Ali Sastroamidjojo dan Suwirjo. (Repro Banteng Segitiga).
Aa
Aa
Aa
Aa
ALI Sastroamidjojo, ketua umum PNI, menyebarkan surat bernomor 1079/ PEG/024/’64 yang ditujukan kepada setiap kader PNI. Isinya, perintah untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan gedung PNI/Front Marhaenis. Surat tersebut tertanggal 13 November 1964.
PNI ingin membangun gedung lima lantai di Jalan Salemba Raya No. 73. Pembangunan diharapkan selesai dalam dua tahun. Biaya yang dibutuhkan amat besar, sekitar setengah miliar rupiah. Untuk itulah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PNI berupaya melakukan penggalangan dana.
Setiap Dewan Pimpinan Cabang harus mengkoordinasikan kader-kader untuk menyumbang minimal Rp100. Namun, DPP PNI tak membebankan seluruh biaya pembangunan pada iuran kader. Dari total pembiayaan gedung, iuran hanya ditargetkan setengahnya, yaitu Rp250 juta. Dana tersebut ditargetkan terkumpul dalam waktu tiga bulan setelah surat itu keluar.
Untuk mencari kekurangan dana, DPP PNI membentuk Panitia Pembangunan Gedung PNI/Front Marhaenis. Mohammad Isa ditunjuk sebagai ketua, membawahkan anggota yang berasal dari setiap unsur Front Marhaenis. Maka, dimulailah pembangunan gedung partai itu –yang sayangnya tak selesai hingga akhirnya dibongkar menyusul peristiwa 1965.
ALI Sastroamidjojo, ketua umum PNI, menyebarkan surat bernomor 1079/ PEG/024/’64 yang ditujukan kepada setiap kader PNI. Isinya, perintah untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan gedung PNI/Front Marhaenis. Surat tersebut tertanggal 13 November 1964.
PNI ingin membangun gedung lima lantai di Jalan Salemba Raya No. 73. Pembangunan diharapkan selesai dalam dua tahun. Biaya yang dibutuhkan amat besar, sekitar setengah miliar rupiah. Untuk itulah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PNI berupaya melakukan penggalangan dana.
Setiap Dewan Pimpinan Cabang harus mengkoordinasikan kader-kader untuk menyumbang minimal Rp100. Namun, DPP PNI tak membebankan seluruh biaya pembangunan pada iuran kader. Dari total pembiayaan gedung, iuran hanya ditargetkan setengahnya, yaitu Rp250 juta. Dana tersebut ditargetkan terkumpul dalam waktu tiga bulan setelah surat itu keluar.
Untuk mencari kekurangan dana, DPP PNI membentuk Panitia Pembangunan Gedung PNI/Front Marhaenis. Mohammad Isa ditunjuk sebagai ketua, membawahkan anggota yang berasal dari setiap unsur Front Marhaenis. Maka, dimulailah pembangunan gedung partai itu –yang sayangnya tak selesai hingga akhirnya dibongkar menyusul peristiwa 1965.
Bergerak di Pemerintahan
Penggalangan dana hanyalah salah satu cara PNI mengisi kas partai. Sama seperti partai lainnya, PNI menyandarkan iuran anggota untuk memenuhi kebutuhan dana operasional partai. Namun, mereka juga sadar iuran anggota tidak akan memenuhi semua kebutuhan partai. Dalam anggaran DPP PNI tahun 1953 sekitar Rp540.000, iuran anggota hanya berkontribusi Rp55.197. Dana lainnya diperoleh dari potongan gaji anggota yang duduk di parlemen, yang jumlahnya juga kurang signifikan. Lantas dari mana partai mendapatkan dana?
Pada 1952, tak lama setelah Kabinet Wilopo dari PNI terbentuk, PNI mengadakan Konferensi Pengusaha di Bandung. Konferensi itu merekomendasikan beberapa program kepada Kabinet Wilopo. Antara lain memberikan kemudahan kepada pengusaha atau perusahaan lokal dan membatasi pengusaha atau perusahaan asing. Ternyata, usulan itu tidak berjalan baik. Dalam Kabinet Wilopo, posisi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi masih kuat. Bahkan, pos penting menteri keuangan dijabat Soemitro Djojohadikusumo dari PSI.
“Rencana PNI untuk mempergunakan kedudukannya dalam kabinet demi membantu para anggotanya dan mengisi penuh peti-peti simpanan partai tidak berhasil sebagaimana diharapkan semula,” tulis J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi.
Angin berbalik ketika Ali Sastroamidjojo menjabat perdana menteri pada Juli 1953. PNI berhasil menempatkan orang-orangnya di pos-pos strategis: Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai menteri perekonomian dan Ong Eng Die sebagai menteri keuangan. Dalam struktur partai, Iskaq adalah ketua Komite Dana Partai dan Ong Eng Die anggotanya. Dengan jabatan di pemerintahan itulah mereka mengumpulkan dana partai.
“Dengan kedua kementerian yang mengurusi masalah ekonomi ada di tangan partai, para pengusaha PNI mulai menikmati dua tahun kejayaan yang tidak pernah diperoleh sebelumnya,” tulis Rocamora.
Selain itu, Iskaq dan Ong Eng Die menjadi petinggi Bank Umum Nasional (BUN), yang dibentuk untuk melayani kebutuhan partai dan pengusaha PNI, masing-masing menjabat dewan direksi dan wakil direktur. Dengan posisi mereka di pemerintahan, BUN berkembang pesat.
“Keduanya memerintahkan umpamanya agar dana yang berada di bawah supervisi kementerian disimpan di Bank Umum Nasional, suatu bank PNI,” tulis Deliar Noer dalam Partai Islam dalam Pentas Nasional.
Kader-kader PNI juga ditempatkan di bank-bank lain. Tiga bulan setelah Ali berkuasa, Suwirjo diangkat sebagai direktur Bank Industri Negara (BIN), dengan Sumanang sebagai wakil pertama direktur. Abdul Karim jadi direktur Bank Negara Indonesia (BNI), dengan wakil ketua direktur R.M. Hadiono Kusumoutojo. Sementara dalam jajaran pimpinan Bank Indonesia, PNI menempatkan Lukman Hakim sebagai wakil direktur.
Selain mengisi lembaga-lembaga strategis, PNI membuat sejumlah kebijakan yang menguntungkan pengusaha PNI. Antara lain dengan mengeluarkan surat izin devisa atau lisensi impor. Dalam biografinya yang ditulis Ruben Nalenan, Alumni Desa Bersemangat Banteng, Iskaq mengatakan, pada November 1954, jumlah perusahaan impor bumiputra meningkat lebih dari 2.000 buah, delapan kali lebih banyak daripada akhir 1950. PNI meraup banyak keuntungan dari pemberian lisensi tersebut.
“Lisensi istimewa diberikan kepada pengusaha-pengusaha yang sanggup memberikan 10% dari harga lisensi kepada kas partai PNI,” tulis Soebagijo I.N. dalam biografi Jusuf Wibisono, Karang di Tengah Gelombang. Jusuf yang merupakan tokoh Masyumi mencibir “lisensi istimewa” Iskaq bukanlah kebijakan ekonomi “nasional” tapi “nasionalis” –merujuk pada PNI.
Cara-cara yang dilakukan PNI menuai kecaman dari partai lain. “Mereka tidak peduli terhadap masalah keuangan –dengan semakin dekatnya pemilihan umum mereka dengan terang-terangan mulai memakai sistem lisensi impor untuk membeli dukungan politik,” ujar Soemitro Djojohadikusumo kepada Thee Kian Wie dalam Pelaku Berkisah.
Sejumlah partai koalisi menentang kebijakan ekonomi Iskaq. Karena desakan begitu kuat, pemerintah mengadakan reshuffle kabinet. Iskaq meletakkan jabatan sebagai menteri perekonomian pada 8 November 1954. Iskaq kemudian dihadapkan ke meja hijau atas tuduhan korupsi dan dijatuhi hukuman penjara sembilan bulan dan denda Rp200.000 –kemudian bebas setelah mendapat grasi presiden. Ong Eng Die sempat ditahan dan hendak dituntut, tetapi kabur ke Belanda, tanah air istrinya.
Dana Partai Menurun
Selama 1953–1954, PNI mendapat pemasukan dana luar biasa. Dalam laporan Dewan Partai kepada kongres ketujuh pada Desember 1954, anggaran DPP PNI naik dari Rp540.937,70 sepanjang 1953 menjadi lebih dari tiga kali lipat atau Rp1.842.079,77 untuk sepuluh bulan pertama 1954. Setelah Kabinet Ali jatuh, dana partai menurun. Penyumbang dana partai terbatas pada mereka yang berkepentingan memperoleh dukungan di dalam partai.
“Karena pada masa itu partai dilihat sebagai pendukung kuat kepentingan pengusaha nasional, banyak orang yang bergabung di dalamnya bukan karena ideologi partai atau sikap politik yang didukungnya, melainkan karena melihat partai sebagai jalan terbaik untuk memperkaya diri dan memajukan karier,” tulis Rocamora.*