Jenazah Buya Hamka diusung untuk disalatkan di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 24 Juli 1981. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
KABAR pengunduran diri Hamka sebagai ketua MUI tersebar luas. Rumah Hamka mendadak ramai. Rekan-rekan Hamka berkunjung memberi selamat. Para pewarta silih berganti datang menggali keterangan lebih dalam. Petugas keamanan tampak berjaga-jaga. Televisi, radio, dan koran membahas pengunduran diri Hamka: apa alasan Hamka keluar dan siapa bakal penggantinya.
Hamka berupaya menjauh dari pers. “Kebetulan hari pernikahan Afif, putra Hamka kesembilan, telah tiba. Buya pergi ke Palembang pada 23 Mei 1981,” kata Irfan Hamka. Ternyata pers tetap mengekor Hamka. Mereka datang ke acara itu dan bertanya lagi soal pengunduran diri Hamka. “Ah, itu kan ulah koran saja yang menganggap soal ini soal besar,” kata Hamka tenang, dikutip Rusydi Hamka dalam Hamka di Mata Hati Umat.
Hamka kembali ke Jakarta. Tidak lama. Sebab, Hamka harus terbang ke Irak pada 29 Mei. Hamka pergi menghadiri acara Departemen Wakaf Irak. “Hamka lalu meneruskan perjalanan ke Bangladesh,” tulis Yunan Nasution, sahabat Hamka, dalam Panjimas, 21 Agustus 1981. Dari Bangladesh, Hamka tak langsung menuju tanah air. Hamka mampir beberapa hari di Kuala Lumpur, Malaysia.
KABAR pengunduran diri Hamka sebagai ketua MUI tersebar luas. Rumah Hamka mendadak ramai. Rekan-rekan Hamka berkunjung memberi selamat. Para pewarta silih berganti datang menggali keterangan lebih dalam. Petugas keamanan tampak berjaga-jaga. Televisi, radio, dan koran membahas pengunduran diri Hamka: apa alasan Hamka keluar dan siapa bakal penggantinya.
Hamka berupaya menjauh dari pers. “Kebetulan hari pernikahan Afif, putra Hamka kesembilan, telah tiba. Buya pergi ke Palembang pada 23 Mei 1981,” kata Irfan Hamka. Ternyata pers tetap mengekor Hamka. Mereka datang ke acara itu dan bertanya lagi soal pengunduran diri Hamka. “Ah, itu kan ulah koran saja yang menganggap soal ini soal besar,” kata Hamka tenang, dikutip Rusydi Hamka dalam Hamka di Mata Hati Umat.
Hamka kembali ke Jakarta. Tidak lama. Sebab, Hamka harus terbang ke Irak pada 29 Mei. Hamka pergi menghadiri acara Departemen Wakaf Irak. “Hamka lalu meneruskan perjalanan ke Bangladesh,” tulis Yunan Nasution, sahabat Hamka, dalam Panjimas, 21 Agustus 1981. Dari Bangladesh, Hamka tak langsung menuju tanah air. Hamka mampir beberapa hari di Kuala Lumpur, Malaysia.
Hamka baru balik ke tanah air pada 24 Juni menjelang Ramadan. Berita-berita tentang Hamka sudah mereda. Berganti berita kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Di rumah Hamka, dering telepon kian sering terdengar. Penelepon meminta Hamka mengisi ceramah Ramadan. Surat undangan juga berdatangan ke rumah Hamka tanpa henti. “Kesibukan Buya setelah tak menjabat ketua MUI memang banyak menghadiri undangan dan memberi ceramah ke berbagai tempat,” kenang Irfan. Padahal, usia Hamka telah 73 tahun.
Memasuki Ramadan pada awal Juli, Hamka mengisi acara di RRI dan TVRI. Malamnya Hamka lanjut mengimami tarawih jamaah Masjid Al-Azhar. Hamka masih mampu meniti tangga-tangga masjid. Juga tetap sanggup berjalan dari rumah ke Masjid Al-Azhar sejauh 400 meter.
Melihat Hamka terus sibuk, Yunan khawatir. Dia berusaha medorong Hamka agar mau beristirahat. Saat bertemu Hamka pada 11 Juli, Yunan memegang lutut Hamka sembari bergurau.
“Lutut ini saya rasakan semakin kecil dan lemah. Apakah dalam tarawih bulan Ramadan ini Bapak Hamka masih kuat menaiki jenjang masjid Al-Azhar yang mempunyai lebih kurang 20 anak tangga itu?”
“Sekali-sekali saja. Sebagian besar saya tarawih bersama keluarga di rumah,” jawab Hamka mencoba menenangkan Yunan.
Seperti Yunan, anak-anak Hamka juga mengkhawatirkan kondisi Hamka.
“Bagaimana, Yah?” tanya Rusydi dalam Pribadi dan Martabat Buya Hamka.
“Tidak apa-apa,” jawab Hamka tersenyum.
Rusydi kurang puas dengan jawaban ayahnya. Dia bertanya lagi. Hamka menjawab jujur. “Sejak 6 bulan yang lalu dokter Karnen memberi tahu bahwa jantung ayah sudah mulai mengalami kelainan.” Rusydi terkejut. Dia tak tahu ayahnya mengidap penyakit jantung. Dia cuma tahu ayahnya pernah menderita diabetes pada 1964–1965.
Untuk menenangkan Rusydi, Hamka bilang sudah mendapat pil dari dokter. Ampuh sebagai penghilang rasa sakit. Rusydi termenung. Lalu Hamka berkata sembari tersenyum, “Wa’ang (kamu, red.) pencemas, dan terlalu memanjakan ayah.”
Bukannya tenang, hati Rusydi justru bertambah berat. Apalagi Hamka malah mengutarakan keinginan pergi ke luar negeri menghadiri Majelis Ta’sisi Rabithah. Rusydi berpendapat perjalanan itu kelewat berat. Kali ini Hamka manut. Hamka membuang jauh rencana itu.
Usai bertemu Rusydi, Hamka menghadiri penataran mubalig di Pasar Rebo, Jakarta, pada 17 Juli. Malamnya, Hamka mengimami tarawih dan melanjutkannya dengan berceramah hingga pukul 22.00. Lalu Hamka beristirahat di rumah.
Hamka terbangun pukul 01.00. Jantung Hamka sakit. Hamka kemudian membangunkan istrinya. Dia mengelap dada Hamka dengan obat gosok. Keadaan memburuk. Hamka pingsan. Keluarga panik.
Lima menit berlalu, Hamka tersadar. Keluarga lekas memanggil dokter Karnen sebelum keadaan bertambah buruk. Dokter Karnen menyarankan keluarga untuk membawa Hamka ke rumah sakit. Hamka masuk ke ruang perawatan intensif Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Buya Hamka seorang pemikir yang sangat setia pada keyakinannya, tetapi juga sangat terbuka terhadap keyakinan agama lain.
Kabar Hamka masuk rumah sakit berembus. Pewarta merubung rumah Hamka. Sebagian lagi menuju rumah sakit. Keesokan hari, berita Hamka mendominasi halaman depan surat kabar dan siaran di radio dan televisi. Hamka jadi buah bibir masyarakat lagi.
Orang-orang jelata juga berdatangan ke rumah Hamka dan rumah sakit. Keluarga tak mengenal mereka. Sebagian mereka memberi keluarga Hamka karangan bunga. Pesannya serupa: “Semoga Buya Prof. Dr. Hamka Segera Sembuh”. Keadaan di rumah sakit hampir serupa. Penuh dengan karangan bunga untuk Hamka.
Demi kesembuhan Hamka, pihak rumah sakit tak mengizinkan semua orang masuk kamar perawatan Hamka. Bahkan untuk sekadar melihat dari kaca ruang perawatan pun tak boleh.
Pihak rumah sakit hanya memperkenankan sejumlah orang menjenguk Hamka. Semisal dari pihak keluarga, rekan, sahabat, dan orang penting. Itu pun ketika Hamka sudah pindah dari ruang ICU ke ruang perawatan VIP.
Menteri-menteri, anggota DPR/MPR, tokoh-tokoh lintas agama dan aliran, rekan, dan sahabat Hamka berkesempatan menjenguk. Rumah sakit mewajibkan mereka memakai penutup badan berwarna hijau tanpa terkecuali.
Keadaan Hamka mengoyak hati para penjenguk. Selang oksigen terpasang di hidung, alat-alat perawatan jantung melekat di dada, dan jarum infus menancap di pergelangan tangan Hamka. Para penjenguk memanjatkan doa kesembuhan saat melihat ulama besar itu terbaring tanpa daya.
Hamka siuman beberapa waktu. Saat itu Alamsjah Ratu Perwiranegara sedang menjenguk. “Waktu itu Buya sudah lemah dan dokter larang untuk bicara banyak, tetapi Buya memaksakan juga untuk bicara banyak pada saya,” kata Alamsjah dikutip Pelita, 27 Juli 1981.
Hamka bersusah payah memberi Alamsjah sebuah pesan. “Tangan Buya melingkar membuat huruf seperti ‘MPR’, lalu Buya menangis, dan saya tidak dapat bicara banyak lagi karena dokter sudah melarang,” tutur Alamsjah. Apa sebenarnya maksud Hamka? Alamsjah mengaku tak pernah tahu.
Menginjak hari keempat perawatan Hamka, harapan keluarga melambung. “Ayah tampak lebih segar. Wajah beliau tidak sepucat kemarin lagi. Napasnya tampak lebih teratur,” tulis Irfan Hamka dalam Ayah… Pihak keluarga pun mengizinkan rekan-rekan Hamka masuk kamar. Sekadar untuk bersalaman. Tanpa mereka duga, Hamka masih sempat-sempatnya bercanda dengan rekan-rekannya. “Kami cukup senang melihat kondisi ayah seperti itu,” sambung Irfan.
Perasaan keluarga berkecamuk lagi pada malam harinya. Hamka tiba-tiba anfal. Tim dokter bergegas masuk ruangan dan meminta keluarga keluar ruangan. Seorang dokter terlihat memacu jantung Hamka dengan alat. Dua jam kemudian, tim dokter memberitahu keluarga. “Buya baik-baik saja.”
Keesokan paginya, Rusydi bertemu dengan seorang dokter untuk menanyakan kondisi terkini Hamka. Rusydi menerima kabar buruk. Penyakit juga menyerang paru-paru Hamka. “Lahaula wala Quwwata illa billah,” kata Rusydi. Keluarga tercekam bayangan kehilangan Hamka. Mereka mencoba menenangkan diri dengan mendaras Al-Qur’an.
Keadaan Hamka terus menurun memasuki hari keenam. Hamka in coma seharian. “Beliau kelihatan sudah tak sadar sedikit pun, napasnya semakin sesak, dan grafik jalan jantungnya sudah tak beraturan lagi,” tulis Rusydi.
Hari ketujuh, tim dokter mengumpulkan keluarga. Seorang dokter berkata bahwa paru-paru, ginjal, otak, dan jantung Hamka secara klinis tak berfungsi lagi. Dia memberi dua pilihan: mempertahankan alat pacu jantung walau tak bakal berarti banyak bagi kesembuhan Hamka atau langsung mengikhlaskan kepergian Hamka. Keluarga berunding sesaat. Dan mereka sepakat mengambil pilihan kedua.
Tepat pukul 10.15, dokter melepas selang oksigen, selang infus, dan alat pacu jantung. Grafik jantung Hamka menunjukkan garis lurus tanpa henti. Suasana sekitar ruang perawatan Hamka hening. Di luar rumah sakit, hujan turun. Hamka meninggal pukul 10.41 dalam usia 73 tahun 5 bulan. Dan kabar ini beredar cepat.
Keluarga membawa jenazah Hamka ke Masjid Al-Azhar. Ribuan orang telah berkumpul di sana. Presiden dan wakil presiden ikut melayat.
Para tokoh bangsa memberi keterangan pers. “Buya Hamka seorang pemikir yang sangat setia pada keyakinannya, tetapi juga sangat terbuka terhadap keyakinan agama lain,” kata TB Simatupang, tokoh Dewan-Dewan Gereja Indonesia, dikutip Kompas, 28 Juli 1981. Leo Sukoto, sekretaris Majelis Wali Agung Gereja Indonesia, memuji Hamka sebagai seorang pembangun rohani yang jelas, terbuka, lincah, dan penuh keyakinan.
Jenazah Hamka tiba di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pukul 16.10. Usai penguburan Hamka, orang-orang bertanya dengan pesimistis: adakah orang yang pantas menjadi pengganti Hamka?
KH E.Z. Muttaqien, sahabat Hamka, berusaha memompa harapan orang-orang. “Kalau bulan terbenam, bintang pun akan menampakkan dirinya,” tulis Muttaqien dalam Kompas, 20 Agustus 1981. Dia yakin sosok Hamka tak hanya terkenang dalam ingatan, tapi juga tergores dalam perbuatan banyak orang.*