LOMBOK dikenal sebagai salah satu sentra penghasil beras di Indonesia. Namun, ironisnya, bencana kelaparan beberapa kali terjadi. Tak hanya kekurangan makanan, sejumlah penduduk di Lombok terserang penyakit hongeroedeem atau busung lapar.
Masalah itu menggugah hati Djumhur Hakim, anggota anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Nasional Indonesia (PNI). Ia menggunakan hak bertanya sebagai anggota DPR berdasarkan Pasal 69 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
Djumhur mengajukan pertanyaan resmi kepada pemerintah setelah membaca koran Suara Indonesia terbitan29 Januari 1958 yang terbit di Denpasar, Nusa Tenggara. Diberitakan 500 orang menderita hongeroedeem di Lombok Selatan dan sedang dirawat di rumah sakit umum di Praja. Sumber berita ini didapat dari Penerangan Angkatan Darat (Penad) Nusa Tenggara.
LOMBOK dikenal sebagai salah satu sentra penghasil beras di Indonesia. Namun, ironisnya, bencana kelaparan beberapa kali terjadi. Tak hanya kekurangan makanan, sejumlah penduduk di Lombok terserang penyakit hongeroedeem atau busung lapar.
Masalah itu menggugah hati Djumhur Hakim, anggota anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Nasional Indonesia (PNI). Ia menggunakan hak bertanya sebagai anggota DPR berdasarkan Pasal 69 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
Djumhur mengajukan pertanyaan resmi kepada pemerintah setelah membaca koran Suara Indonesia terbitan29 Januari 1958 yang terbit di Denpasar, Nusa Tenggara. Diberitakan 500 orang menderita hongeroedeem di Lombok Selatan dan sedang dirawat di rumah sakit umum di Praja. Sumber berita ini didapat dari Penerangan Angkatan Darat (Penad) Nusa Tenggara.
“Sampai di manakah kebenaran berita tersebut?” tanya Djumhur.
“Bila berita tersebut benar, apakah pemerintah sependapat dengan saya untuk segera memberi pertolongan kepada daerah dan mereka yang sedang diserang oleh hongeroedeem itu?”
“Apakah benar Lombok dalam pemasukan beras dari JUBΜ (Jajasan Urusan Bahan Makanan) tidak pernah mendapat, bila ini benar apa sebabnya?”
Surat Djumhur diterima sekretariat DPR pada 8 Februari 1958. Dua hari kemudian, ketua DPR meneruskan pertanyaan Djumhur kepada Wakil Perdana Menteri III J. Leimena dan Menteri Sosial sekaligus meminta jawaban secara lisan dalam rapat terbuka DPR atau secara tertulis. Surat juga ditembuskan ke lembaga-lembaga terkait.
Surat Djumhur, beserta jawaban pemerintah, tersimpan dalam Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri Tahun 1950-1959 Jilid II, nomor 2366. di Arsip Nasional RI Jakarta.
Keganjilan
Bukan sekali ini saja Lombok terkena bencana kelaparan. Di masa kolonial, Lombok berkali-kali mengalaminya. Pun setelah Indonesia merdeka. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari I. Gusti Gde Raka, anggota DPR dari Partai Rakyat Nasional (PRN). “Sebenarnya keadaan ini adalah sangat ganjil bagi pulau Lombok yang terkenal akan kesuburan tanahnya yang amat luar biasa,” kata I. Gusti Gde Raka dalam Risalah Perundingan 1950/1951 Jilid III.
Daerah Lombok Tengah Selatan memang mempunyai sawah yang melulu tergantung pada air hujan yang cukup. Namun, bagian dari pulau Lombok itu terdapat banyak sawah yang punya pengairan dari sungai yang baik. Beras dari Lombok juga terkenal sebagai kwaliteit nomor satu. Di Lombok terdapat 13 pabrik penggilingan padi.
“Kalau diadakan pembatasan-pembatasan atas pengeluaran beras dari Lombok, sehingga cukup terjamin persediaan untuk makanan rakyat di masa-masa paceklik, maka saya rasa dapatlah dihindarkan bahaya kelaparan atas diri penduduk di sana.”
Namun, karena kelalaian pemerintah, terjadi malapetaka kelaparan.
“Sekali-kali tidak boleh terjadi keganjilan yang geli menyedihkan yakni pulau Lombok amat kaya beras, yang dijual ke luar pulau, akan tetapi rakyat yang miskin, mati ditimpa malapetaka kelaparan. Kejadian yang begini tidak boleh terulang pada masa kita sudah merdeka seperti sekarang ini,” kata I. Gusti Gde Raka.
Nyatanya, keganjilan itu masih terus terjadi. Pada 1952, bencana kelaparan kembali melanda. Dicatat Kedaulatan Rakjat, 6 Maret 1952, kelaparan tidak terbatas di Lombok Tengah-Selatan, namun menjalar ke beberapa tempat di Lombok Tengah Utara, Lombok Timur-Selatan, dan Lombok Barat-laut.
“Menurut laporan hasil penyelidikan itu baru akhir Februari 1952 diketahui bahwa di seluruh Lombok terdapat 4.020 orang yang kurus karena kurang makan dan yang menderita penyakit hongeroedeem.”
Tentu saja bukan hanya di Lombok. Bencana kelaparan dan busung lapar terjadi di beberapa daerah, terutama di Pulau Jawa. Apa penyebabnya? H.M. Hardjono dalam tulisan berjudul “Apa Sebab Ada Hongeroedeem?’ di koran Menara Kita 28 Juli 1952 –sebelumnya dimuat di majalah Pesat, 4 Jull 1952, menyebut penyebabnya tak dapat lepas dari politik pemerintah.
“Politik beras, politik perdagangan, politik export-import, perburuhan dan yang utama politik perekonomian pemerintah. Semuanya ini kalau orang mau tahu dijumlah total jendral adalah politik KMB,” tulis Hardjono, menyebut Konferensi Meja Bundar.
Kenyataan itu mendapat perhatian Presiden Sukarno. Dalam pidato pada acara peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (kemudian jadi Institut Pertanian Bogor) di Bogor, 27 April 1952, Sukarno menyinggung naiknya harga beras, bahaya kelaparan, hingga hoongeroedeem. Bagi Sukarno, makanan rakyat merupakan soal “hidup mati bangsa kita di kemudian hari”. Untuk mengatasinya, pemerintah berikhtiar memperluas daerah pertanian dan intensifikasi pertanian.
“Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak aanpakken soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka,” ujar Sukarno.
Bencana kelaparan di Lombok memang ironis karena daerah ini sejak lama dikenal sebagai gudang beras. Dan ketika bencana ini kembali terjadi pada 1958, sebagai anggota DPR, Djumhur Hakim pun terusik.
Isu Sosial
Perhatian Djumhur Hakim terhadap busung lapar di Lombok tidak terlepas dari daerah pemilihannya (dapil) di Nusa Tenggara Barat.
Djumhur sendiri orang asli Lombok. Ia lahir pada 12 September 1918 di Lendangnangka, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen mencatat bahwa Djumhur, lulusan Sekolah Rendah, pernah bekerja sebagai jurutulis kepala desa Lendangnangka dan wakil kepala desa Lendangnangka.
Di tengah kancah perjuangan kemerdekaan, Djumhur aktif memimpin Badan Keamanan Rakjat (BKR). Pada 1946 ia memimpin Badan Perdjuangan Republik Indonesia (BPRI) Lombok untuk mengadakan perlawanan terhadap NICA di Selong.
Dicatat Naskah Akademik Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, yang disusun Dinas Sosial Provinsi NTB tahun 2017, pembentukan BPRI merupakan hasil pertemuan koordinasi antarbarisan pejuang yang juga diikuti oleh Djumhur. Hasil pertemuan lainnya: mengusahakan agar pimpinan dalam tahanan secepatnya dikeluarkan dan menghimpun kekuatan untuk mengadakan aksi terhadap NICA.
Rencana aksi mulai dipersiapkan. “Alat agitasi perjuangan seperti spanduk juga mulai disebar para pejuang, salah satunya spanduk Laskar Banteng Hitam pimpinan Djumhur Hakim. Selain mengibarkan bendera Merah Putih di depan sekolah Dwi Sempurna, penempelan bendera Merah Putih berukuran kecil di Pasar Sapi Masbagik dan penempelan spanduk atau plakat di Gapura Masjid Masbagik.”
Puncaknya, pada 7 Juni 1946, Laskar Banteng Hitam terlibat dalam penyerangan markas NICA di Selong. Persenjataan yang tidak seimbang membuat serangan itu mudah dipatahkan.
Menurut Hasil Rakjat Memilih,Djumhur ditangkap dan ditahan di penjara Selong dan kemudian Denpasar (Bali). Setelah divonis hukuman 10 tahun penjara, ia dipindahkan ke penjara Makassar dan terakhir di Ambon. Ia dibebaskan pada 1 Desember 1949.
Pada Juli 1951, Djumhur bekerja pada Jawatan Penerangan Daerah Lombok hingga tahun 1956. Namun ia dikenal aktif dalam kegiatan kepartaian.
Sejak 1950. Djumhur membentuk dan menjadi anggota pimpinan cabang PNI di Lombok. Ia juga turut membentuk Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GPRI) Lombok, yang bertujuan membubarkan Republik Indonesia Serikat (RIS), dan duduk dalam pimpinan cabang Lombok Timur.
Djumhur juga pernah duduk sebagai anggota pimpinan Pertahanan Rakjat Lombok Timur, ketua umum Pemuda Demokrat Indonesia Cabang Lombok Timur, ketua Perwakilan Panitia Pengembalian Irian Barat Lombok Timur, wakil ketua Jajasan Kesedjahteraan Peladjar Nusa Tenggara di Selong, serta komisaris Gerakan Pedjuang Republik Indonesia (Gerprindo) untuk Nusa Tenggara. Pada 1952 hingga 1956, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) Lombok.
Djumhur sebenarnya gagal lolos pada pemilihan umum 1955. Ia menjadi anggota DPR sebagai pengganti angota terpilih Ny. Oka Jasmin, sosok yang dikenal sebagai pendiri Persatuan Wanita Indonesia, federasi dari 18 organisasi perempuan dari swapraja Badung dan Gianyar.
Selama menjadi anggota DPR, Djumhur aktif menyuarakan berbagai isu sosial, termasuk bencana kelaparan yang melanda Lombok Selatan akhir 1950-an.
Jawaban Pemerintah
Menanggapi pertanyaan Djumhur Hakim, Menteri Sosial Muljadi Djojomartono memberikan jawaban dalam surat balasan tertanggal 24 Februari 1958.
“Sepanjang laporan-laporan yang kami terima, berita-berita tersebut adalah benar,” jawab Muljadi Djojomartono. “Berhubung dengan itu maka untuk pertolongan-pertolongan pertama oleh pihak Kementerian Sosial telah dikeluarkan otorisasi sebesar Rp 550.000.”
Di hari yang sama, Menteri Perdagangan Soenardjo juga mengirimkan surat jawaban terkait pertanyaan tersebut.
“Adalah benar bahwa Lombok tidak pernah mendapat alokasi beras dari JUBM, karena Lombok termasuk dalam kategori daerah surplus,” tulis Soenardjo dalam suratnya.
Soenardjo menambahkan, JUBM hanya memberikan alokasi beras kepada daerah-daerah minus. Namun, pada Januari 1958, atas permintaan istimewa, JUBM memberikan beras insidental sebanyak 200 ton kepada daerah Lombok.
“Pelaksanaan dari pembagian beras ini akan dilakukan pada bulan Februari 1958.”
Jawaban kedua menteri itu mungkin dirasa kurang mencukupi. Maka, Wakil Perdana Menteri III J. Leimena menyampaikan jawaban pelengkap melalui surat kepada ketua DPR tanggal 20 Maret 1958.
“Laporan-laporan yang diterima oleh pemerintah memberitakan bahwa di Lombok pada waktu ini di bagian Selatan, Timur, dan Tengah ditimpa bahaya kekurangan makanan, yang mengakibatkan beberapa ratus orang perlu dirawat di rumah sakit,” tulis Leimena.
Sebanyak 732 orang dirawat di Rumah Sakit Praja (Lombok Tengah) dan 73 orang dirawat di Rumah Sakit Selong (Lombok Timur). Dari sekitar 800 orang tersebut, 269 orang menderita penyakit akibat kekurangan makanan. Selain mereka yang dirawat di rumah sakit, masih terdapat sejumlah orang yang memerlukan pertolongan.
Leimena menyebut penyebab utama kekurangan makanan adalah buruknya iklim yang mengakibatkan hasil pertanian menurun. Yang pertama-tama terpukul adalah golongan yang tak punya penghasilan tetap (buruh kecil), yang dalam kondisi normal pun daya belinya rendah.
“Diterangkan pula bahwa sejak sebelum perang, daerah-daerah ini selalu/seringkali mengalami kekurangan makanan.”
Sementara buruh kecil menderita, pemilik tanah-tanah besar umumnya memiliki persediaan yang cukup. Kondisi ini juga diperburuk oleh adanya praktik landlordism (kepemilikan tanah besar) di daerah tersebut, yang memerlukan penanganan lebih lanjut.
Sebagai langkah pertolongan darurat, pemerintah mendistribusikan bantuan secara cuma-cuma, yang terdiri dari 20 ton beras, 14 ton menir, 10 ton katul, 3 ton kentang, dan ¾ ton kacang merah. Selanjutnya, pemerintah akan memberikan bantuan berupa pekerjaan dengan upah dalam bentuk bahan makanan. Dananya berasal dari sumbangan pemerintah sekitar Rp1,5 juta dan sumbangan swasta sebesar Rp150.000.
“Karena orang yang kurang makan mudah sekali diserang oleh penyakit seperti malaria dan disentri, maka oleh Kementerian Kesehatan telah dikirim suatu team kesehatan ke daerah-daerah tersebut.”
Usaha selanjutnya, akan diadakan penelitian atas dasar kerjasama instansi-instansi pemerintah terkait, yaitu Pamong Praja, Pertanian, Kesehatan, Sosial, dan Pekerjaan Umum.
Perihal pertanyaan apakah Lombok tidak pernah mendapatkan pasokan beras dari JUBM, Leimena melampirkan data produksi bahan makanan di Lombok tahun 1950-1957. Dari data tersebut, Lombok bukan hanya dapat mencukupi kebutuhan beras sendiri tapi bahkan surplus, “sehingga pengiriman beras JUBM ke pulau tersebut akan merupakan suatu keanehan.”
Kendati demikian, secara insidentil, pada Februari, Lombok menerima 200 ton beras dari JUBM untuk memenuhi permintaan khusus dari Gubernur/Kepala Daerah Nusa Tenggara. Sementara saat itu masih ada beras pemerintah sekitar 1.700 ton dan padi sekitar 2.370 ton.
Dengan demikian, lanjut Leimena, hongeroedeem di Lombok tak terkait tidak atau kurangnya pengiriman beras dari pemerintah pusat. Sehingga, “Sebab-sebab daripada kelaparan tersebut perlu dicari dan didapatkan di bidang lain.”
Tambahan Beras
Selain menerangkan upaya pemerintah dalam mengatasi kelaparan, Leimena menyodorkan catatan mengenai produksi beras di Lombok.
Sebelum Perang Dunia II, Lombok menjual beras ke daerah lain tidak kurang dari 20.000 ton per tahun. Setelah perang berakhir, beras Lombok dibeli oleh Voedings Middelen Fonds (VMF), yang dilanjutkan oleh Bama/JUBM pada 1950, 1951, dan 1952.
VMF adalah lembaga yang didirikan pemerintah kolonial untuk membeli, menjual, dan menyediakan bahan makanan. VMF dibubarkan dan digantikan oleh Jajasan Bahan Makanan (Bama) di bawah Kementerian Pertanian. Bama kemudian dipindah di bawah Kementerian Perekonomian dan namanya diubah menjadi Jajasan Urusan Bahan Makanan (JUBM).
“Dari hasil pembelian ini, sebagian (lebih kurang 300 ton sebulannya) dikirimkan ke daerah-daerah Nusa Tenggara lainnya yang kekurangan akan beras seperti Flores, Sumba, dan Timor,” catat Leimena.
Namun, sejak 1953, pembelian beras tidak lagi dilakukan oleh JUBM tapi oleh pemerintah daerah. Dengan dana pinjaman (tanpa bunga) dari JUBM, pemerintah daerah membeli 32.500 ton dari jatah sebesar 40.000 ton. Dalam dua tahun berikutnya, jumlah itu ternyata tak terjual kepada penduduk. Maka, Leimena menyimpulkan, “penduduk tidak/kurang memerlukan beras yang terkumpulkan oleh pemerintah itu (hasil pertanian dalam tahun-tahun tersebut ada baik.”
Karena stok tahun 1953 masih ada, pemerintah tidak melakukan pembelian beras di Lombok. Malahan menjualnya ke Sumatra dan Kalimantan pada 1954/1955.
Pada 1955, pemerintah membatasi pembelian 6.000 ton beras (setara 12.000 ton padi) untuk daerah lain di Nusa Tenggara yang membutuhkan. Namun hanya mendapatkan 4.500 ton, sehingga kekurangannya dipenuhi oleh pemerintah pusat. Setahun kemudian hanya terbeli sekitar 1.000 ton beras, dan kekurangannya ditutup oleh pemerintah pusat dengan 2.538 ton.
Pada 1957, ditetapkan pembelian 12.00 ton padi di Lombok dan 8.000 ton di Sumbawa. Namun hanya memperoleh masing-masing 11.000 ton dan 2.000 ton padi. Tambahan dari pemerintah pusat sebesar 2.119 ton beras.
Untuk tahun 1958, pembelian beras di Lombok belum direncakan. Namun pemerintah pusat telah melakukan pemberian beras untuk Nusa Tenggara sebesar 470 ton pada Januari dan Februari –belum termasuk 200 ton untuk Lombok. “Di bulan-bulan kemudian alokasi ini akan diperluas (diperbesar).”
Dari data-data tersebut, Leimena menyimpulkan, Lombok mampu mencukupi kebutuhan berasnya sendiri, bahkan bisa menjualnya ke daerah lain. Dengan demikian, “kelaparan yang diderita oleh sebagian dari penduduk perlu dicari di bidang lain.” Salah satunya bidang sosial-ekonomi, seperti pembagian tanah yang tidak merata dan daya beli masyarakat yang rendah. Dengan demikian, “pertolongan tidak terutama didasarkan atas pengiriman bahan makan,” catat Leimena, “tetapi atas usaha memperbesar daya beli.”
Masih Berlanjut
Nyatanya, bencana kelaparan di Lombok masih terjadi pada tahun-tahun berikutnya, seperti terekam dalam pemberitaan suratkabar pada 1961, 1966, dan seterusnya.
Selain isu-isu sosial, Djumhur punya andil penting dalam pembentukan Provinsi NTB, yang saat itu masih menjadi bagian dari Provinsi Nusa Tenggara. Hasilnya, terbit Undang-undang No. 64 tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
“Pada tahun 1957 beliau sebagai panitia kerja pembentukan NTB,” ujar Khairul Hidayat, putra dari Djumhur Hakim, dalam konten YouTube bertajuk “H. Djumhur Hakim-Jejak Sang Pejuang”. “Perjuangan beliau yang sangat gigih menghasilkan kesepakatan pada tahun 1958, NTB berdiri.”
Selepas Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Djumhur tetap menjadi anggota DPR. Ia kemudian ia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Di masa Orde Baru, Djumhur tak lagi berkiprah di dunia politik. Ia kembali bekerja sebagai pegawai Departemen Penerangan. Setelah pensiun pada 1970-an, ia aktif sebagai pengurus Dewan Harian Daerah 45 (DHD 45) NTB dan ikut menggagas pendirian Universitas 45 Mataram.
Pada 1997, Djumhur Hakim bersama sejumlah tokoh NTB berangkat ke Jakarta untuk memperjuangan putra daerah sebagai kepala daerah. Dalam perjalanan kembali ke Lombok, di atas kapal yang berlayar dari Ketapang ke Gilimanuk, Djumhur mengalami kecelakaan. Ia terjatuh di Selat Bali dan menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan ke Puskesmas Gilimanuk.*