Bulungan Menembus Angan

Bulungan bukan sekadar tempat kongkow. Banyak seniman dan budayawan lahir dari sana.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Bulungan Menembus AnganBulungan Menembus Angan
cover caption
Wapress atau Warung Apresiasi menjadi wahana untuk seniman unjuk kebolehan di Gelanggang Remaja Bulungan. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

BULUNGAN, nama beken Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, masih ramai. Di dalam Gedung Olahraga, sorakan bersahutan, menyemangati tim bola basket yang tengah berlaga. Di depannya, di sebuah kantin, muda-mudi bercengkerama dan bercanda ria. Beberapa bernyanyi bersama, bermain gitar, tetapi ada juga yang melamun.  

Suasana yang sama menyeruak di sebuah warung kopi bernama Wapress (Warung Apresiasi). Sebuah pertunjukan musik bertema 1980-an menghibur pengunjung yang umumnya berusia 30-an tahun ke atas.  

Teguh Slamet Hidayat Hadrai atau lebih dikenal dengan sebutan Teguh Esha, wartawan-cum-sastrawan, memilih tak di sana. Dia bercengkerama dengan Erwin Arnada, mantan pemimpin redaksi majalah Playboy, di sebuah kedai kopi dekat GOR. Perbincangan mengalir. Sambil sesekali menyeruput kopi dan menghisap rokoknya, dia kerap menyelingi jawaban-jawabannya dengan banyolan. Dinginnya malam berubah jadi kehangatan.

BULUNGAN, nama beken Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, masih ramai. Di dalam Gedung Olahraga, sorakan bersahutan, menyemangati tim bola basket yang tengah berlaga. Di depannya, di sebuah kantin, muda-mudi bercengkerama dan bercanda ria. Beberapa bernyanyi bersama, bermain gitar, tetapi ada juga yang melamun.  

Suasana yang sama menyeruak di sebuah warung kopi bernama Wapress (Warung Apresiasi). Sebuah pertunjukan musik bertema 1980-an menghibur pengunjung yang umumnya berusia 30-an tahun ke atas.  

Teguh Slamet Hidayat Hadrai atau lebih dikenal dengan sebutan Teguh Esha, wartawan-cum-sastrawan, memilih tak di sana. Dia bercengkerama dengan Erwin Arnada, mantan pemimpin redaksi majalah Playboy, di sebuah kedai kopi dekat GOR. Perbincangan mengalir. Sambil sesekali menyeruput kopi dan menghisap rokoknya, dia kerap menyelingi jawaban-jawabannya dengan banyolan. Dinginnya malam berubah jadi kehangatan.  

“Yang membuat suasana ini para seniman,” kata Teguh Esha, penulis novel Ali Topan Anak Jalanan.  

Menurutnya, Bulungan menebarkan suasana hangat dan iklusif. Tak ada sekat atau pengkotak-kotakkan. Siapapun bebas datang, bergaul, dan berkreasi. “Ini yang bikin hidup Bulungan. Beda dari gelanggang-gelanggang lain; senimannya nggak bisa cair sama rakyat,” ujarnya.  

“Di sini semua urban dari berbagai daerah Indonesia. Ini membentuk satu kultur baru. Jadi kita menciptakan kultur Bulungan,” jelas budayawan Radhar Panca Dahana.

Teguh Esha. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Tempat Pembinaan

Keberadaan Gelanggang Remaja Bulungan tak bisa dilepaskan dari sosok Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Selama memimpin Jakarta, Bang Ali tak hanya memperhatikan pembangunan fisik tetapi juga rohani.  

“Tak baik sebuah kota jika hanya diliputi oleh kesibukan kehidupan industri, perdagangan, dan jasa. Akan gersang jadinya kehidupan kota itu jika rohani tidak dikembangkan,” katanya dalam biografi Ali Sadikin Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi yang ditulis Ramadhan KH. “Sebab itulah Jakarta memberikan fasilitas untuk para remaja agar giat dalam satu hal positif di bidang kesenian.”

Pada Juni 1969, Bang Ali memulai pembangunan kompleks Gelanggang Remaja Bulungan. Lengkap dengan beragam fasilitas penunjang, dari perpustakaan, gedung pertunjukan, hingga bengkel (workshop). Bengkel diperuntukkan untuk kegiatan bidang elektronik, mekanika, dan perkayuan. Gelanggang seluas 6.000 meter persegi itu menempati lahan milik pemerintah daerah di Kebayoran Baru, yang terletak di antara SMA 6, 9, dan 11 Jakarta.  

“Yang sekarang jadi Wapress itu dulu SMA 6, sekolahku,” ujar Teguh Esha. Sementara di belakang Wapress, yang sekarang jadi saung, dulu merupakan tempat pembuangan sampah. “Aku dulu tidurnya di sini,” timpal Anto Baret, seniman jalanan yang kemudian mendirikan Komunitas Penyanyi Jalanan (KPJ).  

Untuk merealisasikannya, Bang Ali menggandeng beberapa pihak. Biaya pembangunan sebesar Rp57.236.504 datang dari Pertamina, Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (USAID), masyarakat Inggris di Jakarta, dan sebuah perusahaan elektronik multinasional. “Pemerintah DCI (Daerah Chusus Ibukota, red.) menutup kekurangannya sejumlah Rp22 juta,” tulis Kompas, 17 April 1970.

Usai sepuluh bulan proses pembangunan, Gelanggang Remaja Bulungan diresmikan Ali Sadikin pada 16 April 1970. Dalam pidato peresmian, Bang Ali menyebut gelanggang ini lahir dari keprihatinannya atas minimnya perhatian terhadap pemuda/pelajar. Alih-alih memberi perhatian layak dan pendidikan memadai, berbagai pihak justru lebih sering melihat mereka dari sisi negatif. Salah satu akibatnya, tawuran pelajar tumbuh subur.  

“Tiap orang bilang pendidikan itu penting, kebudayaan penting, kesenian penting, tapi apa yang mereka kerjakan?” katanya, dilansir Kompas, 17 April 1970. “Tidak ada! Paling-paling mereka cuma mengkritik.”  

Bang Ali menyebut peresmian Gelanggang Remaja Bulungan merupakan langkah awal dan perwujudan pembinaan generasi muda. Di sana, muda-mudi bebas mengembangkan bakat dan kreativitas sesuai minat, baik di bidang seni-budaya, olahraga, ataupun kegiatan teknis. “Kesenian mesti hidup, tumbuh, dan berkembang di tengah-tengah kegiatan seperti apa yang diinginkan oleh Jakarta,” ujar Bang Ali, sebagaimana ditulis Ramadhan KH.

Suasana di salah satu sudut Gelanggang Remaja Bulungan. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Tempat Kongkow dan “Sekolah”

Untuk mengawal misinya, Bang Ali rajin menyambangi Bulungan. Di sana dia bicara kepada siapapun, terutama para pelajar, dengan santai.  

“Dulu hampir tiap hari dia datang,” ujar Teguh Esha.  

“Sama kita dekat Pak Ali,” ujar Anto Baret.  

Pada gilirannya, bukan hanya pemuda atau pelajar yang memanfaatkan gelanggang ini. Fasilitas lengkap dan letaknya yang strategis membuat warga Jakarta datang dan memanfaatkan tempat ini untuk berkreativitas atau sekadar kongkow-kongkow. Pelajar, mahasiswa, sastrawan, sineas, dramawan, musisi, wartawan, hingga anak jalanan membaur di sana.  

Kejuaraan olahraga atau festival seni-budaya rutin digelar. Siapa pun bisa menikmatinya sambil kongkow-kongkow atau mengikuti kegiatan lain. Bagi yang tak puas hanya jadi penonton, mereka bisa unjuk kebolehan. Bagi yang masih “hijau”, Bulungan tempat yang pas untuk belajar dan berlatih.  

Anak jalanan yang ingin berkarya atau seniman yang sedang berjuang menggapai mimpi menjadikan Bulungan bukan hanya tempat belajar dan mengenal banyak orang tetapi juga tempat tinggal. Kenyamanan mereka makin lengkap setelah Anto Baret mendirikan Komunitas Penyanyi Jalanan (KPJ) pada 1982. Perhatian dan perlindungan tak lagi jadi kemewahan yang tak mungkin mereka dapatkan seperti sebelumnya.  

Ke sana pula, pada akhir 1970-an, Radhar Panca Dahana datang saat kabur dari rumah orang tuanya di Lebak Bulus karena tak kuat kekangan sang ayah. Bulungan tidak asing baginya. Semasa masih kelas 1 SMP, dia sudah belajar teater dari Nanuk Hantowo. Namun, setelah minggat, Bulungan menjadi tempatnya bernaung. Dia menggelandang di sekitar Bulungan-Blok M.  

“Tidur di Bulungan, tidur di terminal, tidur di taman. Dua-tiga hari nggak makan. Kalau lagi lapar ditolong sama temen-temen senior,” ujarnya.  

Demi bertahan hidup, Radhar melakoni pekerjaan apapun. Mengamen, melukis di pinggir jalan, sampai akhirnya jadi wartawan Kompas. Selama bekerja sebagai wartawan, dia tak meninggalkan teater. Bersama teman-temannya, dia rutin latihan hingga menggelar pementasan, diskusi, dan festival. Dia juga mendirikan Federasi Teater Indonesia dan terus membagi ilmunya kepada siapapun yang tertarik mendalami teater.  

Mendiang Alex Komang juga lama menjadi penghuni Gelanggang Remaja Bulungan setelah memutuskan mengadu nasib ke ibukota dari Jepara. Di sana dia giat berlatih dan memperjuangkan mimpinya. “Alex Komang lama jadi asisten lighting teaterku,” ujar Radhar.  

Pertemuan dengan sutradara Teguh Karya di sana memberi pengaruh besar bagi perjalanan hidup Alex Komang. Dia kemudian dikenal sebagai aktor kenamaan.  

Bulungan juga menjadi pilihan wartawan. Saking banyak wartawan yang mangkal di sana, salah satu warung yang dijadikan tempat mangkal dijuluki Warung Jamal, singkatan dari Jam Malam –biasa ditongkrongi wartawan yang tugas shift malam. Beberapa wartawan dari daerah yang berkunjung ke Jakarta juga tak melewatkan waktu untuk berkunjung ke Bulungan. Salah satunya Naniel Khusnulyakin, wartawan Sinar Harapan.  

“Pokoknya suasananya enak. Siapapun kita bergaul baik,” ujar Naniel.  

Nongkrong di Bulungan dan menyalurkan hobi bermusiknya makin sering dia lakukan ketika dia memutuskan tinggal di Jakarta. Bersama Iwan Fals dan Sawung Jabo, dia lalu membentuk kelompok musik Swami. Dia dan Iwan menciptakan lagu legendaris “Bento”. “Itu dibuat di rumahnya Iwan di Condet, tapi suasananya ya dari Bulungan,” ujar Naniel.  

Keakraban dan kehanggatan itu membuat orang-orang Bulungan merasa seperti keluarga. Saling bantu menjadi pemandangan umum di sana. “Kalau Radhar akan membuat pementasan teater, kami dari KPJ pasti bantu. Karena itu positif,” ujar Anto Baret.  

Maka, ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta hendak mengkomersialisasi Gelanggang Remaja pada 2003, para seniman menentang. “Kita bukan tidak terima, tapi tidak setuju dengan ketidaktepatan konsepnya,” kata Anto Baret, yang menggalang anak-anak Bulungan mengadakan protes. “Masak mau dibangun salon, butik, dan segala macam; itu nggak tepat. Semestinya yang dibangun itu tempat menginap untuk seniman-seniman daerah yang pentas di sini.”  

Teguh Esha juga tak terima. Dia membuat pernyataan sikap para seniman Indonesia untuk menolak rencana Pemprov DKI Jakarta. “Gua tulislah pernyataan sikap para seniman Indonesia. Gua suruh Rendra tandatangan, Jajang C. Noer, Ratna Sarumpaet segala. Semua orang-orang top itu,” ujar Teguh Esha. “Kalau mau ada yang gusur, gusur kami dulu.”  

Kabar itu lalu sampai ke telinga Bang Ali. Dia memanggil Teguh Esha yang dianggap sebagai salah seorang sesepuh Bulungan. Bang Ali turun tangan. “Ini Pemda DKI jangan bikin gara-gara. Saya yang bangun ini, buat remaja,” ujarnya, ditirukan Teguh Esha.  

Setelah para seniman berunding dengan Pemprov DKI Jakarta, Bulungan tak jadi dikomersialisasi dan tetap berdiri hingga kini.

Teguh Esha dan Erwin Arnada, mantan pemimpin redaksi Playboy, mengobrol di sebuah warung kopi di Gelanggang Remaja Bulungan. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Sekolah Para Seniman

Melewati usia seperempat abad, Gelanggang Remaja Bulungan terus melahirkan seniman-seniman andal. Ini tak bisa dilepaskan dari peran “penjaganya”, para seniman dan budayawan yang bertahan di sana. Mereka rela membagikan ilmu kepada siapapun di sana, dari anak jalanan hingga kalangan profesional.  

Sebagai seorang wartawan, Teguh Esha tah henti berbagi dan mendorong siapapun yang datang untuk berkarya. “Kalau kalian berkarya, kalian jadi mulia,” ujarnya mengungkapkan nasihat yang biasa dia berikan.  

Semangat serupa yang juga mendorong Anto Baret mengumpulkan anak-anak jalanan di sekitar Bulungan-Blok M dan mewadahi mereka ke dalam Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) pada 1982. Menurutnya, fungsi Gelanggang Remaja Bulungan sebagai tempat pembinaan jauh lebih tepat bila menyasar pada anak jalanan. Mereka jauh lebih butuh perhatian. Meski banyak yang berbakat, mereka tak punya perhatian dan wadah untuk mengasah talenta serta mengembangkan kreativitas.  

Pada 2002, bersama kawan-kawannya di KPJ, Anto Baret mendirikan Warung Apresiasi atau lebih dikenal dengan Wapress. Warung berdesain outdoor itu menjadi tempat bagi para seniman, termasuk juga pengamen jalanan, untuk mengekspresikan karya mereka.  

Teguh Esha dan Anto Baret lahir dari dan untuk Bulungan. Band Nidji yang datang dari generasi belakangan, Papa T. Bob, atau Mbah Surip merupakan sedikit dari banyak “alumnus” Bulungan. Begitu pula nama-nama lain seperti kakak-beradik Norca dan Adhie Massardi, Radhar Panca Dahana (sastra/jurnalistik), Alex Komang, Neno Warisman (film), Jajang C. Noer, atau Cornelia Agatha (film/teater). Mereka bukan hanya melahirkan banyak karya dan prestasi, tetapi juga membuktikan: Gelanggang Remaja Bulungan merupakan sekolah bagi para seniman-budayawan.  

“Bulungan ini situs penting. Kota yang maju, kota yang menghargai kebudayaan,” kata Teguh Esha.*

Majalah Historia No. 28 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66a3413e8d0590d2ef6e5529