Buya Jadi Juru Warta

Hamka menjadikan media sebagai corong dakwah. Dia menulis cerita, syiar agama, dan opini politik selama berkiprah di media.

OLEH:
Rahadian Rundjan
.
Buya Jadi Juru WartaBuya Jadi Juru Warta
cover caption
Buya Hamka memberikan sambutan saat penyerahan film dokumentasi pribadi sewaktu menerima gelar doktor kehormatan dalam sastra Islam dari Universiti Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur, 1974. (Dok. Sinematek).

PADA 1925, Hamka muda pulang ke Padang Panjang. Hatinya sumringah. Banyak hal yang tersimpan di kepalanya, hasil belajar ke banyak guru selama perantauannya di Jawa. Di kampung halaman, ia langsung ikut serta mendirikan Tabligh Muhammadiyah, sekolah untuk mendidik kader-kader Muhammadiyah di kampung halamannya. 

Di sana Hamka mulai mempraktikkan ilmunya. Kursus pidato ia adakan untuk kawan-kawan sejawatnya. Satu ketika, pidato karangan kawan-kawannya tersebut ia catat, untuk kemudian dicetak dan diterbitkan. Namanya Khathib ul-Ummah, Hamka menasbihkan dirinya sebagai “ketua pengarang”, mungkin setara dengan pemimpin redaksi. Pendeknya, Tabligh Muhammadiyah kala itu telah mempunyai majalah. 

“Jadi di tahun 1925 dia (Hamka) telah mulai mengarang. Dalam usia 17 tahun. Dengan tidak ada latihan sekolah lebih dahulu,” aku Hamka dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid I.

PADA 1925, Hamka muda pulang ke Padang Panjang. Hatinya sumringah. Banyak hal yang tersimpan di kepalanya, hasil belajar ke banyak guru selama perantauannya di Jawa. Di kampung halaman, ia langsung ikut serta mendirikan Tabligh Muhammadiyah, sekolah untuk mendidik kader-kader Muhammadiyah di kampung halamannya. 

Di sana Hamka mulai mempraktikkan ilmunya. Kursus pidato ia adakan untuk kawan-kawan sejawatnya. Satu ketika, pidato karangan kawan-kawannya tersebut ia catat, untuk kemudian dicetak dan diterbitkan. Namanya Khathib ul-Ummah, Hamka menasbihkan dirinya sebagai “ketua pengarang”, mungkin setara dengan pemimpin redaksi. Pendeknya, Tabligh Muhammadiyah kala itu telah mempunyai majalah. 

“Jadi di tahun 1925 dia (Hamka) telah mulai mengarang. Dalam usia 17 tahun. Dengan tidak ada latihan sekolah lebih dahulu,” aku Hamka dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid I.

Dari Hobi Jadi Profesi

Sedari awal, Hamka memang sudah hobi menulis. Ia mulai rajin mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media setelah ia kembali dari Makkah tahun 1927. Seperti majalah Pembela Islam di Bandung, Suara Muhammadiyah di Yogyakarta, majalah Adil di Solo, dan harian Pelita Andalas; yang terakhir sebagai kontributor laporan perjalanan, terutama tentang pengalaman hidupnya selama di Makkah.

Kegiatan Hamka di Muhammadiyah juga ikut memoles bakatnya di bidang pers. Pada 1928 ia ditunjuk sebagai redaktur majalah Kemajuan Zaman, yang diterbitkan sebagai keputusan konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada 1932 kala ia diutus sebagai mubalig ke Makassar, ia sempat menerbitkan majalah Tentera dan majalah Al Mahdi, majalah pengetahuan Islam bulanan. 

Ketika Hamka kembali ke Medan tahun 1936, ia mendirikan majalah Pedoman Masyarakat (1936–1943). Pada masa puncaknya, oplahnya mencapai empat ribu eksemplar setiap bulannya, jumlah yang besar untuk ukuran media kaum pribumi kala itu. Kiprahnya di Pedoman Masyarakat, yang juga merupakan pengalaman pertamanya mengurus terbitan secara profesional inilah yang kemudian melambungkan nama Hamka di dunia pers sebagai tokoh jurnalistik beraliran Islami. 

“Sebuah majalah kebudayaan ‘memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban, berdasar Islam’ sebagai Pedoman Masyarakat itu telah segera mempunyai kepribadian; kepribadian majalah itu ialah corak pribadi pimpinannya,” aku Hamka menyoal kepemimpinannya di Pedoman Masyarakat dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid II

Namun, Pedoman Masyarakat dilarang terbit selama pendudukan Jepang. Ia lalu kembali aktif dengan memimpin majalah Semangat Islam (1943) dan kemudian majalah Menara (1946) pada masa revolusi. Keduanya tidak berumur panjang. Di sela kegiatannya sebagai pegawai negeri di Jakarta, Hamka juga mengasuh majalah Mimbar Agama terbitan Departemen Agama (1950–1953). 

Panji Masyarakat. (Buku Blues/Tokopedia).

Menjelang akhir tahun 1950-an, Hamka kembali mendirikan terbitan majalahnya. Kebutuhan akan adanya media penyaluran dakwah dan pemikiran Islam di tengah gencarnya arus pemikiran kiri kala itu menjadi salah satu alasannya. Nomor pertama majalah yang diberi nama Panji Masyarakat, disingkat Panjimas itu terbit kali pertama pada 15 Juni 1959. Hamka bertugas sebagai editor. 

“Nama Panji Masyarakat diambil dari nama dua majalah terkenal di kurun Hindia Belanda: Panji Islam, yang dipimpin oleh Zainal Abidin Ahmad dan M. Joesoef Ahmad dan Pedoman Masyarakat, yang dipimpin sendiri oleh Buya,” tulis Sidi Gazalba yang pernah terlibat sebagai asisten di Panjimas dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka

Panjimas berdiri secara independen, meski kental pengaruh Muhammadiyah. Minimnya bacaan di kalangan umat Islam membuat Panjimas digemari secara luas dengan peredarannya yang luas ke seluruh Indonesia. Untuk mencapai tujuan reformasi Islamnya melalui dakwah media, Panjimas lebih menekankan pendekatan kebudayaan. 

“Pendekatan ini dalam banyak hal merupakan refleksi dari kepribadian pemimpin redaksinya, Buya Hamka, yang secara konsisten berusaha tidak melibatkan dirinya dalam kancah politik,” tulis Azyumardi Azra yang pernah menjadi anggota redaksi Panjimas dalam Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan

Pada awalnya, Panjimas tidak berorientasi politik. Namun, kekecewaan atas kebijakan Sukarno yang menegakkan Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit 5 Juli 1959 membuat kalangan Islam kecewa, termasuk Panjimas. Panjimas gencar menolak Manipol (Manifesto Politik) dan Usdek (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Nasional) yang Sukarno canangkan dengan dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kritik dapat dijadikan landasan bagi seseorang melakukan mawas diri atau introspeksi. Katakanlah yang benar, walaupun pahit.

Puncaknya saat redaksi Panjimas, atas restu Hamka, memuat artikel Mohammad Hatta berjudul “Demokrasi Kita”. Artikel yang terbit pada Panjimas Nomor 22, 1 Mei 1960 tersebut mengkritik keras Sukarno dan pelaksanaan konsepsi Demokrasi Terpimpinnya. Hamka turun gunung membaca naskah tersebut bahkan ikut mengawasi pencetakannya. 

“… Buya Hamka sendiri sebagai pengawas pencetakannya, meneliti sampai titik-koma-nya, tidak boleh ada salah cetak sedikit pun, untuk menyesuaikan dengan kebiasaan Bung Hatta yang selalu correct dan seorang perfectionist dalam hal tulis-menulis,” seperti tertulis dalam Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran yang disunting oleh Fauzie Ridjal dan Sri-Edi Swasono.

Membaca tulisan itu Sukarno naik pitam. Akibat pemuatan tulisan tersebut jatah kertas Panjimas mulai dipersulit. Walhasil penerbitan Panjimas tersendat-sendat, tak bisa lagi terbit tepat waktu. Akhirnya, Panjimas dibredel pemerintah pada 17 Agustus 1960. Menyusul pula corong pers lain yang dianggap kontra-Demokrasi Terpimpin seperti harian Abadi yang berafiliasi pada Masyumi, Indonesia Raya dan Pedoman, keduanya berafiliasi kepada Partai Sosialis Indonesia (PSI). 

Majalah Gema Islam. (Buya Gallery Antik/Tokopedia).

Meski begitu, semangat Hamka tidak padam. Pada 1962, ia kembali menerbitkan majalah Islam, Gema Islam, kini dengan sokongan militer. Mayor Jenderal Sudirman menjadi pemimpin umum dan Kolonel M. Rowi sebagai penanggung jawabnya. Gema Islam menandakan upaya persatuan antara golongan Islam dan militer untuk membendung pers golongan kiri yang saat itu tengah di atas angin karena pandangan politik Sukarno yang mulai ke kiri. 

Nama Hamka memang hanya tercatat sebagai “asisten”, namun sesungguhnya ialah otak yang mengendalikan majalah tersebut. Gema Islam edisi perdana terbit pada 15 Januari 1962. 

“Majalah Gema Islam pada dasarnya meneruskan garis yang sama atau hampir sama dari garis Panji Islam dan Pedoman Masyarakat, juga Panji Masyarakat,” tulis Rusydi Hamka, putra Hamka yang saat itu menjadi pemimpin redaksi Gema Islam, dan Rafiq dalam Islam dan Era Reformasi

Karier Hamka di Gema Islam tidak berlangsung lama. Tahun 1964, ia ditangkap atas tuduhan subversif terhadap pemerintah sebelum dijebloskan ke penjara. Ketika Hamka dibebaskan pada 1966, Panjimas pun dihidupkan kembali. Jaringan pemasaran dan distribusinya kian baik, dan manajemennya kian sehat.

Pers Islami

Orde Baru baru saja ditegakkan dan nama Hamka mulai pulih. Wartawan satu persatu mulai menghadap Hamka untuk dimintai pendapat soal pandangannya terhadap dinamika pers Indonesia. Salah satunya kepada Harmoko, yang saat itu jadi pemimpin redaksi harian Pos Kota.

“Buya Hamka menceritakan secara mendalam tentang dirinya yang akan sepenuhnya berperan dalam menegakkan Orde Baru, baik lewat khotbah-khotbah, tulisan maupun analisis dan diskusi-diskusi,” tulis Harmoko dalam “Katakan yang Benar Walau Pahit”, termuat dalam Hamka di Mata Hati Umat. “Dakwah Islam pada dasarnya memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dan wartawan juga memiliki tugas itu,” tambahnya.

Menyinggung profesi wartawan, Hamka memiliki idealisme. “Kritik dapat dijadikan landasan bagi seseorang melakukan mawas diri atau introspeksi,” ujarnya pada Harmoko. “Katakanlah yang benar, walaupun pahit,” tambahnya dengan gaya keulamaannya yang khas sembari mengutip sebuah hadis.*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65d47be85bca6fb419fc3755