Candradimuka Sepakbola Remaja

Kejuaraan sepakbola remaja yang sempat melahirkan banyak bintang. Kini Piala Soeratin tak sebergengsi dulu.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Candradimuka Sepakbola RemajaCandradimuka Sepakbola Remaja
cover caption
Ir. Soeratin Sosrosoegondo, ketua umum PSSI pertama yang merintis sepakbola Indonesia sejak masa kolonial Belanda.

RUANG di lantai dasar stadion Gelora Bung Karno itu tak terlalu besar namun rapi dan bersih. Deretan buku di rak menjadi “suguhan” bagi para tamu yang datang. Beberapa poster menempel di tembok. Di ruang kerjanya, Eddi Elison, juru bicara PSSI, cerita panjang lebar tentang program PSSI sekarang: membina pemain junior berdasarkan jenjang usia.

Selain membuatkan kompetisi, PSSI mengirim tim-tim PSSI junior melawat ke berbagai negara untuk latih-tanding atau mengikuti berbagai kejuaraan. “Supaya mereka kaya dengan pengalaman pertandingan internasional. Itu penting sekali,” ujarnya.

RUANG di lantai dasar stadion Gelora Bung Karno itu tak terlalu besar namun rapi dan bersih. Deretan buku di rak menjadi “suguhan” bagi para tamu yang datang. Beberapa poster menempel di tembok. Di ruang kerjanya, Eddi Elison, juru bicara PSSI, cerita panjang lebar tentang program PSSI sekarang: membina pemain junior berdasarkan jenjang usia.

Selain membuatkan kompetisi, PSSI mengirim tim-tim PSSI junior melawat ke berbagai negara untuk latih-tanding atau mengikuti berbagai kejuaraan. “Supaya mereka kaya dengan pengalaman pertandingan internasional. Itu penting sekali,” ujarnya.

PSSI seakan berkejaran dengan waktu. Persaingan sepakbola di kancah internasional kian ketat, sementara Indonesia tak beranjak dari keterpurukan, bahkan terus melorot dalam ranking FIFA. Di sisi lain, banyak talenta muda butuh pembinaan agar tak mengikuti jejak seniornya yang minim prestasi, dan selama ini PSSI dituding tak punya perhatian terhadap pembinaan pemain usia dini.

Ricky Yacob, mantan kapten timnas di SEA Games Jakarta 1987, punya pendapat miring terkait tak memadainya perhatian terhadap pembibitan dalam persepakbolaan nasional. Dia menunjuk tak adanya kompetisi berjenjang yang dihelat pengurus cabang (Pengcab) PSSI di daerah-daerah. “Seharusnya Pengcab memperhatikan SSB-SSB di bawah naungan daerahnya dan menyediakan wadah kompetisi untuk kelompok umur agar mereka punya jam terbang bertanding,” ujarnya.

Beberapa tahun belakangan, Sekolah Sepak Bola (SSB) menjamur di tanah air. Bagi Ricky, ini menunjukkan tingginya antusiasme rakyat Indonesia terhadap sepakbola, yang bisa menjadi momen bagus untuk memajukan persepakbolaan nasional. “SSB ini menurut saya wadah paling pas untuk membentuk tim berjenjang,” ujarnya.

Melalui SSB, pemain-pemain bagus dengan sendirinya akan muncul setelah melewati berbagai penyaringan ketat dalam berbagai kompetisi antarklub SSB di sejumlah daerah. Munculnya pemain-pemain bagus akan mempermudah PSSI membentuk timnas.

Eddi sendiri masih meragukan keberadaan SSB, yang menurutnya umumnya dilatih bekas pemain sepakbola yang belum tentu capable dalam melatih. Dalam sepakbola, teknik hanyalah salah satu faktor yang perlu diasah pemain. Faktor psikologis, ketahanan fisik, dan lain-lain juga tak kalah penting. “Itu sebabnya kami mengontrak salah satu pelatih UEFA, namanya Bert Panctuary,” ujarnya.

Bert berkeliling ke berbagai daerah untuk melatih para pelatih sepakbola di SSB-SSB. Untuk kompetisinya, ada Liga Pendidikan Indonesia (LPI), kompetisi antar-SMP yang digelar sejak 2010. Di tingkat usia 18 tahun ke bawah (U-18), PSSI kembali menghidupkan Piala Soeratin (Soeratin Cup).

Pengurus PSSI tahun 1964. Kiri-kanan: Brigjen Polisi Abdurrahman (ketua), Kolonel CPM Maulwi Saelan (ketua umum), A. Wahab (ketua), Uteh Reza Yahya (ketua), Brigjen Gatot Suwagio (ketua), dan Prijo Sanjoto (sekertaris umum). (Dok. Maulwi Saelan/Historia.ID).

Mula Piala Soeratin

Sempat mati suri, Piala Soeratin kembali dihelat tahun 2012. PSDS Deli Serdang keluar sebagai juara setelah mengalahkan Persema Malang.

Piala Soeratin menjadi kompetisi rutin PSSI untuk usia 18 tahun ke bawah sejak 1966. Namun, menurut Maulwi Saelan, Piala Soeratin sebetulnya nama kejuaraan junior untuk berbagai tingkat usia. “Mereka bilang umur 18, 23, dan semuanya, ini Soeratin sebetulnya.”

Kejuaraan yang memperebutkan piala bergilir (Piala Soeratin) ini lahir ketika PSSI di bawah Ketua Umum Maulwi Saelan (1964–1967). Saat itu Maulwi sadar, pesepakbola senior seusianya tinggal sedikit dan di pengujung karier. Dia sendiri sudah gantung sepatu. Sementara junior- junior yang bakal menggantikan mereka belum muncul. “Saya terus bilang, bikin Soeratin Cup,” ujar Maulwi kepada Historia.

Maulwi bersama jajarannya menggodok konsep kompetisi itu. Setelah matang, dia membawanya ke Presiden Sukarno. Tak butuh waktu lama bagi PSSI untuk mendapat persetujuan presiden. Sukarno paham betul siapa Maulwi; dialah yang menunjuk Maulwi, wakil komandan pasukan pengawal presiden Resimen Tjakrabirawa, sebagai ketua PSSI karena kecemerlangannya dalam mengolah kulit bundar. Maulwi pula yang membawa nama harum timnas Indonesia ke pentas internasional ketika menahan imbang Uni Soviet di Olimpiade Melbourne 1956.

Setelah Sukarno menyetujui ide Piala Soeratin, kejuaraan tahunan itu pun diresmikan di Bogor. Nama Soeratin dipilih sebagai penghargaan terhadap Ir. Soeratin Sosrosoegondo, ketua umum PSSI pertama, yang merintis sepakbola Indonesia sejak masa kolonial Belanda. Perhelatan pertama Piala Soeratin berlangsung pada 1966. Persema Malang berhasil menjadi juaranya. Setahun kemudian, giliran PSMS Medan.

Namun, baru dua kali berjalan Piala Soeratin terpaksa berhenti. Prahara politik menjadi penyebabnya. Sukarno diturunkan dari jabatannya dan dikenai tahanan rumah. Maulwi juga ditahan dan baru bebas pada 1970-an.

Jawa Timur juara Piala Soeratin U17 tahun 2020. (pssi.org).

Candradimuka

Setelah sempat terhenti, Piala Soeratin dihelat kembali pada 1970 ketika kepemimpinan PSSI di bawah Kosasih Poerwanegara. Kali ini menjadi kejuaraan dua tahunan. Namun formatnya masih sama: kompetisi penuh. Persija Jakarta berhasil menjadi juara perhelatan pertama Piala Soeratin di era Orde Baru.

Penyelenggaraan Piala Soeratin menjadi program rutin PSSI. Jadwal, peraturan, pendanaan, dan perangkat lainnya dibuat direktorat khusus usia di dalam Badan Liga Amatir PSSI. Namun tanggung jawab kompetisi di daerah, termasuk pendanaan, diserahkan kepada pengurus provinsi (Pengprov) dan pengurus cabang (Pengcab). “Kami (PSSI) tidak mendanai, karena dananya ada di APBD,” ujar Eddi.

Ketika membuat jadwal kompetisi, Pengcab atau Pengprov menyesuaikan dengan jadwal sekolah. Pengcab dan Pengprov pula yang meminta izin kepada para orang tua atau sekolah. Biasanya mereka memberikan izin. Selain membawa nama baik keluarga dan sekolah, “kan membawa nama daerah,” ujar Patar Tambunan, mantan pemain PSMS junior.

Pengcab di tiap daerah menggelar kompetisi masing-masing untuk mendapatkan juara yang akan dikirim ke kompetisi di tingkat provinsi. “Kalau di Medan, kami melakoninya di daerah Binjai, Sibolga, Rantauprapat, sampai Aceh,” ujar Ricky Yacob. Pemenang di tingkat provinsi berhak maju ke putaran final, tingkat nasional.

Di Piala Soeratin, tim-tim yang bertanding berasal dari klub Perserikatan. Jakarta diwakili Persija junior, Medan diwakili PSMS junior, Makassar diwakili PSM junior, dan sebagainya. Mereka bertarung di 16 besar. Delapan klub bertarung untuk mendapatkan tiket grand final. Putaran final biasanya digelar di Jakarta dan disiarkan langsung TVRI.

Ricky mendapat gemblengan dari kompetisi ini. Dia membela PSMS junior dan pernah menjuarai Piala Soeratin pada 1980. Kala itu usianya 17 tahun. “Dari situ saya termasuk salah satu yang dipanggil untuk memperkuat PSSI junior waktu itu,” kenang Ricky. Karier Ricky terus menanjak setelah itu.

Ricky Yacob memberikan pengarahan kepada anak-anak didiknya di SSB Ricky Yacobi. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Ricky maupun Patar tak kesulitan membagi waktu. Toh latihan dilakukan sore hari. Mereka hanya akan kewalahan menjelang putaran final karena persiapan diintensifkan. “Tiga empat bulan sebelumnya hingga menjelang keberangkatan ya tiap hari latihan,” kenang Patar, yang kemudian jadi pemain inti Persija dan ikut mengantarkan Indonesia merebut medali emas SEA Games 1987 di Jakarta.

Status mereka pemain amatir yang tak bergaji. Mereka hanya mendapat uang saku dan uang transportasi. “Waktu itu nggak mikir itu (bayaran). Bisa membawa nama bond saja senang sekali,” kenang Patar menyebut bond untuk klub.

Hingga akhir 1980-an, perhelatan Piala Soeratin berjalan lancar dan sangat meriah. PSSI menanganinya secara serius. Terlebih dari kompetisi inilah lahir bintang-bintang seperti Bob Hippy, Iswadi Idris, “si kancil” Abdul Kadir, Rony Pattinasarani, Sinyo Aliandoe, hingga generasi-generasi berikutnya seperti Herry Kiswanto, Ricky Yacob, Edi Harto, Marzuki Nyakmad, dan Patar Tambunan. “Waktu itu Soeratin itu turnamen sangat bergengsi,” ujar Ricky.

Pada 1991, Piala Soeratin kembali dijadikan ajang kompetisi tahunan setelah sebelumnya sempat dua tahunan. Perubahan lain, format kompetisi penuh diubah menjadi liga pada 2001 setelah Bogasari (PT Indofood Sukses Makmur) menjadi sponsor tunggal hingga 2005. Orang lalu mengenalnya sebagai Liga Bogasari. Piala Soeratin pun perlahan tak terdengar. “Masih ada. Namun gaungnya nggak seramai dululah,” ujar Patar.

Liga Bogasari dihelat selama tiga bulan, bukan setahun penuh seperti liga profesional. Perhelatannya biasanya November–Januari. Putaran finalnya, “biasanya pas Haornas (Hari Olahraga Nasional, red.),” ujar Zainul Arif, pegawai swasta yang pernah memperkuat Persija Selatan dan Persijam (Jambi) di Liga Bogasari.

Namun, penyelenggaraan Piala Soeratin memang bukan tanpa cela. “Main mata” atau pengaturan skor kerap menghinggapinya. Salah satunya, seperti dikisahkan mantan asisten manajer Persimura (Sumatra Selatan) Yoke S. Endarto dalam Prediksi Statistik Pesta Bola 2010, ketika Piala Soeratin 2008 di Musi Rawas. Skandal lain, bajak-membajak pemain. “Banyak. Itu mungkin ada kolusi. Pemain junior kan nggak periksa kontrak,” ujar Arif.

Setelah itu, nasib liga remaja menjadi tak jelas. Terlebih ketika pengelolaan sepakbola Indonesia mulai kisruh. Pengurus PSSI yang baru pun sempat kesulitan ketika akan kembali menggelar Piala Soeratin. Selain tak adanya data dan laporan kompetisi ini yang dulu digelar, mereka mendapati trofi Piala Soeratin hilang. “Kita pun bingung nggak tahu di mana ini Piala Soeratin sekarang,” ujar Eddi.

Toh, PSSI bertekad tetap menggelarnya dengan format kejuaraan penuh.

Majalah Historia No. 7 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
646de0c8a3703e451bb5a723