Busana dari Kesalehan hingga Mode

Pakaian gaya Arab mulanya menjadi penanda anti-penjajahan. Kini digemari sebagai fesyen.

OLEH:
Fajar Riadi
.
Busana dari Kesalehan hingga ModeBusana dari Kesalehan hingga Mode
cover caption
Seorang warga Arab di Batavia, 1900. (KITLV).

KETIKA berkunjung ke Kerajaan Mataram pada pertengahan abad ke-17, Rijckloff van Goens, seorang wakil VOC, mengamati kebiasaan berbusana para bangsawan. Di atas kuda, para bangsawan berkumpul di alun-alun dan “dengan sangat tekun” mengamati penutup kepala yang dikenakan Raja Amangkurat I: apakah tutup kepala gaya Jawa atau turban ala Turki.  

“Jika raja mengenakan turban, semua orang menanggalkan tutup kepala mereka dan mengambil penutup kepala lain dari pelayan mereka agar sama dengan sang raja,” tulis van Goens, seperti dikutip Kees van Dijk, “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, termuat di Outward Appearances yang disunting Henk Schulte Nordholt. Goens memberikan laporan ini pada awal Islamisasi di Jawa.  

Di Nusantara, raja atau sultan, terkadang mengenakan sorban dan jubah dalam peristiwa-peristiwa tertentu untuk menekankan posisinya sebagai pemimpin agama. Namun, penggunaan pakaian gaya Arab ini kemudian meluas, sebagai penanda kesalehan dan ilmu tinggi.

KETIKA berkunjung ke Kerajaan Mataram pada pertengahan abad ke-17, Rijckloff van Goens, seorang wakil VOC, mengamati kebiasaan berbusana para bangsawan. Di atas kuda, para bangsawan berkumpul di alun-alun dan “dengan sangat tekun” mengamati penutup kepala yang dikenakan Raja Amangkurat I: apakah tutup kepala gaya Jawa atau turban ala Turki.  

“Jika raja mengenakan turban, semua orang menanggalkan tutup kepala mereka dan mengambil penutup kepala lain dari pelayan mereka agar sama dengan sang raja,” tulis van Goens, seperti dikutip Kees van Dijk, “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, termuat di Outward Appearances yang disunting Henk Schulte Nordholt. Goens memberikan laporan ini pada awal Islamisasi di Jawa.  

Di Nusantara, raja atau sultan, terkadang mengenakan sorban dan jubah dalam peristiwa-peristiwa tertentu untuk menekankan posisinya sebagai pemimpin agama. Namun, penggunaan pakaian gaya Arab ini kemudian meluas, sebagai penanda kesalehan dan ilmu tinggi.  

Pakaian gaya Arab diperkenalkan di Nusantara oleh para pedagang Arab. Selain itu, dikenakan orang-orang yang pergi ke Makkah untuk berhaji atau menuntut ilmu agama. Namun, demi membedakan sekaligus mengawasi rakyatnya, penguasa kolonial mulai menerapkan aturan berpakaian. Di Batavia, VOC melarang orang mengenakan pakaian kelompok etnis lain.  

Belanda melihat penggunaan pakaian Arab sebagai ancaman, diasosiakan dengan orang-orang yang baru pulang berhaji di Makkah, yang kerap memicu keonaran. Terbukti dari berbagai pemberontakan di berbagai daerah. Sebut saja Pangeran Diponegoro di Jawa atau Imam Bonjol di Minangkabau.  

Belanda melihat penggunaan pakaian Arab sebagai ancaman, diasosiakan dengan orang-orang yang baru pulang berhaji di Makkah, yang kerap memicu keonaran.

Namun, pengaruh jubah dan sorban meluntur pascakemerdekaan. Orang-orang lebih mencontoh gaya busana Sukarno atau Haji Agus Salim yang kerap tampil berpeci. Alih-alih berjubah, orang lebih suka pakai baju koko yang justru mulanya pakaian orang Tionghoa. Bahkan, banyak orang Arab di Jakarta sendiri tak memakai gamis, jubah, atau sorban.

“Dulu sih, saya lihat di foto-foto generasi kakek saya, mereka sehari-hari memakai busana-busana yang sama dengan yang dipakai di Yaman,” tutur antropolog UI Yasmin Zaky Shahab. “Tapi cuma sampai generasi kakek saya. Ayah saya, busananya kalau dia pergi ke occasion-occasion (kesempatan, red.) tertentu, seperti pernikahan, maulid, busana-busana yang dipakai sama saja dengan yang dipakai dengan Pak Haji.”  

Semasa Orde Baru, hubungan pemerintah dengan kelompok Islam sempat renggang. Islam dianggap sebagai ancaman. Sehinggga, bukan hanya dalam politik, pemerintah juga membatasi orang mengekspresikan keislamannya. Atribut-atribut Islam dibatasi. Yang paling kentara adalah larangan pemakaian jilbab bagi perempuan.  

Jilbab mula-mula tak begitu populer di kalangan perempuan. Beberapa perempuan mengenakan kerudung, tetapi lebih karena budaya atau adat. “Misalnya, perempuan Minang memakai tengkuluak (sebutan untuk kerudung yang hanya disampirkan menutup kepala dan rambut), menjadi pasangan baju kurung, yang menunjukkan standar kesopanan sebagai seorang perempuan dewasa,” ujar Deny Hamdani, pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, yang menulis buku Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women. “Kalau yang bernuansa agamis, misalnya kerudung yang dipakai perempuan NU, biasanya dipakai mereka yang sudah hajah. Tapi juga bukan kerudung yang sangat tertutup.”  

Di masa Orde Baru, pemerintah melarang pemakaian jilbab bagi siswi sekolah. Demikian juga cadar yang jauh lebih tertutup dan sering dikenakan penganut Islam dari golongan Salafi. Aturan ini baru dicabut awal 1990-an ketika Soeharto mulai merangkul kalangan Islam.  

Kini, pemakaian jilbab jadi tren, sebagai penanda kesalehan, mode, maupun karena penerapan hukum syariah di sejumlah daerah. Sementara jubah dan sorban dikenakan kalangan terbatas, termasuk kelompok yang menampilkan wajah Islam yang kurang ramah.*

Majalah Historia No. 15 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66820f34108f70fe84299177