“Capung Besi” Rusia

Helikopter-helikopter Rusia pernah menjadi tulang punggung AURI.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
“Capung Besi” Rusia“Capung Besi” Rusia
cover caption
Illustrasi: Betaria Sarulina/Historia.ID

LELAKI itu berperawakan tinggi besar. Rambutnya sudah memutih. Kendati usianya menginjak 86 tahun, suaranya masih jelas dan ingatannya sempurna. Dia adalah Pramono Adam, pensiunan Angkatan Udara Republik Indonesia atau AURI (kini, TNI AU) dengan pangkat terakhir Kolonel Penerbang (Purn.).

“Saya punya rating 13 macam pesawat. Tiga pesawat fixed wing (bersayap tetap), habis itu ke pesawat helikopter. Banyak sekali helikopter, ada 10 macam. Nggak ada orang di dunia itu yang punya, paling banter dua,” ujar Pram, demikian dia biasa di sapa.

Ketika masih aktif di AURI, mayoritas masa tugasnya dihabiskan sebagai pilot helikopter. Kendati memiliki rating 13 jenis pesawat, rotary wing (sayap berputar) maupun fixed wing, helikopter Mi-4 Hound dan Mi-6 Hook buatan Uni Soviet mempunyai tempat tersendiri dalam benaknya. 

Mi-4 adalah sebuah helikopter angkut buatan Uni Soviet yang beroperasi di ranah sipil maupun militer. Mi-4 didesain sebagai tanggapan Soviet terhadap efektivitas helikopter H-19 Chickasaw milik Amerika Serikat dalam Perang Korea.

Mi-4, yang mulai beroperasi April 1952, meraih sukses. Kesuksesan Mi-4 membuka gerbang bagi lahirnya helikopter-helikopter Soviet berikutnya. Salah satunya Mi-6, helikopter terbesar di dunia yang mengangkasa kali pertama pada September 1957. 

Helikopter buatan Soviet menjadi salah satu andalan AURI pada era 1960-an. “Menangani pesawat heli itu mesti pakai hati. Pesawat heli Rusia itu bagus-bagus, saya nilai dengan hati,” kata Pram.

LELAKI itu berperawakan tinggi besar. Rambutnya sudah memutih. Kendati usianya menginjak 86 tahun, suaranya masih jelas dan ingatannya sempurna. Dia adalah Pramono Adam, pensiunan Angkatan Udara Republik Indonesia atau AURI (kini, TNI AU) dengan pangkat terakhir Kolonel Penerbang (Purn.).

“Saya punya rating 13 macam pesawat. Tiga pesawat fixed wing (bersayap tetap), habis itu ke pesawat helikopter. Banyak sekali helikopter, ada 10 macam. Nggak ada orang di dunia itu yang punya, paling banter dua,” ujar Pram, demikian dia biasa di sapa.

Ketika masih aktif di AURI, mayoritas masa tugasnya dihabiskan sebagai pilot helikopter. Kendati memiliki rating 13 jenis pesawat, rotary wing (sayap berputar) maupun fixed wing, helikopter Mi-4 Hound dan Mi-6 Hook buatan Uni Soviet mempunyai tempat tersendiri dalam benaknya. 

Mi-4 adalah sebuah helikopter angkut buatan Uni Soviet yang beroperasi di ranah sipil maupun militer. Mi-4 didesain sebagai tanggapan Soviet terhadap efektivitas helikopter H-19 Chickasaw milik Amerika Serikat dalam Perang Korea.

Mi-4, yang mulai beroperasi April 1952, meraih sukses. Kesuksesan Mi-4 membuka gerbang bagi lahirnya helikopter-helikopter Soviet berikutnya. Salah satunya Mi-6, helikopter terbesar di dunia yang mengangkasa kali pertama pada September 1957. 

Helikopter buatan Soviet menjadi salah satu andalan AURI pada era 1960-an. “Menangani pesawat heli itu mesti pakai hati. Pesawat heli Rusia itu bagus-bagus, saya nilai dengan hati,” kata Pram.

Mi-4 sedang parkir di halaman markas AURI. Mi-4 adalah helikopter angkut buatan Uni Soviet yang beroperasi di ranah sipil maupun militer. (Dok TNI AU)

Misi Rahasia

Sedari kecil Pramono Adam, lelaki kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, bercita-cita jadi tentara. Cita-cita itu diwujudkannya setelah menginjak remaja. Pada 1959, setamat sekolah menengah atas, dia mendaftar Akademi Militer Nasional (AMN) Yogyakarta. Dari sekitar 360 pendaftar, dia termasuk dari 20 orang yang lulus. 

“Saya diterima di bagian Angkatan Udara,” kata Pram.

Belum genap setahun kuliah, Pram mendapat perintah tugas belajar ke Cekoslowakia untuk jadi penerbang. 

Pengiriman tugas belajar itu tak lepas dari kebutuhan penerbang untuk alutsista yang didapatkan dari Cekoslowakia dan sebagai upaya AURI mendukung keputusan politik Presiden Sukarno untuk merebut Irian Barat. 

Sejak paruh kedua 1950-an, pemerintah berupaya memodernisasi alutsista untuk mengkonsolidasikan wilayahnya yang diganggu gerakan separatis. Misi pembelian senjata dijajaki ke berbagai negara. 

Penolakan oleh Amerika Serikat, yang dipengaruhi Belanda selaku sekutunya di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) karena khawatir dipergunakan untuk merebut Irian Barat, membuat Indonesia berpaling ke negara-negara Blok Timur. 

Pada Desember 1960, Jenderal A. H. Nasution pergi ke Moskow untuk bernegosiasi dengan pemerintah Uni Soviet mengenai pengadaan alutsista. Usaha ini berhasil. Indonesia dan Uni Soviet pun mengadakan perjanjian jual-beli senjata senilai $ 450 juta dengan mekanisme pembayaran dilakukan secara kredit berjangka 20 tahun dengan bunga 2,5 %.

Dalam kesepakatan itu Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer seperti kapal selam, tank, kapal roket cepat, pesawat tempur, helikopter, peralatan amfibi, dan berbagai persenjataan berat. 

Jenderal AH Nasution, tokoh penting dalam membangun kerjasama militer dengan Uni Soviet. Dari tiga misi yang dipimpinnya, Indonesia bisa membeli berbagai peralatan militer termasuk helikopter. (IPHHOS/Wikimedia Commons).

Alutsista tersebut mulai dikirim ke Indonesia pada 1961 secara bergelombang. Antara lain kapal selam, tank, pesawat tempur, dan termasuk pula helikopter jenis Mi-4 dan Mi-6. Helikopter MI-6, misalnya, tiba di Indonesia pada 1964. Dilansir Kedaulatan Rakjat, 6 Juli 1964, jenis helikopter ini sangat berguna untuk pembangunan daerah, terutama di daerah perbatasan, mengingat daya angkutnya yang demikian besar. Mi-6 menggunakan mesin twin-jet dan dapat mengangkut 100 orang. 

“Menangani pesawat heli itu mesti pakai hati. Pesawat heli Rusia itu bagus-bagus, saya nilai dengan hati,” kata Pram.

Banyak alutsista yang didapat dari Soviet dikirim menggunakan tangan ketiga, terutama negara-negara Eropa Timur, demi menghindari opini Barat. Jadi, banyak alutsista didapat dari sekutu Soviet seperti Cekoslowakia, Polandia, dan Yugoslavia. Terkait hal itu, AURI mengirimkan personel-personelnya ke Cekoslowakia untuk belajar. 

Pendidikan di Cekoslowakia dipelopori dua Soemarsono pada 1958, yang dikirim untuk mempelajari Mi-4. Setelah itu, tiap tahun AURI mengirimkan personelnya ke Cekoslowakia. 

Menteri Keamanan Nasional cum KSAD Jendral AH Nasution (tengah) beserta para pejabat setelah upacara serah terima berbagai pesawat tambahan dari Ceko. (Repro Buku Sejarah TNI AU Jilid III 1960-1969).

Menurut buku Sejarah Angkatan Udara Indonesia (1960-1969) jilid III, yang diterbitkan Dinas Penerangan Angkatan Udara, pengiriman kadet-kadet ke Ceko dimulai pada Oktober 1958. Secara berturut-turut, AURI mengirim kadet untuk dididik menjadi penerbang dan navigator. Pendidikan meliputi empat angkatan: Cakra I (1959-1961), Cakra II (1960-1962), Cakra III (1961-1963), dan Cakra IV pada 1964.

Pendidikan untuk angkatan I sampai III dilakukan di kota Prosteyov, Hradec, dan Prerov. Pendidikan diarahkan untuk memiliki kualifikasi sebagai penerbang tempur fighter, bomber, dan fighter bomber. Pesawat yang digunakan dalam pendidikan ini adalah Z-126, AK-11, MiG-15, IL-14, IL-28, dan MiG-19.

“Saya Cakra III, yang concern Irian Barat,” kata Pram. 

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/6335703c414f4e35ff2c431f_para-kadet_result-p-500.jpg" alt="img"></div><figcaption>Para kadet Indonesia berpose di sela-sela mengikuti pendidikan di Rusia. (Repro Buku Sejarah TNI AU Jilid III 1960-1969</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/633570aeb569cf1dcd0d70ee_Pramono-adam2_result.jpg"></div><figcaption>Ekspresi Pramono saat bercerita mengenai masa-masa dia menjadi pilot helikopter pada tahun 1960-an. (Historia/Fernando Randy)</figcaption></div></div>

Demi kerahasiaan, Pram dan rekan-rekannya diperintahkan untuk mengaku sebagai mahasiswa teknik. Pihak Cekoslowakia tak mempedulikan status para mahasiswa asal Indonesia yang menyamar itu. Pelayanan tetap diberikan dengan baik.

“Orang Ceko tertib sekali. Kita dilayani dengan baik. Kita special force di sana, yang atributnya semua atribut TNI kita. Kalau ada upacara, upacara kita, biar pemimpinnya (orang) sana untuk upacara penyematan, tapi tetap kita Indonesia. Jadi nggak pakai identitas manapun,” ujar Pram.

Sebenarnya AURI bukan hanya mengirimkan kadet untuk jadi penerbang tapi juga kebutuhan lainnya. Merdeka, 18 April 1963, memberitakan kepulangan Soendoro Martosoeputro setelah menyelesaikan studi di jurusan kerangka pesawat terbang (Stavba Letadel) di Ceko selama enam tahun. Dari 13 orang yang mengikuti pendidikan di sana sejak 1957, telah lulus enam orang dalam berbagai jurusan. Namun yang menempuh bidang penerbangan hanya Soendoro. 

Soendoro adalah tamatan Akademi Penerbangan Indonesia di Curug-Tanggerang jurusan Air Traffic Control. Oleh Departemen Perhubungan Udara, dia dikirim ke Ceko untuk mempelajari kerangka pesawat terbang. Dia menghabiskan waktu setengah tahun untuk persiapan bahasa Ceko, lima tahun kuliah, dan setengah tahun praktik di pabrik perawat terbang. 

Berbeda dari Soendoro, Pram mempelajari beragam aspek mengenai pesawat tempur MiG di akademi di Trencin (kini di Slowakia). Selain dibekali teori dan pengetahuan, kemampuannya dimatangkan dengan praktik langsung menerbangkan pesawat. 

Ketika Cakra III hampir menyelesaikan masa studi, Irian Barat telah masuk ke tangan Indonesia. Akibatnya, pendidikan yang ditempuh nyaris sia-sia. Terlebih, AURI surplus penerbang tempur.

“Karena saya termasuk yang terakhir di sana, jadi sebelum pulang dikasih saran, ‘Daripada kamu pulang, kamu terus sekolah tapi sekolah heli!’,” ujar Pram. 

Skadron Helikopter

Pram dan rekan-rekannya menghabiskan sisa masa studinya untuk mempelajari helikopter. Begitu pendidikan usai, Pram pulang ke tanah air dengan misi baru. 

“Jadi kembali dari sana langsung masuk ke sini untuk membangun dari nol skadron (helikopter),” kata Pram merujuk pada Pangkalan Angkatan Udara (Lanud) Semplak, Bogor.

Sejak diambilalih AURI pada 1950, Lanud Semplak adalah home base bagi pesawat Auster Mark peninggalan Militaire Luchvart Belanda yang diwadahi dalam Skadron Udara 4. Skadron Udara 4 hanya berkiprah hingga 1958. Sejak Maret 1963, Lanud Semplak jadi markas baru Skadron 6 Helikopter.

Salah satu lambang kemiliteran yang terpajang jelas dinding rumah Pramono di Bogor, Jawa Barat. (Fernando Randy/Historia.ID).

Skadron helikopter sudah dirintis tahun 1956. Mulanya dengan nama Skadron Percobaan Helikopter, kemudian diubah jadi Skadron Helikopter setahun kemudian. Skadron ini berkedudukan di Lanud Andir (kini Lanud Husein Sastranegara) Bandung sebagai suatu seksi dari Depot Perawatan Teknik Udara. Pembentukannya didorong kedatangan beberapa helikopter dari luar negeri. 

Skadron itu mulai beroperasi dengan dua helikopter Hiller 360 buatan Amerika Serikat. Pada pertengahan 1950-an, kekuatannya bertambah dengan kedatangan SM-1 dari Polandia beserta seorang instruktur penerbang, Mr. Richard Widskorsky. SM-1 adalah Mi-1 yang diproduksi di Polandia oleh perusahaan WSK-Swidnik. Disusul kemudian beberapa Mi-4 dari Soviet yang dikirim secara bertahap. Bahkan sebuah helikopter Mi-4 dirakit di Lanud Andir oleh teknisi-teknisi AURI.

Suasana Lapangan terbang Andir, Bandung, tempat Skadron Helikopter dirintis sekaligus menjadi seksi Depot Perawatan Teknik Udara. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

Pada 1960-an, helikopter Bell-47 J Ranger dan S-58 T Sikorsky memperkuat Skadron Helikopter, terutama untuk tugas-tugas penerbangan kepresidenan. 

Seiring kedatangan banyak helikopter dari Uni Soviet, Polandia, hingga Amerika Serikat, nama Skadron Percobaan Helikopter diganti menjadi Skadron 6 Helikopter pada 1961. 

Pada 1963, pangkalan Skadron 6 Helikopter dipindahkan ke Lanud Semplak. Mayor Udara Suwoto Sukendar dipercaya memimpin Lanud Semplak merangkap komandan Skadron 6 Helikopter. Rintisan ini berjalan mulus berkat kedatangan Pram dan beberapa penerbang yang baru pulang studi dari Cekoslowakia.

Tugas Pram bukan hanya mendidik para penerbang junior. Dia juga menerbangkan, mempelajari, mengecek, dan memberikan perawatan ringan. Kadangkala membantu merakit heli-heli baru yang dibeli dalam keadaan semi knock-down.

“Dari pesawat paling kecil sampai pesawat yang paling gede banget saya yang diserahi tugas untuk cek pilot di sini, semuanya. Saya yang disuruh ngetes tiap hari. Nggak ada yang lain lagi. Assembling-nya (saya) sama orang Polandia itu,” kata Pram.

Kekuatan Skadron 6 Helikopter bertambah seiring kedatangan Bell-204 B Iroquis dari Amerika Serikat, dan terutama beberapa Mi-6 dan tambahan Mi-4 dari Uni Soviet. 

Khusus untuk kesiapan menerima heli dari Soviet, AURI mengirimkan kadet-kadet ke sana untuk mendapatkan pelatihan. Sebagian Mi-6 datang dengan diangkut kapal laut dan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok dalam bentuk tidak utuh. Dari Tanjung Priok diangkut ke Lanud Halim Perdanakusuma untuk dirakit ulang dan siap diterbangkan yang dipimpin oleh Kapten Udara Atang Sendjaja. 

Sayangnya, pada Juli 1966, musibah datang. Buntut heli yang ditumpangi Atang Sendjaja terkena kabel listrik sebelum masuk Cililitan. Tak lama setelah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Atang Sendjaja dinaikkan pangkatnya secara anumerta menjadi Letkol Udara Anumerta dan namanya diabadikan untuk Lanud Atang Sandjaya sebagai pengganti Lanud Semplak.

Makin banyak jumlah helikopter dan tugas-tugas yang dihadapi satuan-satuan helikopter di Lanud Semplak, AURI memutuskan untuk memekarkan organisasi skadron helikopter. Pada 25 Mei 1965 dibentuklah Wing Operasi (Wingops) 004/Helikopter dengan Kolonel Udara Suwoto Sukendar, yang kelak menduduki jabatan tertinggi KSAU (1969-1973), sebagai komandannya.

Helikopter Mi-6 saat berada di Lanud Andir (kini Huseun Sastranegara), Bandung. Mi-6 didatangakan untuk memperkuat angkatan udara Indonesia untuk merebut Irian Barat. (Repro Sejarah TNI AU Jilid III 1960-1969).

Wingops 004 membawahkan Skadron Udara 6, 7, dan 8. Skadron Udara 6 mengoperasikan sejumlah Mi-4; Skadron Udara 7 untuk Mi-4, SM-1, Bell Trooper, Ranger dan Iroquis; serta Skadron Udara 8 mengoperasikan Mi-6. Sesuai tugas yang dibebankan, skadron helikopter melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Pram tergabung sebagai penerbang Skadron Udara 8 dan merasakan kecangihan Mi-6. “Mi-6 sudah pakai auto-pilot. Jadi kalau nyeberang laut, (saya tinggal gunakan) auto-pilot-nya saja. Ngapain (tongkat kemudi) dipegangin,” kata Pram.

Kiprah Heli Soviet 

Heli-heli Soviet, yang sebenarnya dibeli untuk Operasi Trikora atau pembebasan Irian Barat, mendapat medan baru untuk membuktikan ketangguhannya di perbatasan Kalimantan pada 1963. Saat itu Operasi Dwikora dicanangkan Presiden Sukarno untuk merespon rencana pembentukan Federasi Malaysia. 

Selama terlibat dalam Operasi Dwikora tahun 1963-1965, Wing Operasi 004 mengirim lima helikopter Mi-6, sembilan Mi-4, sebuah Bell-47G-2 Trooper, dan Bell-204B Iroquois. Heli-heli itu berangkat dari Lanud Atang Sendjaja menuju Lanud Palembang, Tanjung Pandan, dan Pontianak sebagai pangkalan induk. Tugas heli dalam sebuah operasi adalah mengangkut pasukan untuk mendekat daerah sasaran, mengirim bantuan logistik, evakuasi medis, hingga dan sebagai pesawat komando.

Pram terlibat dalam operasi itu dengan menerbangkan Mi-4 maupun Mi-6. Setiap kali mendekati perbatasan Malaysia, dia mendapat sambutan tembakan howitzer dan bermacam persenjataan anti-serangan udara dari pasukan Inggris.

“Haduuuh…asal  ke sana itu ya mesti saya diterima (disambut) enam, tujuh kali tembakan. Kita ngumpet-ngumpet saja. Itu nggak tercatat, nggak ada yang meng-cover apa sebagainya,” ujar Pram.

Kendati begitu, Mi-4 terus mondar-mandir Bogor-Kalimantan untuk mendukung operasi militer. Saking tingginya intensitas operasi, Pram jarang pulang. Dia juga tak sempat merawat diri sehingga wajahnya dihiasi jenggot lebat.

Helikopter Mi-6, helikopter terbesar di dunia yang kerap dipiloti Pram untuk mendukung operasi militer seperti Dwikora. (Dok. TNI AU).

Bentang alam Kalimantan yang didominasi belantara membuat Mi-4 jadi andalan untuk mengangkut pasukan, persenjataan, maupun logistik serta evakuasi pasukan yang terluka atau tewas dalam pertempuran. Penduduk setempat kadang menumpang Mi-4 untuk beragam kebutuhan, dari berobat sampai beli rokok.

“Itu penduduk, orang Dayak, kadang suka, pas saya mau terbang, ikut numpang. Mau beli rokok katanya. Sebab kalau jalan darat, dua bulan,” kata Pram. 

Selain Operasi Dwikora, Mi-4 dipakai dalam Operasi Tumpas Kilat untuk memberangus pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Menyusul ultimatum Presiden Sukarno agar Kahar Muzakkar ditangkap hidup atau mati sebelum 17 Agustus 1964, lima helikopter Mi-4 AURI diperbantukan ke Kodam Hasanuddin.

Beratnya medan Sulawesi membuat TNI hanya bisa mengerahkan pasukan dan logistik secara cepat dengan menggunakan heli. Tanpa heli, mustahil operasi akan sukses dengan cepat. 

“Di daerah Wiwirano waktu itu sulit sekali didatangi. Untuk bergerak beberapa kilometer saja (makan waktu) satu minggu. Dengan helikopter paling cuma setengah jam-satu jam sudah sampai. Jadi pada waktu itu kami betul-betul dimanfaatkan betul,” kata Pram, yang ikut dilibatkan dalam operasi memburu Kahar Muzakkar itu.

Para pilot TNI AU saat menurunkan jenazah Kahar Muzakar. Pram terlibat dalam operasi memburu Kahar dengan menerbangkan helikopter Mi-4. (Repro Sejarah TNI AU Jilid III 1960-1969).

Pram dan pilot-pilot AURI jadi semakin sibuk. Pram ingat dirinya mesti mondar-mandir Kalimantan-Sulawesi untuk menjalankan Operasi Dwikora maupun Operasi Tumpas Kilat sekaligus. Bukan hanya Mi-4, Pram juga kerap menerbangkan Mi-6.

“Sampai saya kesal hampir-hampir tidak pernah pulang. Baru mau pulang, sudah sebulan lebih (di lapangan), di tengah jalan (diperintah), ‘Kamu balik lagi!’ Jadi sebulan di Kalimantan, baru dua-tiga hari di rumah, (saya berangkat) ke Sulawesi. Itu bolak-balik sampai Konfrontasi selesai,” ujarnya.

Suatu ketika, AURI berperan dalam serangan balasan kepada Inggris. Pasalnya, militer Indonesia kerap ditembaki howitzer oleh Inggris. Rencana balasan pun dibuat. Pram mendapat tugas mengangkut pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kini jadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus), untuk menyusup ke seberang perbatasan. 

“Terus (saya) ganti pesawat (helikopter) yang gede itu (Mi-6) karena bisa mendarat di sana dengan mudah. Kita bawa pasukan, membawa meriam gunung,” sambungnya.

Pada hari-H, tembakan balasan pun dilancarkan. Jual-beli tembakan pun terjadi. 

“Kita bunyi enam kali, Inggris bunyi tujuh kali. Kita patah rodanya, sana patah kaki penembaknya. Malam harinya, RPKAD yang masuk ke sana lapor. ‘Pak, mereka semua hangus.’ Hangus punyanya Inggris meriamnya. Semenjak itu nggak pernah bunyi lagi (howitzer Inggris),” kenang Pram.

Berbagai ekspresi Pramono Adam saat menjawab pertanyaan dari Historia seputar pengalamannya dalam berbagai operasi yang dijalankan Angkatan Udara. (Fernando Randy/Historia.ID).

Di lain kesempatan, Skadron Udara 8 mendapat tugas mengevakuasi mesin dan awak pesawat Hercules yang jatuh dalam operasi penerjunan pasukan RPKAD di perbatasan Malaysia pada September 1965. Hercules jatuh terkena tembakan di dekat lapangan terbang Long Bawang tapi seluruh penumpang selamat. Tugas evakuasi kepada Skadron Udara 8 itu jatuh kepada Pram. Dia pun berangkat ke Long Bawang. 

“Saya dapat tugas untuk menyelamatkan dua engine yang masih hidup. Sebab kita dengan Amerika sedikit sulit untuk mencari (mendapatkan) kayak begitu,” kata Pram. Tugas menyelamatkan dua mesin Allison T-56 berhasil diselesaikan kendati memakan waktu beberapa bulan. 

Konfrontasi dengan Malaysia padam menyusul lengsernya Presiden Sukarno setelah Peristiwa G30S. Normalisasi hubungan Indonesia–Malaysia dicapai pada 11 Agustus 1966. Namun, Mi-4 dan Mi-6 masih punya tugas lain: menjalankan Operasi Wisnu guna memburu sisa-sisa Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS)-Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) sampai awal 1970-an di mana Pram menjadi menjadi komandan satgasnya.

Selain itu, heli-heli Soviet kerap menjalankan operasi-operasi non-tempur seperti membantu korban letusan Gunung Agung (Bali) pada 1963 dan evakuasi korban banjir bandang Solo tahun 1966. 

<div class="quotes-center font-g text-align-center">“Di daerah Wiwirano waktu itu sulit sekali didatangi. Untuk bergerak beberapa kilometer saja (makan waktu) satu minggu. Dengan helikopter paling cuma setengah jam-satu jam sudah sampai. Jadi pada waktu itu kami betul-betul dimanfaatkan betul” Pram.</div>

Pada masa peralihan itu, Pram diangkat menjadi komandan Skadron Udara 8. 

Usai menjadi Dan Satgas di Operasi Wisnu di Kalimantan Barat, Pram tugas belajar di Seskoad, Bandung. Usai Seskoad, Pram kembali ke Semplak. Kemudian, dia diminta Jenderal LB Moerdani, yang menduduki beragam posisi penting lembaga intelijen, sebagai staf pribadi. Pram kerap dilibatkan dalam bermacam tugas penting. Antara lain, Operasi Alpha atau operasi rahasia pembelian 32 jet tempur A-4 Skyhawk bekas AU Israel. 

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/28-helikopter/SKADRON-HELIKOPTER.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/28-helikopter/SKADRON-HELIKOPTER.mp4"></video></div>

Minim Perawatan

Zaman peralihan ini ternyata berdampak pada heli-heli Soviet. Memburuknya hubungan Indonesia-Soviet membuat terhentinya pasokan suku cadang dan dukungan ahli dari Soviet. Heli-heli Soviet pun jadi minim perawatan. Beberapa heli bahkan terpaksa dikanibal akibat ketiadaan suku cadang. 

Puncak dari penghentian kiprah heli-heli Soviet itu terjadi ketika AS, sekutu Indonesia pasca-Sukarno, memerintahkan meng-grounded semua peralatan militer buatan Blok Timur. Heli-heli ciamik itu terpaksa “merelakan” diri mereka dipereteli untuk kemudian dijual kilo-an guna dijadikan bahan pembuat beragam peralatan makan. 

“Pemerintah memutuskan itu di-scrap saja. Dipotong-potong, dijual kiloan. Ya karena (alasan) politis,” ujar Pram. Akibatnya, Lanud Semplak kehilangan banyak heli canggih. Bahkan Mi-6 tak tersisa satu pun. 

“Padahal saya baru memperbaiki satu yang paling bagus, engine-nya baru, rotornya baru, rodanya baru, saya baru terbangkan 68 jam. Tahu-tahu (saya) didatangi (orang) dari Mabes. ‘Stop, jangan dipakai lagi semuanya!’ Nggak lama dari itu ya terus dipereteli semua. Padahal itu masih terbang (baik) semua,” kata Pram. 

Kebijakan pada akhir 1970-ann itu berdampak pada turunnya kesiapan operasi dan aktivitas Wing Ops 004. Yang paling terkena dampak adalah Skadron Udara 8 yang akhirnya dibekukan. Pada 1981, Skadron Udara 8 dihidupkan lagi dengan kekuatan pesawat SA-330 Puma buatan Prancis maupun Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN).

Sebagai ganti alutsista buatan Blok Timur, negara-negara Barat, terutama AS, menghibahkan bermacam alutsista. Termasuk 14 helikopter Sikorsky H-34 yang didatangkan dari Udorn, Thailand.

Pram (kanan) berpose bersama rekan-rekan sesama veteran: Tatang Kurniadi (kiri) dan M. Husni (tengah). Para sesama veteran kerap kali datang ke rumah Pram untuk sekadar bercerita pengalamaan mereka. (Fernando Randy/Historia.ID).

“Pesawat dua-dua datang, (lalu) serah terima. Terus dibuka tutup mesinnya, apa coba? Mesinnya diikat-ikat sama kawat jemuran. Sudah goyang-goyang semua. Jadi sudah keadaan bobrok. Bekas dipakai di Vietnam. Masih ada luka-luka bolong bekas ditembak,” kata Pram. 

Sikorsky H-34 kemudian memperkuat Skadron Udara 6, yang menjalankan misi atau kegiatan SAR hingga latihan yang diadakan TNI AU.

Menyusul reorganisasi TNI AU, pada Maret 1985 Wingops 004 dibubarkan. Seluruh fasilitas dan personel Skadron Udara 6, 7, dan 8 diserahkan ke Lanud Atang Senjaya. Wing ini kemudian dihidupkan kembali pada 2000 dengan nama Wing Udara 4 yang bertugas di bidang latihan sekaligus membawahkan Skadron Udara 6 dan 8.

Sedangkan Skadron Udara 7 dialihkan dari Lanud Atang Senjaya ke Lanud Suryadarma, Kabupaten Subang, Jawa Barat, sejak 1991. Skadron ini memiliki kekuatan Bell 204 Iroquis, Bell 47G Sioux, Bell 47G Soloy (modifikasi Bell 47G Sioux), dan EC 120B Colibri. Skadron Udara 7 mendapat tugas tambahan untuk menyelenggarakan pendidikan sekolah penerbang helikopter atau biasa dikenal dengan sebutan Kursus Pengenalan Terbang Helikopter (KPTH) sampai sekarang. 

Kiprah heli-heli Rusia, sebagai pelanjut Uni Soviet, di Indonesia baru kembali menjelang kejatuhan Presiden Soeharto. Kini, beberapa heli Rusia menjadi bagian kekuatan persenjataan Indonesia seperti Mi-17 1B Hip, Mi-17-1, 8 Mi-2, dan Mi-35P (helikopter tempur) yang bermarkas di Skadron 31/Serbu Pusat Penerbangan TNI AD di Semarang, Jawa Tengah.

“Material pesawat Rusia sama Amerika bagusan Rusia. Kalau Amerika banyak magnesiumnya. Kebakar habis jadi abu. Kalau Rusia masih banyak kepakainya, almuniumnya tinggi,” kata Pram yang mengatakan bahwa kekurangan heli-heli buatan Rusia hanyalah terlalu rumit.

Pram pensiun pada 1996 dengan pangkat kolonel. Sempat membantu perusahaan yang didirikan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Ashadi Tjahjadi, dia membagikan ilmunya kepada pilot-pilot junior di AU maupun sipil.*

Pramono dan istrinya, Sri Ningsih, saat mengantarkan Historia menuju depan rumah untuk pamit. Pram berkata bahwa pintu rumahnya selalu terbuka untuk semua orang mendengar kisahnya. (Fernando Randy/Historia.ID).
Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
63355a8b5c3edba3129fa968