Sekolah Perguruan Thawalib di Padang Panjang, Sumatra Barat, tempat Buya Hamka belajar agama. (Jose Hendra/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
HAMKA sudah bisa memegang telinganya dengan tangan melalui ubun-ubun di usia sembilan tahun pada 1917. Dia pun dimasukkan ke sekolah desa (kalau di Jawa disebut sekolah ongko loro) yang hanya sampai kelas tiga. Mulanya, dia akan dimasukkan ke sekolah Europeesche Lagere School (sekolah dasar untuk anak Belanda), namun tidak menerima murid lagi karena penuh. Sekolah desanya ditempatkan dekat sekolah gubernemen (pemerintah) itu, di tangsi militer Gubuk Melintang, Padang Panjang.
Hamka sekolah desa pagi hari, sorenya sekolah diniyah. Baginya, hanya Zainuddin Labai El-Yunus, pendiri sekolah diniyah pada 1916, guru yang menarik hatinya. Dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid I, Hamka mengenangnya, “kala guru itu masuk kelas, terbuka pikirannya dan pikiran teman-temannya. Dia ditakuti tetapi dicintai. Dia tidak banyak melarang, tetapi menggembirakan pekerjaan murid-murid. Ketika guru itu dalam kelas seakan-akan diselaminya jiwa kanak-kanak. Dan semua menambah sayang murid-muridnya kepadanya.”
Hamka hanya tiga tahun sekolah desa. Ayahnya ingin dia menjadi ulama seperti dirinya. Karena itu dia dimasukkan sekolah diniyah pagi, sorenya ke sekolah tempatnya mengajar, Madrasah Thawalib. Namun, Hamka tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Matanya melihat kitab, tapi isi kepalanya melayang jauh ke film-film bisu yang dibintangi Eddie Polo, Marie Walcamp, dan “De Klauw tangan Besi” di bioskop Pasar Usang; bermain layang-layang, adu sapi di Paninjauan, belajar silat, dan pertandingan sepakbola klub Inlands Padang Elftal.
HAMKA sudah bisa memegang telinganya dengan tangan melalui ubun-ubun di usia sembilan tahun pada 1917. Dia pun dimasukkan ke sekolah desa (kalau di Jawa disebut sekolah ongko loro) yang hanya sampai kelas tiga. Mulanya, dia akan dimasukkan ke sekolah Europeesche Lagere School (sekolah dasar untuk anak Belanda), namun tidak menerima murid lagi karena penuh. Sekolah desanya ditempatkan dekat sekolah gubernemen (pemerintah) itu, di tangsi militer Gubuk Melintang, Padang Panjang.
Hamka sekolah desa pagi hari, sorenya sekolah diniyah. Baginya, hanya Zainuddin Labai El-Yunus, pendiri sekolah diniyah pada 1916, guru yang menarik hatinya. Dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid I, Hamka mengenangnya, “kala guru itu masuk kelas, terbuka pikirannya dan pikiran teman-temannya. Dia ditakuti tetapi dicintai. Dia tidak banyak melarang, tetapi menggembirakan pekerjaan murid-murid. Ketika guru itu dalam kelas seakan-akan diselaminya jiwa kanak-kanak. Dan semua menambah sayang murid-muridnya kepadanya.”
Hamka hanya tiga tahun sekolah desa. Ayahnya ingin dia menjadi ulama seperti dirinya. Karena itu dia dimasukkan sekolah diniyah pagi, sorenya ke sekolah tempatnya mengajar, Madrasah Thawalib. Namun, Hamka tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Matanya melihat kitab, tapi isi kepalanya melayang jauh ke film-film bisu yang dibintangi Eddie Polo, Marie Walcamp, dan “De Klauw tangan Besi” di bioskop Pasar Usang; bermain layang-layang, adu sapi di Paninjauan, belajar silat, dan pertandingan sepakbola klub Inlands Padang Elftal.
Tidak berapa lama kemudian, Hamka dimasukkan kursus bahasa Inggris pada malam hari. Cara gurunya, Sutan Marajo, mengajar berbeda dengan di diniyah dan Thawalib. Sehingga dia tertarik untuk belajar. Sayangnya, sang guru pindah mengajar ke Padang karena mendapat tawaran penghasilan yang lebih besar.
Suka Membaca
Di tengah kebosanan belajar, Hamka menemukan tempat yang membuatnya dapat menggali ilmu pengetahuan. Guru yang disukainya, Zainuddin Labai, membuka tempat penyewaan buku. Buku-buku yang disewakan antara lain terbitan Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang didirikan di Batavia pada 1917 (kemudian bernama Balai Pustaka) seperti Tiga Panglima Perang dan Graaf De Monte Cristo karya Alexander Dumas; buku-buku salinan Tionghoa-Melayu, buku tentang perang Jepang-Rusia, serta suratkabar Bintang Hindia.
Setiap petang, Hamka menyambangi perpustakaan itu untuk meminjam buku. Umumnya biaya sewa dua sen satu buku untuk lima hari. Demi meminjam buku, dia mengumpulkan uang jajannya sebesar sebenggol (2,5 sen) sehari. Dia bisa menamatkan satu buku sehari.
Hamka putar otak agar tak perlu bayar sewa. Setiap hari dia datang ke percetakan Badezst Padang Panjang milik Bagindo Sinaro yang berkongsi dengan Zainuddin Labai membuka penyewaan buku itu yang diberi nama Zainaro (Zainuddin dan Sinaro).
Sebelum disewakan, buku-bukunya disampul karton lebih dulu di percetakan itu. Hamka membantu melipat kertas, membuat perekat, dan membelikan kopi. Setelah itu, dia minta izin membaca buku-buku itu. Setiap hari dia menamatkan satu buku. Bila belum kelar, dia merayu Bagindo Sinaro agar membolehkan bukunya dibawa pulang. Suatu kali dia kedapatan ayahnya membaca buku-buku itu. Setengah marah, ayahnya bertanya: “Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau akan jadi tukang ceritera?”
Hamka meletakkan bukunya sebentar. Setelah ayahnya pergi, diambil dan dibaca lagi.
Di usia 12 tahun orang tua Hamka bercerai. Merasa terpukul oleh perpisahan itu, dia menjadi bocah petualang: bermain silat dan tari piring, bergaul dengan orang-orang parewa (jagoan, red.), melihat pacuan kuda di Padang Panjang, Bukittinggi, dan Payakumbuh, serta melihat orang berjudi sabung ayam.
Ayahnya lantas menyuruhnya mengaji ke seorang ulama, Syekh Ibrahim Musa di Parabek, lima kilometer dari Bukittinggi. Tempat mengajinya seperti di Thawalib, berkelas-kelas. Dia masuk kelas enam.
Hamka mudah bergaul. Tak hanya dengan murid-murid dari berbagai tempat, dia juga bergaul dengan anak-anak kampung untuk belajar silat. Selain di Parabek, dia menjelajah ke kampung-kampung lain: Durian, Sungai Tanang, Padang Luar, Karantau, Bengkawas, Kapas Panji, dan Guguk Tinggi.
Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau akan jadi tukang ceritera?
Rusydi Hamka, anak ketiga Hamka, menyebutkan bahwa Abdul Malik gelar Datuk Indomo yang dipanggil dengan nama Hamka, sejak usia muda sudah dikenal sebagai seorang pengelana. “Ayahnya bahkan menamakan anak itu Si Bujang Jauh,” tulis Rusydi dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka.
Usai mengaji, Hamka menghilang. Dia pergi ke kampung Durian melihat adu balam (burung tekukur). Dia sangat suka ketika ninik-mamak dan datuk-datuk “pidato adat”. Seperti pembukaan sebelum adu balam: “hari baik sehari ini, ninik mamaklah lengkap hadir. Balam diadu hanya lagi, dilahir mengadu balam, dibatin mengadu budi. Permainan anak raja-raja.” Penutupnya: “Harilah membayang petang, mataharilah condong turun, sembahyang nan berwaktu, alat nan berketika.”
Hanya beberapa bulan Hamka mengaji di Parabek. Sepulang ke kampungnya, dia malah belajar pidato adat, seperti pidato menaiki rumah baru dan membawa anak turun mandi. Melihat hal itu, kakeknya, Datuk Rajo Endah, mulai senang dengan cucunya. Tetapi, ayahnya tidak suka karena bukan itu yang diharapkannya.
Ayahnya, menurut Hamka, tidak dapat menyelami jiwanya. Ayahnya ingin dia membaca kitab-kitab agama seperti nahwu dan sharaf (tata bahasa Arab). Dia marah melihatnya membaca buku cerita, roman, dan buku-buku tentang Minangkabau dari penyewaan Zainaro. Apalagi dia sudah kedapatan menulis surat pada gadis-gadis.
Di rumah kawannya, Ayun Sabiran yang punya banyak suratkabar, Hamka asyik membaca Cahaya Sumatera, Sinar Sumatera, dan Hindia Baru. Dengan membaca, pemikiran Hamka semakin terbuka. “Si Bujang Jauh” ingin mengembara ke tanah Jawa.
Ayun Sabiran kelak ditangkap pemerintah kolonial karena terlibat peristiwa pemberontakan PKI di Silungkang pada awal 1927. Dia dibuang ke Boven Digul, Papua bersama ratusan aktivis PKI lainnya. Ayun adalah ayah dari sutradara film Misbach Yusa Biran.
Otodidak yang Berhasil
Menurut sosiolog Mochtar Naim, 82 tahun, orang seperti Buya Hamka jarang ada bandingannya. Bayangkan, secara formal, pendidikannya hanya sekolah dasar, itu pun tidak tamat. Ikut ayahnya di Padang Panjang yang mendirikan Sumatra Thawalib. Tetapi, hubungannya lebih banyak sebagai ayah dan anak, bukan sebagai siswa. Begitu juga ketika dia belajar ke Parabek.
“Kalau ceritanya yang saya dapatkan, beliau lebih banyak di luar kelas daripada di dalam kelas. Dia termasuk anak yang nakal dan suka ke mana-mana. Terus terang, rasanya bukan saya saja yang mengatakan, secara objektif, jarang menemukan orang seperti beliau. Dia serba bisa, apapun,” ujar Naim, yang mendapatkan surat rekomendasi dari Hamka untuk melanjutkan studi ke McGill University, Montreal, Kanada pada 1957.
Menurut Solichin Salam dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, melihat pendidikan formalnya yang hanya sekolah dasar, selebihnya Buya Hamka belajar sendiri atau self study. “Maka Buya Hamka dapat disebut sebagai seorang otodidak yang berhasil. Ingatannya sangat tajam, terutama dalam soal sejarah. Pengetahuannya luas sekali.”*