beberapa kawan, dia jualan mobil. Dari pagi hingga siang, Nahum acap mangkal di Jalan Shanghai jadi makelar mobil. Memasuki petang hari, Nahum lanjut ke lapo tuak langganannya di Jalan Jati.
Ketika hari memasuki larut malam, Nahum pulang dari lapo tuak. Menyandang reputasi seleb lapo, banyak orang menyodorkan jasa untuk mengantarnya. Kalau mau, Nahum bisa saja memanfaatkannya. Namun, dia lebih senang naik becak langganan menuju rumah kontrakannnya di kawasan belakang Istana Deli. Tak banyak yang tahu Nahum tinggal sendirian di gubuk sederhana.
“Dia tidak mau tinggal di rumah kami. Padahal ada kamar tapi dia tidak mau,” kenang Bogart. “Kehidupannya memang agak berbeda kalau tidak punya keluarga. Kita tidak tahu sampai sejauh mana dia lonely (kesepian) karena tidak punya istri. Tapi untuk menutupi itu dia kan full di lapo tuak.”
Dari lapo tuak, Nahum’s Band diundang untuk tampil bernyanyi di siaran RRI Medan. Nahum mengajak pemusik dari kelompok Pardoloktolong Melodi, yang sebelumnya pernah tampil di RRI Medan, untuk bergabung. Begitu pula penyanyi-penyanyinya antara lain Eddy Tambunan, Humizar Siadari, Franz H Manurung, dan Ungkap Situmeang.
“Dia aktif di RRI Medan tahun 1955. Nahum’s Band sering live di situ setiap hari Minggu jam 12.00,” ujar Harry Dikana.
Sejak itu, karya-karya Nahum makin dikenal masyarakat kota Medan. Dicatat majalah Selecta No. 354, 1 Juli 1968, orang di Sumatra Utara dan khususnya Medan tentu kenal dengan Nahum’s Band. Band ini mempunyai ciri tersendiri, yakni alat-alat instrumennya hanyalah gitar. Lagu-lagu ciptaan Nahum biasanya dinyanyikan oleh biduan secara duet dan chorus. Jarang sekali dinyanyikan oleh penyanyi tunggal.
Bukan hanya di RRI Medan, Nahum’s Band pun kerap tampil di panggung terbuka atau tempat hiburan lainnya. Mereka juga sering mengadakan pertunjukan ke luar daerah antara lain Siantar, Sibolga, Sidempuan, Tanjung Balai, Kisaran, Rantau Prapat, Sidikalang, hingga Pekanbaru.
Lokananta, perusahan rekaman milik negara, terpikat dengan penampilan Nahum’s Band dalam siaran RRI Medan. Pita rekaman RRI Medan yang berisi lagu-lagu Nahum kemudian dicetak oleh Lokananta ke dalam piringan hitam. Museum Lokananta Solo masih menyimpan dua album piringan hitam lagu pilihan karya Nahum Situmorang. Album pertama produksi tahun 1958 dengan sampul bertajuk Rangkaian Lagu2 Daerah Sumatra - Nahum's Band (dbp Nahum Situmorang). Album kedua produksi 1959 bertajuk serupa, dengan deskripsi lagu daerah Tapanuli (modern).
Selain di Indonesia, sebagian lagu Nahum direkam Polydor atau Polydor Records Ltd., label rekaman Inggris dan perusahaan yang beroperasi sebagai bagian dari Universal Music Group. Bahkan lagu “Pulo Samosir” diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan direkam dalam piringan hitam.
Periode 1950 hingga 1960-an merupakan masa puncak Nahum berkarya. Sejumlah lagu terbaiknya lahir di masa ini. Tema-tema dalam lagu ciptaannya lekat dengan kehidupan sehari-hari. Dia bercerita tentang keluarga, persahabatan, cinta, hingga keindahan alam. Dari persoalan belenggu adat-istiadat hingga kegenitan muda-mudi.
Lagu Nahum semakin elok dengan kemampuannya menyusun lirik nan puitis. Kalimat sampiran dalam lagunya acapkali mengambil umpasa atau pantun dari kesusastraan Batak; hasil ketekunannya menggali dari tetua-tetua adat.
“Dia pintar mengarang. Dia pergi kepada orang-orang tua yang tahu pepatah. Dia datangi ke kampung-kampung,” kata Bogart.
Begitulah Nahum memadukan senandung dengan sastra sehingga melahirkan lirik dengan makna mendalam. Karena memakai kata-kata ungkapan, tak semua lagu dapat diterjemahkan secara harfiah. Butuh penghayatan untuk meresapi arti sebenarnya.
Tapi, yang unik lagi, Nahum tak pernah pakai alat musik dalam proses mencipta lagu. Hanya bermodal kotak korek api cap “Sumut”. Ketika mengarang lagu, Nahum selalu memukul-mukulkan kotak koreknya ke meja atau ke mana saja.
“Kadang-kadang dia meminjam tangan orang lain untuk menuliskan lagu-lagunya ke dalam not angka,” terang Harry Dikana.
Gubahan lagu Nahum biasanya dicatatkan pada secarik kertas pembungkus rokok. Nahum perokok berat. Sehari-hari dia menghabiskan 4 sampai 5 bungkus. Rokok favoritnya bermerek “Abdullah Rough Rider” dan Player Navy.
Banyak orang menyenangi karya Nahum. Akor-akor nada lagunya sederhana sehingga mudah ditiru. Tapi yang paling menonjol, musik daerah yang diusung Nahum menggunakan irama modern. Dalam Koleksi 120 Lagu Nahum Situmorang dapat dilihat betapa luwes Nahum mengemas lagu dengan beragam irama seperti rumba, kalipso, tango, cha-cha, hawaian, hingga slow rock.
Radio tentu menjadi media penting bagi Nahum mempelajari musik kontemporer. “Di situlah dia mendengar pola-pola rumba, apa itu cha-cha, bagaimana itu waltz dan sebagainya. Melalui radio itulah dia mengenal lebih dalam tentang musik,” ujar Harry.
Selain radio, pengaruh Barat dalam lagu Nahum dipengaruhi oleh musik dari film-film Hollywood yang marak pada masa-masa produktif Nahum berkarya. Menurut etnomusikolog Rizaldi Siagian dalam “Melihat Batak di Lagu Nahum Situmorang” termuat di Kompas, 18 Februari 2018, Nahum mendapat fasilitas menonton film oleh Organisasi Deli Bioskop, Medan. Dan dia serap musik-musik dari film-film Hollywood.
Di Medan, Nahum meraih popularitas sebagai seniman. Orang-orang dengan hormat memanggilnya “Guru Nahum”, meski dia tak lagi menjadi guru. Namun, lagu-lagu Nahum bikin orang-orang Batak perantauan dilanda penasaran. Mereka ingin menyaksi-dengarkan penampilan Nahum secara langsung.
<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/6225b2b5fcf50e99e24b0c66_Intersection%205.jpg" alt="img"></div><figcaption>Guru Nahum dan Bandnya. (Repro)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/6225b2ba9aed62fe1dc5f154_Intersection%206.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/bukan-seniman-lapo-tuak-biasa/Bogart%20Situmorang.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Bogart Situmorang</b><br>Keponakan Nahum Situmorang. (Fernando Randy/Historia.ID).</span></div></div></div>
Penonton Histeris
Alkisah, pada 1960, sebuah panitia dari Jakarta mengontrak Nahum untuk mengadakan konser. Titik-titik pertunjukan disiapkan mulai dari Jakarta, Bandung, dan tempat lainnya. Nahum pun berangkat ke Jakarta bersama kelompok bandnya. Mereka antara lain Bistok Marbun, Domi Marpaung, Kondar Sibarani, Parlin Pardede, Siadari, dan Yan Sinambela.
Setiap kali manggung, penonton selalu ramai. Bahkan, pada penampilan ketiga di Gedung Olahraga Ikada (kini Lapangan Monas), penonton histeris ketika lagu “Anakkon hi do Hamoraon di Au” (Anak Ku itulah Kekayaan Ku) dinyanyikan. Sebenarnya judul asli lagu itu bukan memuat kata “Hamoraon” melainkan “Hasangapon” yang berarti kemuliaan.
Lirik lagu “Anakkon hi” memang menyentuh hati. Nahum mengungkapkan peluh orang tua membesarkan dan menyekolahkan anak. Ia sekaligus menggambarkan bagaimana filosofi keluarga Batak memandang anak sebagai harta tiada tara sedangkan pendidikan adalah jalan menuju kemajuan.
Lagu “Anakkon hi” kerap dinyanyikan orang-orang Batak; dari orang biasa sampai penyanyi ternama, di sudut lapo hingga pesta adat. Tak heran, berdasarkan jajak pendapat yang diadakan Batak Center tahun 2021, “Anakkon hi” dinobatkan sebagai lagu Batak terpopuler sepanjang masa.
Konser Nahum berakhir sukses. Orang-orang Batak tajir ikut menonton. Banyak yang naik ke atas panggung dan menyawer. Setelah dihitung, sumbangan spontanitas itu sangat besar jumlahnya. Inilah yang jadi awal perpecahan.
Panitia menganggap sumbangan itu harus masuk kas panitia. Sementara Nahum dan kelompok bandnya mengklaim milik mereka. Pasalnya, pendapatan yang demikian tidak diatur dalam kontrak. Akhirnya perselisihan memuncak dan mengakibatkan perpecahan di tubuh Nahum’s Band.
“Itulah show terakhir Nahum’s Band,” tulis Bona ni Pinasa.
Tanpa Nahum’s Band, undangan bernyanyi yang bersifat pribadi masih terus mengalir. Permintaan tampil itu datang mulai dari menteri, kedutaan besar, hingga perseorangan. Misalnya, Nahum pernah diundang ke Brazilia lantaran musik-musiknya dianggap selaras dengan irama Amerika Latin. Alih-alih menyambut, undangan tersebut ditolak oleh Nahum. Alasannya, disebut Kompas, 26 Agustus 1978, dia terlalu cinta kepada Kota Medan dan tak akan meninggalkannya.
Marah Halim Harahap, perwira Corps Intendans Angkatan Darat (kelak gubernur Sumatra Utara) juga pernah mengundang Nahum ke rumahnya. Usai pertunjukan, Marah Halim meminta Nahum agar mengarang lagu tentang Tapanuli Selatan, sebab kebanyakan lagu Nahum bernuansa Batak Toba. Itulah cikal-bakal Nahum menciptakan lagu “Ketabo-Ketabo”. Lagu itu menggambarkan keindahan Kota Padang Sidempuan dengan salaknya yang enak, pun gadis-gadisnya cantik jelita. Orang Tapanuli Selatan begitu gembira dan bangga menyanyikan senandung berirama rumba ini.
Pada 1961, Nahum kembali ke Medan atas undangan T.D. Pardede, raja tekstil dari Medan yang mengawinkan putrinya. Pardede penggemar lagu-lagu Nahum. Nahum kemudian mengarang lagu tentang si pengusaha: “T.D. Pardede”.
Tak mau berlama-lama bersolo karier, Nahum bergabung dengan vokal grup Solu Bolon –artinya “sampan besar”. Vokal grup tersebut dibentuk oleh Letnan CPM Walter Sirait bersama Fernando Hutabarat, yang dikenal sebagai penyanyi RRI.
Solu Bolon terdiri dari lebih 10 personil yang kebanyakan laki-laki. Mereka cukup dikenal di Sumatra Utara, khususnya Medan. Nahum menjadi penyanyi sekaligus komponis lagu. Lagu-lagu populer Batak yang dinyanyikan Solu Bolon umumnya ciptaan Nahum dengan gaya paduan suara.
Warisan Paling Berharga
Sekali waktu, arloji merek Titus milik Nahum raib dijambret orang. Nahum sebenarnya tak terlalu bersedih atas kehilangan benda mahal itu. Namun, bagi teman-temannya, peristiwa itu dianggap pertanda kurang baik. Benar saja. Tak lama berselang, Nahum jatuh sakit.
Menurut Bogart, karena Guru Sopar sudah dianggap sebagai orangtuanya, Nahum kerap datang ke rumah. Begitu pula kala sakit. Itulah yang terjadi pada akhir 1966. Nahum diantarkan Guru Sopar ke Rumah Sakit Elizabeth. “Kebetulan rumah sakitnya di depan rumah kami,” ujar Bogart.
Nahum didiagnosis mengidap darah tinggi yang parah disertai komplikasi pada pinggang. Untuk menjalani perawatan lebih lanjut, Nahum dipindah ke RSUP Medan (kini RSUD dr. Pirngadi).
Sejak dirawat, kondisi kesehatan Nahum berangsur-angsur memburuk. Separuh tubuhnya lumpuh. Sekadar berbicara pun tak mampu. Hari demi hari dilalui Nahum dalam kesendirian. Memang ada keluarga yang menjaga tapi Nahum hingga menua hidup membujang.
Cerita yang beredar Nahum pernah patah hati. Orang tua gadis yang dicintainya menentang hubungan mereka. Tio br. Tobing, gadis pujaan hatinya, akhirnya menikah dengan orang lain. Kendati demikian, Nahum enggan berpindah ke lain hati.
Kepahitan dalam asmara dituangkan Nahum pada beberapa lagu. Salah satunya, kata Bogart, lagu “Na Sonang do Hita na Dua” (Senangnya Kita Berdua). Kebanyakan orang menyangka lagu ini tentang bersatunya cinta sepasang insan. Karena liriknya yang romantis, lagu ini sering dinyanyikan dalam acara pernikahan orang Batak.
“‘Na Sonang do Hita na Dua’ itu menceritakan ada dua insan yang pernah berpacaran namun akhirnya hubungan mereka tidak berlanjut,” ujar Bogart.
Tiga tahun lamanya Nahum rebah di ranjang rumah sakit. Nyaris tanpa perhatian dari banyak orang. Padahal, sentil majalah Selecta, jasa-jasanya sangatlah besar. “Memang seorang patriot sejati tidak perlu membanggakan jasa-jasanya. Dan Pak Nahum Situmorang adalah seorang patriot.”
Kala raganya kian rapuh, Nahum akhirnya mendapat apresiasi dari pemerintah. Pada 17 Agustus 1969, dia menerima piagam Anugrah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri. Dalam piagam itu, Nahum mendapat pengakuan sebagai pencipta lagu rakyat daerah Batak yang paling berhasil.
Nahum Situmorang wafat pada 20 Oktober 1969. Setelah disemayamkan di rumah Guru Sopar, jenazahnya dimakamkan di pekuburan Kristen Jalan Gajah Mada, Medan. Mulai dari panglima, gubernur, hingga rakyat kecil turut mengantarnya sebagai wujud penghormatan terakhir kepada komponis besar itu.
Secara materi, Nahum hanya meninggalkan uang sebesar 2500 rupiah yang ditemui pada kantongnya. Tapi, warisan sesungguhnya lebih dari itu. Lagu-lagu ciptaannya selalu hidup di hati rakyat Batak dari masa ke masa.
“Kalau warisan tidak ada. Warisan hanya lagu-lagunya itulah. Karya-karya yang menjadi kebanggaan bagi keluarga kami,” ujar Bogart.
Dengan karya yang tidak lekang dimakan zaman, Nahum diakui sebagai pencipta lagu Batak paling prolifik dan terkenal. Sepanjang hidupnya, Nahum disebut-sebut telah menciptakan sebanyak ribuan buah lagu Batak namun hanya sedikit yang dapat tercatat.
Selain dalam bentuk rekaman, karya-karya Nahum pernah didokumentasikan dalam bentuk buku. Antara lain Irama Solu-Bolon: Lagu-lagu Tapanuli-Modern (1960) dan Nahum’s Song: Kumpulan Lagu2 Tapanuli Modern (1971). Pada 2021, pihak keluarga yang tergabung IKPK-NS membukukan karya Nahum dalam Koleksi120 Lagu Nahum Situmorang: Disertai Narasi Kisah yang Melatarinya.
“Belum ada seniman Batak yang selegendaris itu,” ujar Bogart bangga.*